Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (51): Para adipati wilayah timur sepakat menyerang Mataram

 Tujuh bulan telah berlalu sejak penaklukan Wirasaba. Di Tuban Adipati Tuban sedang menggelar pertemuan dengan para mantri dan kerabatnya. Telah hadir patih negeri Tuban Jayasanta yang selalu di depan Sang Adipati. Patih mengusulkan agar pasukan Tuban menyerang Mataram. Adipati Tuban menerima saran sang patih. Segera pasukan Tuban dipersiapkan untuk berangkat. Banyak negeri di wilayah timur datang membantu.

Pasukan Tuban menuju Wirasari yang saat itu sudah dikuasai Mataram. Bupati Wirasari bernama Wirakusuma, sudah mendapat laporan bahwa pasukan wilayah timur akan menyerang. Merasa tak mampu menghadapi sendirian, Wirakusuma pergi ke arah barat daya hendak melapor ke Mataram.

Patih Jayasanta sudah sampai di Wirasari. Ketika mendapati negeri itu telah ditinggalkan bupatinya Patih Jayasanta kecewa. Patih Jayasanta lalu berniat ke Pathi. Tetapi Patih Jayasanta tidak berani menyerang negeri Pathi. Mereka kemudian hanya menjarah di desa-desa. Adipati Pathi tidak keluar mengusir, tetapi hanya berjaga-jaga barangkali mereka menyerang kota.

Perjalanan Wirakusuma sudah sampai di Mataram. Wirakusuma melaporkan kalau musuh dari timur hendak menyerang Mataram. Mereka sudah menaklukkan Jipang. Kota Jipang dijarah dan para wanita diboyong. Sekarang posisi mereka berada di Pathi. Sang Raja segera menunjuk Tumenggung Alap-alap untuk mengejar pasukan dari timur.

Pasukan dari wilayah timur mendengar kalau mereka dikejar oleh Tumenggung Alap-Alap. Mereka tidak berani menghadapi dan memilih mundur. Tumenggung Alap-alap tidak menemui musuh yang dikejar, sehingga sangat kecewa. Tumenggung Alap-Alap kemudian kembali ke Mataram.

 Sementara itu Patih Jayasanta sudah sampai di Tuban dan segera membubarkan barisan. Sampai lima tahun berlalu tidak ada pergerakan pasukan lagi. Lima tahun kemudian ada perkumpulan para bupati wilayah timur di Surabaya. Mereka adalah Adipati Surabaya, bupati dari Japan, Pasuruan, Lumajang, Malang, Kediri, Rawam Kalangbret, Kartasana, Sarengat dan Balitar. Juga hadir dari seberang laut, bupati Sampang, Balega, Pakacangan, Arisbaya, Sumenep dan Sambega. Semua sudah datang di Surabaya kecuali dari Tuban dan Lasem. Tetapi mereka sudah berjanji akan bergabung nanti.

Adipati Surabaya berkata, “Hai saudara semua, sebab Anda semua aku minta datang adalah karena aku ingin mengajak kalian semua membalas ke Mataram. Ayo kita jarah Mataram dan kita boyong semua wanitanya. Si Bupati Tuban sudah menghubungi Pajang dan mereka menyatakan sanggup membantu. Kalau Mataram tidak kita musnahkan sekarang kelak akan membesar.”

Para bupati wilayah timur suka mendengar usulan Adipati Surabaya. Mereka semua sepakat hendak menyerang Mataram dan menghancurkannya segera. Setelah semua sepakat mereka terlebih dahulu akan berpamitan dan sungkem kepada Giri. Sesampai di astana Giri mereke menghadap Panembahan Ratu atau Sunan Kawis Guwa.

Sunan Kawis Guwa berkata, “Apa keinginan kalian sehingga menghadap kepadaku?”

Pangeran Surabaya dan Pangeran Singasari berkata dengan penuh hormat, “Kedatangan kami untuk meminta pamit, kami semua hendak menyerang Mataram untuk membalas menjarah mereka. Semua bupati di wilayah timur dan Madura sudah sepakat menyerang ke Mataram. Bupati Pajang sudah berjanji kepaga Adipati Tuban akan membantu kelak bila terjadi pertempuran.”

