Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (37): Negari Pajang ditaklukkan Panembahan Senapati, Pangeran Banawa menjadi Sultan di Pajang

 Pangeran Banawa yang kini memimpin kadipaten Jipang merasa gundah gulana hatinya karena tersingkir dari Kesultanan Pajang. Sang Pangeran giat melakukan amalan prihatin dengan mengurangi makan dan tidur. Sangking prihatin sampai-sampai baru berkenan makan setelah ada makanan kawula Jipang yang jatuh ke tanah. Tidur pun di teritisan rumah, tidak beratap di atasnya.

Pada suatu malam ada suara terdengar, “Kakakmu di Mataram yang akan menjadi sarana kemuliaanmu. Tidak ada jalan yang lain.”

Suara lalu menghilang. Pangeran Banawa segera mengirim utusan ke Mataram. Yang diutus segera berangkat untuk menemui Senapati Ngalaga.

Utusan berkata, “Tuan, saya diutus adik paduka Adipati Banawa di Jipang. Paduka diminta segera masuk ke Pajang untuk menjadi raja di Pajang. Itulah kehendak adik paduka.”

Ki Ageng Senapati berkata, “Hai utusan, engkau katakan kepada adikku segera. Aku tidak tahu menahu persoalan berebut negeri. Karena aku sudah mendapat tanah pemberian di Mataram.”

Utusan segera kembali ke Jipang dan melapor kepada tuannya. Semua perkataan Senapati sudah dihaturkan kepada Pangeran Adipati Banawa.

Pangeran Banawa berkata, “Engkau kembalilah ke Mataram dan mintalah Kanda Senapati menyerang Pajang.”

Utusan segera kembali ke Mataram. Sesampai di Mataram utusan segera menemui Senapati.

Berkata si utusan, “Tuan, adik paduka memaksa. Paduka tetap diminta menyerang Pajang. Adik paduka tidak suka kalau sang kakak Adipati Demak yang yang menjadi raja. Adik paduka juga berpesan jika paduka tak mau membantu, beliau memilih mati saja. Lebih baik jika paduka yang menggantikan sebagai raja di Pajang. Kalau paduka berkenan adik paduka rela. Namun kalau saudara ipar Adipati Demak yang menjadi raja, adik paduka Pangeran Banawa merasa lebih baik mati saja.”

Ki Senapati berkata, “Hai utusan, kalau seperti itu keinginan Dinda Banawa, aku ambil negeri Pajang itu. Hai utusan, katakan kepada Dinda Banawa, aku minta dia datang ke Mataram. Lewatlah Gunung Kidul.”

Utusan menyembah dan bergegas kembali ke Jipang. Sesampai di Jipang segera masuk ke puri dan menemui Adipati Jipang Pangeran Banawa.

Utusan berkata, “Pangeran, kakak paduka mengundang paduka untuk datang ke Mataram.”

Pangeran Banawa pagi harinya segera berangkat beserta pasukannya menuju Mataram melalui Gunung Kidul. Singkat cerita perjalanan Pangeran Banawa sudah sampai di desa Weru. Sementara itu, Senapati sudah menyiapkan pasukannya dan berangkat menyambut kedatangan sang adik Pangeran Banawa. Keduanya kemudian bertemu di desa Weru dan karena hari sudah menjelang malam keduanya memutuskan bermalam di Weru.

Di Pajang sudah tersiar kabar pergerakan pasukan kedua wilayah tersebut. Pasukan Jipang dan  Mataram bersatu hendak menyerang Pajang. Para mantri di Pajang sebagian besar merasa gembira. Mereka yang selama ini terpinggirkan bermaksud membalas dendam kepada orang-orang Demak. Mereka mengatakan bahwa langkah Pangeran Banawa sudah benar karena dialah yang mewarisi negeri Pajang dari mendiang Sultan Pajang. Mereka semua bersepakat hendak menyeberang ke pihak musuh. Para mantri Pajang yang lama kemudian berangkat ke desa Weru menemui Pangeran Banawa dan Senapati.

