Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (44): Adipati Pathi bermusuhan dengan Panembahan Senapati Mataram

 Alkisah di negeri Pathi, Adipati Pathi sedang tampil di hadapan para punggawa. Sang Adipati punya kehendak yang menyeleweng, akan melawan Mataram. Peristiwa yang menjadi pemicu permusuhan adalah kejadian di Madiun. Ketika itu Adipati Pathi meminta pulang ke Mataram, sedangkan Panembahan Senapati meneruskan perjalanan ke Pasuruan dan berperang melawan Ki Kaniten.

Adipati Pathi menyusun siasat hendak merebut pedesaan di utara Kendeng, tapi jangan sampai menimbulkan perang. Maka Adipati segera mengirim utusan ke Mataram untuk meminta pedesaan di utara Kendeng. Alasan yang dikemukanan adalah hendak dipakai untuk bekal perjalanan ke Mataram.

Adipati Pathi mengutus seorang punggawa bernama Ki Patradita. Sesampai di Mataram Ki Pratradita segera menemui Panembahan Senapati.

Berkata Patradita, “Saya diutus adik paduka di Pathi untuk meminta pedesaan di utara Kendeng sebagai bekal perjalanan menghadap ke Mataram.”

Panembahan Senapati berkata, “Baik saya berikan desaku di utara Kendeng. Engkau segera pulanglah, katakan kepada adikku di Pathi.”

Patradita segera mohon pamit kembali ke Pathi.

Adipati Mandaraka berkata, “Bagaimana maksud Anda ini mengapa desa di utara Kendeng diberikan ke Pathi. Apa tidak akan merepotkan nanti?”

Panembahan berkata, “Bagaimana Paman ini, kalau ada orang meminta sebaiknya diberi. Dan juga dia meminta sebagai bekal perjalanan ke Mataram.”

Kita tinggalkan dulu yang berada di Mataram. Di Pathi, utusan sang adipati sudah sampai. Patradita segera melapor kepada Adipati Pathi perihal tugas yang diembannya. Setelah mendapat izin Adipati Pathi kemudian menguasai desa di utara Kendeng. Hasil bumi dari desa-desa tersebut kemudian diminta ke Pathi. Setelah terkumpul banyak kemudian Adipati Pathi kembali mengutus Patradita ke Mataram.

Berkata Adipati Pathi, “Patradita kembalilah ke Mataram dengan membawa hasil bumi. Setelah itu engkau mintalah tombak dan gagangnya sekalian. Katakan kalau pasukan dari wilayah timur akan menyerang Pathi.”

Patradita segera melesat ke Mataram. Patih Ki Mangunjaya yang melihat langkah sang adipati kemudian menanyakan maksud dari tipudaya yang dijalankan sang adipati.

Berkata Ki Mangunjaya, “Maaf paduka. Ada perlu apa paduka meminta tombak dan mengambil desa di utara Kendeng?”

Berkata Adipati Pathi, “Ketahuilah Paman, aku hendak melawan Kanda Panembahan.”

Ki Mangunjaya menyembah, “Kalau boleh saya ingatkan paduka, jangan melawan kakak paduka. Kakak paduka tidak pernah menyalahi paduka, mengapa tuan hendak melawannya?”

Berkata Adipati Pathi, “Diamlah Bapak Mangunjaya, mustahil aku berhenti melawan Kanda raja Mataram. Sudah kehendak Tuhan, takkan mundur lagi. Akupun sudah tahu kalau melawan Kanda Senapati tidak akan menang. Tetapi itu sudah takdir Tuhan kalau pasukan Pathi harus melawan pasukan Mataram. Ini sudah menjadi perintahku.”

Adipati Pathi segera melaksanakan kehendaknya. Satu persatu wilayah sekitar Pathi ditaklukkan. Warung, Blora, Grobogan dan Jipang telah dikuasai. Hanya Demak yang belum dikuasai. Demak berani melawan Pathi. Seorang punggawa bernama Mas Sori yang berada di Demak kemudian mengirim utusan ke Mataram untuk memberi tahu kepada Panembahan Senapati.

