Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (28): Ki Pamanahan membuka negeri di Mataram

 Di Kadilangu, Panembahan Kalijaga tidak samar penglihatannya. Sang pendeta agung mengetahui bahwa sang murid Ki Pamanahan sedang bersedih. Bermaksud menolong Kangjeng Sunan Kalijaga mengunjungi Ki Pamanahan di Banglampir. Sang murid menyambut kedatangan sang guru dengan takzim dan penuh hormat. Keduanya lalu duduk berbincang.

Berkata Kangjeng Sunan, “Anakku, mengapa engkau tidak lestari mengabdi ke Pajang. Kalian kan sudah satu guru?”

Ki Pamanahan berkata, “Saya mohon maaf. Putra paduka di Pajang berubah wataknya, maka saya juga enggan mengabdi kepada raja yang ingkar janji.”

Sunan Kalijaga tersenyum, kemudian berkata manis, “Jangan engkau rasa. Aku sudah tahu kehendakmu. Ayo sekarang aku antar kau menemui sendiri adikmu satu perguruan Si Anakku Pajang. Nanti aku yang akan mengatakan.”

Segera kedua guru dan murid itu berangkat ke Pajang. Ki Pamanahan mengikuti di belakang sang guru. Singkat cerita mereka sudah sampai di Pajang tanpa pemberitahuan. Ketika melihat sang guru datang Adipati Pajang sangat kaget. Segera sang adipati turun dari kursi dan menghaturkan sembah.

Setelah duduk nyaman Sunan Kalijaga berkata, “Anakku, mengapa engkau ingkari janjimu kepada kakakmu. Engkau dulu sudah sanggup memberikan tanah Mataram sebagai timbangan tanah Pathi yang telah kau berikan kepada Panjawi. Sekarang kakakmu Pamanahan mengapa belum menerima hadiah yang telah engkau janjikan.”

Adipati Pajang menyembah lalu berkata, “Sebab tanah Mataram belum saya berikan karena masih gersang dan kering. Yang kedua, orang-orang di sana masih sedikit. Maksud saya Kanda Pamanahan akan saya beri tanah yang sudah subur dan banyak penduduknya.”

Kangjeng Sunan Kalijaga sudah tahu maksud tersembunyi di dalam hati Adipati Pajang dan perasaannya terhadap Ki Pamanahan.

Sunan Kalijaga berkata, “Mengapa engkau berpikir demikian? Semua sudah engkau ucapkan. Baik atau buruk jangan engkau ingkari. Dulu engkau sudah katakan kalau Mataram dan Pathi yang akan menjadi hadiahnya. Jangan sampai berubah lagi. Sudah segera serahkan kepada kakakmu. Lestarilah kalian dalam bersaudara.”

Adipati Pajang terdiam beberapa saat tak mampu bicara. Dalam hati masih menyimpan ganjalan. Kalau tidak dikatakan sungguh telah membohongi sang guru. Akhirnya Adipati Pajang berterus terang.

Berkata Adipati Pajang, “Panembahan, izinkan saya katakan ganjalan di hati saya. Saya mendengar ada riwayat dari Sinuhun di Giri bahwa kelak di tanah Mataram akan ada yang berdiri menjadi raja.”

Sunan Kalijaga berkata, “Kalau soal itu, gampang. Biarlah kakakmu berjanji. Nah, Anakku Panamahan, engkau berjanjilah. Aku yang menjadi saksi.”

Ki Pamanahan menyembah dan berkata, “Baik guru. Kalau nanti saya punyak maksud menjadi raja di Mataram atau punyak maksud menggeser Pajang, jangan sampai saya selamat. Sumpah ini untuk diri saya sendiri guru.”

Sunan Kalijaga berkata, “Sudah benar apa yang kau katakan.”

Adipati Pajang lega hatinya mendengar pernyataan Ki Pamanahan. Sunan Kalijaga segera menyuruh Adipati Pajang menyerahkan tanah Mataram.

Adipati Pajang menyembah dan kemudian berkata, “Saya berikan dengan dua tangan. Nah, Kanda Pamanahan engkau terima tanah Mataram yang masih berupa hutan ini.”

Ki Pamanahan lalu menerima tanah Mataram yang sudah menjadi haknya.

