Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (39): Sultan Banawa wafat, Panembahan Senapati minta izin Sunan Giri menjadi raja di tanah Jawa

 Panembahan Senapati lestari menjadi raja di Mataram. Pada suatu hari pisowanan Senapati duduk di hadapan para punggawa. Hadir pula para putra dan kerabat. Pada hari itu Senapati hendak mewisuda para kerabat dan putra. Para putra diangkat menjadi pangeran. Namun Raden Rangga sudah wafat sehingga tak sempat menjadi pangeran. Adapun adiknya bernama Pangeran Puger, adiknya lagi bernama Pangeran Purbaya, kemudian adiknya lagi bernama Pangeran Jayaraga, adiknya lagi bernama Pangeran Juminah, kemudian sang adik Pangeran Adipati yang akan menggantikan kedudukan sang Senapati kelak. Sang putra mahkota mempunyai adik bernama Pangeran Pringgalaya. Kemudia ada dua adik perempuan yang masing-masing telah menikah. Lalu ada putra lagi bernama Raden Demang Tanpanangkil dan Raden Tepasana. Pada kesempatan itu Ki Juru Martani diangkat sebagai adipati dengan nama Adipati Mandaraka.

Sementara itu di Pajang, Sultan Banawa sudah satu tahun bertahta sebagai Sultan di Pajang. Belum lama bertahta Sultan Banawa menderita sakit parah. Para punggawa segera mengirim utusan ke Mataram memberi tahu kepada sang kakak. Utusan segera berangkat ke Mataram dan sudah diperkenankan menghadap. Namun baru saja si utusan memberitahukan sakit Sultan Banawa, datang lagi utusan susulan yang memberi tahu kalau Sultan Banawa sudah wafat.

Mendengar berita terakhir Senapati sangat menyesal. Tanpa sadar air mata mengalir deras. Pagi harinya Senapati beserta para punggawa melayat ke Pajang dan memimpin pemakaman sang adik. Setelah tujuh hari Senapati mengangkat sang adik Pangeran Gagakbahni sebagai penguasa Pajang. Para mantri Pajang semua patuh dan merasa gembira. Pemerintahan di Pajang berjalan seperti sediakala.

Setelah menjadi penguasa Pajang Pangeran Gagakbahni melakukan renovasi terhadap puri keraton Pajang. Sitinggil yang dahulu berada di sebelah barat sekarang digeser ke timur. Di sebelah barat ada makam seorang ulama dari Arab, maka pagar digeser ke barat agar makam masuk ke kompleks keraton Pajang. Maksudnya agar keraton mendapat berkah dari adanya makam ulama tersebut. Namun tidak lama Pangeran Gagakbahni memerintah Pajang. Pangeran pun wafat. Jenazah Pangeran Gagakbahni dimakamkan di Mataram, di bawah kaki Ki Ageng Mataram. Sebagai pengganti Gagakbahni, Pangeran Pajang diangkat sebagai adipati di Pajang.

Sementara itu di Mataram, Senapati bertahta di singgasana. Para mantri lengkap menghadap. Adipati Mandaraka berada di depan. Pada kesempatan ini Senapati meminta pertimbangan kepada Adipati Mandaraka.

Berkata Senapati Ing Ngalaga, “Paman Mandaraka, bagaimana kalau aku menepati ramalan Kangjeng Sinuhun di Giri yang menyebutkan bahwa di Mataram akan muncul raja tanah Jawa.”

Adipati Mandaraka berkata, “Saya sangat mendukung kehendakmu.”

Senapati berkata, “Paman kalau begitu si Pangalasan segera kirimlah ke Giri.”

Ki Adipati Mandaraka menyuruh Pangalasan untuk berangkat ke Giri dengan membawa surat dari Senapati. Setelah surat diterima Pangalasan segera berangkat. Enam puluh prajurit menyertai kepergian Pangalasan. Perjalanan mereka dilakukan secara maraton agar segera sampai. Sesampai di Giri Kedaton Pangalasan segera menghadap. Kangjeng Sunan Giri ketika itu sedang menerima para putra dan kerabat yang berkumpul. Pangalasan lalu menyerahkan surat kepada Kangjeng Sunan Giri. Setelah membaca surat Panembahan Giri tersenyum.

Berkata Sunan Giri, “Nah, si Senapati ini kalau mau menepati ramalan, mulailah dulu dengan menaklukkan wilayah timur. Itu menjadi tanda kalau dia memang pantas menguasai tanah Jawa.”