Panembahan tersenyum dalam hati, “Nah, bagus kalau engkau hendak menyerang, bagus kalau bisa mengalahkan. Aku doakan saja keinginan kalian itu. Adapun soal menang atau kalah aku tidak tahu. Itu sungguh masih menjadi rahasia Allah. Orang banyak mengalahkan yang sedikit itu, sungguh kita sebagai hamba tidak bisa menentukan.”

Berkata Adipati Surabaya kepada Sunan Giri, “Bagaimana Mataram akan menang, kalau kami semua menyerang? Kalau sampai kami kalah kelak semua wilayah timur akan tunduk.”

Tersenyum Sunan Giri, “Aku serahkan padamu anakku, lakukan saja. Kelak kita akan tahu hasilnya.”

Para bupati menyembah dan berpamitan. Mereka segera kembali untuk menyiapkan pasukan masing-masing. Sangat besar pasukan yang terkumpul, memenuhi lapangan yang luas. Setelah siap mereka segera berangkat. Dalam perjalanan Adipati Tuban dan pasukannya sudah menyambut. Pasukan sesaat berhenti di Tuban untuk menentukna rute yang akan diambil. Para bupati memanggil dua prajurit telik sandi. Mereka ditanyai jalan mana yang lebih baik dilewati, yang banyak persediaan berasnya.

Dua telik sandi berkata, “Menurut pengamatan hamba, jalan yang di sekitarnya banyak tanaman beras adalah di negeri Madiun. Negerinya rata dan beras murah. Kalau masih kurang nanti menuju Jagaraga. Jalannya lebar dan rata juga banyak tanaman pangan. Kalau para prajurit terjamin makannya sungguh akan kuat diadu perang.”

Ada prajurit sandi dari Mataram yang menyamar sebagai abdi di Tuban. Ki Randhuwatang namanya. Sudah tujuh bulan ini berada di Tuban. Pengabdiannya diterima oleh Adipati Tuban dan sangat dikasihi. Ki Randhuwatang kaget mendengar saran dari telik sandi tersebut. Kalau sampai saran telik sandi tersebut diturut maka akan membahayakan Mataram. Prajurit Mataram hanya sedikit dan pasukan wilayah timur sangat banyak. Ditambah mendapat pasokan pangan yang cukup tidak mustahil bisa menaklukkan Mataram. Dan lagi empat negeri bawahan Mataram di sekitar Madiun bisa dengan mudah ditaklukkan.

Ki Randhuwatang kemudian berbisik kepada Adipati Tuban, “Tuan, kalau kelak jadi lewat Madiun pasti banyak yang menghadang. Madiun dan sekitarnya sudah tunduk kepada Mataram, bisa-bisa kita akan kerepotan di sana dan tidak sempat ke Mataram. Jadi pertimbangan melewati Madiun saya kira tidak tepat.”

Adipati Tuban lalu berkata kepada Adipati Surabaya, “Saya punya prajurit sandi yang mumpuni, bernama Ki Randhuwatang. Menurut dia kita harus waspada kalau melewati Madiun karena Madiun dan sekitar sudah dijajah Mataram.”

Adipati Surabaya bertanya, “Di mana tempat yang rata jalannya?”

Ki Radhuwatang maju dan menjawab, “Jalan yang lebih baik melalui Lasem, yang tujuan akhirnya di Pathi dan Demak. Itu juga jalan yang agak pinggir dan juga rata. Murah bahan pangan dan mencukupi untuk pasokan makan pasukan besar ini. Kalau lewat Madiun nanti akan repot menghadapi musuh di awal sehingga tak selamat sampai di Mataram.”

Adipati Surabaya lebih memilih saran Ki Randhuwatang yang sudah menjadi abdi di Tuban. Dia kemudian mempertanyakan kesungguhan dua prajurit sandinya yang tidak memberi saran yang baik. Keduanya kemudan diperintahkan ditangkap dan dibunuh. Setelah semua diikat dan hendak dibunuh mereka menangis tersedu-sedu. Kemudian mereka ditanya mengapa menangis.

