Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (35): Peristiwa Raden Pabelan, Tumenggung Mayang dibuang ke Semarang, lalu direbut oleh Senapati

 Alkisah, di negeri Pajang, Tumenggung Mayang mempunyai seorang anak yang tampan bernama Raden Pabelan. Sudah menginjak dewasa tetapi belum mau menikah. Sang ayah sudah berkali-kali menasihati agar sang putra menghentikan kebiasaan buruknya, tetapi Pabelan sungguh sesat tak tahu diri. Kegemarannya menggoda para wanita, semua yang disukai pun diganggunya. Karena punya wajah sangat tampan, mudah baginya melakukan kegemarannya itu.

Ki Tumenggung Mayang sudah jengkel hatinya setiap memikirkan tingkah anaknya itu. Tak tahan lagi sang tumenggung sampai ingin rasanya membunuh anaknya sendiri. Timbul rencana untuk sekalian mengorbankan anaknya. Dia akan membuat rekayasa agar si anak melakukan kesalahan kepada Sultan sehingga dihukum. Jika demikian dia tak harus membunuh dengan tangannya sendiri.

Tumenggung Mayang lalu menyuruh abdinya untuk memanggil Raden Pabelan.

Berkata Tumenggung Mayang, “Hai bocah, panggillah si Pabelan ke sini.”

Si utusan segera berangkat mencari Raden Pabelan.

Setelah bertemu si utusan berkata, “Saya diutus memanggil Raden oleh ayah tuan. Raden diperintahkan segera menghadap.”

Raden Pabelan memakai baju lalu berkata, “Ada rahasia apa Paman, sampai ayah memanggilku. Biasanya ayah selalu marah, mengapa kali ini berkenan memanggil. Apakah hati ayah sudah lega?”

Raden Pabelan segera menghadap bersama si utusan. Utusan melaporkan kedatangan sang putra Tumenggung Mayang.

Berkata Tumenggung Mayang, “Anakku Pabelan segera suruh menghadap.”

Raden Pabelan sudah sampai di hadapan sang ayah dan menyembah.

Sang ayah berkata, “Duduklah yang baik.”

Raden Pabelan duduk di bawah dengan sikap menunduk bersiap menerima perintah.

Tumenggung Mayang berkata, “Engkau kupanggil menghadap karena aku ingin engkau segera memilih wanita mana yang engkau sukai. Anak bupati atau saudagar mana yang kau pilih. Atau anak penghulu, ketib atau ulama di Pajang. Mana yang engkau sukai segera pilihlah, nanti aku yang melamar.”

Sang putra menyembah, “Sekarang saya masih ingin sendiri ayahanda.”

Tumenggung berkata, “Aku duga alasanmu itu karena kegemaranmu yang suka mengganggu wanita. Engkau ini ini seorang darah perwira, kalau hendak bersuka-suka dengan wanita pilihlah yang sepadan. Jangan kepada sembarang gadis dan sembarang wanita.”

Raden Pabelan berkata, “Siapa yang ayah maksud.”

Tumenggung Mayang berkata, “Anakku, kalau memang mau nakal jangan tanggung.”

Raden Pabelan berkata, “Maksud ayah?”

Tumenggung Mayang berkata, “Aku ingin engkau menggoda Sang Ratna Ayu Sekar Kedaton sekalian. Jangan tanggung. Engkau bisa mendekati dengan mengenali kegemarannya. Sekar kedaton sukanya berbagai bunga. Bunga kenanga, cepaka, melati dan gambir.  Dia sering mengirim pelayan untuk membeli ke pasar. Cegatlah pelayannya dan berikan rangkaian bunga. Pasti dia senang karena niatnya membeli malah dapat gratis. Selipkan surat dalam rangkaian bunga itu. Cepat carilah bunga di pasar mumpung masih ramai.”

