Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (34): Utusan Sultan Pajang ke Mataram memastikan apakah Senapati hendak melawan Sultan

 Di Pajang, Kangjeng Sultan Pajang sedang bertahta di atas sitinggil, Sultan duduk di balai-balai yang berhias permata beralas permadani. Para punggawa lengkap hadir. Para punggawa banyak yang melaporkan berita dari Mataram, bahwa putra Sang Sultan, Senapati Ing Ngalaga hendak berbalik melawan Sultan. Tanda-tandanya, dia giat mencetak bata untuk benteng kota. Juga memperdalam parit di sekitar pagar.

Sultan Pajang berkata, “Anakku Adipati Banawa, engkau berangkatlah ke Mataram dengan membawa Tumenggung Mancanegara dan iparmu Adipati Tuban. Pastikan keadaan kakakmu Senapati, apakah benar seperti yang diberitakan.”

 Tiga utusan yang ditunjuk menyembah dan segera berangkat. Sebelum sampai mereka mengirim prajurit sandi yakni seorang mantri yang kebetulan satu guru dengan Senapati.

Si mantri kemudian menemui Senapati dan berkata, “Senapati, aku disuruh memberitahumu, besok akan datang utusan Sultan Pajang. Yang akan datang adalah Pangeran Banawa, Tumenggung Mancanagara dan Adipati Tuban.”

Senapati lalu menyambut kedatangan ketiga utusan di Randulawang. Seluruh kerabat dikerahkan ke Randulawang. Prajurit Mataram yang hanya delapan ratus pun dikerahkan semua untuk menyambut. Mereka membuat tenda sebagai tempat istrirahat. Gajah dan kuda-kuda juga dibawa. Berbagai jamuan telah disiapkan.

Tak lama Adipati Banawa dan rombongang sudah datang. Senapati menyambut mereka dengang mendahului turun. Setelah keduanya bertemu lalu berangkulan.

Berkata Pangeran Banawa, “Aduh saudaraku. Saya sudah sangat rindu kepadamu. Sudah lama kita tidak berjumpa.”

Senapati berkata, “Dinda Banawa, naiklah gajah itu. Anda selayaknya di tempat yang tinggi.”

Keduanya lalu naik ke atas gajah. Seorang mantri Pajang bernama Astranaya ikut naik.

Selama berada di atas gajah Astranaya berkata dalam hati, “Nah, kalau ada tipudaya di atas gajah, saya bisa menjaga tuan.”

 Seorang pawang gajah dari Mataram bernama Malik juga ikut naik. Si Malik pun punya pikiran berbeda.

“Karena aku naik gajah di depan, di bagian leher, kalau mengamuk pasti menang posisi saya.”

Si Malik menoleh ke belakang, tampak olehnya tuannya berbincang ramah dengan Adipati Banawa.

Adipati Banawa berkata, “Kanda Senapati, saya diutus oleh Sultan, Anda menurut berita yang tersebar hendak memusuhi ayahanda Sultan. Berita ini apakah benar atau tidak, saya ingin tahu.”

Senapati berkata, “Terserah Dinda akan melapor kepada Sultan. Raja pasti awas penglihatannya. Paduka Sang Raja pasti tahu apa yang terjadi denganku. Sungguh Mataram ini milik Sultan, bukan aku yang memiliki. Aku menghaturkan semua jamuan dari abdi di Mataram kepadamu sebagai tuan. Besuk kalau kita bersuka-suka, aku berikan sesuai kehendakmu Dinda, tanpa arak.”

Adipati Banawa berkata, “Hai Tumenggung Mancanagara, sungguh teledor berita itu. Bisa-bisanya melapor kepada ayahanda Sultan dahulu. Sungguh tidak benar. Aku percaya kepada kakanda. Kita mendapat jamuan yang baik, itu menjadi tanda.”

Adipati Banawa meneruskan perjalanan ke Mataram lalu masuk ke puri dan duduk nyaman di hadapan pasukan Mataram dan Pajang. Adipati Banawa dan rombongan lalu dijamu brem dan waragang. Kemudian mereka memegang tombak.

Adipati Tuban berkata, “Kanda Senapati, saya mendengar Anda suka tari tombak. Apa yang dipakai sebagai tombak kalau orang Mataram menari?”

Senapati berkata, “Abdi di Mataram kalau menari memakai tombak dari pelepah pisang. Kami semua orang desa, yang kami tahu hanya nasi dan ikan. Pelepah pisang ditebas dan dipakai sebagai tombak.”