Pangalasan segera mohon pamit kembali ke Mataram untuk melapor kepada Senapati. Setelah Pangalasan pergi para putra dan kerabat Giri masih melanjutkan pembicaraan.

Sunan Giri berkata, “Siapa yang tahu terwujudnya ramalan itu kelak. Sudah pasti kalau Mataram nantinya akan menguasai tanah Jawa. Semua wilayah akan tunduk dan patuh ke Mataram, termasuk Giri ini. Kehendak Tuhan takkan berubah. Tandanya sudah ada. Setelah terhadi huru-hara akan ada hamba menjadi tuan, dan tuan menjadi hamba. Contohnya yang terjadi di Pajang dan Mataram.”

Para putra dan kerabat berkata, “Kami selalu berdoa agar tidak mengalami zaman itu.”

Panembahan Giri berkata, “Itu sudah kehendak Tuhan, pasti kita tak bisa menolak.”

Kita tinggalkan Giri, di Mataram Pangalasan sudah kembali dari Giri. Pangalasan segera menghadap Senapati tanpa pemberitahuan.

Senapati segera menanyai misi yang diembannya, “Segeralah katakan pesan dari Sunan Giri.”

Pangalasan segera mengatakan pesan dari Sunan Giri. Senapati pun berusaha memenuhi pesan itu.

Berkata Senapati, “Paman Mandaraka, dahulu ayah mengiringi Sultan Pajang menghadap ke Giri pada bulan Muharam. Nanti aku juga akan berangkat ke wilayah timur di bulan Muharam juga. Dan juga akan melewati jalan yang dulu.”

Senapati lalu mempersiapkan pasukannya. Utusan segera dikirim ke berbagai kadipaten sekutunya, Demak dan Kalinyamat, Jagaraga dan Pajang. Semua diminta mengerahkan pasukan ke wilayah timur. Pada bulan Muharam Senapati berangkat menyerang wilayah timur.

Kita tinggalkan pasukan Mataram yang sedang bergerak ke timur. Di Surabaya telah tersiar berita kedatangan pasukan Senapati. Adipati Surabaya lalu menggalang aliansi dengan wilayah sekitarnya. Tuban, Sidayu, Lamongan, Gresik, Lumajang. Kartasana, Malang, Pasuruhan, Kediri, Wirasaba, Balitar, Majapura, Pringgabaya, Pragunan, Lasem, Madura, Sumenep dan Pakacangan, semua sudah dihubungi. Di bawah pimpinan Adipati Surabaya mereka bersiap menghadapi serangan pasukan Mataram.

Sementara itu perjalanan pasukan Mataram sudah sampai di Japan. Mereka telah mengepung Japan dan bersiap menyerang. Sinuhun di Giri sudah diberi tahu kalau pasukan Mataram telah mengepung Japan. Negeri-negeri wilayah timur akan membantu Japan menahan serangan Mataram. Pasukan wilayah timur sudah membuat benteng.

Kangjeng Sinuhun di Giri  segera mengirim surat kepada para pemuka negeri wilayah timur dan juga Senapati Mataram. Mereka disuruh berkumpul dan berunding untuk menghindari perang besar.

Setelah semua berkumpul utusan Sunan Giri berkata, “Wahai para pemuka Mataram dan wilayah timur, saya diutus Panembahan Giri kepada kalian semua dengan disertai surat. Saya bacakan suratnya: Hai anakku dari Mataram dan anakku Surabaya. Aku lihat kalian saling berhadapan dan hendak bertempur. Sudahlah, lebih baik kalian mencari selamat. Adapun bila ada takdir Tuhan, ada yang tinggi ada yang rendah, pasti kelak akan terbukti dengan sendirinya. Sekarang belum saatnya. Sekarang kalian pilihlah antara wadah dan isinya. Setelah memilih kalian bersyukurlah dengan apa yang telah kalian pilih. Surat selesai.”

Senapati dari Mataram begitu mendengar ada dua pilihan lalu mempersilakan Adipati Surabaya untuk memilih duluan.

Berkata Senapati, “Dinda Adipati Surabaya. Bagaimana pendapatmu, aku dan kamu disuruh memilih antara wadah dan isi. Engkau silakan pilih duluan, aku tinggal mengambil sisanya. Dari semua adipati hanya engkau dan aku yang disuruh memilih. Dinda pilih yang mana?”