Raden Pabelan setuju dengan usulan ayahnya. Pabelan segera membeli bunga lalu dirangkai dan diberi surat di dalamnya. Raden Pabelan lalu menuju puri dan menghadang pelayan Sekar Kedaton yang sedang keluar. Tak lama seorang pelayan bernama Emban Angsoka keluar dari puri. Raden Pabelan mencegat si emban Angsoka. Si emban kaget melihat seorang tampan mendekatinya.

Berkata Raden Pabelan, “Bibi, berhentilah sebentar. Aku mau bertanya, engkau ke pasar siapa yang menyuruh.”

Ni Emban berkata, “Saya diutus oleh Raden Ayu Sekar Kedaton untuk membeli bunga.”

Raden Pabelan berkata, “Bibi, tidak usah membeli. Ini aku beri bunga untuk Raden Ayu.”

Ni Emban Angsoka sangat gembira karena tak perlu jauh-jauh membeli.”

Ni Emban berkata, “Hai orang tampan, kalau saya ditanya siapa namamu?”

Raden Pabelan berkata, “Kalau Raden Ayu bertanya, katakan saya anak Tumenggung Mayang, nama saya Pabelan.”

Si Emban sudah sering mendengar berita ketampanan pemuda yang bernama Pabelan. Baru kali ini melihat sendiri. Sungguh memang tampan rupawan. Pabelan segera kembali pulang dan si Emban Angsoka kembali masuk ke puri.

Sesampai di rumah, Raden Pabelan dipanggil oleh Tumenggung Mayang.

Berkata Tumenggung Mayang, “Apa usahamu berhasil, anakku?”

Raden Pabelan berkata, “Benar, sudah diterima oleh utusan Raden Ayu Sekar Kedaton.”

Berkata Tumenggung Mayang, “Kalau surat itu berhasil diterima, pasti segera ada utusan datang. Tidak lain pengasuh yang kau beri bunga tadi. Kalau dia datang temuilah. Lalu berusahalah masuk ke puri dan rayulah dia. Kamu pasti sudah biasa melakukan. Mustahil gagal.”

Kita tinggalkan Pabelan yang sedang merencakan hal busuk. Di dalam puri tinggal Raden Ayu Sekar Kedaton, putri Sultan Pajang yang sangat dimanjakan. Sungguh seorang gadis rupawan yang sedang menginjak usia dewasa. Menjelang sore hari Raden Ayu memanggil pengasuhnya yang tadi diutus membeli bunga.

Berkata Sang Sekar Kedaton, “Bibi, apakah engkau tahu? Bunga yang engkau bawa tadi ada surat di dalamnya. Isi suratnya sungguh aku tahu maksudnya, hanya menyatakan kalau dia hendak mengabdi. Kalau diterima segeralah mengirim utusan.”

Sang Sekar Kedaton setelah memberi tahu si emban segera masuk ke peraduan. Hatinya sudah terpikat kepada yang menulis surat. Setelah bangun sang ayu segera memanggil kembali si emban.

Berkata Sang Sekar Kedaton, “Bibi, besok keluarlah dan temuilah pengirim surat itu. Tanyalah kemantapan hatinya. Kalau memang bersungguh-sungguh bawa masuk ke puri.”

Pagi harinya si Emban kembali bertemu dengna Raden Pabelan yang telah menunggu di jalan.

Ni Emban berkata, “Suratmu sudah dihaturkan kepada Raden Ayu. Kalau engkau tulus seperti yang tertulis di surat itu, segera masuklah ke puri.”

Raden Pabelan berkata, “Sungguh saya menunggu perintah Sang Ayu. Jangan khawatir, nanti malam saya datang.”

Raden Pabelan kemudian melapor kepada sang ayah, bagaimana langkah selanjutnya karena sudah mendapat lampu hijau dari dalam puri.

Tumenggung Mayang berkata, “Jangan engkau masuk lewat pintu. Kalau kepergok penjaga hancur tubuhmu. Aku ingin engkau melewati pagar bata. Lebih mudah engkau lewati. Jangan sampai engkau dilihat orang.”

Raden Pabelan berkata, “Bagaimana cara masuknya, ayah?”