Sementara itu utusan Adipati Pathi, Patradita sudah sampai di Mataram. Setelah menyerahkan seserahan dari hasil bumi pedesaan di utara Kendeng Patradita menyampaikan permintaan Adipati Pathi.

Berkata Partradipa, “Panembahan, saya diutus adik paduka meminta tombak beserta gagangnya sekalian. Tombak itu akan dipakai menghadapi serangan pasukan dari timur yang sekarang berangkat menyerang Pathi.”

Panembahan Senapati segera memerintahkan kepada pejabat gedhong untuk mengambil tombak sejumlah seratus bilah. Tak lama tombak dihaturkan, tetapi belum ada gagangnya.

Panembahan berakata, “Ini Patradipa, tombak yang kau pinta. Serahkan kepada adikku di Pathi.”

Patradipa berkata, “Mengapa paduka memberi tombak tanpa gagang?”

Panembahan berkata, “Antarkan dulu kepada Dinda Adipati Pathi. Katakan kalau aku belum punya gagangnya. Hanya punya bilah tombaknya.”

Patradita menyembah dan pamit pulang ke Pathi. Adipati Mandaraka dan Pangeran Mangkubumi kemudian bertanya kepada Panembahan mengapa Adipati Pathi diberi tombak tanpa gagang.

Panembahan berkata, “Mengapa kalian seperti anak kecil. Paman ketahuilah, si adik dari Pathi ini ingin memberontak kepadaku. Paman waspadalah. Paman perintahkan kepada seluruh pasukan Mataram agar bersiaga.”

Belum selesai mereka berbincang utusan Mas Sori datang dari Demak memberi tahu kalau Adipati Pathi memberontak. Pasukan sudah disiapkan dan wilayah utara pegunungan Kendeng sudah ditaklukkan. Grobogan, Warung, Blora dan Jipang sudah menyerah. Tinggal Demak yang masih melawan dan saat ini kedua pasukan sedang berhadapan.

Panembahan berkata, “Engkau pulanglah ke Demak. Katakan kepada adikku di Demak, hindarilah saja peperangan.”

Utusan menyembah dan minta pamit. Panembahan Senapati segera memerintahkan agar pasukan Mataram bersiap.

Sementara itu di Pathi, Adipati Pathi sedang tampil di hadapan para punggawa. Telah hadir Patih Mangunjaya, Arya Sindureja, Rajamenggala, Sawunggaling, Tohpati, Ki Binorong, Ki Kanduruan dan Wilatikta. Semua kerabat Adipati Pathi telah bersiap dengan pasukan bersenjata mereka.

Berkata Adipati Pathi, “Wahai semua mantriku dan juga para kerabatku semua. Aku minta bantulah aku menyerang Mataram. Aku hendak masuk ke dalam api. Aku minta hidup-matimu.”

Para mantri dan prajurit menghaturkan sembah dan menyatakan kesiapan.”

Adipati Pathi kembali bicara, “Sudah kehendak Tuhan kalau aku harus melawan Mataram. Aku minta engkau mengantarku ke Mataram untuk berperang. Namun aku merasa kita akan kalah. Dan mungkin juga akan mati. Tapi aku takkan mundur karena sudah aku kehendaki.”

Para mantri semua menangis, “Kami minta tuanku jangan mati, kami saja yang mati duluan berperang dengan orang Mataram. Kalau kami semua sudah mati, tinggallah tuan hidup mulia. Itu keinginan kami.”

Sawunggaling berkata, “Duhai tuanku, kalau tuan masuk ke lautan api berperang dengan pasukan Mataram, saya ingin mati dulu. Kalau saya sudah mati sudah sah janji hamba karena saya tidak mau mengabdi kepada yang lain.”