Berkata para mantri Pajang, “Duhai tuan kami, kalau tuan kehendaki kami berani menyerang Pajang. Kami tidak sungkan lagi karena tidak ada lagi teman kami yang tinggal di Pajang. Di Pajang hanya tersisa orang-orang dari Demak dan orang dari Kudus. Kami sanggup kalau diperintah menangkap Adipati Demak. Hati kami sakit karena selama ini dipinggirkan.”

Senapati merasa gembira mendengar kesanggupan para mantri Pajang. Setelah yakin bahwa mereka bersungguh-sungguh, Senapati segera memberangkatkan pasukan gabungan Jipang, Pajang dan Mataram untuk menyerang Pajang.

Senapati berkaa, “Dinda, engkau bawalah pasukanmu dan para mantri Pajang untuk menyerang gerbang timur. Cegatlah jika ada yang keluar dari sana. Adapun pasukanku dari Mataram akan menyerang gerbang barat.”

Kedua pasukan segera berangkat ke tempat masing-masing. Pajang sudah dikepung rapat. Dalam kota terasa sepi. Para mantri Pajang dan pasukannya sudah menyeberang ke pihak musuh. Hanya tinggal pasukan dari Demak dan Kudus yang masih tersisa. Pasukan Senapati sudah bersiap masuk ke kota melalui gerbang barat.

Adipati Demak berakata, “Semua pasukan bayaranku dari Bugis, Makasar dan Bali, kerahkan untuk menghadapi Kanda Senapati. Ingatlah untuk membawa peluru emas dan perak. Ketahuilah Senapati sangat kuat dan pemberani. Kalau kalian sampai mundur, kalian akan aku bunuh. Karena kalian pasukan bayaran yang sudah aku beli.”

Prajurit Bugis, Makasar dan Bali bersiap di pelataran kota. Ketika pasukan Mataram datang mereka segera memberondongkan senjata dari atas pelataran. Peluru berjatuhan seperti hujan. Sorak-sorai pasukan bergemuruh memenuhi angkasa. Seketika langit gelap oleh asap mesiu.

Senapati naik kudanya yang bernama Bratayuda, kuda yang berwarna purnamasidi. Di atas pasukan Senapati muncul kilat, tanda datang pasukan jin. Hujan turun rintik-rintik. Terdengat suara gemuruh sorak di angkasa dari pasukan jin dan makhluk halus yang ikut menyerang Pajang.

Senapati segera menerjang. Pasukan Pajang terus memberondong dengan peluru emas dan perak. Semua peluru yang mengenai tubuh Senapati gepeng dan menempel di baju, laksana manik-manik hiasan. Senapati terus mengamuk. Kuda Senapati yang berwarna purnamasidi karena diberondong peluru menjadi seperti berwarna dhawuk.

Senapati berteriak kepada pasukan bayaran, “Hai engkau pasukan bayaran. Jangan terlalu semangat kalian ini. Kalian ini kan hanya ikut-ikutan. Kalian larilah saja, besok kalian merdeka. Untuk apa bertaruh nyawa.”

Para prajurit bayaran yang mendengar perkataan Senapati seketika bubar melarikan diri. Senapati semakin dekat ke pintu gerbang. Senapati minta agar pintu segera dibuka.

Berkata Senapati, “Hai penjaga pintu. Segera buka pintu untukku.”

Penjaga pintu tak mau membuka. Ada seorang teman seperguruan Senapati yang ikut menjaga pintu, namanya Ki Gedhong. Mendengar Senapati meminta pintu Ki Gedhong mengamuk. Teman-temannya penjaga pintu dibunuh. Banyak yang tewas oleh amukan Ki Gedhong, yang hidup melarikan diri. Kini tinggal Ki Gedhong sendiri yang menguasai pintu. Ki Gedhong segera membukanya. Senapati pun masuk. Sampai di dalam bertemu dengan Ki Gedhong.

Berkata Ki Gedhong, “Saya minta pamit mati. Saya hendak mengamuk ke pasukan orang Demak yang berbaris di alun-alun.”

Ki Gedhong berjalan di depan menerjang pasukan Demak. Banyak prajurit yang menahan amukan Ki Gedhong. Ki Gedhong pun tewas. Sudah takdir Tuhan Ki Gedhong harus mati. Selama ini Ki Gedhong tak mempan senjata. Kali ini Ki Gedhong sudah sampai pada janjinya.