Sunan Kalijaga berkata, “Nah, sudahlah anakku Pamanahan, sekarang engkau pulanglah ke Mataram. Boyonglah semua anak-istrimu dan keluarga besarmu ke sana. Aku mendoakan engkau langgeng bersaudara dengan adikmu Si Pajang. Nah, kalian baik-baiklah, aku minta pamit.”

Kangjeng Sunan Kalijaga beranjak pergi. Kedua murid menyembah. Setelah Sunan Kalijaga pergi Ki Pamanahan pun minta pamit kepada Adipati Pajang dan kembali ke rumah. Ki Pamanahan sudah bertemu dengan semua putra-putranya. Semalaman mereka merencanakan keberangkatan besok. Ki Juru pun hendak ikut serta ke Mataram. Putra Ki Pamanahan ada tujuh orang. Lima putranya adalah laki-laki dan semua sudah menikah. Sedang dua putrinya juga sudah mendapat jodoh. Seorang putrinya menjadi istri punggawa Pajang bernama Tumenggung Mayang. Seorang putrinya lagi juga menjadi istri mantri Pajang bernama Ki Arya Dhadhaptulis. Kedua putri Ki Pamanahan lebih memilih ikut suami mereka di Pajang.

Pagi hari berikutnya Ki Pamanahan bermaksud berpamitan dengan sang adipati. Dengan membawa serta seluruh keluarganya Ki Pamanahan menghadap ke puri kadipaten Pajang. Adipati Pajang menerima rombongan Ki Pamanahan di Panangkilan. Putra angkat sang adipati Raden Ngabei Loring Pasar juga akan ikut ke Mataram. Maka dia sekaligus berpamitan kepada ayah angkatnya. Di bangsal Panangkilan Ngabei Loring Pasar berpisah dengan putra Adipati Pajang yang bernama Pangeran Banawa. Keduanya sudah seperti kakak adik sendiri.

Berkata Ngabei Loring Pasar, “Dinda, kakanda hendak ikut ke Mataram. Engkau baik-baiklah tinggal di kadipaten.”

Pangeran Banawa menangis melepas kepergian sang kakak, “Kanda, sering-seringlah menengok ke Pajang. Saya tak bisa lama-lama berpisah dengan kakak.”

Ki Pamanahan berkata kepada Adipati Pajang, “Saya mohon pamit paduka.”

Adipati Pajang berkata, “Baiklah Kanda Pamanahan, aku mendoakan selamat untuk perjalanan kakanda.”

Ki Juru juga berpamitan dan bersalaman dengan Sang Adipati. Sebelum berangkat Ki Pamanahan menerima sungkem dari dua putrinya yang akan tetap tinggal di Pajang beserta suami mereka Tumenggung Mayang dan Arya Dhadhaptulis. Mereka melepas sang ayah dengan berurai air mata.

Berkata Ki Pamanahan, “Anakku, jangan menangis. Engkau bisa-bisalah menaati suamimu. Aku juga berat berpisah denganmu, anakku. Namun engkau sudah bersuami, harus mengikuti apa keputusan suamimu. Aku doakan engkau langgeng dalam berumah tangga. Baik-baiklah engkau tinggal di Pajang.”

Pagi itu rombongan Ki Pamanahan berangkat ke Mataram. Seluruh wangsa Sela ikut serta beserta keluarga mereka masing-masing. Rombongan berjalan dengan membawa aneka barang bawaan. Tua muda, besar kecil semua ikut pergi. Para lelaki naik kuda dan jalan kaki, para wanita dewasa naik tandu. Ada juga yang naik gerobak. Ada pula yang berjalan kaki sambil menggendong anak. Rombongan Ki Pamanahan tampak sangat kerepotan selama dalam perjalanan. Banyak sekali barang bawaan mereka, alat dapur dan perabotan rumah, kasur dan bantal guling. Semua dibawa serta karena memang akan berpindah untuk selamanya.

Alkisah, rombongan Ki Pamanahan di tengah perjalanan beristirahat di bawah pohon beringin. Ada seorang pemuka desa di Karanglo bernama Ki Gedhe Karanglo, memberi jamuan kepada rombongan Ki Pamanahan. Jamuan yang disajikan berupa sayur menir, pecel ayam dan banyak lagi hidangan lain. Ki Gedhe Karanglo sangat menyambut kedatangan Ki Pamanahan. Beserta sang istri Ki Gedhe memberi salam dan menyapa ramah rombongan Ki Pamanahan. Mereka kemudian duduk sambil berbincang.