Adipati Tuban tertawa, “Mengapa orang Mataram tidak meniru di Tuban. Orang Tuban kalau menari tombak memakai tombak beneran. Dan mereka menahan dengan dada dan saling menombak. Sudah watak orang Tuban kalau menari memakai tombak sungguhan. Mari sekarang mencoba menari dengan orang Tuban.”

Senapati ing Ngalaga berkata, “Orang Mataram celaka kalau seperti itu. Kan kami baru belajar, belum bagus tariannya. Namanya orang desa perilakunya pun ndeso. Hanya sanggup omong besar, kalau menari tak becus.”

Adipati Tuban berkata, “Saya punya prajurit dari Tuban yang pintar menari dengan perisai. Sudah terkenal sampai ke luar negeri. Tapi kalau tak ada lawan tidak seru. Sebaiknya Kanda mencari lawan yang tepat dari Mataram.”

Senapati Ing Ngalaga berkata, “Waduh, senang sekali orang Mataram melihat kepintaran menari dari orang yang sudah terkenal di tujuh negeri. Sebelum ini belum pernah melihat yang seperti itu.”

Adipati Tuban berkata, “Hai orang Tuban, engkau menarilah. Kau pakai perisai, mumpung sedang semangat.”

Beberapa orang lalu maju ke depan. Tombak dan perisai dipegang lalu dilempar ke atas. Sangat gayeng mereka menari. Suara gamelan terus mengiringi. Sorak-sorai para prajurit bergemuruh. Pada saat itu ada salah seorang anak Senapati Ing Ngalaga yang bernama Raden Rangga, baru berusia dua belas tahun. Beberapa kali Raden Rangga mencolek sang ayah, tetapi segera dihardik.

Adipati Tuban berkata, “Kanda Senapati, jangan dimarahi putra Anda. Mengapa Anda memarahinya?”

Senapati berkata, “Si bocah itu memaksa ikut menari melayani prajuritmu dari Tuban itu. Si Rangga itu masih muda dan bodoh tetapi memaksa ikut. Pasti menjadi tertawaan. Memalukan kalau dilihat. Tak tega aku melihatnya.”

Adipati Tuban berkata, “Anakku, menarilah aku ingin melihat. Orang Tuban itu sudah ahli, tak perlu engkau menirunya. Ayo anakku, ikutilah saja orang Tuban itu. Biar dia mengajarimu. Jangan coba-coba melawannya. Engkau masih bocah. Lihatlah saja dan engkau ikuti. Ayo anakku.”

Raden Rangga menunduk dan masih tetap terduduk. Adipati Tuban lalu memperhatikan Raden Rangga. Tampak perawakannya gagah dan bagus. Tinggi dan tampan.

Berkata Adipati Tuban kepada prajuritnya yang menari, “Hai, orang Tuban. Anakku ingin menari. Jangan engkau lawan beneran. Temanilah saja menari. Kalau sampai tombakmu mengenainya aku penggal lehermu. Jangan lupa itu anakku. Aku cabik-cabik kulitmu dan saya jadikan tontonan kalau kau sampai melukainya.”

Adipati Tuban lalu berkata kepada Senapati, “Kanda Senapati, putra Anda Raden Rangga itu aku suruh tak mau. Mungkin takut dengan Anda. Anda suruh biar maju. Biar dia bersuka-suka.”

Senapati berkata kepada Raden Rangga, “Anakku, segera laksanakan menari.”

Perisai dan tombak Raden Rangga dibawa maju. Empat orang maju membawa perisainya. Tampak berat dari baja. Terlihat sangat tebal. Dan tombaknya dibawa dua orang. Adipati Tuban yang melihat kaget. Belum pernah dia melihat perisai dan tombak seberat itu. Adipati Tuban melongo, juga para prajurit Tuban. Mereka berpikir, oh tidak lazim senjata orang ini. Tidak ada di seluruh tanah Jawa yang seperti ini.

Raden Rangga memegang tameng dan tombak, lalu dilempar ke atas. Tombaknya terbang seperti burung elang, lalu meluncur deras ke bawah. Raden menahannya dengan paha dan dilempar lagi lalu ditahan dengan punggung. Setelah itu dilempar ke atas dan ditahan dengan dada. Tombak itu hancur. Para mantri Pajang dan Adipati Tuban ciut hatinya melihat aksi Raden Rangga.

