Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (42): Senapati Kediri menyerah baik-baik kepada Panembahan Senapati Mataram

 Di Surabaya, putra Panembahan Madiun yang bernama Mas Lonthang sudah diterima mengabdi, bersama para pelarian yang kalah dari perang di timur bengawan Dhadhung. Mas Lonthang bahkan sudah diambil menantu oleh Adipati Surabaya.

Sementara itu di Kediri, dahulu yang menjadi adipati adalah Pangeran Mas. Setelah Pangeran Mas wafat negeri Kedhiri diserahkan kepada Pangeran Surabaya. Kediri kemudian diisi oleh punggawa dari Surabaya. Adapun sang menantu Mas Lonthang juga ditempatkan di salah satu negeri bawahan Surabaya, yakni sebagai adipati di Japan. Adapun di Wirasaba sudah ditanam punggawa dari Surabaya yang bernama Rangga Pramana. Di Pasuruan juga diangkat punggawa Surabaya yang bernama Adipati Pakulungan.

Alkisah, di Kediri penguasa kediri adalah Ratu Jalu, juga dari Surabaya. Kediri mempunyai punggawa bernama Senapati. Pada suatu hari Senapati sedang berbincang dengan adik-adiknya yang bernama Ki Suradipa, Ki Entol Jajanggu dan adik bungsunya Kartimasa.

Senapati Kediri berkata, “Hai Suradipa adikku, bagaimana pendapatmu tentang negeri Mataram itu. Aku rasa semakin hari semakin membesar. Ketahuilah zaman ini adikku, kiblat penguasa Jawa akan beralih ke barat. Dan lagi ujaran ramalan itu semakin terbukti di Mataram. Keadaan Mataram tak beda dengan ramalan itu. Aku punya rencana, sebaiknya kita semua mengabdi saja ke Mataram dan meninggalkan negeri Kediri. Kalau tidak demikian, aku kira kelak Mataram pasti akan menyerang ke sini.”

Ki Suradipa berkata, “Baik Kanda, saya mendukung rencana Anda itu.”

Senapati Kediri berkata, “Hai Nayakarti, engkau aku utus ke Mataram menemui Senapati Ing Ngalaga yang menjadi raja di Mataram. Bawalah suratku ini dan haturkanlah.”

Nayakarti menyembah dan segera melesat menuju Mataram. Perjalanan Nayakarti dipercepat sehingga segera sampai di Mataram. Pada hari pisowanan Nayakarti menghadap kepada Senapati Ing Ngalaga. Pada hari itu punggawa Mataram lengkap menghadap. Adipati Mangkubumi, Adipati Singasari, Adipati Mandaraka dan para putra yang berjumlah tujuh orang berada di depan. Dua putra masih muda dan belum mendapat kedudukan, yakni Mas Tambaga dan Mas Kadhawung. Ketujuh putra yang telah diangkat adalah; Mas Kenthol Kajoran atau Adipati Puger, Mas Damar atau Adipati Purubaya, Mas Gato atau Arya Wiramanggala, Mas Jolang atau Adipati Anom yang bakal menggantikan raja kelak, Mas Bathothot alias Adipati Jagaraga dan Mas Bagus yang berjuluk Adipati Juminah, Mas Julig atau Adipati Pringgalaya. Dua orang anak perempuan Senapati sudah menikah dengan Demang Tanpanangkil dan Adipati Tepasana. Putra tertua Senapati bernama Raden Rangga, tetapi sudah wafat.

Kembali ke utusan Senapati Kediri yang bernama Nayakarti, sudah menghadap ke hadapan Senapati Ing Ngalaga. Nayakarti menyembah dan duduk di hadapan Senapati Ing Ngalaga.

Berkata Senapati Ing Ngalaga, “Hai utusan, engkau siapa, dari mana dan siapa yang mengutusmu?”

Nayakarti berkata, “Nayakarti nama hamba, diutus abdi paduka Senapati Kediri untuk menghaturkan surat ini kepada paduka.”