Sang ayah berkata, “Bodoh sekali kau, seperti bukan keturunan Sela saja. Ayo aku antar. Mustahil aku tega kepadamu. Ayo mumpung saatnya tepat. Sudah waktunya orang tidur sekarang. Segera bersiaplah.”

Setelah Raden Pabelan berganti baju, Tumenggung Mayang mengantar putranya mendekati pagar bata.

Tumenggung Mayang berkata, “Nah, mantra ini hapalkan. Kalau engkau hendak keluar dari pagar. Engkau usap pagar sambil membacanya.”

Ki Tumenggung Mayang sengaja mengajarkan mantra yang salah agar tidak bisa keluar. Ki Tumenggung segera mengusap pagar. Seketika pagar bata menjadi rendah, rata dengan tanah. Semua berkat kesaktian Tumenggung Mayang.

Berkata Tumenggung Mayang, “Nah, segeralah masuk. Besok kalau mau keluar, baca mantra tadi dan usap bata seperti yang kulakukan tadi.”

Raden Pabelan segera melangkah masuk. Pagar bata kemudian diusap lagi oleh Ki Tumenggung dan kembali seperti semula. Tumenggung Mayang kembali ke rumahnya dengan perasaan lega.

Sementara itu Raden Pabelan sudah masuk Kaputren dan mencari puri tempat Raden Ayu Sekar Kedaton. Yang dicari sudah gelisah menunggu. Seharian hatinya berbunga-bunga dan selalu berdendang lagu asmara. Sang ayu tak tahu yang dirindukan sudah berada di dalam puri.

Di luar kediaman sang ayu, Raden Pabelan celingak-celinguk kebingungan. Tak kurang akal Raden Pabelan mengambik kerikil dan melempar ke atap puri. Berkeletak suara kerikil di atas genteng, membuat sang putri kaget. Diakah? Pikir sang putri. Terbawa derita asmara, sang putri melangkah keluar dengan berharap kekasihnya telah datang.

Raden Pabelan melihat sang putri keluar. Raden bingung harus bagaimana. Kalau hendak menyapa nanti terdengar orang. Kalau hendak memegang bisa-bisa sang putri menjerit dan penjaga bisa datang. Raden Pabelan bergerak dan tampak oleh sang ayu Sekar Kedaton.

Sekar Kedaton menyapa pelan, “Siapa itu?”

Raden Pabelan menjawab lirih, “Saya anak dari Tumenggung Mayang. Masuk ke puri hendak mengabdi kepada sang putri.”

Sekar Kedaton menyuruh Raden Pabelan mendekat.

Raden Pabelan berkata, “Hamba tidak mau mendekat, takut karena hamba tidak sederajat. Kalau paduka sudah berkenan mengajak, hamba baru mau.”

Sekar Kedaton menggandeng Pabelan dan mengajaknya duduk di peraduan. Tirai sudah ditutup. Tak satupun orang melihat karena hari sudah larut malam. Keduanya lalu memadu kasih. Ketika siang mereka tidur dan malamnya mereka meneruskan keinginannya. Tiga hari sudah Raden Pabelan berada di kamar Sekar Kedaton.

Sang ayu Sekar Kedaton berbaring di pangkuan Raden Pabelan setelah keduanya selesai memadu kasih.

Sang putri bertanya sambil bercanda, “Kanda, aku hendak bertanya. Lewat mana Kanda masuk ke puri?”

Raden Pabelan berkata, “Mengapa Anda bertanya lewat mana hamba masuk. Hamba masuk karena besarnya keinginan hamba melayani paduka.”

Sang putri berkata, “Semoga kita bisa lestari seperti ini. Kanda tidak kecewa dengan pengabdianku kepadamu.”

Sang putri diangkat dan dikecup bibirnya, “Siapakah ini yang punya, permata di Pajang ini wahai tuan?”

Berkali-kali Pabelan mencium sang putri. Watak seorang gadis yang baru saja akil baligh, gairahnya segera bangkit.