Para mantri semua menghaturkan kesetiaan kepada Adipati Pathi. Sang Adipati kemudian mengambil busana dan harta, lalu membagikan untuk semua mantri dan prajurit, tak ada yang terlewat. Setelah itu pasukan dari Pathi segera berangkat menuju Mataram. Dengan membawa senjata tombak, senapan, meriam dan kalantaka, bendera pasukan Pathi berkibar. Tampak dari jauh pasukan Pathi seperti arak-arakan gunung api. Adipati Pathi berada di belakang dikelilingi para punggawa. Dengan naik kuda bernama Yudasari Adipati Pathi memimpin pasukan Pathi.

Singkat cerita perjalanan pasukan Pathi sudah masuk wilayah Mataram. Panembahan Senapati Mataram sudah diberi tahu oleh para Kajineman bahwa pasukan Pathi saat ini sedang dalam perjalanan ke Mataram.

Panembahan berkata, “Segera bersiaplah kalian semua mengiringi anakku Pangeran Adipati Anom. Aku utus dia untuk menghadapi pasukan Pathi. Semua anakku bersiaplah untuk ikut serta.”

Adipati Mandaraka berkata, “Mengapa tuan menyuruh anak-anak? Saya merasa Adipati Pathi kalau bukan tuan yang menghadapi, tak ada lagi yang sebanding.”

Panembahan berkata, “Anak Paman di Pathi itu saya harap agar ingat dan malu. Nah anakku Ki Adipati Anom, pamanmu itu ingatkan karena Mataram juga miliknya. Karena itu kalau dia memusuhiku aku takkan melayaninya. Aku minta engkau yang menghadapi sekehendaknya. Tapi ingatlah selalu berhati-hati. Pamanmu itu sakti. Sekarang berangkatlah. Ini tombak pakailah.”

 Pangeran Adipati Anom menyembah dan segera lengser dari hadapan sang ayah. Barisan pasukan Mataram segera berangkat menyambut kedatangan pasukan Pathi.

Sementara itu pasukan Pathi sudah sampai di Taji. Mereka membuat pondokan di Pemalon. Pasukan Mataram juga sudah sampai di Prambanan. Kedua pasukan sudah berdekatan, tapi pertempuran belum terjadi karena hari menjelang malam.

Pagi harinya kedua pasukan bersiap tempur. Pasukan Mataram sudah bergerak maju. Ketika kedua pasukan sudah bertemu Pangeran Adipati Anom mengisyaratkan agar pasukan Mataram berhenti.

Berkata Pangeran Adipati, “Wahai prajurit Mataram, berhentilah dulu. Aku ingin menemui Paman Adipati Pathi secara pribadi.”

Pasukan Mataram berhenti. Pangeran Adipati maju ke depan dengan pengawalan beberapa Magersari. Beberapa peralatan upacara turut mengiringi Pangeran Adipati. Beberapa kerabat juga turut mengiringi. Pangeran memakai payung kuning, tampak seperti Arjuna di medan perang.

Adipati Pathi yang melihat bertanya kepada prajuritnya, “Hai bocah, siapa itu yang berpayung kuning mendekat ke sini?”

Ketika Pangeran Adipati semakin dekat, tak ragu lagi dia adalah sang keponakan. Adipati Pathi sangat marah karena kedatangannya hanya dihadapi seorang bocah.

Adipati Pathi berseru, “Mana ayahmu? Dan engkau ke sini apa perlumu?”

Pangeran Adipati berkata, “Ayahanda masih di belakang. Saya disuruh menyambut paduka. Ada perlu apa datang ke Mataram dengan pasukan besar. Pesan kakak paduka, negeri Mataram ini juga milik paduka Paman Adipati Pathi.”

Adipati Pathi melengos dan berkata, “Diamlah anakku. Aku sudah paham lagak orang tuamu. Bahasanya memang manis agar aku mundur. Kukatakan, aku takkan mundur. Sudahlah engkau kembalilah. Ayahmu suruh datang ke sini. Lebih baik bertarung sesama orang tua.”

Pangeran Adipati berkata, “Saya tidak mau kembali. Kakak paduka berpesan, kalau Paman tidak sadar saya disuruh melayani sekehendak Paman.”

