Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (43): Mataram diserang pasukan bersenjata dari wilayah timur

 Para pembesar negeri wilayah timur sudah menata barisan pasukan bersenjata. Mereka hendak menyerang Mataram. Yang memimpin pasukan wilayah timur adalah Adipati Gendhing dan Adipati Surabaya, seorang lagi bernama Adipati Pasagi dan seorang lagi bernama Ki Rangga Lelana. Pasukan wilayah timur sudah berangkat menuju Mataram. Mereka berhenti dulu di Madiun untuk menunggu pasukan lain yang masih dalam perjalanan, yakni dari Japan, Wirasaba, Malang, Pasuruan, Singasari, Lumajang, Panarukan, Puger, Peri, Cakru, Banyakputih dan Ngrenon. Juga pasukan dari selatan, yakni Semanget, Blitar, Rawa, Kalangbret dan Ponorogo. Dan juga negeri-negeri pesisir, yakni Lamongan, Gresik, Sidayu, Tuban, Lasem dan Rembang.

Setelah semua berkumpul mereka merundingkan langkah penyerangan ke Mataram. Mereka sepakat membagi pasukan menjadi dua bagian. Yang melalui jalan selatan dipimpin Adipati Pasagi. Yang melalui jalan utara dipimpin Adipati Gendhing. Kedua rombongan pasukan wilayah timur berangkat melalui rute masing-masing. Banyaknya pasukan sampai memenuhi jalan, seperti aliran air yang tumpah.

Alkisah, raja Mataram Panembahan Senapati sedang tampil di hadapan para punggawa. Hadir pula Senapati Kediri bersaudara, Ki Saradipa, Ki Jajagung dan Nayakarti. Adipati Mandaraka selalu di depan bersama Pangeran Mangkubumi, Pangeran Juminah, Pangeran Pringgalaya, Pangeran Arya Wiramanggala, Pangeran Adipati Puger, Pangeran Adipati Tepasana dan Pangeran Purubaya.

Sang Panembahan berkata, “Hai anakku Senapati, sekarang apa saranmu akan aku turuti, perihal pasukan dari wilayah timur yang sedang menuju Mataram. Menurut laporan prajurit Kajineman kepadaku, perjalanan mereka dibagi dua. Yang separuh melalu jalan utara dipimpin Adipati Gendhing. Separuh lagi melalui selatan dipimpin Adipati Pasagi. Mereka telah sampai di Nguter dan bermarkas di sana. Nah, Senapati bagaimana pendapatmu, mana yang harus dihadapi duluan?”

Berkata Senapati Kediri, “Yang mana saja hamba berani paduka. Hanya hamba meminta paduka jangan turun sendiri ke medan perang. Abdi paduka si Senapati ini saja yang menghadapi pasukan wilayah timur. Dan satu lagi yang saya minta, para putra paduka cukup menyaksikan saya dari belakang. Tidak usah ikut berperang.”

Panembahan berkata, “Aku ingin berangkat sendiri.”

Senapati Kediri berkata, “Hamba minta kepada paduka, kalau Senapati masih hidup jangan sampai paduka beranjak dari kotaraja. Abdi tuan si Senapati ini untuk apa kalau tidak diadu perang.”

Panembahan sangat bersukacita mendengar kesanggupan Senapati Kediri, “Duhai anakku, kalau demikian segeralah bersiap. Ayo para prajurit Mataram kalian segera menyiapkan diri. Para putra dan kerabatku semua, jangan ada yang ketinggalan. Berangkatlah semua mendampingi Senapati.”

Pasukan Mataram sudah berbaris rapat di alun-alun, banyaknya prajurit sampai tumpah ruah ke pasar dan gang-gang.

Panembahan berkata, “Baiklah, segera kalian berangkat. Anakku Senapati, bubarkan barisan dan aku serahkan semua pasukan kepadamu.”

Senapati menyembah, dan segera menabuh tanda berangkat. Kendang dan gong berbunyi bersahutan. Bende Ki Bicak dipukul, suaranya menggema di angkasa seperti suara halilintar. Para pasukan di depan beranjak, disusul pasukan di belakangnya. Gerakan mereka seperti gelombang samudera tiada bertepi. Ki Senapati berada di belakang menempati posisi komando tertinggi. Para saudara Senapati berada di barisan tengah bersama para putra raja. Perjalanan mereka sudah sampai di Taji, lalu menata barisan.

Para bupati berbincang dengan Ki Senapati membicarakan strategi yang akan mereka terapkan.