Surat segera diterima dan dibaca dengan seksama. Isi suratnya menyatakan: “Surat dari saya kepada Sang Raja, beserta bakti saya kepada paduka yang terpuji di Mataram. Yang selalu mendapat anugerah Allah dan syafaat Kangjeng Nabi utusan, Muhammad SAW, serta mendapat berkah dari empat sahabat, Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali radhiallahu ‘anhu. Juga berkah dari para semua wali dan guru yang dimakamkan di tanah Jawa.

Surat saya tuan, menghaturkan hidup dan mati kepada paduka Sang Raja. Kami hendak mengabdi kepada Sang Raja. Menjadi tukang kuda pun mau bila Panembahan Senapati bersedia menerima. Harapan kami Panembahan berkenan menerima pengabdian kami, karena sangat ingin kami mengabdi kepada paduka, di dunia maupun akhirat.

Tuan Panembahan, ini surat kami yang kami buat sebenar-benarnya.”

Senapati Ing Ngalaga tersenyum dalam hati, membaca surat dari Senapati Kediri.

Berkata Senapati Ing Ngalaga, “Nayakarti, katakan kepada Senapati Kediri anakku, sangat besar penerimaanku atas kepercayaannya kepadaku. Seribu tangan terbuka bagi anakku Senapati Kediri. Semoga hatinya tetap teguh pada pendiriannya. Namun aku meminta tempo, anakku Senapati Kediri datanglah di bulan Muharam. Aku akan mengirim utusan untuk menjemput anakku di Kediri. Jangan khawatir dalam hati.”

Nayakarti lalu diberi busana berupa kampuh, keris, baju, celana dan uang.

Panembahan Senapati Ing Ngalaga berkata, “Hai Nayakarti, engkau segera pulanglah. Suratku ini berikan kepada anakku.”

Nayakarti segera menerima surat dan mohon pamit kembali ke Kediri. Sesampai di Kediri Nayakarti segera menghadap Senapati Kediri. Setelah menyembah surat segera dihaturkan. Surat dibaca oleh Senapati Kediri dengan seksama.

Isi suratnya: “Surat dariku untuk anakku Senapati Kediri. Pertama salam dan doaku untukmu. Kedua, permintaanmu untuk mengabdi sudah aku periksa. Aku sangat menerima pengabdianmu ke Mataram dan menyebutku sebagai ayah. Aku sungguh bersuka cita dan selalu mendoakanmu semoga mendapat syafaat dari Kangjeng Nabi. Bila kelak berumur panjang tepatilah perkataanmu. Janjiku di bulan Muharam kelak, aku sambut engkau dengan pasukan besar. Setelah itu engkau menyeberanglah kalau ucapanmu sungguh-sungguh.”

Senapati Kediri sangat berterima kasih. Setelah selesai membaca Senapati memegang kepala, laksana bertemu sendiri dengan Panembahan Senapati Mataram.

 Selang berapa bulan kemudian, tibalah bulan Muharam. Panembahan Senapati mengirim utusan untuk menjemput Senapati Kediri. Senapati tidak berangkat sendiri, hanya mengirim utusan dengan pasukan bersenjata lengkap. Setelah pasukan yang akan berangkat siap, Senapati memanggil Arya Wiramanggala.

Berkata Senapati, “Hai Wiramanggala, engkau sekarang aku utus membawa pasukan untuk menjemput Senapati Kediri. Aku sertakan bersamamu Tumenggung Alap-Alap. Hai Tumenggung Alap-Alap engkau dampingilah putraku Wiramanggala. Yang bisa engkau melayani dia. Dan para mantri Pamajekan semua bawalah serta. Orang Kajoran jangan ditinggal. Juga orang Pajang dan Jagaraga. Dan juga Demak jangan ditinggal. Pesanku, besok kalau Senapati Kediri sudah bertemu denganmu, segeralah kau menyerang Rawa. Setelah Rawa kalah semua boyongan bawalah semua. Jangan ada yang ditinggal.”

