Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (36): Sultan Pajang wafat, digantikan putra menantu sang Adipati Dêmak

 Alkisah di kubu Mataram, Ki Juru Martani sedang berbincang dengan Senapati.

Ki Juru berkata, “Hai Senapati, bagaimana ini. Tak urung kita berperang melawan Sultan Pajang. Seberapa jauh lagi kita dari perang, ibarat hanya tinggal semalam. Besok kalau kita harus berhadapan dengan para mantri Pajang, aku sunGguh merasa sangat malu. Kita akan bertarung dengan mereka, antara bapak dan anak.”

Senapati berkata, “Baiknya bagaimana Paman? Apa yang harus aku lakukan?”

Ki Juru Martani berkata, “Kalau memang engkau sanggup, tagihlah janji Nyai Kidul. Dan juga penghuni Merapi dahulu sudah punya janji denganku. Nanti pun dia akan kutagih.”

Senapati berkata, “Baiklah, aku laksanakan.”

Senapati lalu berdiri dan menatap langit dengan bersedekap. Nyai Kidul sudah tahu bahwa Senapati butuh pertolongan. Tak lama kemudian langit bergetar seolah runtuh. Gunung Merapi pun menyambut dengan suara menggelegak. Kawah Merapai berdentum dan mengeluarkan hujan abu, batu dan kerikil. Lahar dingin turun deras mengalir. Batu-batu bergulingan ke sungai Umpak.

Para Jin besar dan kecil berteriak, “Hai, teman-teman. Kita hadang musuh di Prambanan. Sultan Pajang itu musuhmu. Kalahkan Sultan Pajang dan para mantrinya.”

Sementara itu di markas pasukan Pajang, para mantri geger oleh datangnya hujan abu dan banjir lahar yang menerjang markas mereka. Pasukan Pajang mengira kiamat telah datang. Dengan segera mereka mengikat senjata dan mundur ke Gilingan lalu terus ke Tembayat. Di Tembayat Sultan Pajang bermaksud sekalian ziarah ke makam Sunan Pandanarang. Namun pintu makam tidak bisa dibuka. Sultan lalu berziarah sampai di luar saja.

Setelah selesai Sultan berakata kepada juru kunci, “Hai, juru kunci. Mengapa pintu tidak bisa dibuka?”

Juru kunci menjawab, “Itu tanda paduka tidak diterima di sini. Orang yang sudah meninggal dekat kedudukannya dengan Tuhan. Dia tahu kalau cahaya keraton telah beralih ke Mataram.”

Sultan Pajang merasa khawatir hatinya, lalu tidur di balai Kencur. Selama hidupnya belum pernah tidur senyaman ini. Setelah bangun Sultan segera kembali ke Pajang dengan naik gajah. Namun naas, di jalan Sultan jatuh dari gajah sehingga menderita sakit. Sultan kemudian meneruskan perjalanan dengan tandu.

Di Mataram, Senapati mendengar kalau Sultan menderita sakit. Dengan membawa empat puluh prajurit Senapati menyeberang sungai Umpak dan menyusul perjalanan Sultan. Maksud hati hendak ikut mengawal perjalanan pulang Sultan ke Pajang. Para mantri Pajang yang mengetahui kalau Senapati menyusul segera melapor kepada Sultan.

Mereka berkata, “Paduka, Senapati menyusul dengan empat puluh prajurit saja. Apakah sekarang boleh kami perangi. Prajurit kita banyak, pasti bisa menang.”

Sultan berkata, “Anakku semua, jangan menganggap kakakmu sebagai musuh. Kakakmu itu menjadi penggantiku kalau aku mati nanti. Saudara tua layak dihormati. Senapati bermaksud mengantarku ke Pajang karena mengetahui aku sedang menderita sakit. Itu tanda dia punya perhatian dan berbakti kepada orang tua. Kelak kalau aku mati, kalian yang akur dengan kakakmu Senapati.”

Adipati Banawa tak berkata sepatah pun mendegar titah sang ayah, juga para kerabat semua. Sesampai di Pajang Sultan segera masuk ke keraton. Sementara Senapati Ing Ngalaga berhenti dan membuat pondokan di desa Mayang. Sultan Pajang mendengar kalau sang putra bermalam di desa Mayang. Segera Sultan mengirim utusan untuk mengundang Senapati ke keraton.

Kepada si utusan Senapati berkata, “Hai utusan, katakan kepada Sultan aku minta pamit. Namun aku tidak pulang ke Pajang karena sedang berdoa memohon petunjuk Tuhan.”

Utusan segera melapor bahwa Senapati sedang bersemedi. Di desa Mayang malam harinya Senapati kedatangan si Juru Taman, seorang pembantu Senapati dari kalangan makhluk halus. Besarnya hampir segunung anakan. Juru Taman berhenti dan bersimpuh di hadapan Senapati.

Berkata si Juru Taman, “Tuan, kalau hendak menyerang Raja di Pajang, saya yang melaksanakan. Saya akan masuk ke keraton, tuan tinggallah di sini saja.”

Senapati berkata, “Aku tak punya keinginan. Kalau kamu terserah saja.”

Juru Taman menyembah dan segera keluar. Sesampai di dalam keraton Juru Taman mendapati Sultan sedang duduk dalam keadaan sakit. Juru Taman memukul dada Sultan sampai pingsan. Sultan jatuh terkapar. Para istri dan anak menangis semua. Paginya Sultan siuman dan merasa sakitnya semakin parah.

Senapati memerintahkan orang Mataram untuk membeli bunga selasih, lalu menumpuknya di pintu gerbang sebelah barat. Senapati berada di desa Mayang selama tiga hari, lalu pulang ke Mataram.