Berkata Senapati, “Siapa sebaiknya yang akan menghadapi pasukan timur yang lewat selatan?”

Pangeran Mangkubumi berakata, “Aku serahkan padamu.”

Senapati berkata, “Kalau setuju, Tuan Pangeran Purbaya yang memimpin pasukan Mataram yang akan menghadapi musuh di selatan dengan didampingi Pangeran Jagaraga, Malangsumirang dan Panji Wirabumi.”

Pangeran Purbaya berkata, “Apa keinginanmu kami mendukung.”

Senapati berkata, “Juga jangan ketinggalan Ngabei Wirapati dan Kartiwadana dan juga para prajurit dari Kajoran. Kalau sudah siap silakan berangkat. Musuh berada di timur agak ke selatan, di Nguter.”

Pasukan Mataram segera berangkat. Pangeran Purubaya menjadi panglima pasukan Mataram yang ke selatan. Ki Senapati kemudian memimpin sisa pasukan ke arah utara. Para punggawa Mataram yang menyertainya adalah Pangeran Mangkubumi, Pangeran Singasari, Ngabei Jenar, Ngabei Rawa, Ngabei Awu-Awu, Tumenggung Bocor, Ngabei Kalegen, Demang Kalong. Mereka semua berada di depan. Di belakangnya menyambung para mantri Mataram lainnya seperti Ngabei Wiratanu, Tumenggung Singajaya, Arya Panular, Demang Tanpanangkil, Ngabei Patrabangsa, Tumenggung Wirangara dan Arya Jagabaya. Di tengah barisan para saudara Ki Senapati berada, Ki Saradipa, Ki Jajagung, Ki Nayakarti. Sementara di barisan belakang ditempati para pangeran, Adipati Tepasana, Pangeran Puger, Pangeran Arya Wiramanggala, Pangeran Pringgalaya, Pangeran Adipati Anom dan Pangeran Juminah. Perjalanan pasukan Mataram yang ke utara sudah sampai di bengawan Semanggi.

Sementara itu di selatan, pasukan Pangeran Purubaya sudah bertempur dengan pasukan Adipati Pasagi. Terdengar sorak-sorai bergemuruh dari arah selatan. Kedua pasukan saling desak, saling tembak dan saling serang. Di langit terdengar suara kalantaka menyalak bersahutan. Panji Wirabumi mengamuk seperti raksasa lapar. Pangeran Purbaya dan sang adik Pangeran Jagaraga dikeroyok pasukan dari timur  tapi tak gentar. Kedua pangeran mengamuk tanpa bisa dilawan. Banyak prajurit timur telah tewas. Makin lama pasukan timur makin terdesak. Akhirnya Adipati Pasagi lari dari medan perang. Ki Adipati lari ke utara untuk bergabung dengan pasukan di utara.

Di utara, pasukan dari timur dan pasukan Mataram juga sudah terlibat pertempuran dahsyat. Senapati bersaudara mengamuk tanpa bisa dilawan. Pasukan timur kocar-kacir. Ki Saradipa dan Ki Jajagung langsung menuju ke pondokan musuh. Ki Nayakarti segera menyusul. Sementara Ki Senapati bersama empat puluh orang prajurit Magersari mengikuti dari belakang. Ki Senapati dan Adipati Pasagi masih terhitung paman-keponakan. Ayah Ki Senapati dan Adipati Pasagi adalah saudara sepupu. Ki Senapati sudah bertekad bila nanti bertemu sang paman akan dia layani sekehendaknya. Bila perlu akan melakukan duel satu lawan satu.

Tak berapa lama kemudian Ki Senapati bertemu dengan Adipati Pasagi yang datang dari selatan.

Adipati Pasagi berkata kepada pengiringnya, “Hai bocah, siapa itu yang dikelilingi para Magersari, sikapnya berlagak, berkuda dengan berjingkrak-jingkarak.”

Para prajuritnya menjawab, “Apa tuan tak mengenai lagi, itu putra tuan sendiri Senapati dari Kediri.”

Adipati Pasagi sangat gembira, “Waduh anakku, sungguh engkau yang kuharapkan bertemu. Ayo mumpung sepi di jalanan ini kita bertarung. Aku ingin melihat rupamu sekarang.”

Ki Senapati begitu melihat sang paman Adipati Pasagi kemudian berbalik.

“Ayo bocah, kita hadapi paman Pasagi. Sudah lama aku tunggu-tunggu baru kali ini bertemu. Ayo sekarang kita bertarung mengukur keperwiraanmu Paman,” seru Senapati.

