Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (38): Kesaktian Raden Rangga, putra Panembahan Senapati

 Alkisah, ada serombongan prajurit Banten yang datang ke Mataram. Perginya dari negeri Banten karena mendengar kesaktian Senapati yang masyhur sebagai prajurit unggul yang tiada lawan. Para prajurit Banten hendak menantang Panembahan Senapati.

Kedatangan para prajurit Banten baru semalam, belum diketahui oleh Senapati. Di pagi hari, Raden Rangga menemui si prajurit Banten.

Berkata Raden Rangga, “Hai orang dari Banten, ada perlu apa engkau datang ke Mataram? Apakah benar hendak menantang ayahanda Senapati? Jangan engkau melawan ayahku, hadapilah aku dulu. Kalau sampai aku kalah, gampang saja engkau menantang ayahku. Sekarang pegang tanganku. Engkau boleh patahkan jari-jariku.”

Si prajurit Banten menangkap jari Raden Rangga, lalu ditekan. Raden Rangga bergeming. Si prajurit Banten dilempar, jauh melesat. Si prajurit Banten bangun kembali lalu mendekat. Gantian Randen Rangga disuruh memegang jarinya. Oleh Raden Rangga jari dipegang dan dipuntir. Si Banten kokoh. Raden Rangga marah, prajurit Banten ditabok hingga tewas. Teman-teman si prajurit lari ketakutan. Ulah Raden Rangga dilaporkan kepada Senapati. Sang ayah lalu menasihatinya.

Berkata Senapati, “Hai Rangga, engkau ini anakku yang sangat kuat. Tidak ada prajurit Mataram yang seperti engkau kekuatannya. Engkau berani membunuh prajurit Banten yang belum pernah melihatku. Engkau sungguh sok berani. Kalau benar engkau sungguh kuat, ini patahkan jempol kakiku.”

Raden Rangga faham bahwa sang ayah marah. Namun watak Raden Rangga memang tidak bisa kalau diremehkan kekuatannya. Seketika Raden Rangga bangkit keberaniannya dan mencoba membetot jempol kaki sang ayah, benar-benar hendak mematahkannya. Meski Senapati sakti, betotan Raden Rangga dirasakan sakit. Spontan Senapati menggerakkan kaki. Raden Rangga terlempar. Raden Rangga ketakutan dan lari keluar. Karena buru-buru Raden Rangga tak keluar lewat gerbang, pagar bata keraton diterjang begitu saja seolah menerjang rumah laba-laba. Pagar bata ambrol meninggalkan lubang sebesar manusia.

Raden Rangga terus berlari ke arah timur laut hendak purik ke Pathi. Senapati melihat sang putra berlari ngacir lalu mengirim dua gandek untuk membujuknya pulang.

Berkata Senapati, “Kejarlah Raden Rangga, di manapun tempatnya engkau berhasil mengejar, ajaklah pulang.”

Dua gandek melesat mengejar Raden Rangga. Di Sukawati mereka berhasil menyusul. Dua gandek mencegat di tengah jalan, menahan laju Raden Rangga.

Seorang gandek berkata, “Duh Raden, saya diutus ayahanda, Raden disuruh pulang. Kalau raden tidak pulang kami bisa dihukum mati.”

Raden Rangga berkata, “Hai gandek, aku tak mau pulang sekarang. Besok aku pulang kalau aku sudah ingin. Kalian pulanglah, jangan menghalangi jalanku.”

Gandek memaksa dengan merangkul kaki Raden Rangga. Raden Rangga merapatkan kaki, si gandek terjepit kaki Raden Rangga dan tewas seketika. Gandek tinggal seorang, lalu lari pulang untuk melapor kepada Panembahan Senapati. Sesampai di Mataram gandek segera menemui Panembahan dan menyembah.

Panembahan Senapati berkata, “Hai gandek, putraku apakah sudah pulang?”

Gandek menyembah dan berkata, “Kami sudah melaksanakan perintah menyusul Raden Rangga. Di Sukawati kami berhasil mengejarnya. Kami memintanya pulang, Raden Rangga tidak mau. Baru akan pulang kalau sudah ingin pulang. Teman saya memaksa dengan memegang kakinya. Raden Rangga merapatkan kakinya. Teman saya terjepit dan tewas. Raden Rangga kemudian lari ke arah timur laut. Saya duga pergi ke Pathi.”

Senapati kaget dan sangat bersedih, tetapi kemudian mupus. Sementara Raden Rangga sudah sampai di Pathi. Negeri Pathi dipimpin sang paman, anak dari mendiang Ki Panjawi. Para penjaga yang melihat kedatangan Raden Rangga kaget karena dia datang sendirian. Mereka kemudian melapor kepada Adipati Pathi.

“Putra tuan Raden Rangga dari Mataram datang, ingin menghadap kepada paduka,” lapor penjaga.

Adipati Pathi kaget, tetapi sejenak kemudian merasa gembira atas kedatangan sang keponakan.

Bertanya Adipati Pathi, “Apakah si Rangga diutus Kanda Senapati?”

Yang ditanya menjawab, “Kedatangannya tanpa pengawalan. Mustahil kalau diutus sang ayah. Terserah paduka nanti yang menanyai.”

Adipati Pathi menduga kalau Raden Rangga purik.

Adipati Pathi berkata, “Bawalah dia masuk. Aku sudah sangat kangen dengan keponakanku si Rangga.”