Berkata Ki Gedhe Karanglo, “Kami sajikan nasi ala kadarnya, mohon maaf bila kurang lauk.”

Ki Pamanahan berkata, “Kami sangat berterimakasih.”

Ki Pamanahan beserta rombongan kemudian menikmati jamuan dari Ki Gedhe Karanglo. Mereka makan dengan lahap sampai kenyang. Setelah selesai makan mereka kembali berbincang.

Berkata Ki Pamanahan, “Ki Gedhe, kami sangat berhutang kepada Anda sekeluarga. Kelak apa balasan yang Ki Gedhe minta, katakan saja.”

Ki Gedhe Karanglo berkata, “Tidak boleh saya meminta yang demikian.”

Ki Pamanahan lalu meneruskan perjalanan. Ki Gedhe Karanglo bermaksud mengantar sampai ke Mataram. Ki Gedhe merasa bahwa kelak Ki Pamanahan akan menjadi pemimpin di negeri ini. Jadi sepatutnya dia mulai sekarang ikut membantu Ki Pamanahan merintis jalan.

Dalam perjalanan ke Mataram tanpa diduga Ki Pamanahan melihat Kangjeng Sunan Kalijaga sedang mandi di sungai Umpak. Ki Pamanahan kaget dan segera berlari mendekati sang guru. Ki Pamanahan lalu sungkem dan membasuh kaki kanan Kangjeng Sunan Kalijaga. Ki Gedhe Karanglo juga ikut sungkem dan membasuh kaki kiri Kangjeng Sunan.

Kangjeng Sunan berkata kepada keduanya, “Anakku, sepatutnya kalian terus bersaudara beserta anak keturunan kalian kelak. Ki Gedhe Karanglo, kelak engkau ikutlah hidup mulia, tapi tak berwenang engkau naik tandu beserta anak keturunanmu. Juga jangan memakai sebutan Mas dan Raden. Nah sekarang lanjutkan perjalanan kalian.”

Ki Pamanahan kemudian melanjutkan perjalanan. Sesampai di Mataram mereka segera membangun perumahan. Semua keluarga sekarang sudah berkumpul di Mataram. Tak berapa lama kemudian Mataram sudah menjadi desa yang ramai dan makmur. Banyak orang-orang kemudian bergabung tinggal di Mataram. Peristiwa berdirinya Mataram ditandai dengan sengkalan tahun: rupa mantri winisayèng janmi[1].

Desa Mataram adalah desa yang sangat subur. Banyak tumbuh buah-buahan dan beras. Semua yang ditanam tumbuh subur. Semua serba lengkap, setiap yang ditanya pasti ada. Tanah negeri Mataram luas dan rata. Tanahnya berpasir dan juga sebagian berbukit. Tempat-tempat untuk bercengkerama sangat banyak, di darat maupun di air. Sumber air pun mudah didapat dan airnya jernih. Semakin hari semakin banyak orang yang bergabung ke Mataram. Tak henti-henti orang berdatangan dengan membawa upeti berupa makanan dan buah-buahan serta berbagai ikan air tawar. Semua disertai doa dan harapan agar Ki Pamanahan lestari memimpin desa Mataram. Ki Pamanahan kemudian dikenal dengan panggilan Ki Ageng Mataram.

Desa Mataram terus berkembang pesat menjadi sebuah desa yang banyak penghuninya. Ditunjang tanah yang subur Mataram sangat layak berkembang menjadi sebuah negeri. Namun Ki Ageng Mataram ingat akan janjinya kepada Adipati Pajang di hadapan sang guru Kangjeng Susuhunan Kalijaga. Bahwa dia tidak akan menjadi raja di Mataram. Meski Ki Ageng Mataram sudah mendengar ramalan Kangjeng Sunan Giri bahwa di Mataram akan ada raja besar, dia berharap anak cuculah raja besar itu. Oleh karena itu Ki Ageng Mataram tidak putus memohon kepada Tuhan untuk kesejahteraan anak cucunya. Ki  Ageng selalu tirakat dan menyepi di Gunungkidul dan juga di Pamantingan.

Alkisah, Ki Ageng Mataram mempunyai sahabat karib bernama Ki Ageng Giring. Ki Ageng Giring juga sering dipanggil Ki Ageng Paderesan karena pekerjaannya menderes kelapa. Persahabatan kedua orang itu demikian erat sehingga seperti saudara seayah-ibu.