Dua prajurit sandi menjawab, “Kami tidak takut mati. Tangis kami karena merasa sayang dengan tuan. Kalau besok tuan menuruti saran abdi si Adipati Tuban pasti hancur. Daerah di situ sulit mendapatkan air dan makanan. Bagaimana kelak jadinya, kami kasihan dengan tuan kami.”

Algojo yang disuruh membunuh membentak, “Banyak alasan kau orang mau mati.”

Dua prajurit sandi dibunuh sudah. Adipati Surabaya melakukan kesalahan besar dengan menuruti abdi Adipati Tuban. Mungkin memang ini pertolongan Tuhan kepada orang Mataram sehingga Adipati Surabaya lebih memilih pendapat yang mencelakakannya. Para bupati sudah sepakat akan melalu jalur Lasem.

Pangeran Japan berkta, “Mataram Apes. Kali ini Mataram pasti takluk. Sepertinya tidak akan gagal. Kalau sampai gagal aku lebih suka pulang dalam peti mati.”

Adipati Tuban berkata, “Kalau Mataram tidak takluk, aku akan hidup di desa saja.”

Semua bupati sudah mempunyai sumpah masing-masing dan berjanji menepati. Sedangkan bupati Kapulungan dalam hati masih was-was, teringat ketika dulu sampai di buru hampir celaka.

Tanda-tanda berangkat sudah dibunyikan. Pasukan membubarkan diri dan segera berangkat. Sorak-sorai para prajurit bercampur dengan ringkik kuda. Senjata tampak berkerkilat-kilat, bendera berkibar-kibar. Rombongan pasukan terlihat seperti hamparan bunga. Besarnya pasukan yang berangkat ke Mataram membuat mereka sedikit takabur. Mataram pasti hancur. Para prajurit sudah merencanakan apa yang akan dikerjakan setelah menaklukkan Mataram. Ada yang ingin menjarah emas, ada yang ingin tinggal di Mataram menggarap sawah, ada yang ingin segera menggarap para wanita Mataram. Ucapan para prajurit dan kepercayaan tinggi para bupatinya seolah-olah negeri Mataram sudah pasti jatuh. Dalam istilah bahasa Jawa, kaya yak-yako.

Sementara itu Sultan Mataram sudah diberi tahu kalau negeri wilayah timur akan datang menyerang. Sang Raja segera keluar di bangsal Pancaniti di hadapan para punggawa. Para prajurit gedong sudah berjajar dengan membawa senjata lembing, pedang dan busur. Di luar telah berbaris prajurit Priyantaka dan Sarageni. Para pembesar Mataram sudah menghadap di depan sang Raja. Juga para bupati mantri, rangga dan demang.

Sang Raja berkata, “Demang Jayasupanta sekarang aku angkat menjadi rekan Martalaya, Panumping dibagi dua untuk mereka.”

Jayasupanta menyembah. Sang Raja berkata lagi, “Dan anak dari Pangeran Mangkubumi yang muda sekarang aku angkat menjadi Mangkubumi. Semua patuhilah.”

Semua punggawa patuh pada perintah Sultan.  Ada seorang prajurit Mataram bernama Baratkatiga, mempunyai seorang anak yang menjadi adipati dengan nama Ki Tumenggung Singaranu. Dan sekarang menjadi patih Mataram. Ki Singaranu selalu berada dekat dengan Sultan.

Sang Raja berkata, “Hai Alap-Alap, segera berangkatlah ke Pathi, katakan kepada adikku jangan pergi dari kotanya. Perkuatlah pertahanan agar kokoh. Dan engkau Alap-Alap, berhati-hatilah selama di Pathi. Bila nanti musuh datang menyerang Pathi, segeralah memberi tahu.”

Tumenggung Alap-Alap menyatakan kesiapan. Setelah menyembah lalu mohon pamit. Alap-Alap beserta pasukannya segera berangkat ke utara menuju Pathi. Sementara setelah kepergian Alap-Alap pasukan Mataram yang berada di kotarja segera bersiap.

Sang Raja berkata, “Singaranu, pukulah tanda perang. Aku hendak pergi sendiri menghadapi musuh dari timur. Engkau semua bersiaplah.”

