Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (46): Adipati Demak memberontak melawan Mataram

 Di Mataram Sang Raja bertahta di hadapan para punggawa dan para bupati, serta para sesepuh Mataram. Ada dua saudara raja yang ketika masih muda bernama Mas Tembaga dan Mas Kadhawung. Keduanya sudah dewasa dan atas perintah Sang Raja diangkat kedudukannya.

Berkata Sang Raja, “Wahai para punggawaku semua, adikku Mas Tembaga sekarang aku angkat kedudukannya sebagai Adipati Puger dan Mas Kadhawung aku beri nama Demang Tanpanangkil.”

Para punggawa dan kerabat serta sesepuh Mataram semua menjadi saksi dan menurut perintah Sang Raja.

Sang Raja berkata lagi, “Bagaimana beritanya Kanda Puger di Demak? Apakah semua tak ada halangan dan lestari sejahtera?”

Martalaya berkata, “Perkenankan menghaturkan sembah kepada paduka, Sang Raja. Kakak paduka menurut berita tak ada halangan selama di Demak. Dia sudah mengangkat si Tandanagara sebagai patih dan diberi nama Adipati Panjer. Negera Demak makmur sejahtera.”

Sang Raja segera beranjak ke dalam istana. Dan tahun-tahun berlalu tanpa ada peristiwa besar yang terjadi.

Alkisah, di negeri Demak setelah beberapa tahun berlalu, Sang Pangeran Adipati Puger tampil di hadapan para mantri. Sudah beberapa tahun sang adipati tidak datang menghadap ke Mataram. Sang adipati terlena hidup mulia di Demak sampai melupakan tugasnya sebagai abdi Sang Raja di Mataram.

Pada kesempatan tersebut Patih Adipati Gending berkata, “Mohon maaf paduka, karena paduka sudah tak berkenan datang menghadap ke Mataram, janganlah tanggung. Negeri di sebelah utara gunung Kendeng kita serang sekalian saja agar tunduk ke Demak semuanya. Paduka mengangkat diri sebagai raja di wilayah utara. Biar adik paduka yang menjadi raja di Mataram. Karena paduka sudah pantas menjadi raja.”

Adipati Demak berkata, “Benar aku rasa. Sudah lama aku inginkan tetapi aku belum punya pendamping. Sekarang engkaulah yang menjadi pendampingku.”

Sang adipati lalu berkata kepada para punggawa, “Nah, sekarang kalian pergilah menyerang orang di sebelah utara gunung Kendeng. Perintahkan agar mereka semua datang menghadap kepadaku. Kalau menolak, bunuhlah. Dan istrinya jadikanlah boyongan.”

Pasukan Demak sudah berangkat melaksanakan perintah tuan mereka. Segera mereka menyerang desa-desa di utara gunung Kendeng. Mereka yang melawan dibunuh dan istrinya dijadikan boyongan. Sudah terdengar pemberontakan Adipati Demak melawan Mataram oleh Adipati Pajang. Adipati Pajang segera mengirim utusan memberi tahu ke Mataram.

Sementara itu di Mataram, Sang Raja bertahta di hadapan para punggawa. Para kerabat dan mantri penuh memenuhi balai pisowanan. Adipati Mandaraka menghadap di depan. Tak jauh darinya berjajar Pangeran Mangkubumi, Pangeran Singasari serta Adipati Martalaya. Mendadak ada utusan datang dari Pajang yang buru-buru menghadap.

Berkata si utusan, “Mohon maaf paduka, saya diutus paman paduka di Pajang untuk memberi tahu bahwa kakak paduka di Demak sudah memberontak. Para penduduk di utara gunung Kendeng sudah ditaklukkan. Mereka yang melawan dibunuh dan istrinya diboyong serta harta bendanya dijarah. Kakak paduka sudah mengangkat diri sebagai raja di wilayah pesisir. Beritanya sudah masyhur.”

Berkata Sang Raja Mataram, “Mustahil berita itu. Aku percayakan kepada Kanda di Demak, walau orang di utara gunung atau di selatan gunung, aku hanya sekedar mengawasi. Semua kanda adipati yang punya. Sama saja di Demak atau Mataram, begitu pesan ayahanda raja.”

Sang Raja lalu berkata kepada Adipati Mandaraka, “Eyang, bagaimana kalau Kanda di Demak saya panggil ke Mataram. Karena saya sudah lama tak bertemu dan juga untuk membuktikan berita ini. Kalau Kakanda tidak datang sudah terbukti tidak menganggap saya sebagai raja.”