Melihat Ki Gedhong tewas Senapati berkata, “Ki Gedhong temanku, belum pernah engkau merasakan hidup mulia bersamaku. Kini engkau sudah tewas. Semoga kelak anak cucunya dapat bersama-sama dengan anak-cucuku dapat bersama menikmati kemuliaan. Jangan ada perselisihan antara mereka. Para prajuritku, buatlah tandu untuk membawa jenazah Ki Gedhong sahabatku. Kita lanjutkan dulu perang ini. Nanti jenazahnya kita bawa pulang untuk kita kebumikan secara baik.”

Senapati terus maju sampai di tengah alun-alun Pajang. Di atas kuda Senapati bersemedi meminta petunjuk Tuhan. Senapati menunduk sampai lupa berada di medan perang. Para prajurit Demak yang berada di alun-alun ketakutan oleh datangnya Senapati. Mereka bubar berlarian berebut hidup. Banyak dari mereka tewas terkena senjata teman sendiri.

Sementara itu Ki Juru yang baru datang belakangan melihat aliran prajurit Demak berlari dari alun-alun.

Ki Juru bertanya, “Hai kalian, ada apa berlari kesetanan?”

Mereka menjawab, “Senapati mengamuk di alun-alun.”

Ki Juru berkata, “Orang Demak pasti berbohong.”

Ki Juru segera menyusul ke alun-alun. Terlihat Senapati masih terduduk di atas kuda sambil memeluk leher si kuda. Ki Juru membangunkan Senapati.

Berkata Ki Juru, “Senapati, bangunlah. Jangan ketiduran. Engkau lupa sedang berada di medan perang?”

Senapati kaget dan terbangun.

Senapati lalu bertanya, “Di mana para prajurit Demak yang berbaris di alun-alun?”

Ki Juru berkata, “Sudah berlari semua. Sekarang sudah masuk ke puri berlindung kepada tuannya. Tidak mungkin lagi mereka akan keluar berperang.”

Senapati turun dari kuda. Tangan kiri memegang kuda, tangan kanan memegang tombak. Langkah Senapati tertahan di Sitinggil keraton Pajang.

Ki Juru Martani berkata, “Teruslah masuk ke puri. Jangan ragu. Pajang sudah menjadi milikmu.”

Senapati berkata, “Saya turun dari kuda karena di sini dulu tempat ayahanda Sultan duduk. Tidak elok berani melawan tuannya, juga orang tua dan guru dan lagi Sultan Pajang tak beda ketika hidup atau sudah wafat. Aku tetap harus menghormatinya.”

Senapati lalu masuk melalui pintu. Para istri punggawa Pajang menyambut semua. Anak Sultan Pajang, istri Adipati Demak menyembah dan menyentuh kaki Senapati sambil menangis.

“Adik tuan janganlah dibunuh, si Adipati Demak itu,” kata istri Adipati Demak memohon.

Senapati berkata, “Tidak ada niat membunuh Dinda Adipati Demak. Aku hanya ingin meminta dia tunduk, karena ketika dia menjadi raja di Pajang tidak meminta pertimbangan dariku. Jangan salah terima, suamimu bawalah ke sini. Namun sebagai tanda tunduk, sebaiknya engkau ikat tangannya. Itu sebagai tanda kalah perang.”

Senapati mundur dari puri dan duduk di Sitinggil. Tidak lama kemudian Adipati Demak sudah dibawa menghadap dengan diikat tangannya memakai kain cinde. Para istri menyertai di belakangnya. Mereka kemudian duduk di hadapan Senapati.

Berkata Senapati, “Adipati Demak, bukan engkau yang mempunyai waris kerajaan Pajang. Sepantasnya putra lelaki, Dinda Banawa, yang menggantikan sebagai raja Pajang menggantikan ayahanda Sultan. Hai Adipati Demak, engkau kembalilah menjadi penguasa Demak. Segera pulanglah. Wahai orang Mataram, pikullah bekal mereka ke Demak. Prajurit Singanagara dan Martalulut, kawallah perjalanan Dinda Adipati ke Demak.”