Raden Pabelan berkata kepada sang permata puri, “Seumpama orang berdagang, kelak untungnya seorang putra yang tampan seperti bapaknya. Kalau dihaturkan kepada Kangjeng Sultan pasti suka.”

Sang putri berkata, “Bagaimana Kanda bisa lama di puri, pasti segera ketahuan. Aku sangat khawatir Kanda.”

Raden Pabelan berkata, “Kalau sampai ketahuan dan mendapat marah Sultan, hamba tidak takut. Walau sampai mati karena amarah ayahanda Sultan.”

Sang putri berkata, “Kanda sudah lama berada di sini. Alangkah indahnya kalau kelak kita bersama dengan seizin Sultan. Tidak khawatir hati ini jika itu sudah terjadi. Sekarang Kanda keluar dulu dari puri, tapi jangan lama-lama. Aku beri waktu satu pekan saja. Aku tak bisa lama-lama berpisah denganmu Kanda.”

Raden Pabelan merangkul sang putri dan menciumnya.

“Baiklah saya keluar dulu tuanku. Kapan saya harus keluar?” tanya Raden Pabelan.

Sang putri menjawab sambil mencium, “Sekarang saatnya Kanda. Setelah waktu Isya’.”

Raden Pabelan keluar dari peraduan dengan mengendap-endap. Sesampai di pagar bata segera membaca mantra pemberian sang ayah. Pagar diusap, tetapi tak terjadi apapun. Diulang lagi, tapi pagar bata bergeming. Tiga kali sudah dicoba, pagar tak juga bergerak. Raden Pabelan merasa telah masuk perangkap.

Raden Pabelan berkata, “Baiklah, walau mati pun, aku tak mau mati sendirian. Aku ingin mati bersama sang putri.”

Raden Pabelan kembali ke kamar sang putri. Dia mendapati sang putri belum tidur, masih duduk di tempat semula.

Sang putri kaget dan bertanya, “Kanda mengapa kembali? Apakah ada halangan?”

Raden Pabelan berkata, “Tak betah hamba berpisah dengan tuan. Maka hamba kembali.”

Di luar ada sekelompok orang sedang berkeliling. Salah satu dari mereka berkata kepada temannya.

“Saya seperti mendengar suara laki-laki di sini. Seperti sedang berbincang dengan sang putri.”

“Saya dengar sang putri sudah empat hari tidak keluar kamar. Apakah di dalam sedang terjadi sesuatu. Mungkinkah ada lelaki masuk ke puri?”

“Aduh, kalau sampai benar terjadi perselingkuhan di dalam, pasti kita akan dihukum mati oleh Sultan. Penjagaan kita terkena upaya sandi.”

“Ayo kita segera lapor kepada Sultan, supaya kita tidak kedahuluan. Kalau sampai para prajurit tamtama mengetahui lebih dulu pasti kita dihabisi.”

Para penjaga segera berlari menghadap Sultan dengan muka menunduk. Mereka menghaturkan hidup mati karena sudah lalai.

“Paduka, kami haturkan hidup mati karena sudah gagal menjaga putri paduka,” kata salah satu penjaga.

Sultan berkata, “Ada apa dengan penjagaanmu terhadap tuanmu?”

Penjaga berkata, “Kami terkena upaya sandi paduka. Pabelan berhasil masuk ke kamar tuan putri.”

Sultan seketika kaget. Bibir bergetar, mata melotot dan wajahnya memerah. Tanda kemarahan yang memuncak.

“Hai penjaga, segera panggil para tamtama di kiri-kanan. Suruh bawa pasukannya,” perintah Sultan.

Penjaga segera mendatangi pelataran dan memanggil tamtama yang berjaga.

“Wahai saudara tamtama, kalian dipanggil Sultan agar masuk ke puri membawa pasukan. Cepatlah.”

Para tamtama segera berkumpul dan bersiap menerima perintah. Lurah tamtama Ki Ngabei Wiratanu dan Ki Ngabei Surakarti segera menghadap Sultan.

