Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (49): Kyai Surantani diperintahkan menaklukkan wilayah timur.

 Alkisah pada suatu hari pisowanan, Sang Raja Mataram bertahta di bangsal Pancaniti. Para punggawa lengkap hadir, para pembesar maupun abdi kecil semua datang menghadap. Juga para bupati dan kerabat serta para sesepuh Mataram. Sang Raja dikelilingi para prajurit priyantaka dengan senjata towok, tulup dan pedang. Juga para magersari dengan senjata tombak pendek bergagang rotan dan kayu wregu dengan sulam emas berwarna asri. Juga telah hadir para keparak, Sangkragnyana, Wirapraba, Jagabaya, Maudara, Astranangga, Jantaka, Tanuastra, Martalulut, Singanagara, Ketanggung, gandek, Darpahita, Patranala dan para berbagai kesatuan prajurit yang lain.

Telah hadir pula para kerabat raja; Panembahan Purubaya yang duduk di depan bersama Pangeran Adipati Juminah, Pangeran Pringgalaya, Pangeran Adipati Tepasana, Demang Tanpanangkil, Pangeran Arya Wiramanggala, Adipati Puger, Adipati Balitar, Raden Prawirataruna, Adipati Sokawati, Martasana, dua cucu Adipati Mandaraka yakni Pangeran Mandurareja dan Upasanta, Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Singasari.

Para bupati yang hadir adalah Adipati Martalaya, Jayasupanta, Tumenggung Alap-Alap, Ngabei Patrabangsa, Panji Wirabumi, Malangsumirang, Ngabei Wirapati, Kartiwadana, Wiraraga, Arya Panular, Ngabei Nayahita, Wiratanu, Ki Bocor dan para mantri dari barat.

Sang Raja berkata, “Hai Surantani, engkau lampiaskan amarah saya kepada orang wilayah timur. Pergilah dan seranglah mereka. Bawalah pasukan Mataram semuanya, para kerabat dan mantri. Pimpinlah mereka ke medan perang, jangan menoleh lagi. Pasuruan taklukkanlah, Lumajang jangan ketinggalan, juga Malang. Kalau semua sudah takluk barulah engkau pulang ke Mataram. Segera laksanakan.”

Sultan segera beranjak masuk ke dalam istana, para punggawa membubarkan diri. Tumenggung Surantani sesampai di rumah sudah disambut oleh para istrinya. Sambil mengandeng tangan sang suami para istri melihat raut muka Surantani berubah dari biasanya.

Para istri Surantani bertanya, “Bagaimana Kyai, raut muka Anda berbeda dari biasanya. Tampak sedang tidak enak hati. Apakah karena kami berbuat kesalahan?”

Surantani berkata, “Aku baru saja dipanggil Sang Raja. Aku ditunjuk untuk menjadi panglima prajurit Mataram yang akan menyerang wilayah timur. Pesanku untuk kalian para istriku yang cantik, kalau aku mati kalian rukunlah dalam bersaudara.”

Tiga istri Surantani menjerit sambil menangis, “Bagaimana Kyai bisa berkata demikian.”

Surantani berkata, “Sudah kewajiban orang mengabdi, hidup dan mati diserahkan kepada Sang Raja. Sudah istriku, kalian tinggallah di rumah.”

Semua istrinya menjerit hendak ikut ke medan perang, “Kyai, kami ikut ke medan perang. Kalau harus mati, kami semua ingin berbela mati.”

Surantani tidak peduli, segera bersiap dengan pakaian perang. Dengan pakain kain lurik, baju berenda, dan sabuk kain cindhe bermotif bunga. Celana model panji dan kancing baju serba emas, Ki Surantai tampak pantas. Penutup kepala memakai kuluk dirangkap ikat kepala kuning berenda dengan menyandang tiga keris, Ki Surantani terlihat gagah.

Ki Surantani berangkat meninggalkan tiga istrinya yang menangis tersedu-sedu. Pelan berjalan Ki Surantani menuju bangsal pagelaran, menjadi tontonan orang yang lewat. Sang Raja telah keluar dari istana, para prajurit telah berbaris di alun-alun. Pasukan Mataram tumpah ruah sampai ke jalan-jalan, pasar dan gang-gang kecil. Bendera telah dikibarkan masing-masing kesatuan. Para bupati sudah menghadap Sang Raja untuk menerima pesan-pesan. Prajurit Numbakanyar, Sewu dan Panumping dipimpin Adipati Martalaya. Ki Arya Surantani menghadap Sang Raja untuk menerima pesan-pesan.

