Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (32): Senapati kejatuhan Bintang dan bertemu dengan Nyai Rara Kidul

 Sementara itu, Ki Juru Martani di rumahnya merasa tidak enak hati. Ki Juru tidak bisa tidur meski sudah tengah malam. Ki Juru lalu bermaksud ke ke puri tempat kediaman Senapati. Di luar seorang penjaga menyambut kedatangan Ki Juru.

Berkata Ki Juru, “Wahai penjaga, katakan kepada putraku Senapati. Aku hendak menghadap.”

Lurah penjaga pintu berkata, “Putra tuan saya lihat setelah makan dan minum dengan para mantri Pamajekan kemudian pergi sore hari tadi.”

Saat itu sedang malam bulan purnama, Ki Juru sudah menduga di mana Senapati pergi. Segera Ki Juru menyusul Senapati. Dalam sekejap sudah sampai di Lipura. Terlihat Senapati sedang tidur di atas batu besar.

Ki Juru berkata, “Bangun Senapati itu, katanya mempunyai cita-cita tinggi, mengapa malah enak-enak tidur.”

Tak berapa lama ada bintang yang bersinar seperti pelita sebesar buah kelapa jatuh menuju ke arah Senapati yang sedang tidur.

Ki Juru berkata, “Bangunlah wahai Senapati. Di atasmu itu ada cahaya memancar seperti bulan.”

Senapati kaget dan terbangun, lalu mendongak ke atas. Tampak olehnya cahaya sebesar buah kelapa.

Senapati berkata, “Apakah engkau ini? Mengapa di atasku?”

Si bintang berkata, “Ketahuilah, aku ini bintang yang memberi petunjuk kepada orang yang bertapa di tempat yang sepi. Permohonanmu telah diterima oleh Tuhan. Engkau akan menjadi raja di tanah Jawa dan para raja tunduk padamu. Juga raja-raja dari seberang. Engkau akan berkuasa hingga ke anak cucumu, tanpa saingan. Negerimu akan makmur kaya emas permata dan sangat dihargai oleh negeri lain. Lalu akan datang raja terkahir dan negara akan terpecah. Tandanya ada bintang berekor, gerhana matahari dan bulan dan gunung meletus dengan hujan abu. Itulah tandanya negaramu terpecah.”

Bintang kemudian menghilang ke langit. Senapati berpikir, “Kapan aku akan menjadi raja di Jawa sampai ke anak cucuku dan buyut. Semua raja di Jawa tunduk dan aku menjadi pelita di tanah Jawa menggantikan ayahanda Sultan Pajang.”

Ki Juru Martani berkata, “Nah, Senapati. Jangan dulu takabur. Apa yang terjadi kelak tak dapat kita pastikan. Jangan dulu terlalu percaya kepada bunyi si bintang. Beda kalau yang mengatakan manusia bisa ditagih. Bagaimana kita bisa memastikan perkataan si bintang? Belum tentu itu akan terjadi. Kelak kita pasti akan berperang dan bertarung dengan musuh. Kalau menang pasti bisa menjadi raja di tanah Jawa. Kalau kalah akan menjadi tawanan.”

Senapati merasa tenang setelah mendengar perkataan sang paman. Senapati berkata, “Bagaimana saran Paman Juru. Saya sekedar menjalani saja dan menurut nasihat Paman Juru. Saya minta paman dan saya jangan berpisah lagi.”

Ki Juru berkata, “Kalau begitu ayo kita bicarakan. Kita sama-sama meminta kepada Tuhan Yang Maha Agung agar tercapai keinginan. Dan berdoa agar segera dikabulkan itu jangan hanya enak-enak berdoa di rumah. Ayo kita bagi tugas. Aku naik ke gunung Merapi, engkau ke laut selatan. Di sana kita meminta anugerah Tuhan semoga apa yang kita inginkan segera tercapai.”

Keduanya sepakat dan segera melaksanakan rencana. Senapati segera menceburkan diri ke sungai Umpak, kemudian bertapa ngeli menurut aliran sungai. Di tengah perjalanan mengikuti aliran air ada seekor olor besar, namanya Tunggulwulung.

Si olor seolah mengatakan, “Tuanku, naiklah ke punggungku. Akan aku bawa ke mana tuan inginkan.”

Si olor itu riwayatnya dulu pernah ditolong oleh Senapati. Ketika di Sawangan yang terletak di sungai Samas. Si olor terjaring oleh jala. Oleh orang-orang si olor kemudian ditangkap dan dihaturkan kepada Senapati. Melihat si olor Senapati merasa suka, lalu diberi busana berupa jamang dan kalung emas. Si olor kemudian dilepaskan lagi. Si olor kemudian diberi nama Tunggulwulung. Senapati pun segera mengikuti si olor sampai ke pantai selatan. Sesampai di pesisir Senapati disambut ombak besar yang seperti gunung merangkak. Senapati kemudian melakukan semedi di pantai. Tak lama datang angin ribut yang hebat. Pohon-pohon bertumbangan dan patah. Air samudera bergolak seakan mendidih. Banyak hewan-hewan laut seperti bandeng dan udang seperti dilempar ke daratan. Termasuk hewan-hewan besar seperti lumba-lumba dan naga-naga di lautan.

