Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (47): Pangeran Jayaraga diangkat menjadi adipati di Ponorogo, tetapi lalu memberontak melawan Mataram

 Beberapa lama setelah kejadian pemberontakan Pangeran Puger di Demak, salah seorang adik Sang Raja yang bernama Pangeran Jayaraga diberi kedudukan sebagai adipati di Ponorogo. Kepadanya diberikan wewenang penuh untuk menegakkan hukum di Ponorogo. Adapun yang mendampingi Pangeran Jayagara adalah Rangga di Ponorogo beserta para mantri, antara lain; Ngabei Malangsumirang, Nayahita, Panji Wirabumi, Geniroga, Suranggamarta, Ki Lumaju, Ki Soda, Mangkudirja, Andakawana, Singadarpa, Wirasantika, Rangga Sumengit dan Cakrawangsa. Karena besarnya wewenang yang diberikan Pangeran Jayaraga sampai terlena, berpikir bahwa dirinya sanggup menandingi kekuasaan di Mataram.

Pada suatu hari pisowanan Sang Adipati Jayaraga duduk di hadapan para punggawa lengkap, para mantri dan para lurah.

Sang Adipati berkata, “Paman Rangga, engkau aku tanya dan juga engkau bapak Wirabumi. Aku hendak melawan Kanda Prabu di Mataram, karena sesama putra dari raja Mataram, siapa yang kuat dialah yang akan lestari menjadi raja. Sekarang aku rasa aku telah mampu melawan Mataram, sudah banyak prajuritku yang bisa aku adu perang.”

Rangga Ponorogo berkata, “Mohon maaf, saya tidak sependapat. Sungguh paduka telah dikasihi oleh Sang Raja dan diberi kemuliaan serta wewenang penuh di Ponorogo.”

Pangeran Jayaraga berkata, “Keinginanku ini sudah tak dapat aku tahan lagi Paman.”

Para lurah berkata, “Kalau kami menurut kehendak paduka. Tunggu apa lagi, sekarang waktunya menyerang. Pasukan paduka banyak. Kalau diadu perang melawan pasukan Mataram takkan mundur.”

Saran kedua punggawa Ki Wirabumi dan Ki Rangga tak digubris oleh Pangeran Jayagara, juga empat mantri yang tidak menyetujui langkah Pangeran Jayaraga. Hari itu belum ada kesepakatan dan pertemuan bubar karena malam menjelang. Ki Rangga, Panji Wirabumi, Ngabei Malangsumirang dan Demang Nayahita berunding sendiri di antara mereka.

Berkata Ki Rangga, “Nah, bagaimana tuan kita itu. Kita sudah tak bisa memberi nasihat, kukuh hendak melawan Mataram.  Tak urung kita berempat pasti kena getahnya.”

Mereka kemudian sepakat hendak ke Mataram untuk pasrah hidup mati karena sang adik di Ponorogo sudah punya kehendak buruk. Mereka kemudian bersiap malam itu juga akan berangkat. Para mantri dari Kajayaragan yang sedang berjaga di alun-alun melihat kalau Ki Rangga dan Ki Wirabumi lolos. Dia merasa kalau ditinggalkan sendirian, lalu mengikuti mereka ke Mataram. Sesampai di Mataram mereka melakukan pepe di alun-alun, menyerahkan hidup-mati kepada Sang Raja. Pagi harinya Sang Raja yang sedang mengadakan pisowanan melihat ada orang melalukan pepe di alun-alun.

Sang Raja berkata, “Hai gandek, lihatlah siapa yang sedang pepe di alun-alun.”

Gandek segera turun ke alun-alun dengan berlari. Sesampai di alun-alun gandek mengenali Ki Rangga dan teman-temannya.

Gandek bertanya, “Hai Ki Rangga apa maksudnya engkau bersama banyak orang melakukan pepe?”

Ki Rangga menjawab, “Saya hendak menghaturkan hidup-mati saya kepada Sang Raja. Karena sangat takut saya kepada adik Raja yang punyak maksud buruk hendak memberontak. Katakan hal ini kepada Sang Raja.”

Gandek segera melesat ke hadapan Sang Raja, semua yang dikatakan Ki Rangga telah dihaturkan. Sang Raja kemudian memanggil mantri Kajayaragan agar segera menghadap. Mantri Kajayaragan menceritakan semua yang terjadi di Ponorogo. Sang Raja sangat marah mendengar laporan Mantri Kajayaragan.

Berkata Sang Raja, “Engkau Dinda Pringgalaya, berangkatlah bersama si Martalaya. Para mantri Panumping dari Kajayaragan ajaklah pulang. Para lurah yang punya maksud buruk semua bunuhlah dan jarahlah hartanya. Dinda Pangeran Jayaraga buanglah beserta anak istri ke masjid Watu.”

Yang diperintah segera melaksanakan. Pangeran Pringgalaya dan Martalaya berangkat membawa pasukan dari Mataram. Sesampai di Kajayaragan segera menjarah semua yang ada. Pangeran Jayaraga saat itu sedang bercengkerama bersama para istri. Tiba-tiba mendengar pasukan Mataram yang sedang menjarah. Para istri menangis kebingungan dan memanggil-manggil tuan mereka.

“Duhai Pangeran, ada apakah gerangan pasukan Mataram datang menjarah di luar sana. Tak urung pasti sampai di sini. Apa dosa tuan sehingga pasukan Mataram sampai di sini?” ratap para istri.

Pangeran Jayaraga merasa sangat menyesal, merasa kalau telah salah perhitungan. Pangeran Pringgalaya dan Adipati Martalaya sudah sampai di pura dan segera menyampaikan perintah Sang Raja.

Pangeran Pringgalaya berkata, “Engkau diperintahkan menyingkir dari Mataram. Pergilah ke masjid Watu. Jangan membawa pembantu. Cukup bawa satu istri. Sekarang berangkatlah.”

Segera keluar Adipati Jayaraga beserta istrinya dari pura Ponorogo. Keadaannya sungguh memprihatinkan. Hanya boleh membawa empat orang pengiring saja. Peristiwa ini ditandai dengan sengkalan tahun tanpa guna misik nabi[1]. Sesampai di Watu Pangeran tinggal di sana selama hampir setahun. Tetapi masih di tahun yang sama segera dipindah ke Nusa Barambang, di sebelah barat daya dari negeri Mataram.


[1] 1530 AJ


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/07/16/babad-tanah-jawi-47-pangeran-jayaraga-diangkat-menjadi-adipati-di-ponorogo-tetapi-lalu-memberontak-melawan-mataram/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...