Martalaya berkata, “Saya mendengar Adipati Pajang telah bersepakat dengan Adipati Tuban untuk mengamuk di belakang ketika pasukan wilayah timur menyerang Mataram.”

Sang Raja tak percaya kabar tersebut, “Mustahil kalau seperti itu, sudahlah segeralah bunyikan tanda perang.”

Tanda perang telah dipukul, semua prajurit bergerak memperisiapkan diri. Sang Raja beranjak ke dalam istana dan bersiap. Paginya pasukan Mataram sudah berbaris di alun-alun. Adipati Martalaya dan Adipati Jayasupanta sudah datang. Prajurit Sewu dan Numbakanyar sudah datang dengan bersenjata lengkap. Prajurit Bumija dan para mantrinya sudah datang. Demikian juga para kerabat raja beserta pasukannya, Pangeran Purubaya, Arya Wiramenggala, Adipati Juminah, Adipati Pringgalaya, Adipati Tepasana, Adipati Tanpanangkil, Adipati Mangkubumi, Prawirataruna, Adipati Puger, Pangeran Martasana dan Pangeran Balitar.

Sang Raja Mataram sudah bersiap dengan pakaian tempur. Sang Raja memakai mahkota beludru hitam berenda emas. Para kerabat juga memakai pakaian yang mencolok warnanya. Sang Raja keluar diiringi para pelayan wanita. Pasukan Mataram sebagian sudah berangkat dan menunggu di Taji.

Sang Raja sudah keluar didampingi lurah kapedhak kanan Ki Nayagarwa dan lurah kapedhak kiri Ki Garwakanda. Juga lurah gedong kanan Tumenggung Mangunnagara dan lurah gedong kiri  Tumenggung Surantani. Sang Raja memberi isyarat agar tanda berangkat dipukul. Tumenggung Singaranu segera membunyikan tanda berangkat. Sang Raja naik gajah diiringi para prajurit gedong-kapedhak.

Perjalanan pasukan Sang Raja sudah sampai di Taji dan sudah bergabung dengan pasukan yang berada di Taji. Dari atas gajah Sang Raja memberi perintah agar seluruh pasukan berangkat. Prajurit Sewu Numbakanyar dan Bumija berjalan di depan di bawah pimpinan Ki Arya Jayasupanta. Di belakangnya menyambung pasukan Adipati Martalaya, lalu pasukan Pangeran Purubaya, Pangeran Pringgalaya dan pasukannya, dan di belakang Sang Raja naik gajah. Singkat cerita perjalanan pasukan Mataram sudah masuk negeri Pajang. Pasukan berhenti dan membuat markas di sebelah barat Pajang.

Sang Raja berkata, “Kanda Martalaya, ambilah cangkul untuk meratakan jalan. Dan sungai-sungai timbunlah. Hutan-hutan babatlah. Agar pasukan wilayah timur segera sampai di hadapanku.”

Yang diberi perintah menyembah dan berkata, “Ayah paduka Adipati Pajang bermarkas di sebelah timur kota, di desa Bebeluk. Tampaknya hatinya sedang bimbang.”

Kangjeng Sultan berkata, “”Kalian berundinglah dengan para kerabat, upayakan yang sepantasnya. Jangan sampai menjadi buruk.”

Pangeran Purubaya berseru, “Apa maksud orang Pajang? Mengapa tidak bergabung dengan pasukan Mataram? Kalau begitu kita tanya apa maksudnya, baik atau buruk. Kalau bermaksud buruk mumpung musuh masih jauh ayo kita serang supaya tidak merepotkan.”

Arya Wirapati berkata, “Apakah sebaiknya kita berangkat untuk menanyakan maksudnya? Supaya bisa saya nasihati. Sangat disayangkan kalau sampai mau berbalik ke pihak musuh.”

Martalaya berkata, “Baik, Saradipa ikutlah perjalanan Ki Wirapati. Barangkali ada hal-hal yang tidak diinginkan.”

Wirapati berangkat bersama Ki Saradipa beserta pasukan bersenjata lengkap. Keduanya berangkat dengan penuh kehati-hatian. Tak lama kemudian mereka sampai di markas Adipati Pajang.

Wirapati berkata, “Saya diperintah Sang Raja untuk menanyakan mengapa Anda tidak bergabung dengan barisan Mataram?”