Sementara itu Nyai Rara Kidul yang berada di peraduannya kaget karena datangnya para naga yang mengungsi.

Nyai Rara Kidul berpikir, “Selama ini belum pernah aku melihat lautan bergolak seperti ini. Seakan-akan matahari runtuh oleh bergolaknya samudera yang seperti api neraka. Ikan-ikan banyak yang mati. Apakah kiamat sudah datang?”

Nyai Rara Kidul lalu berdiri di pelataran. Tampak olehnya seorang manusia luhur sedang berdiri di pinggir pantai, Senapati Ing Ngalaga.

Nyai Rara Kidul berkata, “Apakah orang ini yang membuat laut bergolak?”

Nyai Rara Kidul segera naik ke darat mendekati yang sedang semedi. Dengan perlahan duduk sungkem dan menyentuh kaki sang pertapa.

Nyai Kidul berkata, “Wahai Sang Raja, hilangkan huru-huru yang kau buat. Seisi laut selatan ini adalah milikmu, paduka. Semua akan tunduk baik makhluk halus atau jin. Tanpa guna engkau orang yang sakti jika pekerjaanmu merusak. Kalau engkau ingin, para makluk halus dan jin ini berangkatkan perang melawan para raja di Jawa. Kalau engkau mau dipatuhi para jin engkau bisa menjadi raja besar.”

Mendengar perkataan Nyai Kidul Senapati Ngalaga condong hatinya. Huru-hara kemudian sirna, semua ikan yang mati hidup kembali. Nyai Kidul kemudian pulang, Senapati mengikuti dari belakang. Mereka masuk ke samudera tanpa basah oleh air. Dan tak lama sampailah ke keraton selatan. Nyai Kidul dan Senapati kemudian duduk nyaman.

Senapati melihat taman dan balai emas dengan delapan ratus tiang. Awal mulanya dulu balai emas itu berada di lautan karena perbuatan Gatotkaca. Ketika itu Gatotkaca merebut balai emas dalam peperangan di angkasa. Balai emas jatuh di tengah samudera dan menjadi keraton Nyai Kidul. Balai emas tampak bersinar mencorong dan berkerlip oleh cahaya permata. Kerikil yang terhampar di pelataran adalah batu marjan. Pagar taman dari pohon widuri yang bersinar mencolok. Di depan ada gapura yang tinggi, di puncaknya berserak pernik dari permata berkerlip. Di sekitar balai tumbuh berbagai bunga yang harum baunya dan terlihat sangat asri. Keraton Nyai Kidul bagaikan kahyangan di surga.

Nyai Kidul dan Senapati duduk bersanding di dalam puri. Nyai Kidul tampak cantik rupawan seperti Dewi Ratih di kahyangan. Ratu jin itu sungguh cantik dan segala gerak-geriknya menawan. Juga sakti sehingga tunduk segala jin dari penjuru tanah Jawa. Setiap tahun para jin datang menghadap. Ratu Lodaya, Ratu gunung Merapi, Ratu di Kare dan Waringinuwok. Juga dari gunung Agung, Prabu Dalepih dari gunung Perahu, juga penguasa Bledug Kuwu, dari Kayulandeyan, Rawalobang, Karang, Panaruban, Kabareyan, Pringtutul, Lawu dan Rawa Pening. Semua jin penguasa di seluruh tanah Jawa takut dan tunduk kepada Nyai Kidul.

Senapati tertegun melihat sang Nyai Kidul, berkata dalam hati: “Sungguh kecantikannya melebihi sesama di bumi. Perilakunya dan cara berbicaranya yang manis membuat kesengsem.”

Senapati tak henti memperhatikan wajah Nyai Kidul. Tak henti-henti Senapati mengagumi kecantikan Sang Ratu. Senapati berpikir apakah ini ratu dari para bidadari? Namun Senapati segera sadar bahwa dia bukan jenis manusia. Meski Nyai Kidul seolah menanggapi rasa hatinya, Senapati menahan diri.

Berkata Senapati, “Engkau mengundangku ke dalam purimu, apa keinginanmu Dinda?”

Sementara itu Nyai Kidul sengaja tebar pesona agar Senapati tergoda dan melupakan kerajaannya. Dia berharap Senapati mau tinggal bersamanya di dasar samudera.

Berkata manis Nyai Kidul, “Kalau tuan ingin tahu, hamba ini hanya sekedar menunggui. Semua yang ada adalah milik paduka.”

Nyai Kidul lalu menggandeng Senapati menuju ke peraduan. Sesampai di dalam keduanya duduk berdekatan. Senapati tak henti-henti memperhatikan Nyai Kidul yang selalu melirik manja. Hati Senapati remuk redam.

Berkata Senapati, “Apakah ini Dinda, yang namanya surga. Hiasan di tempat tidur dan hiasan di kamar. Semua ini baru aku lihat. Sungguh elok tiada banding. Keindahan kamar tidur ini sungguh sebanding dengan pemiliknya. Kamarnya indah, yang punya lebih indah lagi. Kalau seperti ini rasanya aku enggan pulang ke Mataram. Hanya satu kurangnya, mengapa di sini tidak ada lelaki. Kalau engkau bersanding dengan lelaki tampan sungguh sangat sempurna.”