Sudah habis pesan Senapati Ing Ngalaga. Pasukan Mataram segera membubarkan barisan dan berangkat menuju Kediri. Tidak berapa lama perjalanan pasukan Mataram sudah sampai di Madiun. Ratu Jalu dari Kediri sudah diberi tahu bahwa pasukan Mataram akan menyerang. Ratu Jalu segera mengirim utusan ke Surabaya, memberitahukan bahwa pasukan Mataram akan menyerang Japan, Wirasaba, Rawa, Malang, Lumajang dan Kartasana. Bahkan pergerakan mereka sudah sampai di Kartasana. Mereka kini membuat markas di sana, tepat sebelah barat kota Kediri. Pasukan Mataram sudah menjarah harta orang-orang desa. Kerbau dan sapi ditangkap. Orang-orang desa sudah mengungsi.

Ratu Jalu sudah menyiapkan pasukan. Semua para mantri telah siap, hanya Ki Senapati yang tidak tampak. Dengan alasan sakit Ki Senapati mempercayakan kepada adiknya yang bernama Ki Saradipa untuk menggantikan.

Ratu Jalu berkata, “Di mana kakakmu, mengapa tak hadir?”

Saradipa berkata pelan, “Sedang sakit kakak hamba Senapati. Saya disuruh untuk menghadap dan menerima perintah dari paduka.

Ratu Jalu berkata, “Kalau kakakmu sakit, engkau yang menggantikannya memimpin pasukan kita menghadapi serangan pasukan Mataram. Sekarang kalian bubarlah dan bawalah prajurit Kediri. Bergabunglah dengan pasukan Surabaya yang sudah datang membantu. Segera berangkatlah.”

Yang diperintah menyembah dan segera menabuh genderang perang. Banyak pasukan dari negeri di utara belum datang. Baru dari Sarengat, Blitar, Malang dan Rawa yang sudah bergabung. Pasukan sudah berangkat dan sebentar kemudian telah tampak pasukan Mataram. Kedua pasukan sudah saling berhadapan. Ki Saradipa berada di depan pasukan Kediri.

Pasukan Mataram sudah dipesan bahwa telah ada kesepakatan dengan pasukan Kediri di bawah pimpinan Ki Saradipa. Begitu kedua pasukan bertemu Ki Saradipa mengarahkan tembakan agak ke atas sehingga tak mengenai pasukan Mataram. Sambil menembak mereka bersorak seolah perang sungguhan. Seharian mereka berperang pura-pura, tidak ada yang kalah dan menang.

Sementara itu Ki Senapati sedang berbincang di rumah dengan dua adiknya, Ki Jajagung, Ki Kartimasa dan dengan menantunya yang bernama Mas Balimbing.

Berkata Ki Senapati, “Ayo kalian bersiaplah. Malam nanti kita lolos dari Kediri. Aku minta jangan sampai kesiangan. Kumpulkan semua keluargamu.”

Kenthol Jajagung berkata, “Bagaimana nanti Kanda Saradipa? Dia masih di medan perang. Kalau dia tidak tahu bagaimana nanti?”

Ki Senapati berkata, “Dia nanti sekalian berangkat. Aku sudah sepakat dengan kakakmu. Bawalah juga keluarganya. Jangan sampai tertinggal.”

Mereka kemudian mengumpulkan anak istri Saradipa untuk diajak lolos bareng-bareng. Seluruh keluarga Ki Senapati bersaudara sejumlah seratus orang bersiap meninggalkan rumah mereka. Para wanita diletakkan di tengah-tengah rombongan, para lelaki menjaga di depan dan belakang. Sementara itu Ki Saradipa sudah diberi tahu bahwa keluarganya telah lolos dari Kediri. Ki Saradipa segera mengumpulkan saudaranya yang berada di medan perang. Malam itu sejumlah empat puluh orang sudah lolos dari pemondokan mereka. Mereka segera bergabung dengan rombongan Ki Senapati.

Pagi harinya pasukan wilayah timur sudah mengetahui kalau pimpinan mereka Ki Saradipa sudah lolos tadi malam. Bersama Ki Senapati mereka akan menyeberang ke pihak Mataram. Peristiwa ini kemudian dilaporkan kepada Ratu Jalu.

Sang Ratu berkata, “Kejarlah mereka. Kalau tertangkap tumpaslah semua, jangan ada yang tersisa.”