Berkata Adipati Pathi, “Ayahmu mengapa bertindak mencurigakan. Aku tidak ingin bertarung denganmu. Aku ingin beradu ulet kulit dan kerasnya tulang serta tajamnya senjata dengan ayahmu. Sudahlah engkau pulanglah. Ayahmu suruh maju ke sini.”

Pangeran Adipati menunjuk sambil berkata, “Paman Pathi banyak bicara.”

Pangeran segera mengambil tombak pendek dan menikam sang paman. Adipati Pathi kaget dan melompat. Beberapa kali tombak Pangeran Adipati mengenainya dan terasa sakit. Tombak ditahan dan dipegang lalu dipuntir. Pangeran jatuh tengkurap dan pingsan. Pasukan Mataram segera merebut tubuh Pangeran dan membawanya ke pondokan. Para prajurit segera melapor kepada Panembahan Senapati.

Sementara itu Adipati Pathi kembali ke pondokannya. Sebelum masuk berpesan kepada pasukannya agar kalau ada yang datang dan bukan Panembahan Senapati, tak usah dilayani. Tetaplah di dalam benteng saja.

Di puri Mataram, Senapati sedang berbincang dengan para istri. Tiba-tiba datang utusan yang memberitahukan Pangeran Adipati pingsan ketika perang melawan Adipati Pathi. Sang paman rupaya bersungguh-sungguh. Panembahan Senapati kaget sampai meloncat.

Sambil menatap para istri Panembahan berkata, “Bagaimana ini, adik kalian ternyata tega dengan keponakan. Dihadapi anak kecil tidak mundur malah bersungguh-sungguh. Bagaimana kehendak kalian para nyai?”

Para istri menjawab, “Hamba serahkan kepada paduka, kami tak merasa punya saudara seperti itu.”

Panembahan berkata, “Apa kalian sudah rela adik kalian itu tewas?”

Para istri menjawab, “Kami tidak punya pendapat lain selain pendapat paduka. Hanya kepada paduka kami mengabdi.”

Panembahan mencium para istri, lalu segera keluar dari puri. Kyai Bicak segera ditabuh. Para prajurit Mataram bersiaga. Adipati Mandaraka segera datang. Dalam hati merasa tidak tega dengan sang putra Adipati Pathi.

Panembahan Senapati memimpin pasukan Mataram dengan naik kuda bernama Brayuda. Panembahan memacu kudanya cepat-cepat agar segera sampai di medan perang. Sesampai di pondokan pasukan Mataram hari sudah menjelang malam. Malam itu Panembahan beristirahat di pondokan pasukan Mataram. Pagi-pagi buta Kyai Bicak sudah berbunyi nyaring. Suaranya menggema di langit. Pasukan Mataram mendekati pasukan Pathi seperti gemombang samudera.

Pasukan Pathi yang berada di dalam benteng geger melihat kedatangan pasukan Mataram yang jumlahnya ribuan. Hari masih gelap, para prajurit Pathi gugup menyiapkan diri. Adipati Mandaraka bermaksud masuk ke benteng menemui Adipati Pathi, tetapi tidak mendapat jalan. Adipati Madaraka menghunus keris bernama Kyai Culik. Keris dibabatkan batang pohon kelapa yang dipakai sebagai tembok benteng. Seketika tiga batang pohon kelapa putus dan membuat lobang sebesar kuda.

Adipati Mandaraka kemudian berseru, “Ki Senapati, ini ada jalan bagus untuk masuk.”

Senapati masuk melalui lobang yang dibuat Ki Mandaraka. Sesampai di dalam segera mengamuk. Banyak prajurit Pathi tewas tak mampu membalas. Para prajurit Pathi tak sanggup menahan amukan pasukan Mataram yang masuk berbondong-bondong ke dalam benteng. Adipati Pathi sudah tak tampak batang hidungnya. Para prajurit Pathi berlarian menceburkan diri ke Sungai Dengkeng. Saat itu sungai Dengkeng sedang banjir sehingga banyak membawa lumpur mengerikan. Banyak prajurit Pathi yang tewas tenggelam.