Adipati Pajang kerepotan menjawab, merasa tersudutkan. Maka jawabnya pun tergagap-gagap.

“Sebab saya berbaris di sini karena hendak menghadang musuh dari timur,” kata Adipati Pajang.

Wirapati berseru dengan muka memerah, “Jangan banyak alasan. Buruk pada akhirnya. Saya tidak takut.”

Adipati Pajang berkata, “Kanda apakah meminta saya ikut? Baiklah karena saya tak hendak memusuhi Kangjeng Sultan. Saya menjadi pengganti ayah raja di sini.”

Adipati Pajang membubarkan pasukannya dan ikut Ki Wirapati ke Mataram. Setelah sampai dan bergabung dengan pasukan Mataram, pasukan Adipati Pajang ditempatkan di tengah-tengah, dijepit segenap pasukan bersenjata sehingga tak mampu bergerak. Pasukan Mataram kembali meneruskan perjalanan. Setelah sampai di Siwalan mereka berhenti untuk istirahat.

Sementara itu pasukan wilayah timur sudah sampai di sebelah utara Siwalan. Mereka berhenti untuk menata barisan. Adipati Tuban menempati sayap kiri bersama pasukan Madura. Sayap kanan ditempati bupati Lamongan, Gresik dan Sidayu. Bagian dada ditempati Adipati Surabaya. Setelah siap mereka kemudian membuat     benteng. Sampai beberapa lama belum terjadi pertempuran. Sultan masih menunggu gerakan dari pasukan wilayah timur yang akan menyerang.

Di markasnya Kangjeng Sultan Prabu Hanyakrakusuma bertahta di hadapan para pasukan Mataram.

Berkata Kangjeng Sultan, “Apa kehendaknya pasukan dari timur itu. Sudah beberapa lama tidak keluar dari bentengnya. Semua prajurit hanya bersembunyi di dalam benteng. Apa maksudnya itu?”

Martalaya  menjawab pelan, “Hamba mengusulkan paduka, sebaiknya bentengnya segera kita gempur. Sudah lama paduka menunggu tanpa ada akhirnya. Mereka sepertinya tak hendak keluar. Lebih baik kalau segera diserang.”

Pangeran Purubaya menyambung, “Saya tidak setuju kalau kita menyerang benteng. Mereka yang hendak menyerang, kita hanya melayani. Kalau mereka mereka tak segera keluar dari benteng kita gangu saja. Setiap hari ada orang mengambil makanan dengan kuda, kita berpatroli mengitari benteng agar mereka marah dan keluar. Kalau sampai berani keluar mereka akan celaka dan tewas.”

 Sultan sangat suka dengan usulan Pangeran Purubaya. Segera dikirim patroli ke sekitar benteng. Jika ada pasukan dari benteng keluar untuk mengambil makanan dan sebagainya, langsung dikejar dan dibunuh. Benteng dijaga di luar dari segala arah sehingga setiap ada yang keluar tak dapat kembali. Lama-lama yang berada di dalam benteng kekurangan pangan. Mereka hanya makan dedaunan, umbi-umbian dan bonggol pisang. Para prajurit kecil menderita, setiap malam terdengar teriak kelaparan. Mereka pun saling mencuri milik teman sendiri karena sudah kekurangan pangan. Ada yang mencuri nasi, kepergok temannya ditikam. Ada yang mencuri kuda lalu disembelih untuk makan. Para prajurit mulai sakit-sakitan. Setiap malam terdengar suara rintihan dan hanya dibalas rintihan temannya. Yang masih punya pikiran hanya bisa berdoa kepada Tuhan, yang goblok bisanya hanya memaki penyakitnya.

Para punggawa dari timur tidak satu kata. Adipati Tuban sudah tak sabar membawa pasukan keluar untuk mengamuk. Sudah tanggung sampai di sini, mengapa tak segera berperang. Pasukan sudah rusak, tanpa memperoleh hasil. Adipati Tuban segera menyuruh Ki Patih untuk memukul tanda perang. Para prajuritnya sudah bersiap keluar. Barikade sudah dijebol untuk lewat. Adipati Tuban keluar dengan naik kuda Simatari yang berbulu putih. Dengan memakai pakaian seperti seorang kelana, berbaju sangkelat merah berenda dan ikat kepala berlubang-lubang. Pasukan Tuban sudah bergerak maju. Adipati Tuban berada di belakang dengan payung merah.