Pada suatu pagi Ki Ageng Giring memanjat pohon kelapa di pekarangannya. Di pekarangan Ki Ageng ada satu pohon kelapa yang hanya berbuah satu biji. Buah itu masih muda atau disebut degan. Pohon itu berada di dekat pohon yang dipanjat Ki Ageng saat itu. Saat Ki Ageng sedang memasang bumbung di pohon yang ia panjat, tiba-tiba terdengar suara nyaring di telinga Ki Ageng. Suara itu mirip suara manusia dan berasal dari buah degan itu.

Suara itu berbunyi: “Hai Ki Gedhe, ketahuilah. Barangsiapa meminum airku dan menghabiskan sekali teguk, kelak anak keturunannya menjadi raja yang menguasai tanah Jawa.”

Ki Ageng Giring kaget mendengar suara dari si degan itu. Ki Ageng segera turun dari pohon yang dia panjat. Setelah meletakkan peralatan menderesnya, lalu segera memanjat pohon kelapa yang ada degannya itu. Degan segera diambil dan dibawa pulang. Sementara karena sangat sukanya, peralatan deresnya tak dihiraukan lagi.

Sesampai di rumah Ki Ageng Giring berpikir, hari masih pagi dan dirinya masih kenyang. Kalau diminum sekarang pasti tidak akan habis sekali teguk. Oleh karena itu Ki Ageng bermaksud meminumnya nanti saja kalau hari sudah agak siang. Agar merasa haus Ki Ageng sengaja pergi ke hutan menebang pohon. Degan disimpan Ki Ageng di dapur.

Sementara itu di saat yang sama, Ki Ageng Mataram bermaksud mengunjungi Ki Ageng Giring. Ki Ageng Mataram mendapati Ki Ageng Giring tidak berada di rumah.

Ki Ageng Mataram bertanya kepada istri Ki Ageng Giring, “’Pergi ke mana si uwak ini?”

Nyai Ageng Giring menjawab, “Pasti pergi ke hutan menebang pohon. Tadi kulihat pergi membawa kapak.”

Ki Ageng Mataram berlalu menuju dapur hendak mencari kilang legen yang biasa dimasak Ki Ageng Giring. Karena sudah biasa berkunjung Ki Ageng ke dapur sendiri. Di dapur Ki Ageng tak mendapati kilang legen sedikit pun. Namun dia melihat sebutir degan di atas balai-balai. Karena sangat haus Ki Ageng mengambil degan itu dan melubanginya. Dia kemudian membawa ke depan untuk diminum.

Nyai Ageng yang melihat tamunya membawa degan kaget. Nyai Ageng berusaha mencegah agar Ki Ageng Mataram tidak meminumnya. Namun Ki Ageng memaksa karena sangat haus.

Berkata Nyai Ageng Giring, “Dinda, jangan diminum air degan itu. Tadi kakakmu berpesan agar jangan seorang pun meminumnya. Bagaimana kalau nanti kakakmu marah.”

Ki Ageng Mataram berkata, “Aku sebenarnya tak ingin minum degan, tapi di dapur tak kutemukan kilang legen sedikitpun. Jadi aku ambil degan ini. Jangan khawatir Yunda, kalau Kanda Giring marah biar dia marah kepadaku.”

Ki Ageng segera meminum degan itu sekali teguk, langsung habis. Rasanya manis sehingga tak bersisa setetes pun. Nyai Ageng hanya tertegun melihatnya tanpa bisa berkata sepatah kata pun. Tidak lama kemudian Ki Ageng Giring datang dari hutan. Setelah meletakkan kayu dan kapak, Ki Ageng bermaksud ke dapur untuk minum degan. Namun ketika sampai di dapur Ki Ageng tidak melihat degan yang ia simpan.

Ki Ageng lalu bertanya kepada Nyai Ageng, “Siapa yang merawat degan yang aku simpan di dapur?”

Nyai Ageng menjawab, “Adikmu itu yang meminum. Aku sudah melarang, tapi dia memaksa. Katanya haus sekali.”

Ki Ageng Mataram menyambung, “Benar Kanda, aku yang memaksa minum degan itu tanpa izinmu. Kalau Kanda marah, marahlah padaku.”

