Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (30): Ki Ageng Mataram wafat, Radèn Ngabei Loring Pasar menggantikan dengan gelar Senapati ing Ngalaga

 Sementara itu di Mataram, Ki Ageng duduk dihadapan para anak cucunya. Semua lengkap menghadap. Juga Ki Juru Martani yang duduk di depan. Semua keluarga besar Ki Ageng Mataram telah hadir.

Ki Ageng berkata, “Kelak sepeninggalku, aku pesankan kepada anak cucuku semua. Bila ramalan Kangjeng Sunan Giri menjadi kenyataan, kalian akan menguasai tanah Jawa, pesanku kalian pakailah watak ikhlas.

Dan satu lagi pesanku, bila kelak ramalan Sunan Giri terwujud, kalau kalian menyerang ke wilayah timur, pakailah caraku dan cara Sultan Prawata, yakni pada hari Jum’at Pahing di bulan Muharam. Itu lestarikan kelak.

Dan juga kalau suatu saat Mataram diserang pasukan wilayah timur, kalau kalian menghadapinya dalam perang, jangan melewati gunung Kendeng. Sungguh akan sial dalam perang. Dan juga satu lagi pesanku, kalau kelak Mataram menguasai tanah Jawa, kalau mengangkat bupati jangan selain orang Mataram. Kelak empat ratus orang kita dan anak keturunannya bila melakukan dosa sebaiknya ampunilah. Dan bila dosanya tidak terampuni maka jangan tumpahkan darahnya di tanah Mataram.”

Masih banyak lagi pesan Ki Ageng Mataram kalau diuraikan. Mataram kini sudah menjadi negeri yang makmur, pasarnya besar dan murah sandang pangan. Banyak orang berdatangan untuk tinggal di Mataram. Negeri ini tak kekurangan sawah dan tempat berburu, baik di laut maupun di daratan. Penduduk Mataram ketika itu sudah mencapai depalan ratus orang. Ki Ageng Mataram sudah hidup sejahtera beserta seluruh keluarganya.

Selang beberapa waktu kemudian Ki Ageng menderita sakit yang sangat. Sudah takdir Ki Ageng sampai pada ajalnya. Para putra lengkap hadir menunggui, juga Ki Juru Martani yang selalu setia mendampingi.

Di saat terkahirnya Ki Ageng Mataram masih sempat berpesan kepada Ki Juru Martani, “Saudara ipar, tinggallah untuk mengasuh putra-putramu. Dan kelak sepeninggalku anakku Ngabei yang seyogyanya menggantikanku.”

Ki Ageng kemudian menghembuskan nafas terakhirnya. Para istri dan putra-putra menangis meratapi kepergian Ki Ageng Mataram. Jenazah Ki Ageng kemudian dimandikan dan dikafani lalu dimakamkan di pemakaman sebelah barat masjid. Kematian Ki Ageng Mataram ditandai dengan sengkalan tahun: tata mantri wisaya  ning janma[1]. Sepeninggal Ki Ageng Mataram Ki Juru Martanilah yang menjadi pembimbing wangsa Sela. Beberapa saat setelah Ki Ageng dikebumikan Ki Juru Martani mengumpulkan anak cucu trah Mataram.

Berkata Ki Juru Martani, “Anak cucuku semua, ayo kalian aku bawa ke Pajang untuk melaporkan wafatnya ayahandamu. Juga meminta petunjuk siapa yang berhak menggantikan.”

Semua anak cucu Ki Ageng Mataram sepakat dan patuh kepada saran Ki Juru Martani. Pagi harinya mereka semua berangkat ke Pajang dengan dipimpin Ki Juru. Sesampai di Pajang mereka kemudian melakukan pepe di bawah pohon beringin alun-alun kota Pajang. Sultan yang bertahta di balai pisowanan melihat ada orang pepe di alun-alun. Sultan segera mengirim gandek untuk melihat siapa yang melakukan pepe dan apa tujuannya. Gandek segera melesat melaksanakan tugas.

Sampai di alun-alun gandek bertemu dengan Ki Juru Martani dan putra-putra Ki Ageng Mataram. Gandek kemudian melaporkan bahwa yang melakukan pepe adalah Ki Juru Martani dan putra Ki Ageng Mataram. Tujuan mereka pepe adalah meminta petunjuk karena Ki Ageng Mataram telah wafat, siapa yang selayaknya menggantikan. Sultan Pajang kaget mendengar sang kakak telah wafat. Segera diperintahkan agar mereka semua dipanggil menghadap.

Setelah rombongan Ki Juru menghaturkan sembah dan duduk nyaman, Sultan berkata,”Yang seyogyanya menggantikan adalah putraku Raden Ngabei karena dia yang tertua. Sekarang aku mengangkatmu sebagai petinggi Mataram. Juga aku beri nama engkau Senapati Ngalagadi Sayidin Panatagama. Dan engkau Ki Juru, dampingilah dan bimbinglah anakku Si Senapati. Dan engkau Senapati, tidak perlu engkau menghadap ke Pajang dalam setahun ini. Bangunlah Mataram sampai makmur, baru satu tahun lagi engkau menghadap ke Pajang. Jangan sampai lupa.”