Ki Mandaraka berkata, “Saya serahkan kepada paduka raja.”

Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Singasari pun menyerahkan keputusan kepada Sang Raja. Mereka mengingatkan pesan sang ayahanda raja agar sesama saudara saling rukun. Siapa yang memulai keburukan lebih dulu takkan menemui selamat.

Sang Raja berkata kepada gandek, “Kalian berangkatlah ke Demak. Persilakan Kanda adipati Demak datang ke Mataram. Katakan kalau aku sudah rindu kepadanya. Katakan bahwa semua desa di utara Kendeng akan diserahkan kepadanya.”

Gandek utusan segera berangkat. Singkat cerita mereka telah sampai di Demak. Ketika itu sang Adipati Demak sedang duduk di hadapan para punggawa. Semua datang lengkap di bangsal pertemuan. Adipati Gending dan Adipati Panjer berada di depan, tak jauh dari sang Adipati Demak. Sudah dilaporkan bahwa ada utusan datang dari Mataram.

Setelah diterima utusan berkata, “Kedatangan hamba sebagai utusan adik paduka untuk menyerahkan tanah di utara Kendeng kepada paduka. Kedua, paduka dipersilakan datang ke Mataram. Adik paduka sudah sangat rindu karena lama tidak bertemu.”

Adipati Demak berkata, “Aku tak mau datang.”

Adipati Gendhing menyahut, “Aku tak setuju kalau tuanku menghadap ke Mataram. Karena sekarang sudah menjadi raja. Aku yang mengangkatnya. Tuanku tak kalah dari Sang Raja di Mataram. Sama-sama putra raja, bahkan tuanku lebih tua. Apakah tidak pantas menjadi raja. Aku berani melawan Mataram. Katakan segera kepada Sang Raja, aku tidak setuju.”

Sang Adipati Demak menyambung, “Katakan kepada Dinda Raja, aku tidak mau datang. Walau engkau kerahkan seluruh pasukan Mataram, aku pun tetap tak mau datang.”

Utusan segera kembali ke Mataram. Sesampai di Mataram segera menghadap di bangsal pisowanan. Telah lengkap hadir Adipati Mandaraka, Pangeran Mangkubumi, Pangeran Singasari beserta seluruh punggawa Mataram.

Si utusan berkata, “Paduka, saya telah paduka utus memberitahukan kepada kakak paduka agar datang ke Mataram, tetapi kakak paduka tak berkenan berangkat. Sekarang kakak paduka sudah menjadi raja. Adipati Gendhing yang mengangkatnya sebagai raja. Sudah masyhur di wilayah utara bahwa kakak paduka telah menjadi raja menguasai wilayah utara. Pesannya kepada hamba: kerahkan seluruh pasukan Mataram, aku takkan mau menghadap ke Mataram. Karena aku sudah punya negera sendiri. Masih banyak perkataannya lagi. Dan si Adipati Gendhing ikut nimbrung bicara tak pantas. Buruk mulut si Adipati Gendhing, mengucapkan perkataan yang tak layak didengar.”

Sudah selesai laporan si utusan, Sang Raja sangat kerepotan hatinya.

Berkata Sang Raja, “Eyang Mandaraka, bagaimana pendapat orang banyak tentang hal ini? Pikirkan bagaimana sebaiknya.”

Berkata Ki Adipati Mandaraka, “Kalau benar seperti itu, kakak paduka melanggar pesan ayah paduka dahulu. Mustahil perbuatannya bisa lestari. Dia akan terkena kutukan Sang Raja terdahulu, mustahil akan menemui selamat. Menurut pendapat saya, sebaiknya segera diserang sekarang juga. Nak Mangkubumi dan Singasari, bagaimana pendapat kalian?”

Pangeran Mangkubumi berkata, “Benar, tunggu apa lagi.”

Sang Panembahan berkata, “Baiklah, ayo segera lakukan. Sudah terbukti keburukan Kanda Adipati Demak. Hendak menantang perang denganku. Ayo bersiaplah. Kanda Martalaya segeralah engkau menabuh genderang perang.”

Martalaya segera menabuh bendhe, pasukan segera bergerak mempersiapkan persenjataan. Setelah siap mereka berbaris di alun-alun. Para kerabat sudah datang, Pangeran Purubaya dan Pangeran Tepasana dan para perwira Mataram. Semua sudah menata barisan.

Adipati Mandaraka melapor kepada Sang Raja, “Paduka, siapa yang akan ditunjuk untuk memimpin pasukan? Apakah paduka sendiri? Kalau menurut saya, cukup para mantri dan segenap kerabat, sudah cukup untuk melawan Demak.”