Ki Ageng Giring sangat menyesal. Untuk beberapa saat Ki Ageng tak mampu bicara. Namun segera Ki Ageng sadar bahwa semua sudah kehendak Tuhan. Memang sudah takdir kalau yang hendak menjadi raja di tanah Jawa adalah anak cucuk Ki Ageng Mataram.

Ki Ageng Giring berkata, “Dinda, begini saja. Karena aku tak mungkin meminta milikku yang sudah engkau minum, bagaimana kalau kita sepakati saja. Aku minta kerelaanmu untuk berbagi. Menurut pesan yang aku terima barangsiapa yang meminum air degan itu kelak keturunannya akan menjadi raja di tanah Jawa. Bagaimana kalau kita berbagi. Kelak setelah anak-cucumu menjadi raja sekali, lalu anak-cucuku yang kemudian menggantikan.”

Ki Ageng Mataram berkata, “Kalau hanya sekali saya belum rela Kanda.”

Ki Ageng Giring meminta lagi, “Bagaimana kalau setelah dua keturunanmu, keturunanku yang menggantikan?”

Ki Ageng Mataram menjawab, “Baru dua saya juga belum rela. Itu masih tanggung, belum puas merasakan hidup mulia.”

Ki Ageng Giring lalu meminta keturunannya yang ketiga yang menggantikan, Ki Pemanahan juga belum merelakan. Sampai akhirnya meminta pada keturunan ketujuh setelah anak-cucu Ki Ageng Mataram berkuasa.

Ki Ageng Mataram berkata, “Kalau begitu biar kelak mereka berembug lagi yang mereka anggap baik. Saya tidak tahu.”

Setelah mereka sepakat Ki Ageng Mataram segera minta pamit. Beberapa waktu kemudian Ki Ageng Mataram dipusingkan oleh ulah anaknya yang bernama Ngabei Loring Pasar. Si anak rupanya menyukai wanita dari Kalinyamat yang dulu diminta Adipati Pajang. Karena saat itu si wanita masih belum berumur, maka dititipkan kepada Ki Ageng Mataram. Kelak kalau sudah cukup umur diminta segera diserahkan ke Pajang. Namun, belum lagi diserahkan Ngabei Loring Pasar lebih dulu mengambilnya. Ki Ageng Mataram merasa sangat bersalah. Dalam hati ada rasa khawatir kalau mendapat amarah Adipati Pajang.

Karena takut akan mendapat murka Adipati Pajang, Ki Ageng Mataram bermaksud mendahului melapor. Ngabei Loring Pasar diajak serta. Sesampai di Pajang Ki Ageng Mataram menyerahkan hidup mati sang putra kepada Sang Adipati.

Berkata Ki Ageng Mataram, “Kedatangan hamba ke sini untuk menghaturkan hidup mati si Ngabei Loring Pasar kepada paduka Dinda Adipati.”

Adipati Pajang kaget dan bertanya, “Mengapa Kanda berkata seperti itu. Apa kesalahan si Ngabei sampai Kanda serahkan hidup matinya? Si Ngabei itu putraku juga, malah menjadi putra sulungku. Mengapa engkau serahkan hidup-matinya?”

Ki Ageng Mataram berkata, “Putra paduka berani mengambil wanita yang paduka inginkan dulu. Sungguh semua ini salah saya Dinda. Maka saya serahkan si Ngabei kalau paduka hendak menghukumnya.”

Adipati Pajang berkata, “Kalau demikian, saya dorong agar mereka dinikahkan saja. Bila si Ngabei sudi merawat anak dari Kalinyamat itu, biarkan saja. Tapi pesanku jangan disia-siakan. Engkau juga kurang tanggap. Kalau punya anak laki-laki segera carikan jodoh. Sudah lazim kalau jejaka menginjak masa birahi pasti menyukai wanita. Maka sebaiknya menikah dengan secara baik-baik.”

Ki Ageng Mataram tertunduk, merasa mendapat marah. Setelah selesai Sang Adipati memberi pesan Ki Ageng Mataram segera minta pamit kembali ke Mataram. Sesampai di Mataram Ki Ageng segera menikahkan Ngabei dengan putri dari Kalinyamat. Setelah beberapa lama keduanya sudah mendapat momongan. Lahirlah seorang anak lelaki yang tampan dan diberi nama Raden Rangga. Kedua ayah ibunya sangat menyayangi si bayi mungil itu.


[1] 1531 AJ


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/06/27/babad-tanah-jawi-28-ki-pamanahan-membuka-negeri-di-mataram/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...