Pasukan wilayah timur segera mengejar Ki Senapati bersaudara. Di Karakal mereka berhasil disusul. Senapati melawan dan pecahlah pertempuran. Menantu Senapati yang bernama Mas Balimbing mengamuk. Banyak prajurit timur tewas dan terluka. Tetapi karena dikeroyok orang banyak Mas Balimbing berhasil dilukai dadanya. Ki Senapati begitu melihat sang menantu terluka segera memerintahkan para kerabatnya untuk membantu. Seratus empat puluh kerabatnya mengamuk sehingga pasukan timur kocar-kacir. Senapati segera mengirim utusan ke pasukan Mataram agar dijemput. Utusan berangkat dengan bergegas dan berhasil bertemu dengan Pangeran Arya Wiramanggala, panglima pasukan Mataram.

Pasukan Mataram segera dikirim ke tempat Senapati. Dengan bergegas mereka menuju tempat pertempuran. Pasukan Mataram mengamuk, pasukan wilayah timur bubar berlarian. Ki Senapati berhasil dibawa menuju ke pondokan pasukan Mataram. Setelah bertemu Pangeran Arya Wiramanggala keduanya bersalaman.

Berkata Pangeran Arya Wiramanggala, “Kanda Senapati. Salam dari ayahanda Panembahan.”

Senapati Kediri sangat berterima kasih dan memegang kepala, tanda hormat yang sangat. Pangeran Arya Wiramanggala kemudian mengajaknya masuk ke pondokan. Setelah duduk nyaman mereka meneruskan berbincang.

Pangeran Arya Wiramanggala berkatam, “Duduklah Paman Alap-Alap. Besok Anda teruslah ke negeri Rawa, bawalah empat bupati. Paman berhati-hatilah.”

Tumenggung Alap-Alap berkata, “Paduka, mengapa Kediri tidak ditaklukkan sekalian?”

Pangeran Arya Wiramanggala berkata, “Aku tidak dipesan menyerang Kediri. Ayahanda hanya berpesan setelah bertemu Kanda Senapati segeralah menyerang Rawa. Rawa boleh ditaklukkan dan dijarah hartanya serta diboyong para wanitanya. Segeralah berangkat Paman, bawalah empat bupati. Aku akan segera pulang ke Mataram untuk mengantar Kanda Senapati. Itulah pesan ayahanda, agar Kanda Senapati segera ke Mataram. Ayah sangat menunggu kedatangannya.”

Senapati berkata, “Mari kita serang Kediri, saya sangat suka jika dilakukan.”

Pangeran Wiramanggala berkata pelan, “Itu bukan yang dikehendaki ayahanda Panembahan.”

Alap-Alap segera memberangkatkan pasukan ke Rawa. Empat bupati menyertainya. Setelah Alap-Alap pergi Pangeran Wiramanggala pun kembali ke Mataram. Senapati disuruh menempati barisan depan, Pangeran Arya berada di tengah dan para bupati menempati barisan belakang. Jarak masing-masing pasukan satu perjalanan. Mereka berjalan dengan penuh kewaspadaan. Barangkali ada musuh yang membuntuti atau mengejar. Setelah sampai di Jagaraga pasukan Pangeran Arya berhenti untuk menunggu Tumenggung Alap-Alap. Dari Jagaraga Pangeran Arya Wiramanggala mengirim utusan untuk memberi tahu ke Mataram bahwa Senapati Kediri sudah dijemput.

Sementara itu Tumenggung Alap-Alap sudah berhasil menaklukkan Rawa. Harta benda dan putri boyongan sudah dibawa. Peristiwa ini ditandai dengan sengkalan tahun: pandita ngalih nata bumi[1]Semua boyongan lalu diserahkan kepada Pangeran Arya Wiramanggala di Jagaraga. Pangeran menerima dengan sukacita. Pasukan Mataram kemudian meneruskan perjalanan pulang. Para boyongan ditempatkan di barisan depan.

Sementara itu utusan Pangeran Arya Wirmanggala sudah sampai di Mataram dan menghadap Panembahan Senapati.