Kedua paman-keponakan sudah berhadapan. Adipati Pasagi tertawa meremehkan Senapati.

Berkata Adipati Pasagi, “Hai bajindul, engkau telah mulia di Mataram. Sungguh tak tahu balas budi. Prajurit tak tahu malu. Kurang apa engkau di Kediri? Mengapa meninggalkan negeri dan ikut Mataram dengan membawa keluarga dan sanak saudara? Sungguh nista yang kau lakukan. Apa kau kekurangan tuan tempat menghamba, sampai jauh-jauh pergi ke Mataram?”

Senapati berkata, “Hai Paman Pasagi, mengapa banyak kata. Sepatutnya orang seperti engkau dibacok pedang. Mulutmu sungguh lancang. Aku selama mengabdi di Kediri tanpa ada cacat.”

Adipati Pasagi berkata, “Lalu mengapa engkau menyeberang ke pihak musuh? Apa kurangnya engkau di Kediri? Mengapa harus mengabdi ke Mataram? Apa engkau tergiur ramalan yang menyebut Mataram akan menguasai tanah Jawa? Siapa percaya ramalan mustahil itu? Tidak akan terjadi selama masih ada lawan sepertiku.”

Senapati berkata, “Ucapan Paman menandakan Paman tak paham ilmu. Semua manusia itu sama, dari benih nabi Adam. Tidak mustahil Mataram berkembang menguasai tanah Jawa kalau sudah mendapat perkenan Tuhan. Sudahlah jangan banyak omong Paman. Kemarilah aku tombak kepalamu.”

Adipati Pasagi berkata, “Baik, tak ada bapak dan anak. Kita ini berebut kedudukan. Ayo tombaklah aku.”

Adipati Pasagi segera menerjang. Senapati menyongsong bersama empat puluh prajurit Magersari. Kedua perwira sama-sama tangguh. Adipati Pasagi berhasil menombak Senapati dua tiga kali, tapi Senapati bergeming.

Senapati berkata, “Ayo Paman, jangan kendur.”

Adipati Pasagi terpancing provokasi Senapati, segera menombak dengan penuh kekuatan. Senapati menghindar, tombakan Adipati Pasagi meleset. Tubuhnya terhuyung. Senapati mengambil kesempatan dengan menghunjamkan tombak ke dada Adipati Pasagi. Seketika Adipati Pasagi roboh. Namun sebelum sampai ke tanah Adipati Pasagi sempat balas menombak. Karena tenaganya sudah loyo tombaknya hanya menyerempet leher, hanya segores kuku. Namun itu cukup untuk membuat Senapati jatuh. Kedua paman dan keponakan itu mati bersama. Prajurit timur pengiring Ki Pasagi segera merebut jenazah tuannya dan membawanya lari dengan keranda.

Sementara itu Ngabei Patrabangsa dan Pangeran Purubaya yang mengejar Adipati Pasagi dari selatan melihat bahwa Ki Senapati bertempur dengan Adipati Pasagi. Mereke segera datang membantu. Terlihat oleh mereka pasukan Adipati Pasagi berlari meninggalkan pasukan Senapati. Mereka belum tahu kalau Senapati juga tewas. Mereka kemudian mengejar pasukan yang membawa lari keranda Adipati Pasagi. Namun yang dikejar lebih cepat. Mereka lolos.

Ngabei Patrabangsa dan Pangeran Purubaya kembali ke tempat Senapati. Mereka mendapati jenazah Senapati sudah dimasukkan keranda. Baru mereka tahu kalau Senapati sudah tewas.

Pangeran Purubaya berkata, “Ayo buru-buru kita berbela mati kepada Senapati. Sungguh kita akan mendapat kemarahan karena dia abdi kesayangan Panembahan.”

Para prajurit kembali mengejar pasukan yang membawa lari keranda Adipati Pasagi. Setelah beberapa lama keranda berhasil direbut, segera dibuka dan kepala Adipati Pasagi dipenggal.

Para punggawa Mataram dari kedua rombongan pasukan sudah berkumpul kembali. Ngabei Patrabangsa memberi tahu kepada Pangeran Mangkubumi bahwa Ki Senapati sudah tewas dalam perang di Jatisari. Senapati tewas bersama sang paman Adipati Pasagi. Pangeran Mangkubumi kaget. Seketika memukul kedua pahanya, tanda sangat menyesal.

Berkata Pangeran Mangkubumi, “Hai pasukan Mataram, jadi apa engkau nanti. Abdi kesayangan Panembahan tewas. Pasti mendapat hukuman kalian nanti.”