Berkata Sang Raja, “Jangan menganggap remeh. Tidak ada musuh besar atau kecil, karena yang kuasa hanya Tuhan. Yang bisa membuat menang atau kalah. Saya dan Kanda sama-sama putra raja, dan bahkan dia lebih tua, punya kelebihan dalam banyak hal. Melawan para cucu Anda Kanda Adipati tega, maka aku sendiri yang akan berangkat ke Demak. Sekarang bubarkan pasukan dan segera berangkat.”

Tanda berangkat sudah ditabuh dan pasukan segera bergerak. Yang berjalan di depan para mantri dipimpin Kyai Bocor dan Ngabei Rawa, juga Tumenggung Awu-Awu dari Kalegen, Kyai Rengga dari Kaleng, Ngabei Bagelen, Ngabei Jenar dari Lugu, Kyai Jayuda dari Semawung, Rangga Sangubanyu dari Sampang, Jayawikrama dari Rendetan, Ngabei Yudasana dan mantri sejumlah empat puluh orang. Di belakang mereka menyambung pasukan Mataram dipimpin Ngabei Patrabangsa, Tumenggung Singajaya, Arya Panular, Demang Tanpanaha, Tumenggung Wiranagara, Tumenggung Jagayuda, Ngabei Wirapati, Demang Selang Sumirang, Kartawadana, Ki Saradipa, Jasepanta dan di belakang Adipati Martalaya. Kemudian di belakang mereka menyambung para kerabat, Pangeran Purubaya, Pangeran Tepasana, Arya Wiramenggala, Riya Jayaraga, Pangeran Pringgalaya, Pangeran Juminah, Pangeran Puger dan Demang Tanpanangkil. Lalu rombongan Sang Raja menyambung di belakangnya. Sebagai penutup pasukan Adipati Mandaraka, Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Singasari serta pasukan dari Kajoran. Rombongan pasukan Mataram sambung menyambung seperti aliran air tanpa tepi. Tak lama pasukan Mataram sudah sampai di Pajang. Pasukan Pajang segera bergabung dan melanjutkan perjalanan menuju Demak.

Sementara itu di Demak, Adipati Demak sedang bercengkerama di pura didampingi para istri. Mendadak datang prajurit sandi yang melaporkan bahwa pasukan Mataram datang. Sang Adipati segera keluar dari pura. Di luar telah hadir para punggawa di bangsal pisowanan. Adipati Gendhing berada di depan, berjajar bersama Adipati Panjer.

Berkata Sang Adipati, “Hai bapak, beritanya Raja di Mataram hendak menyerang Demak dan sekarang baru sampai di Pajang.”

Adipati Gendhing bertanya kepada prajurit sandi, “Siapa yang memimpin pasukan Mataram?”

Yang ditanya menjawab, “Sang Raja sendiri dan para kerabat serta sesepuh Mataram semua ikut.”

Adipati Gendhing ciut. Kalau demikian mustahil pasukan Demak yang tidak seberapa jumlahnya bisa memang. Dalam hati Adipati Gendhing merasa takut dan berniat melarikan diri. Bendhe segera ditabuh, pasukan Demak bersiap. Sejumlah sembilan ribu prajurit telah siap tempur.

Berkata Sang Adipati Demak kepada Adipati Gendhing, “Nanti engkau aku perintahkan menjadi pemimpin sayap kanan, pimpinlah para mantri kanan. Majulah ke medan perang bersama Tumenggung Jayasemodra, Tumenggung Jayantaka, Demang Sastrayuda, Ngabei Jagasatru dan Ngabei Kartahita. Adapun yang menjadi sayap kiri bapak Panjer, didampingi Arya Binorong, Ngabei Walangcanthung, Rangga Wirajaladra, Demang Orang-Aring, Ngabei Sinabakarna, dan Rangga Mulateng. Aku sendiri akan berada di depan.”

Pasukan telah bubar dari barisan dan bersiap menghadang musuh yang datang. Bendera, umbul-umbul dan panji-panji telah dikibarkan. Tampak rombongan pasukan Demak dari jauh seperti gunung berapi berjalan. Perjalanan pasukan Demak telah sampai di markas Tambakberas. Kedua pasukan telah bertemu dan berhadap-hadapan.

Raja Mataram berpesan kepada para pasukan, “Hai pasukan Mataram semuanya, pesanku kalau kalian bertemu dengan Kanda Adipati di medan perang, jangan diladeni.”