Berkata Adipati Tuban, “Wahai segenap orang timur, lihatlah aku beperang melawan Sultan Mataram. Tidak harus memakai bantuanmu. Orang-orang seperti kalian tidak becus. Bukan laki-laki, tapi juga bukan perempuan. Silakan pakai kain jarit kalau tak mau berperang.”

Orang-orang dari timur malu diledek Adipati Tuban. Para prajurit kecil berpikir orang seperti inilah yang pantas aku jadikan tuan. Mereka pun mengajak para temannya untuk ikut serta.

Sementara itu pasukan Mataram sudah melihat gerakan pasukan Tuban. Para punggawa Mataram bersiap menghadapi. Tak lama kemudian pecah pertempuran dahsyat antara kedua kubu. Saling tembak dan saling serang. Tak lama tampak pasukan Tuban terdesak. Mereka bermaksud mencari bantuan ke benteng. Perlahan pasukan mundur menuju benteng. Oleh orang-orang dari dalam benteng mereka dilempari batu. Kata mereka, tadi seperti paling gagah dan berani. Tadi bilang tak perlu bantuan. Sekarang tidak becus minta bantuan. Hai teman, jangan diberi jalan masuk. Pasukan Tuban tak bisa masuk benteng, mereka bubar berlarian. Para prajurit kecil memaki tuannya, mengapa tadi berlagak paling gagah. Ternyata sekarang bermaksud lari juga. Tidak berani berperang habis-habisan. Orang besar takut perang, tuan seperti itu tak layak diikuti. Adipati Tuban dan pasukannya kemudian berkemah tak jauh dari benteng.

Di dalam benteng para pembesar dari wilayah timur mengadakan permufakatan mengenai kapan akan keluar benteng. Mereka memutuskan akan keluar benteng keesokan harinya. Dalam pertemuan itu mereka menertawakan ulah Adipati Tuban yang berlagak gagah dan pemberani, tetapi tanpa hasil. Niatnya meledek yang lain, malah lari pontang-panting.

Berkata Adipati Surabaya, “Aku minta kita besok keluar untuk beperang. Mumpung pasukan masih ada semangat.”

Setelah semua sepakat, malam itu mereka semua bersiap. Paginya Adipati Japan sudah bersiap menempati posisinya.

Dari pihak Mataram Sultan juga sudah bersiap menata barisan. Adipati Martalaya dan Arya Jayasupanta menjadi sayap kiri berhadapan dengan Adipati Japan. Para kerabat berada di sayap kanan, berhadapan dengan pasukan Madura. Sang Raja pun sudah bersiap.

Adipati Tuban yang masih berkemah di sekitar benteng hendak ikut berperang. Gajah sudah diberi pelana. Ada dua orang selir Adipati bernama Ni Graita dan Ni Andrawela, keduanya disuruh naik gajah.

Sementara itu Adipati Japan sudah bersiap menata barisannya.

Berkata Adipati Japan, “Aku hendak melawan raja Mataram. Hendak aku hadapi sendiri untuk beradu kekuatan dan beradu tajamnya senjata.”

Adipati Japan masih mencari di mana posisi Sultan Mataram.

Berkata Adipati Japan, “Siapa yang berbaris di selatan itu?”

Seorang prajurit menjawab, “Itu Adipati Martalaya, yang berpayung putih. Yang di sebelahnya Ki Arya Jayasupanta. Lalu sebelahnya lagi Ki Saradipa. Mereka prajurit andalan Mataram.”

Adipati Japan berkata, “Mereka akan kuserang dulu.”

Adipati Japan segera memberi aba-aba maju. Orang Japan menerjang dengan berani, tak hendak mundur. Tekadnya kalau tak menang tak ingin pulang dalam keadaan hidup. Demang Jayasupanta menghadapi serangan Adipati Japan.