Adipati Surabaya berpikir keras. Dalam hati condong lebih memilih isi daripada wadah. Buat apa mempunyai wadah kalau tidak ada isinya. Tanah yang kosong tanpa ada penduduknya juga tidak berguna. Kalau begitu aku pilih isi saja, pikir Adipati Surabaya.

Senapati berkata, “Bagaimana Dinda, mana yang kau pilih?”

Adipati Surabaya berkata, “Kanda, aku pilih isi, engkau milikilah wadahnya.”

 Senapati berkata pelan, “Baik Dinda, kalau kehendakmu wadah menjadi milikku dan isi menjadi milikmu.”

Para adipati sudah sepakat dan mereka kemudian membubarkan diri. Senapati kemudian kembali ke pemondokannya. Di pondokan para punggawa telah lengkap menghadap.

Berkata Senapati, “Paman, bumi di timur ini kelak akan menjadi milikku. Siapapun yang mengisinya nanti pasti akan aku taklukkan, karena ini memang tanahku. Kalau tak tunduk padaku, jangan tinggal di tanahku. Sekarang kita bubarkan pasukan dan kembali ke Mataram.”

Pasukan Mataram bubar dan kembali ke Mataram, pasukan Surabaya dan sekutunya pun bubar dan kembali ke tempat masing-masing.

Sementara itu di Giri, Kangjeng Susuhunan sudah diberi tahu kalau Adipati Surabaya memilih isi, dan wadahnya disisakan untuk Senapati Mataram.

Susuhunan Giri berkata pelan, “Sudah takdir Tuhan Yang Maha Suci bahwa tanah wilayah timur akan menjadi milik raja Mataram.  Ingatkan kelak kepada janji yang telah mereka sepakati.”

Di Surabaya, setelah beberapa waktu Adipati Surabaya bersiap mengerahkan pasukan dari timur. Wilayah yang mereka taklukkan duluan adalah Warung. Peristiwa itu diperingati dengan sengkalan tahun: awas rusak tatèng janma[1]. Setelah berhasil menaklukkan Warung mereka kembali ke timur dengan membawa harta rampasan. Adipati Pajang memberi tahu ke raja Mataram kalau tanah Warung diserang pasukan wilayah timur.

Berkata raja Mataram Senapati, “Hai Adipati Pajang, biarkan dulu. Nanti semua wilayah timur akan menjadi milikku.”

Adipati Mandaraka berkata, “Kalau setuju, wilayah timur kita serang sekarang.”

Senapati berkata, “Sudahlah Paman. Sabar dulu. Besok bulan Muharam kita berangkat menyerang ke wilayah timur. Aku akan berangkat sendiri karena orang timur adalah musuh yang berat.”

Kita tinggalkan dulu Mataram. Di lain tempat Adipati Ponorogo sedang berada di Madiun dan berbincang dengan Adipati Madiun.

Adipati Madiun berkata, “Bagaimana Mataram itu. Kehendaknya semua wilayah timur tunduk ke Mataram. Sekarang Mataram itu wilayah kecil, hanya sebesar kunang-kunang. Namun kalau tidak segera disiram pasti akan semakin berkobar. Sebaiknya Mataram segera diserang para bupati wilayah timur. Mumpung masih belum kuat.”

Adipati Ponorogo  berkata pelan, “Saya setuju.”

Panembahan Madiun segera mengirim surat ke Surabaya. Utusan sudah berangkat dan menghadap Adipati Surabaya. Surat sudah diserahkan dan dibaca isinya dengan seksama.

Adipati Surabaya berkata, “Katakan kepada Panembahan Madiun dan Dinda Adipati Ponorogo. Saya sangat setuju. Jangan khawatir aku akan mengerahkan semua bupati wilayah timur agar membantu Madiun.”

Adipati Surabaya lalu mengirim utusan untuk memberi tahu kepada seluruh bupati wilayah timur. Mereka menyambut baik ajakan Adipati Surabaya dan segera menyiapkan pasukan bersenjata. Setelah terkumpul semua, bersama-sama mereka berangkat ke Madiun. Di Madiun mereka kemudian membuat pondokan di sebelah timur bengawan.


[1] 1502 AJ


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/07/08/babad-tanah-jawi-39-sultan-banawa-wafat-panembahan-senapati-minta-izin-sunan-giri-menjadi-raja-di-tanah-jawa/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...