Pasukan Pathi sudah hancur. Sang Adipati sudah lari membawa pasukannya. Panembahan meski sudah menang tak hendak pulang ke Mataram. Panembahan hendak mengejar Adipati Pathi sampai ke negerinya.

Sementara itu Adipati Pathi sudah sampai di negeri Pathi. Segera menyiapkan pasukan dari sisa-sisa pasukannya yang masih hidup. Semua prajurit yang masih tersisa kembali dikerahkan menghadapi kedatangan pasukan Mataram. Adipati Pathi lalu mengirim utusan ke Lasem, Tuban, Warung dan Blora. Kepada mereka dikatakan kalau pasukan Mataram hendak menyerang mereka. Lebih baik kita lawan bersama-sama. Mereka tak tahu itu hanya akal bulus Adipati Pathi yang ingin memanfaatkan pasukan tetangga.

Pasukan gabungan dari Lasem, Tuban, Warung, Blora dan Jipang sudah bersiap menanti kedatangan pasukan Mataram. Mereka berbaris di luar kota Pathi. Menjelang sore Pasukan Mataram datang. Karena hampir malam mereka kemudian membuat pondokan.

Malam hari prajurit dari Tuban dan Lasem berusaha menyelidiki ke pondokan pasukan Mataram. Dengan cara sembunyi-sembunyi mereka menguping percakapan prajurit Mataram.

Seorang punggawa Mataram berkata, “Hai teman, orang Lasem dan Tuban itu mengapa ikut berperang di pihak Pathi? Tuan kita tidak bermusuhan dengan Lasem dan Tuban. Kangjeng Panembahan sendiri yang berkata tak hendak menyerang Tuban dan Lasem. Tapi kalau besok ketemu mereka di medan perang tetap aku libas.”

Prajurit Lasem dan Tuban yang menyamar segera kembali ke pondokan dan melapor kepada Adipati Tuban. Sang Adipati kini tahu dirinya telah ditipu. Hendak mundur sudah tidak ada jalan. Adipati Tuban merasa pasukannya hanya akan bunuh diri.

Pagi harinya, Panembahan berkata kepada pasukan Mataram, “Hai Prangmadana, menyeberanglah dulu. Bawalah empat bupati. Kalau sudah sampai seberang, menghadaplah ke utara. Kalau aku sudah menyeberang, segeralah menyerang.”

Pasukan Prangmadana membawa empat bupati menyeberang ke timur. Setelah sampai segera bersiap menghadap ke utara. Panembahan Ing Ngalaga segera menyeberang ke timur, lalu setelah sampai di Barakas para bupati menabuh bende dari selatan. Pasukan Lasem dan Tuban menjadi tahu kalau ada musuh yang datang dari selatan.

Adipati Tuban berkata, “Hai prajurit Tuban, segera mundurlah. Musuh menerjang.”

Pasukan Tuban mundur ke timur dan sebentar kemudian pasukan Lasem menyusul. Kini tinggal pasukan Pathi yang tertinggal dan jumlahnya hanya sedikit. Pasukan Pathi terdesak dan banyak yang menceburkan diri ke Sungai Sampang. Banyak dari mereka kemudian tewas tenggelam. Adipati Pathi sendiri tak diketahui rimbanya, tak dapat dipastikan masih hidup atau mati. Panembahan Senapati segera pulang ke Mataram. Peristiwa takluknya Pathi ditandai dengan sengkalan tahun:  wadana tunggal  tinata ratu[1].

Perjalanan pasukan Mataram sudah sampai di kotaraja. Mereka kemudian berbaris di alun-alun. Para mantri memenuhi bangsal Pangrawit. Sang Panembahan Senapati segera memberi hadiah kepada para prajurit. Para mantri yang tewas dalam perang segera digantikan. Setelah selesai pasukan dibubarkan. Para prajurit kembali ke rumah masing-masing. Setelah perang di Pathi negeri Mataram aman dan sentausa. Untuk beberapa lama tidak terjadi hura-hara lagi.


[1] 1519 AJ


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/07/13/babad-tanah-jawi-44-adipati-pathi-bermusuhan-dengan-panembahan-senapati-mataram/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...