Berkata si utusan, “Memberi tahu kepada paduka, bahwa putra paduka Pangeran Arya sudah berhasil membawa Senapati Kediri. Juga abdi paduka Tumenggung Alap-Alap sudah berhasil menaklukkan Rawa.”

Panembahan Senapati lalu berkata kepada pawang gajah, “Hai pawang, berilah pelana dan hiaslah gajah kendaraanku.”

Panembahan Senapati segera memakai busana indah dan celama berenda, lalu memanggil salah satu selirnya untuk ikut menjemput Senapati Kediri. Tiga ratus orang mengiringi sang selir untuk menemui keluarga Senapati Kediri. Seluruh keluarga Senapati telah diberi busana yang indah. Penjemput segera mempersilakan Senapati terus laju ke kota. Panembahan sudah menunggu kedatangan Senapati Kediri. Rombongan Senapati Kediri kemudian ditempatkan di bawah beringin kurung sambil menunggu perintah selanjutnya. Setelah mendapat izin menghadap Senapati Kediri bersama seluruh keluarga naik ke dalam puri.

Sesampai di hadapan Panembahan, Senapati Kediri meletakkan keris sebagai tanda penyerahan diri, kemudian maju dan sungkem. Para keluarga berjajar di belakangnya. Ketika Senapati Kediri menyentuh kaki, sang Panembahan mengelus-elus punggung Ki Senapati.

Berkata Panembahan Senapati, “Mana saudaramu yang bernama Saradipa?

Senapati Kediri menyembah, “Abdi paduka Saradipa berada di belakang. Juga bersama adik hamba si Jajagung.”

Panembahan berkata, “Majulah untuk sungkem kepadaku.”

Kedua adik Senapati meletakkan keris dan maju ke depan, lalu sungkem dan menyentuh kaki sang Panembahan. Keluarga Senapati Kediri merasa mendapat sambutan yang hangat. Mereka tak kuasa membalas kasih sang Panembahan. Hanya akan tunduk dan patuh sebagai balasannya.

 Senapati Kediri berkata, “Jasad hamba kami haturkan kepada paduka Sang Raja, juga darah dan daging hamba, tulang dan sumsum serta rambut, semua kami haturkan keapada paduka Kangjeng Panembahan. Hidup dan mati kami milik tuan. Kami tak mengira kami bersaudara punya kesempatan mengabdi kepada paduka. Hati kami tak ragu lagi, hanya paduka tuan hamba. Bila kami sampai mempunyai pikiran mengabdi kepada yang lain, semoga kami tak selamat.”

Panembahan berkata pelan, “Aku terima pengabdian kalian. Bakti dan setialah kepadaku. Sudah sekarang kalian beristirahat dulu. Hai Wiramanggala, tempatkan kakakmu si Senapati di perumahannya. Baik-baiklah mengaturnya.”

Panembahan Senapati masuk ke puri. Ki Senapati Kediri segera dibuatkan rumah yang baik beserta keluarganya masing-masing. Setengah bulan kemudian rumah mereka jadi dan sudah ditempati. Ki Senapati diberi tanah seribu lima ratus karya, Saradipa diberi tanah delapan ratus karya. Kedua adik yang lain, Kenthol Jajagung dan Kartimasa masing-masing enam ratus karya. Mereka sudah menjadi penduduk Mataram dan merasa nyaman hatinya.

Sebulan setelah peristiwa menyeberangnya Ki Senapati Kediri, Panembahan tampil di hadapan para punggawa di hari pisowanan. Para putra dan kerabat semua menghadap. Senapati Kediri juga menghadap beserta tiga adiknya.

Panembahan Senapati berkata, “Wahai para punggawa Mataram, ketahuilah. Anakku Senapati Kediri sekarang aku angkat sebagai putraku. Saya tempatkan sebagai putra sulungku. Semua putra-putra memanggil kakak kepadanya. Patuhilah pesanku ini.”

Panembahan lalu berkata kepada Senapati Kediri, “Anakku Senapati, sekarang aku minta adikmu yang bernama Saradipa, itu juga aku angkat sebagai anak.”

