Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (41): Adipati Pasuruhan menyerah kepada Panembahan Senapati

 Berkata Senapati, “Wahai Paman Mandaraka, bubarkan segera pasukan Mataram. Kita segera berangkat ke Pasuruan.”

Adipati Mandaraka menabuh bende, pasukan Mataram segera berbaris dan membubarkan diri. Senapati Ing Ngalaga kemudian memberangkatkan pasukan menuju Pasuruan. Berjalan di belakang Senapati dikelilingi para punggawa. Perjalanan mereka dipercepat tanpa banyak berhenti. Setelah sampai di Pasuruan segera membuat pemondokan.

Sementara itu, Adipati Pasuruan sedang berunding bersama para mantrinya. Mereka mempertimbangkan hendak menyerah mengingat para bupati wilayah timur juga sudah kalah melawan Mataram.

Adipati Pasuruan berkata, “Hai semua mantri, sekarang pasukan Mataram sudah datang hendak menyerang negeri kita. Aku merasa kalau kita melawan, mustahil bisa menang. Negeri kita rusak dan orang kecil menjadi susah. Lebih baik kita menyerah saja.”

Ada salah seorang bupati pelarian dari Blambangan, namanya Ki Kaniten. Ki Kaniten tampak kurang setuju dengan kehendak Adipati Pasuruan.

Berkata Ki Kaniten, “Hamba tidak mendukung kalau paduka menyerah. Saya berani melawan pasukan Mataram dan pemimpin mereka yang bernama Senapati. Kalau hanya diadu kekuatan, seberapa kuat dia saya berani. Kalau mau mengadu ketajaman senjata dan kekuatan bahu, saya tidak takut. Paduka lihat saja saya akan lawan mereka. Jangan ada yang ikut-ikut. Berilah semangat dengan bersorak saja.  Besok pagi saya akan maju. Selama hidup saya takkan makan nasi kalau tak bisa menenteng kepala Senapati.”

Adipati Pasuruan berkata, “Kalau demikian tekadmu, aku serahkan semua prajurit kepadamu. Aku tidak ikut-ikut.”

Ki Kaniten segera melaksanakan kesanggupannya. Prajurit Pasuruan dikumpulkan.

Kepada para prajurit Ki Kaniten berkata, “Kalian semua bersiagalah. Tontonlah aku nanti melawan Senapati Mataram. Kalian dukung aku dengan bersorak di belakang.”

Sementara itu di kubu pasukan Mataram, Senapati bersiap menyerang Pasuruan dengan pasukan kecil.

Berkata Senapati, “Paman Mandaraka dan teman-teman semua, jangan ada yang ikut. Kalian bersiaga saja dengan senjata kalian. Musuh kali ini berat, tak boleh dianggap remeh.”

Adipati Mandaraka berkata, “Mengapa engkau tidak membawa para kawan-kawan bupati?”

Senapati berkata, “Paman, aku hanya ingin membawa pasukan sejumlah empat puluh prajurit. Semua berjalan darat dengan tombak hitam dan pakaian hitam. Dan pesanku jangan ada yang bergerak kalau aku belum memastikan.”

Segera berangkat Senapati dengan naik kuda si Camuris, kuda berwarna hitam. Si kuda diberi pakaian yang indah. Senapati memakai baju hitam, ikat kepala hitam, ikat pinggang berkancing dan bawahan hitam. Di jalan Senapati bertemu dengan pasukan Ki Kaniten.

Berkata Kaniten, “Lhah, ini siapa menghalangi jalanku. Mana yang bernama Senapati?”

Senapati berkata, “Dia di belakang. Dialah tuanku, Senapati raja dari Mataram. Aku ini lurah prajurit tombak hitam. Pasukanku empat puluh prajurit. Aku disuruh menghadapimu.”

Ki Kaniten berkata sambil tertawa, “Kamu jangan memaksa dan berlagak berani melawanku. Apa kamu tidak mendengar nama kondangku? Tidak sama denganmu, tandinganku si Senapati. Segera menyingkirlah.”

Senapati berkata, “Aku tak mau menyingkir, aku ini diperintah berperang. Kalau aku belum mati, aku tak mau mundur. Aku harus maju.”

Kaniten berkata sambil menunjuk, “Engkau berulah. Enggan dibuat baik. Apa kamu bosan makan nasi mau melawanku? Aku injak kau mampus.”

 Senapati berkata pelan, “Walau bagaimanapun aku takkan mundur. Beratnya menjadi hamba, walau sakit atau mati, aku tak gentar.”

Kaniten berkata, “Baiklah kalau engkau ingin melihat kesaktianku. Segera tombaklah, dari belakang boleh. Pilih mana, dada atau punggung.”

Senapati berkata, “Mari kita bertarung, jangan lari.”

Keduanya mencambuk kuda dan saling menerjang. Tombak mereka berbenturan. Sorak-sorai bergemuruh dari kedua pasukan. Ki Kaniten menikam Senapati, tapi tak mempan. Dengan nyaman Senapati melayani sambil duduk di atas kudanya. Kaniten sampai kecapaian menombak. Lama-lama Kaniten tak sabar, lalu bermaksud menombak kuda Senapati agar penunggangnya jatuh.