Sultan berkata, “Surakarti dan Wiratanu, bunuhlah lelaki di dalam putri yang sudah mencuri putriku.”

Kedua punggawa segera melaksanakan perintah. Dengan membawa masing-masing sepuluh prajurit keduanya mengepung Kaputren dari dua sisi. Seorang ngabei kemudian masuk ke dalam. Para pelayan sudah disuruh pergi. Di pojok ruangan Raden Ayu Sekar Kedaton memeluk erat Raden Pabelan hendak berbela mati. Ki Ngabei yang masuk begitu melihat sang putri segera mundur dan berunding dengan temannya.

“Hai kawan, bagaimana ini Mas Ratu memeluk erat Pabelan. Bagaimana kita akan menyerangnya?”

Ki Ngabei Surakerti berkata, “Sabar dulu, pelan-pelan. Pesanku, nanti kalau aku memberi isyarat dengan batuk-batuk, kalian segera masuk. Jangan lengah!”

Ki Ngabei Surakarti masuk dan dengan lembut berkata, “Anakku Pabelan, lihatlah aku ini.”

Raden Pabelan menyibak tirai.

Surakerti kembali bicara, “Anakku, kalau sampai engkau mati, aku yang akan membela. Aku yang berwenang terhadap keamanan di dalam puri. Sultan sudah mempercayakan kepadaku. Orang berdosa yang harus dihukum mati pun bisa aku cegah karena Sultan sudah mempercayaiku sepenuhnya. Ayo sekarang mintalah pengampunan kepada Kangjeng Sultan. Aku pun sudah mendapat pesan titipan dari ayahmu agar mengurusmu.”

Sudah kehendak Tuhan, Pabelan pun percaya dengan ucapan Ngabei Surakarti. Pabelan meminta izin keluar kepada sang putri.

“Raden ayu, saya keluar dulu. Lepaskan saya. Mas Ngabei Surakarti sudah menjamin. Mas Ngabei sudah mendapat pesan dari ayah saya,” bujuk Pabelan.

Raden Pabelan segera keluar ke pelataran dan hendak menyembah Ki Ngabei. Ketika Pabelan terduduk, Surakarti batuk-batuk. Para prajurit yang sudah dipesan segera menerjang. Beramai-ramai mereka menikam Raden Pabelan sampai tak sempat mengaduh. Seketika tewas di tempat dengan seribu luka tikaman. Mayat Pabelan lalu dibuang ke sungai Lawiyan. Setelah Pabelan tewas baru dua hari kemudian Ki Tumenggung Mayang mengetahui. Dia tahu setelah dipanggil dan dimarahi habis-habisan oleh Sultan. Sangat marah Sang Raja sehingga menghukum Tumenggung Mayang dengan hukuman buang ke negeri Semarang.

Sementara di kediaman Tumenggung Mayang, istri sang tumenggung yang tak lain adalah adik Senapati Ngalaga Mataram sudah mendengar kemarahan Sultan. Nyai Tumenggung juga sudah tahu kalau sang suami akan dihukum buang ke Semarang dengan pengawalan seribu mantri. Nyai Tumenggung segera mengirim utusan untuk mengadu ke Mataram. Utusan pun segera berangkat ke Mataram dan berhasil menemui Senapati Ngalaga. Utusan lalu menyerahkan surat kepada Senapati.

Isi suratnya: “Surat untuk Kanda Senapati. Adikmu Tumenggung Mayang mendapat amarah Sultan dan hendak dibuang ke Semarang. Bila Kanda berkenan, kami hendak mengabdi ke Mataram. Jangan sampai kami berada di tempat lain.”

Senapati bangkit amarahnya. Wajahnya memerah dan bibirnya bergetar. Setelah terdiam sesaat menahan gejolak hati Senapati berkata kepada para punggawanya.

“Hai para mantri Pamajekan. Aku minta karyamu. Empat puluh mantri, rebutlah Dinda Tumenggung Mayang yang sedang dalam perjalanan ke Semarang. Lewatlah Kedu agar bisa segera menyusul.”