Adipati Tuban lalu berkata kepada prajuritnya, “Hai orang Tuban, ayo main sungguhan. Aku lihat kalian sama-sama kuat. Aku percaya kepada putraku. Kalian sama kuatnya.”

Adipati Tuban berkedip kepada prajuritnya. Si prajurit tanggap dan menyerang sungguhan. Raden Rangga ditikam tak bergeser sedikit pun. Ke kiri ke kanan, tombak orang Tuban tak mempan. Rasanya hanya seperti lalat hinggap. Sungguh-sungguh Raden Rangga tak mempan senjata. Raden Rangga tak membalas sedikitpun dan terus menari dengan nyaman memainkan perisainya.

Adipati Tuban berkata, “Raden Rangga, balaslah. Aku percaya engkau mampu. Jangan diam saja, walau kuat lama-lama tubuhmu remuk.”

Tiga kali sudah Adipati Tuban berteriak, Raden Rangga tetap tak membalas.

Adipati Tuban berkata kepada Senapati, “Kanda Senapati, Raden Rangga saya suruh membalas tidak mau. Segera Kanda suruh agar membalas.”

Senapati berkata, “Anakku Rangga, balaslah. Tuanmu sudah menyuruhmu.”

Raden Rangga menyembah lalu meletakkan senjatanya. Dengan tangan kosong menempuh serangan prajurit Tuban. Hanya sekali pukul wajahnya hancur, pecah dan kulitnya terkelupas menempel di tangan Raden Rangga. Para mantri Pajang kaget melihat kekuatan Raden Rangga. Seketika mereka bubar berlarian. Acara menari langsung berhenti dan utusan Pajang pun segera kembali ke Pajang. Sesampai di hadapan Sultan Adipati Banawa menyembah dan menyentuh kaki sang ayah.

Adipati Banawa berkata, “Saya sudah ke Mataram untuk memastikan keadaan Kanda Senapati. Tidak ada tanda-tanda Kanda Senapati hendak melawan paduka. Malah saya sudah disambut di Randulawang dengan berbagai jamuan oleh seluruh prajurit Mataram. Semua pasukan bersenjata Mataram, termasuk gajah dan kuda dan juga para istri Kanda Senapati ikut menyambut. Mereka menyerahkan semua kepada saya segala hewan hutan, banteng, kijang dan rusa sebagai jamuan. Kalau saya tidur para istri Kanda Senapati mengipasi saya.”

Tumenggung Mancanagara pun melapor, “Kalau menurut hamba, Senapati sungguh terlihat akan melawan paduka. Dia sungguh lihai berpura-pura.”

Adipati Tuban pun melapor, “Paduka, sungguh Kanda Senapati terbukti hendak melawan paduka. Perkiraan saya kalau Kanda Senapati dihadapi dengan seribu prajurit Pajang pasti kalah. Walau sakti Kanda Senapati hanya seorang, pasti kalah melawan prajurit senegara.”

Sultan Pajang sedikit bingung dengan laporan yang tidak senada antara anak dan menantunya.

Sultan berkata, “Tumenggung, engkau punggawaku lama, mustahil engkau berbohong. Adipati Banawa, itu anakku lelaki satu-satunya yang sangat aku kasihi, semua perkataannya aku percaya. Mustahil dia hendak menipuku juga. Aku menjadi sedikit kerepotan. Aku harus percaya yang mana.

Baiklah, aku beritahu kalian. Kakakmu si Senapati itu ketika bocah menjadi abdi setiaku. Pada suatu ketika aku tidur, Senapati menunggui di bawah kakiku. Ada seekor ular besar yang menyerangku. Senapati dengan cekatan menangkapnya. Ular diputuskan hingga mati. Pada kesempatan lain ketika sedang berburu, si Senapati mengawalku. Karena asyik berburu aku tak waspada, ada seekor banteng besar yang menerjangku. Oleh Si Senapati banteng itu ditahan. Kedua tangannya memegang tanduk banteng. Karena si banteng sangat kuat, sampai-sampai kedua tanduknya jebol dan tewas. Seperti iku kesaktian Senapati ketika masih bocah. Sekarang dia sudah dewasa, pasti semua sudah diperhitungkan. Aku biarkan dia dan segala berita buruknya tidak aku dengar. Senapati adalah putraku.”


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/07/03/babad-tanah-jawi-34-utusan-sultan-pajang-ke-mataram-memastikan-apakah-senapati-hendak-melawan-sultan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...