Sementara itu Adipati Mandaraka sudah lama menunggu, tetapi tak juga ada perintah dari Senapati. Rasa khawatir Ki Mandaraka membuatnya menyusul. Di saat yang sama Kaniten berhasil menombak kepala kuda Senapati. Si kuda melompat dan lari membawa penunggangnya.

Kaniten berseru, “Hai kamu jangan lari. Kembalilah ke medan perang.”

Senapati menjawab, “Aku tidak lari. Kamu curang menyerang kuda. Seperti bukan watak seorang perwira.”

Senapati kembali, Ki Mandaraka mengingatkan, “Senapati, musuhmu tangguh. Berdoalah kepada Tuhan.”

 Sebelum kembali maju Senapati berdoa mengheningkan cipta. Dalam hati meminta petunjuk dan kekuatan kepada Tuhan. Seketika hatinya terang dan semangatnya bangkit kembali. Tombak kyai Pleret diraih.

“Hai Pleret, aku minta karyamu. Buatlah musuhku lemas tak berdaya,” kata Senapati.

Senapati segera menerjang Kaniten dengan tombak. Kaniten menyambut serangan Senapati.

“Kamu sungguh berani kembali. Mustahil kamu bisa menang,” kata Kaniten.

Senapati menombak persis di tulang lutut Kaniten. Seketika Kaniten jatuh tak bisa berdiri lagi. Seluruh tubuhnya lemas seperti dilolosi ototnya.

Senapati berkata, “Hai Kaniten, apa maumu sekarang?”

Kaniten menjawab, “Aku tak mau apapun, tubuhku sudah seumpama mayat, tak bisa bergerak. Terserah padamu mau kau apakan. Tapi kalau boleh aku minta mati saja.”

Senapati berkata, “Aku takkan membunuhmu.”

Senapati lalu meminta kuda betina yang pincang. Kuda segera dihaturkan kepada Senapati.

Berkata Senapati, “Hai Kaniten, pulanglah ke tuanmu. Katakan engkau sudah kalah.”

Kaniten menjawab, “Aku ini terserah padamu saja.”

Kaniten lalu dinaikkan ke kuda betina itu. Pasukannya sejumlah empat puluh disuruh mengantarkan ke Pasuruan. Kaniten segera melaju. Sesampai di alun-alun segera dihadapkan kepada Adipati Pasuruan.

Adipati Pasuruan berkata, “Hai Kaniten, apa kamu berhasil? Mengapa engkau lesu? Apa sudah bertemu dengan Senapati?”

Kaniten menyembah dan berkata, “Hamba tak berhasil menemuinya. Seorang lurah prajurit menghalangi. Lurah prajurit tombak hitam. Dia sangat berani dan menghalangi hamba bertemu Senapati.”

Ki Adipati berkata, “Ketahuilah, yang melawanmu tadi Senapati.”

Kaniten berkata, “Kalau tahu itu Senapati, hamba takkan mundur. Walau harus berjalan dengan dada dan berdiri dengang janggut, hamba memilih perang habis-habisan. Tak akan hamba mundur.”

Adipati Pasuruan berkata, “Engkau sungguh berlagak. Kalau engkau sungguh mampu takkan mengalami seperti ini. Engkau ini sudah kalah.”

Adipati Pasuruan berkata kepada orang Kalang, “Hai, engkau penggal si Kaniten ini.”

Si orang Kalang segera mengambil kapak dan Kaniten dipenggal lehernya. Namun, kapak itu tak mempan. Malah kapaknya putus. Lalu mulut Kaniten dijejali dengan timah panas. Kaniten tewas seketika.

Adipati Pasuruan berkata, “Bawalah mayat Kaniten, haturkan kepada Senapati. Dan bawalah jamuan serta upeti. Selama ini aku tidak ingin melawan Senapati. Hanya Kaniten yang berani. Dan sekarang Kaniten sudah aku bunuh, haturkan kepada tuan Senapati.”

Jasad Kaniten segera dibawa ke hadapan Senapati. Utusan menyembah dan menyentuh kaki.

Berkata si utusan, “Hamba utusan adik paduka Adipati Pasuruan. Adik paduka menghaturkan salam dan bakti. Juga jasad Kaniten dihaturkan kepada paduka. Karena pada mulanya adik paduka tak bermaksud melawan. Pasuruan dan isinya diserahkan kepada paduka. Adik paduka merasa tak memiliki lagi.”

Senapati berkata, “Baik, aku terima kepercayaan Dinda Adipati Pasuruhan. Sekarang katakan kepada tuanmu, aku hendak pulang ke Mataram. Pasukan Pasuruan jangan bergerak dulu.”

Utusan segera disuruh kembali untuk melapor kepada tuannya. Semua pesan Senapati sudah dihaturkan kepada Sang Adipati. Pasukan Mataram kemudian bubar dan kembali pulang. Sesampai di Mataram Senapati masuk ke dalam puri. Para prajurit bubar ke rumah masing-masing. Para istri sudah lama menunggu mereka pulang.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/07/10/babad-tanah-jawi-41-adipati-pasuruhan-menyerah-kepada-panembahan-senapati/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...