Para mantri segera diberi bekal yang cukup. Seluruh jari-jari mereka disematkan cincin dengan permata mulia. Terlihat bersinar gemerlap. Empat puluh mantri menyembah dan segera berangkat. Mereka memacu kudanya agar segera dapat menyusul rombongan Tumenggung Mayang. Desa Kedu sudah dilewati dan berhasil menyusul pasukan Pajang yang membawa Tumenggung Mayang di desa Jatijajar. Mantri Pamajekan sejumlah empat puluh segera menerjang dan terlibat pertempuran dengan pasukan Pajang. Pasukan Pajang berhasil ditaklukkan dan Tumenggung Mayang berhasil direbut. Para mantri Pamajekan bertindak dengan menakjubkan. Terlihat berlumuran darah oleh musuh-musuh yang mereka bunuh. Para mantri Pajang yang berjumlah seribu tak mampu menghadapi. Banyak dari mereka tewas dan sisanya yang hidup lari pulang ke Pajang. Sesampai di Pajang mereka segera menghadap Sultan dan menghaturkan kegagalan mereka membawa Tumenggung Mayang ke Semarang.

Mantri bersimpuh sambil menangis, “Paduka, Tumenggung Mayang direbut oleh utusan Mataram yang berjumlah empat puluh orang. Pasukan Pajang yang terdiri dari seribu mantri tak kuasa menahan amukan mereka.”

Sultan berkata, “Sudah nyata sekarang Senapati hendak melawan. Dia sudah berani memulai perang. Ayo sekarang kita serang balik ke Mataram.”

Sultan segera berganti busana keprajuritan dengan menyandang tiga bilah keris. Pasukan Pajang segera disiapkan di alun-alun.

Sultan berkata, “Ayo sekarang kita berangkat perang.”

Sultan naik gajah dengan diiringi pasukan Pajang dan para kerabat.  Semua persenjataan Pajang dikerahkan, tombak, perisai, pedang, senapan, trisula dan tombak panjang. Juga lembing dan panah. Pakaian prajurit Pajang mencolok dan penuh dengan perhiasan. Terlihat gagah menggentarkan. Setelah seperjalanan pasukan Pajang sampai di Prambanan. Mereka berhenti untuk membuat markas. Baru esok harinya akan menyerang.

Sementara itu Senapati sudah mendengar kalau pasukan Pajang hendak menyerang Mataram. Senapati segera mengumpulkan pasukan yang ada. Pasukan Mataram kemudian menghadang di Randulawang. Menjelang sore mereka sampai dan segera menggelar pasukan. Tujuh mantri Mataram dipimpin Arya Jomba menabuh bende Kyai Bicak. Dari Gunung Kidul mereka hendak menghadang pasukan Pajang. Malam itu mereka membakar tumpukan kayu dan terus menabuh Kyai Bicak. Suara Kyai Bicak terdengar nyaring memenuhi angkasa.

Sultan Pajang yang mendengar Kyai Bicak berbunyi nyaring sangat kaget. Hatinya sedikit khawatir karena dia pun sudah tahu riwayat bende Kyai Bicak.

Sultan berkata, “Aku lihat di arah selatan terlihat menyala dan suara Kyai Bicak terdengar nyaring. Tampaknya mereka akan menghadang kita dari arah selatan.”

Adipati Tuban berkata, “Tuan jangan menakuti para prajurit dengan perkataan tuan. Saya masih sanggup berperang dengan Kanda Senapati. Saya punya prajurit yang gagah-gagah dan sanggup melawan para mantri Pamajekan yang empat puluh itu.”

Sultan Pajang berkata, “Anakku Adipati Tuban, jangan berani-berani engkau melawan Senapati. Sudah sampai janjiku, cahaya keraton sudah berpindah ke Mataram. Kelak Senapati yang akan menguasai tanah Jawa.”


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/07/04/35-peristiwa-raden-pabelan-tumenggung-mayang-dibuang-ke-saemarang-lalu-direbut-oleh-senapati/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...