Yang disuruh segera beranjak keluar memanggil Raden Rangga. Pada waktu itu di Pathi sedang hari pisowanan. Para punggawa lengkap menghadap sehingga balai pisowanan penuh dengan orang. Ada sebongkah batu besar yang sangat berat. Sudah lama batu itu akan disingkirkan, tetapi tidak ada yang kuat mengangkatnya. Batu itu membuat jajaran para punggawa sedikit terpisah. Ketika Raden Rangga masuk dia kesulitan mencari jalan maju. Pikirnya, paman ini bagaimana, menyuruh orang menghadap kok tidak diberi jalan. Apa saya disuruh melewati batu ini. Tanpa pikir panjang batu itu diterjang sehingga menggelinding. Para punggawa Pathi miris melihat kesaktian Raden Rangga yang menerjang batu seolah menerjang gabus. Mereka juga senang karena batu itu terlah tersingkir dengan sendirinya. Raden Rangga maju ke depan dan menyembah.

Adipati Pathi bertanya, “Anakku Rangga, apa engkau diutus ayahmu Kanda Senapati? Aku sudah kangen denganmu anakku. Syukurlah engkau mau datang ke sini.”

Raden Rangga berkata, “Paman, saya datang atas kehendak sendiri. Sudah lama tidak main ke Pathi. Sekarang baru bisa terlaksana.”

Raden Rangga kemudian tinggal di Pathi. Baru semalam berlalu Raden Rangga mendengar ada seorang pertapa sakti. Si pertapa menjadi tempat para orang Pathi berguru. Tempat bertapa si pertapa tadi berupa pohon asam. Pohon itu semula masih tumbuh subur, tetapi ketika dijadikan sandaran lalu menjadi pohon kering. Pertapa tadi selalu mencuwil pohon asam dengan kukunya.

Para siswa bertanya, “Guru, apa maksudnya pohon itu dicuwil dengan kuku?”

Si pertapa menjawab, “Siswaku, ketahuilah. Kelak cuwilan kayu ini bisa dibakar untuk menemukan tubuhku.”

Para siswa kaget, “Guru mengapa demikian?”

Si pertapa menjawab, “Memang seperti itu kehendakku.”

Kembali ke Raden Rangga, wataknya kalau mendengar ada orang sakti selalu ingin mencobai. Raden Rangga mendatangi si pertapa di tempatnya. Setelah bertemu, tanpa banyak kata Raden Rangga menangkap si pertapa dan mencuwili tubuhnya. Tubuh pertapa hancur tak utuh lagi. Raden Rangga lalu pulang ke Mataram.

Ketika para siswa si pertapa datang, mereka tak menemukan gurunya. Hari sudah malam dan keadaan sudah gelap. Untuk menerangi sekeliling para siswa membakar cuwilan pohon asam bekas sandaran si pertapa. Setelah dicari ke segala tempat mereka menemukan serpihan tubuh si pertapa. Cuwilah tubuh si pertapa lalu dikumpulkan oleh para siswanya dan dikuburkan.

Di Mataram Raden Rangga segera dipanggil menghadap oleh sang ayah. Raden Rangga duduk bersimpuh memohon ampun. Sang ayah menciumnya berkali-kali.

Berkata sang ayah, “Rangga anakku, sudah waktunya engkau belajar tentang ilmu kesaktian.”

Raden Rangga berpikir, kepada siapa lagi hendak berguru sedang di Mataram tidak ada lagi yang lebih sakti darinya.

Senapati berkata, “Engkau tidak usah jauh-jauh pergi berguru. Bergurulah kepada kakekmu Ki Juru Martani. Belajarlah darinya segala ilmu yang belum kau miliki.”

Raden Rangga segera melesat ke rumah Ki Juru. Ketika itu Ki Juru sedang shalat di langgar. Raden Rangga menunggu di tangga masjid yang terbuat dari batu. Karena gabut Raden Rangga iseng menusuk-nusuk anak tangga dengan jarinya. Anak tangga dari batu itu baginya selunak lempung basah. Anak tangga itu menjadi bolong-bolong sebesar jari. Ki Juru yang sudah selesai shalat melihat ulah Raden Rangga.

Ki Juru berkata, “Cucuku, jangan menusuk batu dengan jarimu. Itu batu keras.”

Seketika anak tangga batu itu mengeras bagi Raden Rangga. Jari-jarinya tak mempan lagi dipakai menusuk anak tangga itu. Raden Rangga baru mengakui kalau Ki Juru pantas dijadikan guru.

Raden Rangga sangat rajin menyerap ilmu Ki Juru. Semua ilmu sudah diberikan. Selesai belajar Raden Rangga diizinkan pulang ke puri.

Setelah beberapa lama pulang ke puri, Raden Rangga mendengar berita ada ular besar di desa. Orang desa ketakutan karena ular itu sangat besar, tak seperti ular pada umumnya. Raden Rangga yang mendengar laporan tentang ular tersebut segera mendatangi tempat ular itu berada. Tak lama Raden Rangga sampai di persawahan tempat ular bersarang. Si ular yang melihat didatangi manusia segera menyerang. Terjadilah perkelahian antara si ular dan Raden Rangga. Ular melilit tubuh Raden Rangga dengan kuat. Raden Rangga tak melawan, seolah membiarkan si ular kehabisan tenaga. Setelah si ular lemas baru Raden Rangga membalas. Si ular ditarik sampai putus.

Setelah bertarung sengit dengan ular, Raden Rangga pulang ke Mataram. Tak lama kemudian Raden Rangga menderita sakit. Sakitnya tak kunjung sembuh dan semakin parah hingga Raden Rangga wafat. Usia Raden Rangga ketika itu baru empat belas tahun.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/07/07/babad-tanah-jawi-38-kesaktian-raden-rangga-putra-panembahan-senapati/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...