Sementara itu di keraton Pajang, Pangeran Banawa melapor kepada sang ayah, “Ayah, putra paduka Senapati membeli bunga selasih dalam jumlah banyak dan menumpuknya di gerbang barat.”

Sultan berkata, “Kakakmu si Senapati sangat perhatian kepada diriku. Dia mengetahui kalau aku hampir mati.”

Tak lama kemudian Sultan Pajang wafat. Para putra semuanya menunggui dan juga para istri, para mantri dan para tumenggung serta para pejabat lainnya. Semua yang berada di keraton menangis tersedu-sedu.

Adipati Banawa segera berkata, “Wahai para mantri Pajang, aku meminta pendapat kalian mengenai pesan Sultan, bahwa Senapati Ing Ngalaga adalah putra tertua. Sekarang ayahanda sudah wafat, sebaiknya Senapati aku minta datang dan menggantikan sebagai Sultan. Entah mau atau tidak, dia itu saudara tua dan pengganti ayahanda. Tempat kami semua berbakti.”

Para mantri Pajang semua setuju dengan rencana Pangeran Banawa. Utusan segera dikirim ke Mataram dan sudah bertemu dengan Senapati.

Berkata si utusan, “Ayah paduka Sultan Pajang sudah wafat. Saya diutus oleh adik paduka Adipati Banawa, paduka diminta ke Pajang untuk mengurus jenazah ayah paduka. Sekarang jenazah ayah paduka masih berada di keraton.”

Senapati segera mengambil kuda dan memacu kudanya ke Pajang. Sampai di Pajang segera masuk ke dalam keraton. Senapati segera sungkem kepada jenazah sang ayah, tampak baktinya tiada beda dengan ketika Sultan masih hidup. Jenazah Sultan lalu dimandikan dan dikafani. Setelah selesai segera dimakamkan di Butuh. Para pengantar membaca talqin sampai tamat. Setelah upacara pemakaman selesai mereka semua kembali ke Pajang. Para punggawa, para ulama dan para kerabat sudah hadir semua.

Sunan Kudus berkata, “Wahai semua mantri Pajang, siapa putra Sultan yang sebaiknya mengantikan sebagai Raja di negeri Pajang?”

Para mantri berkata, “Bila berkenan, sebaiknya paduka Adipati Banawa yang menggantikan. Beliau putra lelaki satu-satunya.”

Sunan Kudus berkata, “Tak cocok dengan kehendakku. Adipati Banawa itu kalah tua dengan Adipati Demak. Sebaiknya dia yang menggantikan. Istrinya adalah putra Sultan Pajang dan dia sendiri putra Adipati Demak. Walau hanya menantu dia pantas jadi raja, karena baik lelaki dan perempuan sama-sama keturunan bangsawan. Adipati Banawa sudah mendapat warisan negeri Jipang, sebaiknya segera menempati Jipang. Berdirilah sebagai penguasa Jipang yang wajib menghadap ke Demak.”

Senapati ketika mendengar perkataan Sunan Kudus hendak ikut bicara, tetapi segera dicegah oleh Ki Juru Martani.

“Jangan ikut campur engkau,” kata Ki Juru.

Senapati mundur. Ki Juru kembali memarahi Senapati.

“Jangan ikut berkata apapun. Biarkan mereka berebut negeri dan berperang. Lebih baik engkau memuliakan laku zikir dan sedekah dan mengharap berkah dari para leluhur. Negeri Mataram besar dan kaya hasil bumi serta hasil hutan. Lebih baik uruslah Mataram dan perbaiki perumahanmu. Jangan memikirkan Pajang lagi.”

Senapati pulang ke Mataram. Lama berselang Adipati Demak terlaksana menggantikan Sultan Pajang. Adipati Banawa kemudian tinggal di Jipang. Para mantri di Pajang dibagi tiga. Dua pertiga diminta ikut ke Demak dan sepertiganya tetap tinggal di Pajang. Para pembantu Sultan Demak kemudian diangkat menjadi punggawa negeri. Sementara itu pejabat Pajang banyak yang kehilangan kedudukan dan tanah garapan. Para mantri Pajang yang lama merasa sakit hati dan disia-siakan. Mereka lalu mengirim mantri Pangalasan untuk mengadu ke Mataram. Pangalasan sudah masuk ke dalam puri dan bertemu Senapati.

Berkata Pangalasan, “Para mantri di Pajang merasa tidak nyaman dengan sultan yang baru, adik paduka Adipati Demak. Mereka semua ingin menyeberang ke Mataram. Mereka merasa tersisih karena tanah garapannya banyak diambil oleh Adipati Demak. Kini di Pajang keadaan sangat kacau. Kalau malam banyak pencuri, kalau siang banyak orang berebut sawah. Kalau paduka punya kehendak menyerang Pajang, saat inilah waktu yang tepat. Di Pajang keadaan sedang kacau. Kawula Pajang tidak bisa berharap selain kepada paduka. Kalau tuan mau menyerang Pajang, sungguh semua kawula akan mendukung tuan.”

Senapati berkata, “Hai utusan, saudaraku Pangalasan. Aku terima kepercayaan ini. Tetapi aku merasa belum saatnya menyerang Pajang. Kalau doa semua kawula Pajang dikabulkan Tuhan, itu gampang saja kalau hendak melengserkan Adipati Demak. Dinda Adipati Demak bukan rintangan bila Tuhan sudah menghendaki.”


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/07/05/babad-tanah-jawi-36-sultan-pajang-wafat-digantikan-putra-menantu-sang-adipati-demak/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...