Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (40): Panêmbahan Senapati menaklukkan para adipati di Madiun

 Di Mataram tersiar kabar kalau pasukan wilayah timur sudah berkumpul di Madiun. Senapati Ing Ngalaga segera menyiapkan pasukannya. Demak dan Pathi sudah diberi tahu agar mengerahkan pasukan ke Madiun. Juga Warung, Grobogan, Kendal, Semarang dan Kalinyamat, semua sudah diundang. Dari Kedu dan Bagelen, sudah pula datang pasukan bersenjata mereka. Senapati segera mengumpulkan mereka di Pajang. Dari Pajang pasukan besar Mataram berangkat.

Perjalanan pasukan Mataram sudah sampai di Kadilangu. Pasukan kemudian membuat pondokan di sebelah barat bengawan. Barisan pasukan Mataram sudah berjajar di sebelah  barat, sedangkan pasukan wilayah timur berjajar di sebelah timur. Kedua pasukan hanya dipisahkan oleh bengawan Solo. Di tempat masing-masing kedua pasukan sudah membangun benteng.

Adipati Mandaraka berkata, “Bagaimana rencanamu Senapati, orang Madiun dan Ponorogo berpihak ke timur. Ponorogo pasukannya sudah menempati sayap kiri. Pangeran Madiun belum mengerahkan pasukan.”

Senapati berkata, “Paman jangan khawatir. Aku punya rencana.”

Senapati kemudian memanggil Ni Adisara. Yang dipanggil segera menghadap.

Berkata Senapati, “Adisara, aku minta karyamu. Sekarang aku hendak mengutusmu.”

Adisara bersiap sedia, “Baiklah hamba siap. Walau harus mati hamba tak menolak.”

Raja Mataram berkata, “Adisara, engkau masuklah ke lautan api. Bawalah suratku, haturkan kepada Panembahan Madiun. Dan engkau berhiaslah, dengan riasan yang bagus.”

Segera Ni Adisara merias diri. Dasarnya memang sudah cantik, ditambah riasan yang baik dan busana yang indah, maka tampak semakin mempesona.

Senapati berkata, “Engkau bawalah tandu. Si Jayaantaka ikutlah, semua prajuritmu bawalah serta yang sejumlah empat puluh orang. Si Ngabei dari Warung ikutlah dalam rombongan Adisara. Kalau kalian ditanya orang timur, jawablah kalau aku menyerah kepada Panembahan Madiun. Ke Madiun hendak menghadap. Untuk Adisara, pesanku, kalau engkau diganggu oleh anak-anak Madiun, layanilah. Tapi jangan sungguh-sungguh.”

Ni Adisara menyembah dan segera naik ke tandu. Rombongan berangkat dengan bergegas. Surat dari Senapati sudah dibawa serta. Perjalanan Adisara diserta berbagai kelengkapan upacara, mirip seorang putri keraton.

Berkata Adipati Mandaraka, “Bagaimana ini?”

Senapati tersenyum, “Aku ingin membuat bimbang hati Pangeran Madiun.”

Sementara itu perjalanan Ni Adisara lancar menerobos pasukan dari wilayah timur. Mereka kaget ada tandu menerobos barisan. Mereka bertanya-tanya. Jayaantaka menjawab bahwa ini tanda menyerah dari Raja Mataram kepada Panembahan Madiun.

Prajurit wilayah timur saling berucap, “Syukurlah kalau orang Mataram sudah menyerah ke Panembahan. Memang pintar orang Mataram, merasa akan kalah lalu menyerah.”

Ada temannya menyahut, “Jangan senang dulu, barangkali ini akal-akalan raja Mataram.”

Yang lain menukas, “Sepertinya tidak demikian.”

Di pondokan para pembesar dari wilayah timur sedang berbincang. Mereka membicarakan mengapa Madiun belum mengerahkan pasukan. Apakah tekadnya sudah kendur.

Sementara itu di dalam kota Madiun, Adipati Madiun sedang duduk di hadapan para mantri. Panembahan Madiun memutuskan akan mengerahkan pasukan besok pagi. Belum selesai pertemuan hari itu mendadak datang rombongan Ni Adisara. Ni Adisara segera sungkem di kaki Panembahan Madiun. Semua yang hadir heran.

Para punggawa berbisik, “Dari mana datangnya orang itu, mengapa sungkem di kaki Panembahan?”