Sultan berkata, “Kota Pasuruan lewatilah saja dahulu. Belum saatnya kita serang.”

Adipati Martalaya dan Kyai Arya Surantani menyembah dan segera berangkat setelah mendapat pesan-pesan Sang Sultan. Sang Sultan lalu memerintahkan segera menabuh tanda berangkat. Barisan prajurit Mataram dibubarkan menuju medan perang. Iringan prajurit yang  berada di depan adalah prajurit Numbakanyar, menyusul di belakangnya prajurit Sewu dan Panumping. Para kerabat Sultan mengiringi di belakang. Singkat cerita, perjalanan pasukan Kyai Surantani sudah melewati Taji dan bersiap memasuki wilayah Pajang. Pasukan dari Pajang telah menyambut untuk segera bergabung.

Setelah pasukan Mataram berangkat Sultan memanggil seorang punggawa, “Hai Jayasupanta, engkau berangkatlah menyusul Ki Surantani. Awasilah para prajurit Mataram yang berperang, perhatikan siapa yang berperang dengan baik dan buruk.”

Jayasupanta menyembah dan segera berangkat. Setelah berangkat dengan cepat berhasil menyusul pasukan Mataram di Pajang.

Sementara itu di wilayah timur sudah heboh berita kedatangan pasukan Mataram. Pasukan Madiun dan Ponorogo sudah bergabung dengan pasukan Mataram pimpinan Surantani. Mereka kemudian meneruskan perjalanan ke timur. Pasukan di wilayah timur sudah bersiaga menyambut datangnya pasukan Mataram yang akan menyerang mereka.

Para bupati wilayah timur yang akan diserang Mataram segera bersiap. Di Surabaya, Gresik dan Lamongan para prajurit telah menggelar barisan. Penguasa di Japan dan Wirasaba, para adipati di Kediri, Srengat, Balitar semua sudah bersiap. Juga di Kalangbret, Kartasana, Kamagetan, Pasuruan, Winongan, Lumajang, Renon dan Malang. Para kawula di wilayah tersiap sudah bersiap mengungsi ke kota dan ke gunung-gunung agar terhindar dari pasukan Mataram.

Gerak pasukan Mataram sudah sampai di Winongan, sebelah timur kota Pasuruan. Pada malam hari panglima Arya Surantani berunding dengan para pembesar mataram dan para bupati yang ikut.

Berkata Ki Surantani, “Engkau Ki Alap-Alap, bergeraklah segera ke Lumajang dan Renon. Bawalah empat kesatuan prajurit Sewu dan Bumi serta prajurit Numbakanyar.”

Para bupati menyarankan agar juga menyerang Pasuruan karena kota sedang sepi.

Ki Surantani menjawab, “Aku tidak dipesan untuk menaklukkan Pasuruan sekarang. Aku takkan melakukan itu. Segeralah Ki Alap-Alap, engkau berangkatlah.”

Alap-Alap segera melaksanakan perintah membawa empat kesatuan prajurit yang tangguh dan berani dalam perang. Perjalanan mereka tak diceritakan, singkatnya mereka sudah sampai di Lumajang. Adipati Lumajang melarikan diri di waktu fajar bersama pasukannya. Prajurit Mataram sudah mengetahui kalau sang adipati telah pergi, maka segera mereka mengejarnya. Di kaki gunung mereka berhasil disusul dan segera diterjang. Pasukan Adipati Lumajang bubar, si adipati lari mengungsi ke gunung. Pasukannya banyak yang tewas.

Setelah pasukan Lumajang ditumpas, prajurit Mataram menjarah sambil terus bergerak menuju Renon. Tidak perlu waktu lama Renon pun takluk dan dijarah. Banyak harta rampasan dan wanita boyongan mereka bawa ke markas Winongan untuk diserahkan kepada panglima Arya Surantani.

Ki Alap-Alap kembali menyarankan agar pasukan Mataram sekalian menyerang Pasuruan. Bupati Pasuruan sudah pergi. Hanya meninggalkan prajurit jaga saja.