Ada seorang prajurit bernama Ragapita yang melihat Senapati tewas, lalu bergegas pulang ke Mataram memberi tahu Sang Panembahan.

Pangeran Mangkubumi berkata kepada Pangeran Adipati Mataram, “Engkau pimpinlah prajurit mengamuk untuk berbela mati kepada Ki Senapati.”

Berkata Pangeran Adipati, “Kalau begitu para putra semua mari kita mengamuk. Pasukan aku minta bersiap.”

Bende segera ditabuh, gong dan beri bersahutan. Senjata-senjata telah terhunus para prajurit sudah bersiap. Para putra Mataram berada di depan memimpin pasukan. Semangat bela pati mereka menyala. Sorak-sorai bergemuruh para prajurit menggetarkan langit.

Sementara itu di kubu pasukan wilayah timur, Adipati Gendhing sudah mendapat laporan bahwa pasukan Mataram mengejar mereka. Adipati Gendhing kemudian menabuh tanda mundur. Pasukan darat berjalan di depan, pasukan berkuda mengikuti di belakang.

Para prajurit Mataram melihat pasukan Adipati Gendhing mundur. Mereka segera memacu kuda-kuda mereka. Tidak lama kemudian musuh sudah terkejar. Segera senapan dan kalantakan dibidikkan. Pasukan Mataram mengamuk kesetanan. Para adipati dan para putra raja Mataram tak gentar. Mereka mengamuk, menerjang, menebas dan menikam. Medan perang penuh jerit dari orang terluka. Para prajurit banyak yang mati. Mayat bertumpuk-tumpuk tumpang tindih.

Para pembesar pasukan wilayah timur sudah banyak yang tewas. Rangga Jaladara sudah dipenggal kepalanya bersama Wiramantri. Kepalanya dibawa ke Mataram. Pasukan Mataram banyak mendapat jarahan, tombak, keris, senapan dan harta benda. Setelah musuh hancur Pangeran Mangkubumi membawa pasukan Mataram kembali ke pondokan.

Pangeran Mangkubumi berunding dengan para pembesar. Utusan akan dikirim ke Mataram untuk melapor kepada Panembahan perihal tewasnya Senapati Kediri. Musuh dari timur sudah kalah. Adipati Gendhing sudah lari bersama Rangga Lelana. Juga diminta perintah Panembahan jenazah Senapati akan dikebumikan di mana. Utusan segera melesat ke Mataram.

Sementara itu di Mataram, Ki Ragapita sudah sampai duluan dan melapor perihal kematian Senapati. Panembahan Mataram tertegun sambil meneteskan air mata. Penyesalannya tiada tara.

“Duh Anakku Senapati, tidak mengira engkau akan mati secepat itu. Aku yang merasa sangat rugi atas kematianmu. Ki Senapati akan aku bela.”

Panembahan kemudian memerintahkan agar mengerahkan tukang pikul. Gajah sudah diberi pelana. Pasukan Mataram akan berangkat. Tiba-tiba datang utusan dari Pangeran Mangkubumi yang melaporkan peristiwa itu secara lengkap.

Berkata si utusan, “Hamba diutus adik paduka Pangeran Mangkubumi untuk memberi tahu bahwa Senapati sudah tewas, mati bersamaan melawan Adipati Pasagi. Dan adik paduka menghaturkan beribu maaf karena tidak bisa menjaga abdi kesayangan paduka. Namun pasukan timur sudah berhasil dikalahkan. Hamba bawa kepala si Pasagi, Wiramantri dan Rangga Jaladara. Adik paduka juga meminta perintah jenazah Ki Senapati hendak dimakamkan di mana. Dan juga musuh-musuh paduka itu terus dikejar atau dibiarkan saja dulu.”

Panembahan berkata, “Engkau kembalilah bersama Ragapita. Panggilah Mangkubumi agar mundur ke Mataram. Tidak perlu mengejar ke wilayah timur karena belum saatnya. Kelak anak cucuku yang akan melakukannya. Dan jenazah Senapati kuburkan di desa Wedhi.”

Utusan menyembah dan segera melesat. Panembahan memerintahkan kepada para punggawa untuk memberi tahu kepada istri Ki Senapati bahwa suaminya tewas di medan perang. Punggawa yang disuruh segera berangkat menyampaikan kabar kepada istri Senapati. Nyai Senapati ketika diberi tahu sangat kaget. Seketika menjerit sambil memeluk putrinya. Putrinya dulu juga kehilangan sumai, Ki Mas Balimbing yang tewas ketika peristiwa pengejaran di Kediri. Kedua ibu-anak itu kini sama-sama menjadi janda.