Adipati Madiun berkata, “Engkau duduklah. Aku ingin bertanya, engkau ini siapa dan dari mana asalmu. Siapa namamu dan apa tujuanmu ke sini.”

Segera mundur Ni Adisara, menyembah dan berkata, “Saya diutus bawahan paduka sang Senapati Mataram. Nama saya Adisara. Saya diutus menghadap paduka menghaturkan surat. Senapati Mataram telah menyerah kepada paduka.”

Surat segera dihaturkan kepada Panembahan Madiun. Sang Panembahan lalu menyerahkan surat kepada sang putra.

Berkata Adipati Madiun, “Anakku Mas Lonthang, bacalah surat ini.”

Mas Lonthang segera membaca surat dari Senapati. Isi suratnya: “Sembah hamba Senapati dari Mataram. Sesungguhnya hamba tak hendak melawan paduka Kangjeng Panembahan. Senapati menyerah dan mengabdi kepada paduka. Orang-orang paduka dulu, yang dari Madiun yang berada di Pajang, mohon paduka hitung untuk saya kembalikan ke Madiun. Mataram kini milik paduka.”

Adipati Madiun berkata, “Baiklah, aku terima kepercayaan Senapati Ing Ngalaga. Bagaimanapun kehendak orang Madiun, aku takkan menurut saja. Aku lebih memilih damai. Nah, Adisara katakan kepada anakku Senapati kalau aku juga tidak ingin bermusuhan dengan Mataram. Adapun orang-orang dari wilayah timur yang akan menyerang Mataram, itu kehendak mereka sendiri. Katakan kepada anakku Senapati, aku tak ikut-ikutan kemauan orang-orang dari wilayah timur.”

Adisara berkata, “Kalau saya ditanya oleh Senapati, mengapa pasukan paduka bersiap tempur dengan senjata lengkap?”

Adipati Madiun berkata, “Hai, ondamoi. Semua pasukan bubarkanlah.”

Si ondamoi menyembah dan segera melaksanakan perintah. Barisan Madiun sudah bubar dan kembali ke rumah masing-masing.

 Adisara berkata, “Putra paduka meminta air basuhan kaki paduka, akan dipakai sebagai jimat.”

Adipati Madiun kemudian membasuh kakinya. Adisara mewadahi air bekas cucian kaki Panembahan Madiun di guci emas.

Adipati Madiun berkata, “Aku mendapat kepercayaan anakku Senapati. Aku tidak ikut-ikutan perang orang wilayah timur.”

Adisara sudah berpamitan dan kembali pulang ke pondokan pasukan Mataram. Selama perjalanan Ni Adisara selalu menjadi tontonan semua prajurit Madiun. Semua sudah tenang karena perang urung terjadi. Ketika Adisara sampai di pondokan pasukan Mataram Senapati Sedang berbincang dengan para punggawa. Senapati sangat gembira karena riasan Adisara masih bagus. Tanda Adisara tidak diganggu orang Madiun.

Berkata Senapati, “Adisara, mendekatlah ke sini.”

Yang diperintah segera mendekat dan sungkem di kaki Senapati. Ni Adisara lalu melaporkan tugas yang telah diembannya. Juga dilaporkan bahwa Panembahan Madiun telah membubarkan barisan. Air bekas cucian kaki Panembahan dibuang sewaktu di jalan. Sisanya masih setengah guci lalu dipakai membasuh kaki Puspakancana, kuda tunggangan Senapati.

Adisara lalu melanjutkan ceritanya, “Saya juga bertanya apakah Panembahan punya seorang putri. Dijawab kalau punya putri yang sudah dewasa, tetapi belum mau menikah. Sang putri setiap disuruh menikah selalu menjawab, kelak bila ada mertua tunduk pada menantu, baru akan menikah. Kalau tidak, maka takkan menikah.”

Senapati tersenyum, “Carilah ke seribu negeri, takkan ada yang seperti Adisara. Baik, aku terima pekerjaanmu karena engkau telah berhasil. Besok aku beri kamu hadiah.”

Ni Adisara segera undur diri. Ki Adipati Mandaraka kemudian ingat akan sesuatu hal.

Berkata Ki Adipati Mandaraka, “Hai Ki Senapati, apakah engkau pernah mendengar riwayat ketika datangnya Kyai Antakusuma?”

Senapati berkata, “Belum pernah mendengar riwayatnya.”