Ki Surantani berkata, “Aku tidak diperintahkan untuk menaklukkan Pasuruan. Hanya negeri Malang dan Lumajang yang boleh diserang. Sekarang Lumajang sudah jatuh, maka segeralah berangkatkan pasukan ke Malang.”

Barisan Pasukan Mataram segera dibubarkan. Tanda berangkat sudah dibunyikan. Pasukan segera menuju Malang. Sesampai di Malang pasukan Mataram segera mengepung kota. Hanya bagian timur dibiarkan lowong. Bupati Malang yang bernama Rangga Tohjaya merasa tak mampu melawan pasukan Mataram. Maka dia berniat meloloskan diri dari kota. Semalaman mereka mempersiapkan diri. Ketika fajar menjelang mereka meloloskan diri menuju Renon. Prajurit Mataram mengetahui kalau Tohjaya lolos, segera dikejar. Di wilayah Songsong mereka berhasil menyusul. Pasukan Malang berhasil dihancurkan. Rangga Tohjaya lari terbirit-birit. Harta benda yang dibawanya dijarah beserta para wanitanya.

Ki Arya Surantani memerintahkan pasukan Mataram agar membubarkan barisan. Pasukan segera digerakkan ke selatan melewati Lawor. Setelah sampai di Kendat mereka berhenti. Paginya kembali melanjutkan perjalanan menuju Tambakbaya, di sebelah timur Kediri.

Kita tinggalkan sejenak perjalanan pasukan Mataram, sementara itu di para bupati wilayah timur sepakat hendak mengejar perjalanan pasukan Mataram. Adipati Surabaya sudah mengirim undangan ke Sampang, Lamongan, Gresik, Sidayu, Tuban dan Lasem. Pasukan dari Pasuruan dan Japan bahkan sudah sampai. Juga sudah datang pasukan Madura dipimpin Arya Pulangjiwa, seorang panglima yang tampan dan perkasa. Di wilayah timur sulit dicari bandingannya. Seorang pemberani yang sanggup melawan pasukan Mataram. Dari Pasuruan pasukan dipimpin Ki Tumenggung Kapulungan dan Rangga Lelana. Sedangkan dari Surabaya sendiri bertindak sebagai panglima adalah Adipati Pasagi. Pasukan Tuban dipimpin Kyai Patijasupanta. Dari Sidayu dipimpin Ki Martanagara. Dari Gresik pasukannya dipimpin bupatinya sendiri, bernama Ki Rangga Pramana. Pasukan gabungan dari wilayah timur sudah bergerak menuju Kediri. 

Di Kediri, pasukan Mataram sudah mendengar kalau para bupati wilayah timur mengejar mereka. Panglima Adipati Arya Surantani memerintahkan kepada Tumenggung Alap-Alap agar semua boyongan diberangkatkan pulang ke Mataram. Kemudian Alap-Alap disuruh mengumpulkan para kerabat dan punggawa Mataram untuk bersiap menghadang musuh yang datang dari sisi timur sungai. Adipati Pajang menempati sayap kiri, didampingi Adipati Martalaya, Mandurareja, Upasanta dan prajurit Panumping. Sementara itu sayap kanan ditempati para kerabat raja.

Tidak lama pasukan wilayah timur sudah sampai di sisi timur sungai Andaka. Mereka bermaksud merampas kembali para tawanan dari Malang dan Lumajang, tetapi mereka tidak berani menyeberang. Mereka kemudian menantang dari seberang sungai agar pasukan Mataram terpancing kemarahannya.

“Ayo, orang Mataram. Kalian menyeberanglah kalau sungguh laki-laki. Sungguh bukan prajurit kalau tak berani menyeberang.”

Prajurit Mataram yang mendengar panas hatinya. Ngabei Katawengan melapor kepada Kyai Surantani.

“Bagaimana kalau terus-menerus begini? Mereka sungguh membuat panas hati. Bagaimana kalau kita menyeberang?”

Kyai Surantani berkata, “Baiklah. Umumkan kepada pasukan Mataram agar menimbun sungai untuk menyeberang.”

