Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (31): Senapati membujuk para mantri Pamajekan yang akan setor upeti ke Pajang

 Alkisah, Senapati ing Ngalaga di Mataram selalu makan minum setiap hari, puas berpesta hingga larut malam. Pada suatu hari ada serombongan mantri Pamajekan dari Bagelen yang lewat Mataram hendak menyerahkan upeti Ke Pajang. Mereka kemudian berhenti di Mataram dan dijamu oleh Senapati.

Berkata Senapati, “Wahai para mantri Pamajekan, kalian berhentilah di sini. Ayo kita makan-minum setiap hati. Aku akan menangkap kijang, banteng atau kerbau untuk kita pesta makan bersama. Juga berbagai ikan air tawar di Kali Progo.”

Senapati menyambut hangat mereka dengan jamuan dan kata-kata manis. Kepada mereka Senapati memanggil paman dan kakanda agar mereka merasa dihargai. Juga memanggil adik kepada yang lebih muda. Semua disambut dengan penuh keakraban. Setiap malam mereka dijamu dengan berbagai hiburan dan tarian. Para istri Senapati pun ikut menghibur tamu dengan menampilkan tarian bedaya. Sikap Senapati yang demikian ramah membuat para mantri Pamajekan yang singgah merasa amat dihargai.

Berkata Senapati, “Wahai saudara saya semua, jangan ragu-ragu dalam makan dan minum. Silakan dinikmati semua hidangan yang ada.”

Para mantri Pamajekan juga diberi ganti busana yang indah-indah, yang selama ini belum pernah mereka terima dari Sultan Pajang. Sikap Senapati yang demikian baik membuat mereka merasa tak enak hati. Senapati sendiri merasa kalau saja bisa merekrut mereka untuk bergabung ke Mataram, sungguh akan mendapat kekuatan yang besar. Maka sebisa-bisa Senapati akan membujuk mereka dengan berbagai hadiah yang indah dan penyambutan yang hangat. Senapati merasa bahwa para mantri Pamajekan sudah condong berpihak kepadanya. Hanya tinggal satu orang saja yang bernama Ki Bocor. Ki Bocor tampaknya tidak mempan dengan rayuan jamuan makan dan minum. Tapi mungkin Ki Bocor bisa ditaklukkan dengan adu kesaktian. Senapati pun menunggu saat yang tepat.

Pada malam hari para mantri masih melanjutkan bersuka-suka. Para mantri yang amat kegirangan karena selama hidupnya belum pernah menikmati jamuan seperti itu polah mereka sudah kelewatan. Ada yang mempertontonkan kesaktian. Sebuah batu besar diangkat lalu dilempar ke atas. Ketika jatuh lalu disangga seolah menyangga kapuk saja. Seorang mantri lain memainkan sebuah tombak. Tombak dilempar ke atas dan ketika jatuh ditahan dengan dada. Ada pula yang menahan tombak dengan punggung, paha dan kepala. Ada pula yang mempertontonkan kesaktian dengan menikam matanya dengan keris, tak mempan. Mereka pun berucap tak karuan seolah sedang mabuk.

Ada yang berkata, “Kamu adulah perang dengan orang Pajang kalau tuan hendak membangkang. Kami takkan takut dan mundur. Walau pasukan Pajang banyak kami takkan bergeser sedikitkan. Meski darah kami tumpah dan kepala kami lepas. Semua ini untuk membalas kebaikan tuan pada kami.”

Lalu ada pula yang berkata, “Semoga tuan menjadi raja kelak. Tak kuasa hamba membalas kebaikan ini selain mengabdi kepada paduka. Kelak anak keturunan saya tetaplah menjadi abdi keturunan paduka.”

Ada lagi yang berkata, “Kami semula hendak ke Pajang menyerahkan upeti. Tuan meminta kami singgah dan menjamu kami dengan acara bersuka-suka. Sekarang tuan, kami tak ingin ke Pajang lagi. Biar upeti ini kami serahkan ke Mataram saja. Kami para mantri di wilayah selatan akan tunduk dan patuh ke Mataram.”

Senapati berkata, “Saudaraku para mantri Pamajekan aku terima pernyataan kesetiaan kalian. Tapi bukan sekarang. Aku ingin ke Pajang bersama kalian semua. Kalau nanti ada amarah ayahanda Sultan biarlah saya yang menanggung. Nanti saya angkat kalian menjadi punggawa, rangga, tumenggung atau apapun yang kalian suka jika aku kelak berkuasa.”

Senapati sudah beranjak ke dalam pura, meninggalkan para mantri yang masih bersuka-suka. Sementara itu Ki Bocor yang jengah melihat teman-teman mantri Pamajekan bermaksud mencoba kesaktian Senapati.

Ki Bocor berpikir, “Mengapa semua teman-temanku bertindak seperti itu. Mengapa gampang sekali terkena bujuk rayu. Sungguh memalukan. Belum tentu orang yang hendak mereka hambakan diri pantas dijunjung. Kalau aku selama belum tahu kemampuannya, tak sudi aku menghamba. Apa dia berkulit tembaga bertulang perunggu? Kalau saja tak mempan aku tusuk pakai kerisku, baru pantas menjadi junjunganku.”

Hari sudah menjelang malam. Suasana sudah gelap gulita. Ki Bocor mengendap-endap masuk ke dalam puri. Senapati sudah tahu gelagat Ki Bocor selama ini. Maka Senapati memerintahkan para penjaga agar kalau Ki Bocor mencoba masuk mereka pura-pura tak tahu. Dan kini Ki Bocor benar-benar hendak mencobai Senapati. Dengan memegang keris Kebodhengen Ki Bocor masuk puri. Setelah berhasil masuk Ki Bocor melihat Senapati sedang makan malam. Ki Bocor segera mendekat dan langsung menusuk Senapati. Berkali-kali tikaman menghunjam ke tubuh Senapati, tapi yang ditikam tak terasa apapun. Masih saja meneruskan makan dengan santai. Ki Bocor sampai kelelahan menusuk dan terkulai lemas. Ki Bocor lalu menyembah dan memegang kaki Senapati sambil meminta ampun.

Senapati kaget dan berkata, “Ada apa Kanda Bocor?”

Ki Bocor berkata terbata-bata sambil menunduk, “Maafkan hamba, saya mohon maaf karena telah berani mencoba kesaktian paduka. Sekarang saya pasrah sekehendak paduka. Saya takkan menolak lagi.”

Senapati berkata, “Mengapa Kanda berkata seperti itu. Aku sudah percaya kepadamu sejak mula.”

Ki Bocor pamit mundur dan kembali ke pondokannya. Senapati pun segera pergi ke Lipura dengan pengawalan lima orang. Di Lipura Senapati menuju ke sebuah batu yang besarnya segede gajah. Di atas batu itu kemudian Senapati tidur.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/06/30/babad-tanah-jawi-31-senapati-membujuk-para-mantri-pamajekan-yang-akan-setor-upeti-ke-pajang/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...