Adipati Banawa kemudian menggelar acara bersuka-suka di bangsal Pagelaran. Gamelan ditabuh dan mereka menari tari tombak. Ada yang membawa galah sambil mabuk dan saling tantang. Para teman-temannya menyapih. Suasana menjadi meriah di keraton Pajang.

Senapati keluar dari puri dengan membawa pakaian kuda bernama Gathayu. Juga sebuah gong bernama Sekar Delima. Semua pusaka yang dahulu dipakai Sultan Pajang dibawa ke Pagelaran. Senapati duduk di singgasana di hadapan para mantri yang duduk tertunduk.

Adipati Banawa berkata, “Kanda Senapati Ing Ngalaga, Anda berdirilah sebagai Sultan Pajang sekarang. Para mantri sudah menghadap. Anda pantas menggantikan ayahanda Sultan karena merupakan putra tertua. Saya rela jika Kanda yang menjadi Sultan.”

Senapati berkata, “Dinda Banawa, terima kasih atas kepercayaannya. Namun bukan takdirku menjadi raja di Pajang. Terlalu besar bagiku kalau menjadi raja di Pajang. Aku sudah diberi tempat di Mataram. Kelak pasti anak keturunanku menjadi raja besar yang menguasai tanah Jawa. Cucuku yang akan menjadi Sultan di Mataram. Semua raja Jawa tunduk padanya. Itulah harapanku kelak. Ayahanda Sultan Pajang telah memberiku tanah Mataram untuk dirintis menjadi sebuah negeri. Aku akan berusaha mewujudkannya. Dinda Banawa, engkau saja yang menjadi raja di Pajang. Masuklah ke puri dan menata keraton.”

Berkata Pangeran Banawa, “Kanda, saya sekedar menjalani perintah paduka. Semua isi puri saya serahkan kepada Kakanda, yang berupa uang dan perhiasan serta makanan.”

Senapati berkata, “Dinda, kehendakku, engkau akan menjadi raja. Pakailah harta itu untuk membeli senjata dan menata pasukan. Dan engkau selalu waspadalah dalam menata negara. Milikilah penasihat dari tiga golongan. Pertama, para pendeta, kedua orang yang gemar bertapa, ketiga orang yang ahli dalam ilmu laduni, ramal dan falakiyah. Kalau engkau ingin tahu tatacara menata negera tanyalah para pendeta dan guru-guru. Kalau hendak mengetahui hal rahasia tanyalah kepada para tukang ramal atau dukun. Dan, kalau hendak mengetahui keselamatan negera bertanyalah kepada para pertapa.”

Pangeran Banawa berkata pelan, “Kanda Senapati Ing Ngalaga, semua pusaka ayahanda saya serahkan kepada paduka. Bawalah ke Mataram. Sepantasnya jika putra tertua mewarisi pusaka.”

Senapati Ing Ngalaga berkata, “Dinda Adipati Banawa, itu benar yang kau maksud. Semua pusaka aku ambil, aku bawa ke Mataram. Itu tanda aku menghormati ayahanda Sultan. Dinda, tinggallah baik-baik di Pajang. Aku akan pulang ke Mataram.”

Adipati Banawa menangis di depan sang kakak. Berat terasa olehnya ditinggal saudara tua. Pagi harinya Senapati pulang dengan segera. Perjalanannya seperti angin, sebentar sudah sampai di Mataram dan masuk ke puri. Senapati menjadi raja di Mataram. Semua kawula tunduk dan patuh.

Tujuh hari berselang sejak pulang dari Pajang, Senapati menggelar pisowanan. Para punggawa Mataram lengkap hadir. Senapati mengangkat para kerabatnya dengan memberi kedudukan masing-masing. Raden Tompe diberi nama Pangeran Gagakbahni. Raden Santri diberi nama Pangeran Singasari. Raden Jambu diberi nama Pangeran Mangkubumi.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/07/06/babad-tanah-jawi-37-negari-pajang-ditaklukkan-panembahan-senapati-pangeran-banawa-menjadi-sultan-di-pajang/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...