Prajurit Mataram segera melaksanakan perintah. Mereka menimbun jurang dan sungai untuk menyeberang. Setelah dapat dilalui mereka segera memulai penyeberangan. Barisan depan sudah sampai di seberang sungai, tetapi musuh segera menyambut dengan tombak dan berondongan senapan. Pasukan Mataram kerepotan menghadapi. Banyak dari mereka yang tercebur ke sungai. Pasukan Mataram yang melihat teman-teman mereka kerepotan kemudian menyeberang dengan berenang. Setelah bersusah payah mereka berhasil mendarat ke seberang, tetapi pasukan musuh sudah memberondong dengan tembakan. Tombak dan lembing menghadang pasukan Mataram yang berusaha naik tebing sungai. Karena kalah posisi, banyak prajurit Mataram tewas dan terluka. Sungai Andaka mengalirkan air darah oleh luka para prajurit Mataram dan kuda-kuda mereka. Dalam peristiwa itu panglima Mataram Kyai Surantani gugur di tengah sungai.

Akhirnya pasukan wilayah timur perlahan mundur. Mereka kembali ke pondokan dengan membawa kemenangan. Panglima Madura Kyai Pulangjiwa mundur dengan naik kuda. Dari atas kuda Arya Pulangjiwa memuntir-muntir kumis dan berguman.

“Ternyata hanya seperti itu kemampuan prajurit Mataram. Tidak bisa menahan Arya Pulangjiwa, keturunan Jaran Panolih.”

Pasukan wilayah timur sampai di pondokan, hari sudah menjelang malam. Sementara itu prajurit Mataram masih mencari jenazah Kyai Surantani di sungai. Mereka mencari di antara tumpukan mayat yang bersusun-susun di sungai. Sampai lama baru ketemu. Jenazah lalu dimasukkan peti untuk dibawa ke Mataram. Para punggawa Mataram kemudian berembug menyusun rencana selanjutnya.

Pangeran Purubaya meminta kepada semua bupati untuk menyeberang ke timur sungai agar dapat melawan musuh dengan leluasa. Setelah terjadi perdebatan kecil akhirnya para bupati setuju dengan usulan Pangeran Purubaya. Pagi harinya mereka menyeberang sungai. Kali ini bisa dilakukan dengan mudah karena pasukan wilayah timur telah mundur ke markas mereka. Mereka tak mengira pasukan Mataram akan bangkit menyerang kembali. Pertempuran yang dahsyat kembali pecah. Pasukan Mataram menerjang dengan berani, seperti banteng yang terluka. Dengan senjata tombak dan pedang mereka membabat semua pasukan wilayah timur. Pasukan Mataram mengamuk seperti raksasa mendapat mangsa.

Pasukan wilayah timur kocar-kacir. Arya Pulangjiwa dan prajurit Sampangnya banyak yang tewas. Tiga punggawa Madura yang tersisa tak hendak mundur. Arya Pulangjiwa, Ki Jalaga dan Ki Jakarti mengamuk menahan serangan pasukan Mataram. Berondongan peluru sebesar jeruk dan buah maja hanya dianggap angin lalu. Arya Pulangjiwa berdiri menantang di tengah medan perang.

Adipati Pajang Ki Tambakbaya melihat polah Pulangjiwa yang perkasa. Segera Ki Adipati mengambil senjatanya dan mengisi dengan peluru emas. Pulangjiwa dibidik dan tepat mengenai matanya. Seketika matanya lepas dari tempatnya, jatuh menggelambir ke wajah.

Pulangjiwa kaget dan bertanya kepada prajuritnya, “Hai bocah, ada apa dengan mataku ini? Kira-kira apakah aku akan cacat?”

Si prajurit menjawab, “Tuan, mata Anda keluar. Sudah pasti akan cacat.”

Berkata Pulangjiwa, “Kalau begitu lebih baik aku mati saja. Hai tukang kuda. Ikatlah tubuhku ke kuda ini.”

Tukang kuda segera mengikat Pulangjiwa ke kudanya. Setelah erat ikatanya Pulangjiwa mencambuk kudanya dan maju ke medan perang. Dengan mata sudah buta Pulangjiwa mengamuk. Tombaknya berputar-putar mencari mangsa.

Pulangjiwa menantang-nantang, “Ayo, hadapi Pulangjiwa. Keturunan Jaran Panolih dari Sampang.”