Adipati Mandaraka berkata, “Ini riwayatnya. Ada sebuah kain yang diberikan kepada Sunan Kalijaga, yang asalnya dari kain yang pernah dipakai Kangjeng Rasul. Oleh Sunan Kalijaga kain tersebut dibuat menjadi baju. Sunan Bonang yang melihat Sunan Kalijaga membuat baju kemudian bertanya, “Membuat apakah engkau Nak Kalijaga?” Oleh Sunan Kalijaga dijawab, “Kain yang dulu itu saya buat pakaian. Kelak agar dipakai siapapun yang menguasai tanah Jawa.” Setelah selesai dijahit pakaian itu, Sultan Demak dan Sultan Pajang tidak pernah memakainya. Barangkali sekarang engkau akan diberi pakaian itu. Maka sekarang mintalah baju Kyai Antakusuma. Bila diberikan, sungguh akan menjadi restu bagimu.”

Senapati berkata, “Baik, lalu bagaimana cara memintanya agar diberikan Paman?”

Adipati Mandaraka berkata, “Mustahil engkau kurang akal.”

Senapati segera berangkat bersama empat puluh prajurit berkuda menuju Kadilangu. Sesampai di Kadilangu Senapati menghadap Sunan Kalijaga. Senapati sungkem dan menyentuh kaki sang Sunan.

Sunan Kalijaga berkata, “Engkau kan sedang berperang. Ada perlu apa engkau datang ke sini, anakku.”

Senapati berkata, “Hamba datang ke sini meninggalkan barisan karena hendak meminta saran dari Panembahan. Karena hamba kalau berperang selama ini sering tertimpa peluru sehingga badan terasa sakit. Maka hamba datang untuk meminta saran bagaimana cara menolak peluru yang mengenai tubuh.”

Sunan Kalijaga tersenyum, “Benar katamu. Sebaiknya engkau memakai perisai untuk melindungi tubuhmu.”

Sunan Kalijaga kemudian mengambil pakaiannya dan diberikan kepada Senapati.

“Tapi harus engkau ingat, jangan engkau pakai kalau sedang berhajat. Ketahuilah, kain ini bekas sajadah Kangjeng Nabi Rasulullah,” pesan Sunan sambil menyerahkan pakaian Kyai Antakusuma.

Senapati menyembah dan bersujud sampai mukanya menyentuh tanah ketika menerima wasiyat dari Kangjeng Sunan Kalijaga. Setelah pakaian diterima Senapati mohon pamit dan segera melesat menuju ke pondokannya. Sesampai di pondokan Ki Mandaraka dan segenap pasukan sudah menunggu.

Adipati Mandaraka berkata, “Ki Senapati, bagaimana rencanamu terhadap pasukan dari timur itu?”

Senapati berkata, “Besok hari Kamis itu, aku keluar sendiri. Dan lagi Paman, aku sudah berjanji kalau sampai mereka berani menyeberang akan aku penggal mereka.”

Adipati Mandaraka berkata, “Anakku Senapati, jangan takabur dulu. Bila musuh juga berani, apa akan terjadi besok rajaku saling penggal?”

Senapati lalu mengepal nasi dan berkata, “Paman, engkau keluarlah melihat.”

Kepalan nasi kemudian dilempar ke tanah. Tiga anjing berebut memakannya. Nasi itu keras seketika sehingga tiga anjing tadi rontok giginya. Dalam hati Ki Mandaraka berkata, “Senapati kalau sudah marah, siapa yang bisa melawan?”

Sudah tiba hari Kamis. Pasukan Mataram sudah bersiaga dengan persenjataan mereka. Mereka bersiap hendak keluar ke medan perang.

Berkata Senapati, “Dinda Mangkubumi, engkau tempatilah posisi sayap kanan. Pasukan dari Semarang, Demak dan Kaliwungu menyertaimu. Dan adikku Singasari, engkau menempati sayap kiri bersama pasukan dari Grobogan, Warung dan Kalinyamat serta Pathi. Pasukan Pajang bersamaku dan Paman Mandaraka. Nah, segeralah menyeberang bengawan. Paman Mandaraka aku minta di belakang, aku hendak menyeberang duluan. Benderaku jangan dipasang Paman, sebelum aku sampai ke seberang. Setelah aku sampai pasanglah bendera dan bersoraklah.”

