Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (52): Negeri Lasem dan Pasuruan ditaklukkan oleh pasukan Mataram

 Pasukan Mataram baru saja pulang dari perang melawan para bupati wilayah timur. Sesampai di kotaraja Sultan memberikan berbagai hadiah kepada para prajurit yang telah berjasa dalam perang. Selang setengah bulan kemudian Sultan menggelar pertemuan dengan para punggawa.

Berkata Sang Sultan, “Hai Martalaya dan Jayasupanta, kalian berangkatlah dengan membawa pasukan. Para prajurit Panumping bawahanmu bawalah semua. Dan Dinda di Pathi kalian ajak serta beserta pasukannya.”

Martalaya menyembah, segera melaksanakan perintah Sultan. Prajurit Panumping dan pasukan dari Mataram segera berangkat. Singkat cerita pasukan pimpinan Martalaya sudah sampai di Pathi. Adipati Pathi segera diperintahkan untuk bersiap dan bergabung dengan pasukan Martalaya. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan. Sesampai di Lasem pasukan gabungan dari Pathi dan Mataram berhenti dan membuat markas. Pasukan Pathi berada di barat daya dan pasukan Mataram berada di selatan kota. Markas kedua pasukan menyambung sehingga membuat kota Lasem terkepung.

Orang-orang Lasem takut dan merasa takkan sanggup melawan. Maka hebohlah seisi kota. Pada malam hari mereka berebut mengungsi. Suara-suara mereka yang berebut jalan didengar pasukan Mataram. Mereka mengira orang Pathi telah menyerang kota sehingga mereka segera mengerahkan pasukan. Pasukan Mataram berhasil masuk dengan mudah ke kota karena memang penghuni kota tidak ada niat melawan. Bupati Lasem ditangkap, seisi kota dijarah, para wanita diboyong dan senjata-senjata diikat. Barang dan jarahan dibagi antara pasukan Mataram dan Pathi lalu dilaporkan ke kotaraja Mataram.

Ki Adipati Martalaya, Ki Jayasupanta dan Adipati Pathi sudah menghadap Kangjeng Sultan di Mataram. Sang Sultan sangat suka mendengar laporan bahwa Lasem telah ditaklukkan. Peristiwa tersebut ditandai dengan sengkalan tahun: ula ngêndhog margèng jagat[1] dan untuk mengenang kematian Adipati Japan yang dimakamkan di Butuh ditandai dengan sengkalan tahun: rêsi guna pancaning rat[2]Adipati Pathi telah diberi hadiah pakaian, harta benda dan emas. Demikian juga para prajurit yang telah berjasa, semua diberi hadiah sepantasnya.

Pada hari pisowanan yang lain Sultan memerintahkan kepada pasukan Mataram untuk melakukan penyerangan ke negeri timur.

Sultan berkata, “Kanda Martalaya, engkau berangkatlah menyerang ke wilayah timur. Taklukkan dulu Pasuruan. Semua bupati ikutlah serta. Pesanku, kalau semua kerabatku sudah sampai di Pasuruan kalian buatlah markas di selatan kota. Kanda Martalaya buatlah markas di tenggara. Orang Pajang jangan jauh-jauh darimu. Adapun pasukan Ki Alap-Alap buatlah markas di utara kota. Kalau kalian semua sudah siap, tunggulah hari Jum’at untuk menyerang.”

Ki Martalaya dan para punggawa yang ditunjuk segera undur diri untuk bersiap-siap. Mereka semua kemudian menata pasukan di alun-alun dan segera berangkat. Sultan telah beranjak dari Sitinggil menuju bangsal Kamandungan. Sultan lalu memanggil Ki Jayasupanta. Yang dipanggil segera menghadap dan menyembah, bersiap menerima perintah.

Berkata Sang Sultan, “Hai Jayasupanta, engkau berangkatlah ke timur menyusul pasukan sebagai mataku. Perhatikan mana prajurit yang baik dan buruk. Kalau sampai ada yang melanggar pesanku, artinya dia tidak bersungguh-sungguh mengabdi padaku. Engkau segeralah pulang melaporkannya.”