Pada pagi hari kedua pasukan telah bersiap. Pasukan Mataram memakai gelar emprit neba. Sedangkan pasukan Demak memakai gelar mangkarabyuha. Bertindak sebagai supit kanan Adipati Gendhing dan supit kiri Adipati Panjer. Bagian badan ditempati Pangeran Adipati Demak.

Setelah aba-aba dibunyikan pasukan Mataram menerjang dengan berani. Adipati Martalaya menerjang bagian supit yang dipimpin Adipati Gendhing. Kedua pasukan bertempur dahsyat. Akan tetapi segera tampak kalau pasukan Demak terdesak. Banyak prajurit Demak tewas. Adipati Gendhing dan Jayasamodra mengamuk, Martalaya tangguh menghadang. Adipati Gendhing dikepung bersama teman-temannya. Lama-lama Adipati Gendhing kelelahan dan berhasil dilukai. Karena luka-luka semakin parah Adipati Gendhing tewas. Jayasamodra pun terdesak dan tak mampu melawan, akhirnya juga tewas. Kepala mereka lalu dipenggal. Sisa pasukan yang hidup lari tunggang langgang.

Sementara itu di supit kiri Adipati Panjer mengamuk bersama Tumenggung Binorong. Para kerabat Mataram terlalu tangguh untuk dilawan. Adipati Panjer dikepung dan dadanya terluka. Para pengawalnya seperti Ki Mulateng sudah tewas, Walangcanthung terluka dan Ki Sabakarna melarikan diri. Mengamuk sendirian Adipati Panjer dikeroyok dan dipukuli, akhirnya jatuh terkulai dan tertangkap.

Adipati Demak sudah terkepung. Para prajuritnya habis, tinggal menyisakan para prajurit Kajineman dan beberapa mantri seperti Sapigumantar, Secaula, Mete-mete, Pangamuk, Demang Panayaban, Sabalong, Sababengi dan Arya Rerusuhan. Sang adipati terus mengamuk bersama sisa pasukannya. Banyak prajurit Mataram tewas olehnya. Meski prajuritnya satu persatu berjatuhan Adipati Demak terus melawan. Kudanya telah mati dan senjatanya telah terlepas dari tangan, Ki Adipati mengamuk dengan tangan kosong. Meski tak pegang senjata masih mampu menewaskan banyak prajurit Mataram.

Pasukan Mataram terus mengepung sang adipati. Segala senjata ditembakkan, tombak dan senapan tak mempan padanya. Meski dikeroyok banyak prajurit tetap mampu melawan. Akhirnya memakai tambang sang adipati diikat dengan jaring. Ki Bahureksa maju dan menangkapnya. Pangeran Adipati Demak segera diikat dan dinaikkan tandu dan dibawa menghadap kepada Sang Raja.

Pasukan Demak sudah kalah. Sisa prajurit bubar berlarian. Sang Raja memerintahkan memukul bendhe tanda perang telah usai. Pasukan Mataram kembali dengan membawa tangkapan Adipati Demak. Sementara itu di dalam perjalanan Adipati Panjer ditusuk-tusuk para prajurit dan mayatnya dibuang ke jurang.

Dalam perjalanan ke Mataram Sang Raja memerintahkan agar Pangeran Adipati Puger dipulangkan ke Kudus.  Pangeran lalu ditempatkan di Kudus beserta anak istrinya dalam pengawasan prajurit Mataram. Keadaannya sungguh memprihatinkan. Peristiwa ini ditandai dengan sengkalan tahun: rêksi paksa nata janma[1].

Ketika sampai di Mataram Sang Raja berkenan mencari pengganti penguasa Demak. Ki Gadamastaka kemudian diangkat sebagai adipati Demak dengan nama Tumenggung Suranata. Sang Raja lalu memberi hadiah kepada para prajurit Mataram yang baru saja menang perang. Semua prajurit bersukacita. Pada kesempatan itu Pangeran Pringgalaya menyatakan sumpah setia disertai pernyataan bila kelak dirinya sampai memberontak, semoga anak keturunannya tumpas. Walau masih keturunan raja kalau berniat memberontak semoga tidak selamat hidupnya.

Sang Raja berkata, “Baiklah Dinda, aku terima pernyataan kesetiaanmu dengan Tuhan sebagai saksinya. Semua keturunanmu pasti akan menjadi pendamping dari anak keturunanku.”

Sang adik menyembah, Sang Raja kemudian masuk ke istana dengan diringi para pelayan.


[1] 1527 AJ


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/07/15/babad-tanah-jawi-46-adipati-demak-memberontak-melawan-mataram/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...