Berkata Nyai Senapati, “Aduh anakku, dulu engkau punya suami telah meninggalkanmu, sekarang giliran ayahmu harus pergi. Siapa yang akan memberi makan kepadamu anakku.”

Sang putri menjerit dan jatuh ke lantai. Tangisnya pecah sambil terus memanggil sang ayah, “Duh ayah, bagaimana kami akan meneruskan hidup nantinya.”

Nyai Senapati berkata, “Sekarang bersiaplah, ayo kita sambut jenazah ayahmu.”

Seluruh keluarga Ki Senapati bersiap menghadiri pemakaman Ki Senapati dan para kerabat yang tewas. Dari seluruh pasukan Ki Senapati yang tewas ada empat puluh orang. Kediaman Ki Senapati hari itu terjadi hujan air mata. Para istri kemudian berangkat menghadiri pemakaman suami mereka di Wedhi.

Sementara itu di pondokan pasukan Mataram, utusan Panembahan sudah datang. Si utusan menyampaikan perintah Panembahan agar Pangeran Mangkubumi membawa pulang pasukan Mataram. Juga perintah agar Ki Senapati dimakamkan di Wedhi. Pangeran Mangkubumi segera memukul tanda berangkat, sementara jenazah Ki Senapati diantar oleh Nayakarti ke pemakaman Wedhi. Nyai Senapati beserta keluarga sudah menyambut di Wedhi. Tak henti-henti Nyai Senapati menangis sambil terus memanggil sang suami.

“Duh kanda Senapati, tak bisa aku kautinggalkan. Ajaklah aku serta. Kyai aku tak bisa hidup tanpamu,” ratap pilu Nyai Senapati.

Nayakarti yang melihat para istri dan anak-anak menangis tak kuasa menahan air mata. Semua yang hadir ikut menangis.

Sementara itu di kotaraja pasukan Mataram sudah menghadap kepada Panembahan.

Pangeran Mangkubumi berkata, “Hamba menghaturkan hidup-mati, karena telah gagal menjaga Senapati.”

Sang Panembahan berkata manis, “Dinda Mangkubumi, apa yang kaukatakan? Semua sudah kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Aku tak bisa menyalahkanmu sebagai penyebab kematian Senapati.”

Panembahan lalu mengambil harta dan busana yang indah-indah. Para punggawa dan prajurit sudah diberi hadiah. Para putra mendapat masing-masing seribu, para mantri mendapat masing-masing empat ratus. Para prajurit pun mendapat bagian masing-masing. Ki Saradipa, Ki Jajagung dan Kartimasa mendapat pakaian indah dan emas serta uang. Juga diberi hadiah wanita. Ki Saradipa diangkat sebagai adipati dengan nama Adipati Martalaya. Ki Jajagung mendapat nama baru Arya Jayasupanta dan Kartimasa mendapat nama baru Ki Saradipa. Ki Mas Sori mendapat hadiah negeri Demak dan kedudukan sebagai adipati. Semua prajurit Mataram sudah mendapat tanah garapan sepantasnya secara merata.

Adipati Mandaraka menyembah dan berkata, “Apakah kita akan segera menyerang negeri wilayah timur. Saya minta segera diserang saja. Ini waktu yang tepat.”

Panembahan berkata, “Aku rasa belum waktunya Paman. Menurut ramalan bukan saya yang akan meratakan tanah Jawa. Anak cucuku yang akan melakukannya. Mungkin paman kelak akan menyaksikan. Dan lagi Paman, pesanku kalau aku mati nanti, dari semua anakku yang seyogyanya menggantikanku adalah cucumu si Jolang. Anda dan Dinda Mangkubumi, laksanakan pesanku ini. Dan lagi pesanku jangan sampai anak-anakku berselisih. Siapa yang tidak mematuhi jangan sampai menemui selamat. Yang memulai berbuat buruk semoga mendapat hukuman dari Tuhan.”

Ketika Panembahan berpesan demikian para putra dan kerabat semua takut kalau melanggar. Semua pesan dianggap jimat yang akan dijaga dengan baik. Sudah habis pesan Panembahan, pertemuan hari itu bubar. Panembahan masuk ke puri dan para kerabat kembali ke kediaman masing-masing.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/07/12/babad-tanah-jawi-43-mataram-diserang-pasukan-bersenjata-dari-wilayah-timur/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...