Senapati menyembah dan menyentuh kaki Sang Sultan. Setelah itu Ki Juru mohon pamit beserta para putra-putra Mataram. Sesampai di Mataram Raden Ngabei menjadi petinggi dengan gelar Senapati Ngalaga Adi Sayidin Panatagama. Negeri Mataram semakin berkembang dan makmur. Penduduknya semakin banyak oleh para pendatang dari wilayah sekitar yang menetap. Ketika itu jumlah penduduk sangat menentukan kuatnya sebuah negeri. Negeri seluas apapun takkan maju jika tanpa penduduk. Perlahan tapi pasti negeri Mataram semakin kuat.

Satu tahu telah berlalu, saatnya Senapati menghadap ke Pajang. Namun Senapati seolah lupa atau sengaja abai terhadap perintah Sultan Pajang. Ki Juru Martani mengingatkan akan kesanggupannya dulu.

Berkata Ki Juru, “Anakku, sudah satu tahun berlalu. Waktunya engkau menghadap ke Mataram.”

Senapati menjawab, “Besok saja Paman, kalau sudah ada panggilan dari Pajang.”

Ki Juru berkata lagi, “Anakku, jangan seperti itu. Engkau ini orang mengabdi, mengapa harus sampai menunggu dipanggil. Saya sungguh tak enak hati kepada ayahmu Sultan Pajang. Jangan sampai dikira saya sebagai orang tua mengajak kepada keburukan. Juga mengapa engkau menyuruh orang Mataram mencetak bata merah putih. Kalau sampai ayahmu di Pajang mengetahui, kurang baik kesannya. Banyak orang Pajang berdagang sampai ke Mataram, pasti berita ini akan segera terdengar di Pajang.”

Senapati bergeming, tak mempan oleh nasihat Ki Juru. Ki Juru pun tak bisa berbuat apapun karena tidak berkuasa. Senapati mempunyai banyak putra, sembilan orang. Yang tertua adalah Raden Rangga. Umur Raden Rangga baru sepuluh tahun tetapi sudah menunjukkan keberanian dan keperwiraan.

Sementara itu di Pajang, Kangjeng Sultan Pajang sedang bertahta di hadapan para punggawa, adipati, tumenggung pecatanda, arya, rangga, demang, pandelegan, ngabei dan waduaji. Mereka semua duduk menunduk menanti perintah Sang Sultan. Sultan berada di Sitinggal, duduk di kursi emas bertatakan permata, beralas babut permadani. Jika dilihat Sultan seolah bulan purnama yang bersinar di antara redup cahaya bintang-bintang.

Berkata Sultan Pajang, “Apakah kalian mendengar berita tentang Senapati, anakku yang berada di Mataram? Mengapa sudah lama tidak menghadap, sudah setahun lebih. Sudah melewati waktu yang sudah saya berikan dulu.”

Para punggawa menjawab, “Paduka, kami mendengar putra Paduka Senapati, sang Sutawijaya, tidak menghadap karena ingin membangkang. Malah sekarang sudah mencetak bata untuk membuat benteng kota.”

Sultan Pajang berkata, “Ngabei Wilamarta dan Ki Wuragil, engkau pergilah ke Mataram untuk memastikan ulah si Senapati.”

Dua utusan segera menyembah dan keluar melaksanakan tugas. Keduanya berangkat dengan berkuda ke Mataram. Waktu itu Senapati sedang berada di Lipura dan menemukan Mataram sedang kosong. Keduanya lalu menyusul ke Lipura dan mendapati Senapati sedang berkuda.

Ki Wuragil berkata kepada Wilamarta, “Hai Ngabei Wilamarta, segeralah turun dari kuda untuk menyampaikan perintah dari Sang Raja.”

Ki Wilamarta berkata, “Apakah Anda hendak turun dari kuda sementara Senapati masih duduk di atas kudanya? Anda ini utusan Sultan Pajang, jadi penghormatannya pun laksana kepada Sultan sendiri.”

Ki Wuragil berkata, “Hai Ngabei Wilamarta, engkau turun dulu menyampaikan perintah. Kalau dia mengetahui mendapat perintah dari ayahnya, pasti segera turun juga.”

Kedua utusan lalu turun dari kuda, tetapi Senapati masih tetap berada di atas kudanya.

Ki Wilamarta berkata, “Apa kataku, Senapati Ngalaga itu sudah melihat kedatangan utusan Pajang, tetapi tetap tak mau turun. Itu perilaku mantri yang nista.”

Senapati berkata dari jauh, “Hai Ngabeli Wilamarta, siapa yang mengutus engkau datang ke sini?”

Dua utusan menjawab, “Ayah Anda yang mengutus. Kami membawa perintah agar Anda berhenti makan-minum dan segeralah menghadap ke Pajang. Dan Anda harap segera bercukur.”

Senapati menjawab ketus dengan masih berada di atas kuda, “Katakan kepada Sultan, aku menghadap besok kalau Sultan juga sudah berhenti menggauli para istrinya. Soal makan minum aku disuruh berhenti, aku masih doyan makan. Aku disuruh bercukur, wong rambut ini tumbuh sendiri. Mengapa harus dicukur? Katakan seperti itu jawabku.”