Ki Jakarti dan Ki Jalaga ikut maju di belakang tuannya. Pangeran Japan yang menjadi panglima prajurit wilayah timur kembali maju menyerang. Pertempuran dahsyat kembali pecah. Tapi mereka kembali terdesak. Pulangjiwa sudah kehabisan prajurit. Ki Jalaga dan Ki Jakarti sudah terdesak mundur. Tinggal Pulangjiwa yang masih bertempur. Tekadnya akan bertempur sampai mati. Akan tetapi walau sesakti apapun kalau dikeroyok seluruh pasukan Mataram pasti akan kewalahan. Tak lama kemudian Pulangjiwa tewas. Kepalanya kemudian dipenggal oleh prajurit Mataram.

Sementara itu para bupati yang lain juga sudah terdesak. Bupati Kapulungan dari Pasuruan sudah lari ngacir. Kuda dan tombaknya dibuang dan pakaiannya dibalik. Lari terbentur-bentur babak belur, jatuh tertelungkup ke comberan. Ki Adipati Gendhing dari Surabaya juga sudah membalik bajunya. Kudanya ditinggal beserta tombaknya. Ki Adipati lari sambil menangis menyesali nasibnya, “Oh, nasib apa ini?” Ki Adipati lari menerobos semak belukar. Ketika kakinya menginjak kodok, dia kaget dan meloncat. “Duh, apakah ini?” Ki Adipati meratap di sepanjang jalan.

Tumpas habis pasukan gabungan wilayah timur. Semua mayat sudah dipenggal oleh pasukan Mataram. Harta benda mereka dirampas beserta senjata mereka. Ada tombak dan banyak senapan serta keris. Pagi harinya Pangeran Purubaya memberi tanda kepada pasukan Mataram untuk bubar dan kembali ke Mataram.

Sebagai utusan khusus Sultan yang bertugas memantau jalannya perang Ki Jayasupanta bergegas pulang duluan ke Mataram untuk melapor kepada Kangjeng Sultan. Sesampai di Mataram Jayasupanta melaporkan kalau Surantani telah tewas. Juga telah tewas Ngabei Katawengan dan Panji Wirabumi. Sementara Tumenggung Jagabaya mengalami luka-luka. Pranjurit Mataram banyak yang tewas dalam perang. Akan tetapi pasukan Mataram berhasil mengalahkan musuh dan menewaskan Panji Pulangjiwa. Uwak Pangeran Purubaya yang mengambil alih pimpinan perang dan berhasil mengalahkan musuh.  Sekarang pasukan sudah kembali menuju Mataram. Demikian laporan Tumenggung Jayasupanta.

Kangjeng Sultan sangat menyesal karena kehilangan banyak prajurit. Peristiwa ini ditandai dengan sengkalan: buta dahana margèng bumi[1].

Sultan berkata, “Nah, beritakan kepada para istri Tumenggung Surantani.”

Gandek segera berangkat ke kediaman Tumenggung Surantani untuk memberitahukan kepada istri dan kerabatnya. Tiga istri Surantani yang mendengar suami mereka gugur dalam perang menangis bersamaan. Suasana di kediaman Surantani diliputi kedukaan yang mendalam. Terdengar ramai isak tangis yang menyayat hati.

Para istri Surantani menangis sambil berucap, “Duhai tuan, mengapa engkau tinggalkan kami. Bisa apa kami tanpa perlindungan tuan. Bagaimana nasib putra-putra tuan yang masih kecil.”

Tidak lama kemudian rombongan pasukan Mataram sudah sampai di kotaraja. Semua panglima dan pembesar yang ikut perang menghadap Sultan untuk melaporkan penugasan mereka. Pangeran Purubaya menuturkan jalanya perang dari awal sampai akhir.

Berkata Pangeran Purubaya, “Si Uwak menghaturkan celaka. Banyak prajurit paduka tewas di medang perang. Surantani sampai mati itu karena saya yang celaka.”

Berkata Sang Sultan, “Sudahlah Wak. Sudah menjadi kehendak Allah.”

Sultan lalu memberi hadiah kepada para punggawa dan prajurit secara merata. Setelah selesai Sultan masuk ke istana dan para prajurit membubarkan diri kembali ke rumah masing-masing. Para istri telah menyambut mereka. Ada yang suka ada yang duka.


[1] 1535 AJ


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/07/17/babad-tanah-jawi-49-kyai-surantani-diperintahkan-menaklukkan-wilayah-timur/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...