Berkata Demang Jayasupanta, “Bakarlah rumah itu agar pasukan orang timur itu terpencar. Kalau mereka masih mengumpul akan sulit dibendung.”

Rumah dibakar, api berkobar. Asap membumbung tinggi ke arah utara. Pasukan orang timur berpencar menghindari asap, pasukan Mataram menerjang. Adipati Martalaya menerjang ke pinggir, Arya Jayasupanta menerjang di kiri. Pasukan dari timur tak menyadari musuh telah menerjang karena terhalang asap pekat. Mereka menahan sambil terpejam. Perangnya menjadi ngawur saja. Orang Mataram dengan leluasa mengeroyok pasukan timur. Banyak prajurit timur tewas.

Adipati Japan melihat pasukannya terdesak, segera mengambil tombak. Kudanya dipacu menyambar di tengah medan perang dan menantang-nantang.

“Ayo, keroyoklah aku. Ini Adipati Japan, keturunan Madiun. Ini yang namanya Mas Lonthang. Ayo keroyoklah.”

Adipati Japan mengamuk di tengah medan perang. Siapa yang diterjang bubar dengan menderita luka-luka. Adipati Martalaya menyuruh para mantri untuk bersama-sama mengeroyok Adipati Japan. Para mantri menembak dan menikam dengan tombak. Adipati Japan tak mempan senjata. Lalu beramai-ramai dilempari batu dan dipukul popor senapan. Seberapa pun kuat seseorang, bila tak ada yang membantu pasti kewalahan. Adipati Japan jatuh dari kuda. Para pengeroyok tak henti menyerang, Adipati Japan tewas.

Tumenggung Kapulungan melihat Adipati Japan tewas, seketika gemetar ketakutan.

“Benar dugaanku,” kata Tumenggung Kapulungan, “Dulu hatiku sudah khawatir sekarang menjadi kenyataan. Seorang pemberani saja mati. Sekarang ayo kita mundur. Siapa yang mau mati, lebih baik selamat.”

Ki Tumenggung Kapulungan memutar kuda dan lari berbalik. Orang Mataram terus mengejar. Adipati Surabaya pasukannya sudah habis, si Adipati lari tanpa menoleh. Adipati Tuban melihat pasukan timur lari sudah gemetar duluan. Sang Adipati lari meninggalkan gajahnya. Selir yang berada di atasnya tak dihiraukan lagi.

Si pawang gajah memanggil tuannya, “Selir Ki adipati masih tertinggal.”

Adipati Tuban menjawab, “Diam jangan bicara. Besok cari bini lagi.”

Ki Adipati Tuban sudah ngacir, selirnya masih berada di atas gajah. Pasukan Mataram mengejar si gajah dan ditangkap. Si selir menangis, Ni Graita dan Ni Andrawela. Prajuri Mataram masih mengejar Adipati Tuban. Ketika hampir tertangkap Adipati turun dari kuda dan lari menerabas pepohonan gelagah. Di dalam rumpun gelagah Adipati Tuban disambar kinjeng, kaget si Adipati. Perasaannya seperti disambar petir saja. Adipati terus lari sambil mencret. Si kuda diambil prajurit Mataram dan ditunggangi. Senang sekali prajurit yang mendapatkan kudanya. Dengan belagak dia memacu si kuda. Gajah Adipati Tuban sudah ditunggangi para prajurit Mataram. Semua jarahan lalu dilaporkan kepada Sang Raja beserta dua selir Adipati Tuban.

Adipati Martalaya dan Jayasupanta segera membawa jasad Adipati Japan. Sang Sultan memberi hormat kepada jenazah Adipati Japan karena dari sekian orang yang menyerang Mataram, hanya dia yang pemberani.

Sultan berkata, “Kebumikan jenazah Adipati Japan dengan baik di pemakaman Butuh, menyatu dengan makam Sultan Pajang. Segerakan pemakaman. Dia adalah prajurit yang pemberani dan layak dijadikan teladan bagi para generasi mendatang.”

Sang Raja memerintahkan membunyikan tanda berangkat. Pasukan Mataram kembali pulang ke negerinya.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/07/19/babad-tanah-jawi-51-para-adipati-wilayah-timur-sepakat-menyerang-mataram/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...