Ki Wilamarta dan Ki Wuragil segera kembali ke Pajang. Sesampai di Pajang mereka menghadap Sultan dan menyembah lalu duduk menunduk.

mereka berkata, “Senapati menyuruh kami berdua pulang duluan, katanya mau menyusul di belakang.”

Sementara itu di Mataram, Senapati berdang berbincang dengan Ki Juru Martani di dalam puri.

Berkata Ki Juru Martani, “Mengapa engkau dipanggil ayahmu tidak segera menghadap. Tak urung terjadi permusuhan antara Pajang dan Mataram. Para mantri Mataram takut kalau engkau adu dengan para punggawa Pajang. Sultan Pajang sakti dan berkuasa. Apa engkau tidak mendengar cerita, dahulu pernah tempat tidurnya dimasuki empat maling. Mereka beramai-ramai menusuk Sultan dengan membabi buta. Tapi Sultan tetap enak-enak tidur, tak merasa kulit lecet sedikitpun. Malah para penusuk itu bergelimpangan jatuh ke lantai. Pikirkan, seberapa kekuatan Mataram sampai engkau berani membangkang? Di Pajang para anak raja masing-masing menguasai prajurit yang jumlahnya ribuan. Pangeran Banawa mempunyai sepuluh ribu prajurit. Sang menantu Adipati Demak punya sembilan ribu prajurit. Satu menantu Adipati Tuban punya delapan ribu prajurit. Satu menantu lagi Adipati Banten mempunyai empat ribu prajurit. Sedangkan Mataram hanya punya delapan ratus orang. Kita bukan tandingan Pajang.

Mataram dibanding  Pajang ibarat telur dibanding batu. Mataram ibarat telurnya, Pajang batunya. Sekali gencet pasti hancur. Ibarat durian dengan mentinum. Pajang duriannya, Mataram mentimunnya. Mustahil mentimun tertimpa durian masih utuh. Pasukan Pajang ibarat matahari, pasukan Mataram seperti bulan. Kalau Matahari datang, bulan hilang sinarnya. Pasukan Mataram seperti api, pasukan Pajang seperhi hujan. Seberapa besar api pasti mati tertimpa air hujan.

Hai Senapati, aku malu kalau sampai kelakuanmu ini didengar oleh pembesar negeri lain. Engkau seorang anak, tetapi membangkang kepada bapak.  Andai engkau mengajakku berperang dengan musuh yang besarnya sepuluh kali lipat Kesultanan Pajang, aku tak takut. Kalau mati pun mati syahid. Mati di medan perwira. Tapi kini kalau kita berperang dengan Pajang, apa namanya?

Kalau engkau berperang melawan Pajang bukan kemuliaan yang didapat. Paling tidak tiga dosa engkau lakukan. Dosa kepada orang tua karena sejak kecil engkau diangkat anak oleh Sultan Pajang. Kedua dosa kepada guru karena Sultan Pajang telah mendidikmu dan membekali dengan berbagai ilmu agama, juga ilmu kenegaraan. Ketiga, dosa kepada raja karena Mataram adalah negeri bawahan Pajang.”

Ki Senapati menangis di dalam hati. Senapati tetunduk, untuk sesaat tak mampu bicara. Setelah dapat menguasai diri Senapati berkata kepada Ki Juru Martani.

“Paman Kyai Juru, bagaimana menurut Anda, bagaimana kalau aku tetap tidak mau menghadap ke Pajang. Namun, agar supaya aku dan anak keturunanku tetap hidup lestari di Mataram,” kata Senapati.

Ki Juru berkata, “Hai Senapati ing Ngalaga, apa yang seharusnya kau lakukan adalah ingatlah kepada guru. Kalau hendak menjadi raja mintalah kepada Kangjeng Sultan Pajang agar kelak sepeninggal beliau engkau yang menggantikan. Dan berdoalah selalu kepada Tuhan. Karena engkau, bagaimanapun telah dianggap anak sendiri oleh ayahandamu Sultan Pajang.

Yang kedua, kebaikan ayahandamu Sultan balaslah dengan sikap yang baik. Andai ada utusan Pajang yang memanggilmu menghadap, kalaupun engkau enggan menghadap, tetaplah sambutlah dengan ramah. Jangan malah bersikap yang menambah kemarahan Sultan kepadamu. Engkau ini sungguh telah dianggap sebagai putra tertua. Bila kelak Sultan wafat pastilah putra tertua yang menggantikan. Apalagi jika memang benar wahyu kerajaan telah berpindah ke Mataram, tak urung pasti engkau yang menguasai tanah Jawa. Maka baik-baiklah dalam bersikap.”

Senapati tertegun memikirkan nasihat sang paman Ki Juru Martani. Dalam hati mengakui bahwa semua yang dikatakan sang paman benar adanya.


[1] 1535 AJ


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/06/29/babad-tanah-jawi-30-ki-ageng-mataram-wafat-raden-ngabei-loring-pasar-menggantikan-dengan-gelar-senapati-ing-ngalaga/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...