Senapati menyembah dan berkata, “Silakan paduka, saya patuh segala kehendak paduka. Paduka lebih berhak karena dia adalah abdi paduka. Saya harap kami beserta keturunan kami lestari mengabdi kepada paduka.”

Panembahan berkata, “Aku terima kesetiaanmu. Doa restuku untukmu sekeluarga.”

Senapati berkata, “Hamba siap sedia melayani paduka. Walau harus menghaturkan nyawa, kami tidak akan menolak.”

Panembahan berkata, “Ada satu hal lagi Senapati. Aku ini belum mempunyai kota. Sekarang buatkan aku sebuah kota.”

Senapati menyembah, “Paduka, bila paduka setuju, seluruh prajurit Mataram paduka perintahkan untuk membuat bata dari batu putih. Lalu perintahkan lagi untuk mencetak bata merah. Nanti akan menjadi kota yang indah.”

Panembahan setuju usulan Ki Senapati. Segera diperintahkan para prajurit untuk membuat bata putih dan bata merah. Setelah selesai mereka dikaryakan untuk membuat benteng di sekeliling pedukuhan Mataram. Desain benteng yang dirancang Senapati tidak memakai lubang di dinding benteng.

Berkata Senapati, “Maksud saya kalau ada musuh yang datang ke Mataram, orang kita bisa berlindung di balik benteng. Nanti hamba yang akan menghadapi di luar benteng.”

Tidak berapa lama benteng kota Mataram sudah jadi. Peristiwa itu ditandai dengan sengkalan tahun: karêngèng toya marga ing bumi[2]. Sang Panembahan kemudian keluar naik gajah dan mengajak Senapati ikut serta untuk memeriksa benteng.

Senapati berkata, “Mohon maaf paduka. Saya takut. Bagaimana bisa saya naik gajah berjajar dengan paduka. Saya berjalan darat saja.”

Panembahan berkata, “Apa saya harus turun menggendongmu?”

Senapati menyembah lalu dengan sangat takut naik tangga dan duduk di atas gajah bersama Panembahan. Setelah selesai memeriksa Panembahan menuju Pancaniti. Senapati turun dengan sangat takut lalu duduk menunduk.

Panembahan berkata, “Bangunlah anakku Senapati. Duduklah engkau bersama kedua adikmu. Aku hendak masuk ke puri. Jangan engkau pulang dulu.”

Panembahan kemudian masuk ke puri dan memberitahu agar digelar pertemuan. Para punggawa sudah lengkap hadir memenuhi balai pisowanan. Panembahan lalu memanggil Ki Senapati untuk masuk ke puri. Sementara putra-putra yang lain disuruh menunggu di Pagelaran. Kalau Ki Senapati sudah keluar, baru mereka boleh bubar.

Panembahan menunggu kedatangan Senapati bersama sang istri. Setelah Senapati datang Panembahan menyuruhnya maju dan duduk sejajar dengan para istri. Senapati menyembah dan meminta agar tetap duduk di tempatnya. Panembahan memaksa dan dengan takut-takut Senapati meletakkan kerisnya.

Panembahan melarangnya, “Jangan kau letakkan kerismu. Tetaplah engkau pakai.”

Senapati kemudian bergeser ke depan, kemudian duduk sejajar bersama para istri Panembahan. Mereka kemudian makan bersama. Satu tumpeng dimakan oleh Panembahan, empat orang istri dan Senapati. Setelah selesai sisa makanan segera dibawa keluar. Senapati merasa mendapat kehormatan yang sangat diperkenankan makan bersama Panembahan dan para istri. Panembahan memang sangat mengasihi Senapati dan menganggapnya sebagai putra sulung. Setelah berbincang sesaat dan memberi hadiah pakaian yang indah-indah Panembahan mengizinkan Senapati untuk keluar.

Sementara itu para punggawa yang berada di luar melihat Senapati telah lengser dari dalam puri. Mereka pun kemudian membubarkan diri dan kembali ke rumah masing-masing.


[1] Sengkalan tahun

[2] 1542 AJ


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/07/11/babad-tanah-jawi-42-senapati-kediri-menyerah-baik-baik-kepada-panembahan-senapati-mataram/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...