Setelah memberi pesan Senapati memakai baju pemberian Sunan Kalijaga dan segera naik ke kuda. Yang mengiringi Senapati ada seratus pasukan berkuda pilihan. Segera Senapati menyeberang ke timur bersama seratus prajuritnya. Setelah Senapati sampai di seberang pasukan Mataram segera mengibarkan bendera dan bersorak.

Pasukan di timur bengawan sudah bersiap menghadapi serangan pasukan Mataram. Senapati yang menerjang diberondong dengan tembakan.

Prajurit dari timur berkata, “Wahai teman-teman waspadalah. Itu Senapati sudah menyerang.”

Pasukan Senapati terus menerjang dan mengamuk. Pasukan Mataram sudah menyusul menyeberang semua. Adipati Mandaraka, Pangeran Singasari dan Pangeran Mangkubumi nimbrung ke medan perang. Senapati naik kuda bernama Puspakancana bercorak warna napas, tinggi besar dan kuat. Diberondong peluru tak mundur, menginjak dan menyepak. Adipati Mandaraka mengamuk sambil membawa cambuk Kyai Sapujagat yang ampuh. Siapapun yang kena sabet tewas seketika. Sepak terjang Senapati mengerikan, siapapun yang diterjang tak sempat mengaduh. Musuh-musuh yang melihat ciut dan berlarian. Setelah berperang seharian sejak pagi sampai sore pasukan musuh hancur berantakan. Pasukan Ponorogo lari sambil memaki orang Madiun. Keparat, dibela malah ingkar janji. Mereka dulu yang mengundang perang, kini malah menelantarkan teman. Senapati yang mendengar makian pasukan Ponorogo hanya tersenyum. Pasukan Ponorogo sudah lari mengungsi.

Adipati Mandaraka mendekati Senapati dan berkata, “Hai Ki Senapati, itu kudamu sudah mati mengapa masih ditunggangi?”

Senapati turun dari kuda sambil berkata, “Paman, mengapa Paman sirik. Ini dari tadi siang sudah mati.”

Si kuda tiba-tiba terkulai jatuh.

Senapati berkata, “Wahai anak cucuku kelak, jangan pernah naik kuda yang bulunya bercorak napas seperti ini.”

Para bupati wilayah timur sudah lari. Pasukan Mataram terus mengejar. Setelah semua pergi jauh mereka menjarah milik orang Madiun. Kerbau dan sapi yang berada di tempat penggembalaan diambil. Rumah-rumah penduduk dijarah dan dibakar. Orang-orang yang melawan ditombak. Banyak yang kemudian lari ke gunung dan juga mengungsi ke kota mencari perlindungan pasukan Madiun.

Adipati Madiun sudah mendapat laporan ulah para pasukan Mataram. Sangat menyesal Adipati Madiun karena percaya Mataram takkan menyerang Madiun, kini mereka menjarah semua harta penduduk.

Berkata Panembahan Madiun, “Sungguh tak kusangka orang Mataram seperti itu polahnya. Aku sebut mereka wisamartani. Lahirnya martani (menyenangkan), tetapi hatinya wisa (bisa).”

Panembahan mempunyai dua putra. Putra sulung seorang wanita yang cantik bernama Retna Jumilah. Putra kedua bernam Mas Lonthang. Panembahan menghendaki agar sang putri ditinggal di dalam puri. Sudah jamak kalau orang menang perang memboyong putri dan harta benda. Sang putri juga diminta menjadi pengayom bagi para wanita yang ditinggal di dalam puri.

Sang putri Retna Jumilah seketika menangis. Menyadari bahwa dirinya akan menjadi putri boyongan. Sangat sedihnya sehingga sang putri pingsan. Panembahan Madiun tak ada waktu lagi untuk menolong. Pasukan musuh akan segera datang. Kepada para pelayan Pangeran menitipkan sebuah keris bernama kyai Gumarang. Barangkali keris itu bisa menolongnya nanti menghadapi Senapati.

Panembahan sekeluarga segera mengungsi ke arah timur laut. Yang hendak dituju adalah Wirasaba. Kemudian berencana ke Surabaya. Di kedaton Madiun, sang putri Retno Jumilah sudah siuman. Keris Kyai Gumarang sudah diserahkan.

Senapati Ing Ngalaga sudah mendapat laporan kalau Panembahan Madiun sudah lolos dari puri. Hanya tinggal para wanita dan seorang putri Panembahan bernama Retna Jumilah. Senapati sangat bersukacita dan segera masuk ke puri.

