Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (45) Panembahan Senapati di Mataram mangkat, digantikan Pangeran Adipati Anom Mataram

 Panembahan Senapati sakit di balai kajenar dihadapan para istri dan anak-anak. Ki Adipti Mandaraka selalu berada di sampingnya.

Sang Raja berkata pelan, “Hai Paman Mandaraka, pesanku, beserta adikku Ki Mangkubumi dan para anakku, ingatlah pesanku ini. Setelah kepergianku yang pantas menggantikanku adalah Ki Adipati Anom Mataram. Jadilah ia raja di Mataram. Semua anak-anakku tunduklah semua, baik yang tua mupun muda. Kelak kalian rukunlah sesama saudara, jangan berselisih kepada yang menjadi raja. Sudah kehendak Tuhan walau muda menjadi raja, itulah perintah Tuhan yang tak berubah.”

Panembahan berkata kepada Mandaraka dan Mangkubumi, “Paman, engkau yang menobatkan raja bersama Ki Mangkubumi sebagai raja di Mataram. Sudah Paman aku minta pamit. Baik-baiklah sepeninggalku.”

Sang Raja sebentar kemudian telah wafat. Tangis bergemuruh memenuhi istana Mataram, para istri semua bersujud ke tanah, para putra menangis sambil sungkem dan mencium jenazah sang ayah.

Adipati Mandaraka berkata, “Sudahlah, kalian berhentilah menangis.”

Jenazah Sang Raja sudah dikafani dan dishalatkan, lalu dimakamkah ke pemakaman. Peristiwa ini ditandai dengan sengkalan tahun: kaya ron tata nabi[1].

Setelah pemakaman usai semua mantri menghadap kepada Adipati Mandaraka. Pangeran Mangkubumi keluar dari istana dengan menggandeng Pangeran Adipati. Sesampai di Pagelaran Pangeran Mangkubumi duduk di bangsal Witana, lengkap dengan para putra raja, para mantri dan punggawa.

Pangeran Mangkubumi lalu berdiri dan berkata dengan keras, “Hai semua orang Mataram, kalian semua tunduklah kalau Pangeran Adipati menjadi raja di Mataram. Wahai semua para putra raja dan kerabat, barangsiapa yang tidak mau, ayo mengamuklah, aku yang akan melawan kalian.”

Semua yang mendengar tidak ada yang berani, semua tunduk dan patuh. Pangeran Adipati sudah diangkat menjadi raja di negeri Mataram. Sampai beberapa tahun kemudian di negeri Mataram tidak terjadi peristiwa yang menganggu. Semua berjalan lancar, pemerintahan berjalan dengan adil dan pelaksanaan agama pun kokoh.

Para suatu hari Sang Raja bertahta di hadapan para punggawa, berkatalah Sang Raja, “Wahai semua warga Mataram, aku minta karyamu semua untuk membuat taman yang letaknya di sebelah barat Danalaya, di sisi barat keratonku.”

Para punggawa Mataram menyembah dan melaksanakan perintah. Setelah selesai terlihat orang berpakaian putih yang sangat besar, namanya si Juru Taman. Dia disuruh keluar dari istana. Selama ini dia tinggal di keraton dan selalu bikin rusuh. Kadang meniru Sang Raja sehingga membuat kebingungan para istri. Semula dia selalu menjalankan perintah Raja dan melayani, maka Raja Mataram terlihat sakti dan kalau menapak laut seperti berjalan di darat. Semua itu karena digendong oleh si Juru Taman. Kalau berjalan malam hari pun tak pernah tersandung, karena dibawa oleh si Juru Taman.

Pada suatu hari Sang Raja bertahta dihadapan para punggawa. Adipati Mandaraka serta Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Singasari sudah menghadap. Juga tampak Martalaya duduk di belakang. Hanya Pangeran Puger yang tidak tampak. Pangeran Puger merasa sakit hati karena sebagai saudara tua harus menghadap kepada yang muda. Keinginannya memiliki tanah sendiri, Demak yang dimintanya.

Berkata Sang Raja kepada Mandaraka dan Mangkubumi, “Bagaimana sekarang cucu Anda di Puger itu, karena hatinya tak nyaman kalau harus menghadap kepadaku. Kakanda di Puger ingin mempunya tanah sendiri. Tanah di Demak yang dimintanya. Itu masuk akal karena akan menjadi benteng bagi diriku di Mataram.”

Adipati Mandaraka berseru kepada yang hadir meminta pendapat. Semua menyatakan akan menurut kehendak Sang Raja. Lebih baik dia mempunyai tanah sendiri, daripada merasa tak nyaman di Mataram. Semua mendukung keputusan Sang Raja.

Panembahan di Mataram berkata kepada seorang abdi, “Panggilah kakanda ke sini.”

Yang disuruh segera melesat menjalankan perintah. Sesampai di Kapugeran si utusan segera menyampaikan perintah Sang Raja.

“Hamba diutus adik paduka Sang Raja memberitahukan paduka. Sekarang juga paduka ditunggu di Sitinggil.”

Pangeran Puger sudah menduga apa yang akan diperintahkan sang adik. Segera Pangeran Puger memakai pakaian sepantasnya dan menghadap. Setelah sampai di  hadapan Sang Raja, Pangeran duduk berjajar dengan Adipati Mandaraka.

Berkata Sang Raja, “Kanda, sekarang terimalah negeri Demak. Berdirilah sebagai adipati di Demak.”

Sang kakak menerima apa yang telah dimintanya kemarin. Pertemuan hari itu bubar. Paginya Pangeran Puger beserta seluruh keluarganya berangkat ke Demak. Sesampai di Demak para punggawa di Demak tunduk dan takut kepada sang adipati yang baru, Pangeran Adipati Puger. Salah seorang pengasuh Pangeran Puger yang bernama Tandanagara diangkat sebagai patih dengan nama Adipati Panjer. Pangeran Puger lalu mengangkat patih yang kedua, bernama Adipati Gendhing, yang asli dari Demak. Orang-orang Demak sekarang dibawah perintah kedua patih tersebut. Para punggawa hidup makmur sejahtera, tak kalah ketika berada di Mataram.


[1] 1523 AJ


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/07/14/babad-tanah-jawi-45-panembahan-senapati-di-mataram-mangkat-digantikan-pangeran-adipati-anom-mataram/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...