Nyai Kidul melerok, lalu berkata manis, “Lebih enak menjadi ratu sendirian. Sedikit yang menjadi beban pikiran. Bisa puas sekehendak hati. Tidak ada yang menghalangi.”

Senapati berkata, “Tetapi lebih bagus kalau ada suami yang mendampingi.”

Nyai Kidul berkata, “Aduh, siapa yang bisa membimbing saya tuan.”

Senapati berkata, “Apa syaratnya agar bisa bersanding denganmu Dinda. Saya ini ingin kembali ke Mataram, tapi hati terasa hilang jika meninggalkan tempat ini. Apa Dinda bisa memberi obat dari hati yang kosong ini Dinda.”

Nyai Kidul berkata, “Tak bisa hamba memberi obat, karena bukan dukun. Dan mengapa tuan pura-pura sanggup merawat hamba. Apakah bersungguh-sungguh? Apa kurangnya seorang raja besar di tanah Jawa.”

Senapati Ing Ngalaga berkata, “Di depan orang secantik Dinda saya bisa apa? Saya ini sekedar minta menghambakan diri. Siapa tahu bisa menjadi pelayan di sini.”

Senapati mendekat, jari manis Nyai Kidul dipegang, sambil terus merayu sang ayu. Nyai Kidul merajuk, berpura-pura menghindar. Membuat Senapati semakin penasaran.

Berkata Nyai Kidul, “Apa yang hendak tuan lakukan, mengapa pakai memegang jari. Lepaskan segera tuan. Nanti bisa patah jari saya.”

Senapati tidak melepaskan, malah menggenggam erat jari Nyai Kidul.

“Duh, tuan, mengapa malah seperti disuruh. Mengapa tuan berbuat melantur, seperti bukan Adipati Mataram saja.”

Berkata Senapati, “Aku hanya ingin melihat jari-jemarimu yang lentik ini kok.”

 “Kalau hanya melihat, kan bisa dari jauh. Pegang-pegang pasti ada maunya,” kata Nyai Kidul sambil melirik. Senyumnya di tahan. Sesaat kemudian Nyai Kidul berkata, “Sekarang belum saatnya melampiaskan kehendak. Paduka ini calon raja yang akan menguasai pulau Jawa. Kalau punya keinginan mbok ya sabar. Siapa to yang memiliki diri ini, selain Senapati? Siapa yang kuasa memerintah kepadaku, selain Senapati? Sudah dulu orang tampan, lepaskan tanganku.”

Senapati melepas tangan Nyai Kidul. Nyai Kidul segera mengeluarkan jamuan berupa empat macam gelas minuman. Gelas putih, gelas merah, gelas kuning dan gelas hijau. Keempat gelas dihaturkan kepada Senapati. Gelas putih berisi minuman yang rasanya seperti susu yang melebihi semua rasa susu di dunia. Gelas merah berisi minuman yang rasanya seperti madu, tetapi sungguh melebihi semua rasa madu di dunia. Gelas kuning berisi minuman yang rasanya seperti arak, tetapi lebih dari semua rasa arak di dunia. Dan gelas hijau berisi air yang melebihi semua rasa air di dunia.

Senapati tinggal di dasar samudera selama tiga hari tiga malam. Selama tinggal di istana keraton Kidul Senapati selalu berbincang dengan Nyai Kidul dan tidur bersama. Di sela-sela mereka memadu kasih Nyai Kidul mengajarkan ilmu menguasai makhluk halus. Agar semua makhluk halus tunduk kepada Senapati.

Senapati berkata pelan, “Aku menaruh kepercayaan yang besar kepadamu Dinda. Sekarang aku pulang dulu ke Mataram. Kelak kalau aku menemui kerepotan atau tertimpa bencana, siapa yang aku suruh memberitahumu? Sedangkan orang Mataram tidak ada yang tahu keberadaanmu, juga tak mungkin sampai ke sini.”

Nyai Kidul berkata dengan meneteskan air mata, “Duh tuanku, kelak kalau hendak memanggil saya cukup dengan bersedekap dengan satu kaki dan menghendingkan cipta sambil melihat langit. Saya pasti segera datang jika ada pekerjaan yang penting kelak. Pasti jin dan makluk halus semuanya akan datang membawa peralatan perang untuk melawan musuh tuan.”

Senapati berkata kepada Nyai Kidul, “Baiklah Dinda, tinggallah baik-baik. Aku kembali ke Mataram. Apa yang telah engkau pesankan pasti aku laksanakan.”

Senapati segera keluar dari keraton Kidul. Setelah kepergian Senapati Nyai Kidul sangat bersedih. Segera masuk ke peraduan dan menjatuhkan diri ke tempat tidur. Semakin dirasa semakin terasa sedihnya sehingga deras mengalir air mata sang ratu.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/07/01/babad-tanah-jawi-32-senapati-kejatuhan-bintang-dan-bertemu-dengan-nyai-rara-kidul/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...