Di dalam puri Retna Jumilah melihat kedatangan Senapati. Sebuah pistol diambilnya dan ditembakkan ke dada Senapati. Senapati hanya tersenyum, tak mempan oleh peluru. Sang putri meraih srampang dan menerjang Senapati. Yang diterjang bergeming. Sang putri makin kesetanan. Berlari masuk ke peraduan dan menarik keris Kyai Gumarang. Ketika Senapati melihat sang putri membawa keris pusaka, Senapati berhenti. Dalam hati berkata, keris pusaka ini bisa membahayakan. Sementara sang putri berpikir, kalau masih makan nasi pasti mempan oleh keris pusaka ini.

Senapati lalu duduk dan bicara manis, “Duhai sang cantik, saya meminta maaf atas perilaku pasukan Mataram. Saya tidak bermaksud merusak Madiun. Tetapi namanya orang banyak, ada saja prajurit yang sulit diatur. Mereka kemudian menjarah sampai ke kota. Sudahlah, sekarang kita berdamai saja. Kalau memang Dinda marah kepadaku, baiklah aku terima hukumannya. Kalau hendak membunuhku, silakan aku terima. Aku rela mati di tangan wanita cantik seperti Dinda.”

Senapati duduk berlutut dari jauh, terus menghiba-hiba agar sang putri memberi maaf. Wanita mana yang tahan kalau diperlakukan seperti itu. Pasti hatinya lama-lama luluh. Tubuhnya menjadi lemas dan tanpa sadar keris Kyai Gumarang yang dibawanya terjatuh. Senapati segera mendekat dan mengambil keris pusaka itu, kemudian menyarungkannya. Senapati lalu duduk disampaing sang ayu. Rayuan gombal terus meluncur dari bibirnya.

“Duhai sang ayu, keris ini saya ganti nama menjadi Kyai Gupita. Harapanku agar bisa menjadi jalan engkau mengasihiku.”

Putri Retna Jumilah diam tertegun. Hatinya masih sedih mengingat rusaknya kota Madiun dan kepergian sang ayah. Senapati terus membujuk dengan kata-kata manis. Meminta maaf atas ulah prajurit Mataram yang menjarah kota Madiun.

Akhirnya Retna Jumilah berkata, “Baiklah, masih ada satu senjataku. Aku membawa pisau cukur yang tajam. Kalau engkau sanggup menahannya, engkau boleh menjadikanku boyongan.”

Senapati memeluk Retna Jumilah dan membawanya ke peraduan. Malam belum berlalu pisau cukur sudah dibuang. Retna Jumilah tak kuasa menolak kharisma Senapati dan tunduk sebagai putri boyongan. Malam itu juga Retna Jumilah diperistri Senapati.

Pagi harinya Senapati tampil di hadapan para punggawa dan para adipati sekutunya. Tangannya mengandeng istri baru yang cantik, Retna Jumilah. Adipati Pathi yang melihat merasa jengkel. Oh, makanya lama-lama di Madiun karena sudah mendapat yang cantik. Dia enak-enak berkasih mesra, sementara para pembantu disuruh menderita. Adipati Pathi jengah dan saat itu juga meminta pamit kembali ke negerinya.

Berkata Adipati Pathi, “Kanda, saya meminta pamit dulu. Di Pathi ada musuh yang memberontak. Kemarin sore ada utusan yang datang memberi tahu. Istri saya meminta saya segera pulang ke Pathi.

Senapati berkata, “Dinda, kalau bisa saya tahan. Jangan pulang dulu.”

Adipati Pathi bersikeras pulang dan tak capat dicegah lagi.

Senapati berkata, “Baiklah Dinda, jika engkau bersikeras.”

Adipati Pathi pulang dengan hati yang sakit. Kepergiannya tergesa-gesa dengan membawa seluruh pasukannya.

Senapati berkata kepada Adipati Mandaraka dan semua bupati yang hadir, “Ketahuilah, Dinda Adipati Pathi hendak melawanku.”

Adipati Mandaraka berkata, “Mengapa sebabnya engkau berkata demikian?”

Senapati menjawab, “Sudah kehendak Tuhan. Sudah jangan dipikirkan dulu. Sekarang kita akan terus ke Pasuruan.”


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/07/09/babad-tanah-jawi-40-panembahan-senapati-menaklukkan-para-adipati-di-madiun/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...