Jayasupanta menyembah dan segera berangkat beserta pasukannya. Singkat cerita Jayasupanta sudah berhasil menyusul pasukan Mataram di Sala. Jayasupanta segera menyampaikan pesan Sultan. Adipati Martalaya tanggap pada isyarat dari perintah Sang Sultan, dengan bersegera memberangkatkan pasukan. Di sepanjang jalan yang dilalui pasukan Mataram tanaman rusak karena banyaknya pasukan yang lewat. Singkat cerita mereka sudah sampai di Pasuruan. Pasukan Mataram menjarah desa-desa di Pasuruan. Para penduduk berlarian mengungsi ke dalam kota.

Bupati Pasuruan Ki Tumenggung Kapulungan telah menata pasukan di dalam kota. Barisannya berjajar memenuhi kota. Pasukan Mataram telah mengepung kota sesuai perintah Sultan. Di selatan, timur dan utara telah dijaga pasukan Mataram. Hanya sebelah barat yang dibiarkan kosong sebagai pintu.

Sementara itu di dalam kota Ki Tumenggung Kapulungan naik kuda memeriksa barisan.

Ki Tumenggung berseru, “Semua abdiku warga Pasuruan. Berhati-hatilah, besok kalian saya ajak mati bersama-sama.”

Pada waktu itu telah menjelang hari Jum’at. Tumenggung Kapulungan sudah gelisah. Dalam hati berkata, “Bagaimana besok aku berperang, mustahil bernasib beda dari sebelumnya yang selalu dikejar-kejar. Mustahil bisa mengalahkan orang banyak. Sedangkan dulu musuh sama besarnya saja aku kalah. Dan dulu ketika di Pasiwalan pasukan Mataram hanya sedikit dan pasukan orang timur jumlahnya besar, aku juga kalah. Sampai-sampai mencret di jalan. Sekarang mustahil menang. Dasar memang nasibku ditinggal sendirian tanpa teman. Sudah bosan selalu kalah. Mungkin lebih baik kalau minggat saja. Siapa yang hati-hati pasti selamat dan panjang umur.”

Tumenggung Kapulungan lalu menyusuh istri dan anaknya untuk bersiap lolos dari kota.

Kepada para prajuritnya dia berpura-pura dengan mengatakan, “Wahai orang Pasuruan, bersiaplah. Nanti malam aku akan mengamuk. Orang Mataram banyak kalau tak diamuk malam-malam mustahil bisa menang. Kalau diamuk malam hari pasti mereka gugup, tak mampu membedakan musuh dan teman. Pasti akan terjadi huru-hara di markas orang Mataram sehingga pasukannya hancur. Kalau sudah begitu kita terjang pasti bubar berlarian.”

Para prajurit semua telah menurut perintah Tumenggung Kapulungan.

Ki Tumenggung lalu ke dalam dan membisiki istrinya, “Ayo istriku, segera bawalah barang bawaanmu. Bawalah bekal untuk mengungsi. Dan jangan lupa bawalah nasi dan minum, juga nasi kering, tempe dan cabai serta garam terasi. Sini aku bawa sendiri barangkali nanti engkau terpisah.”

Ki Tumenggung segera mengambil kuda bernama Andaru, berwarna hitam. Istrinya dinaikkan di atas kuda dibelakangnya sambil menggendong bekal. Tampak kerepotan jalannya.

Ki Tumenggung lalu menabuh tanda perang sambil berteriak, “Ayo yang tertinggal pasti aku cokot kamu.”

Pasukan Pasuruan segera berangkat sambil bersorak. Pasukan Mataram mendengar kalau musuh keluar, mereka lalu bersiap. Ki Tumenggung yang telah jauh di depan pasukannya terus maju, tetapi ketika sudah dekat lalu berbelok ke barat. Terus lari tak berhenti menuju Surabaya. Para prajurit yang mengikuti di belakang melihat sang tuan lari ngacir. Mereka memaki-maki, “Tuan gila, berhentilah aku tombak sendiri.”

Orang Pasuruan berbalik kembali ke kota dan bermaksud pulang ke rumah mereka. Tetapi pasukan Mataram sudah telanjur mengejar. Banyak dari mereka tertangkap dan dibunuh. Yang masih hidup lari masuk kota dan menutup pintu gerbang. Malam itu mereka selamat, tetapi paginya orang Mataram menyerang kota. Tepat pada hari Jum’at pasukan Mataram berhasil menaklukkan kota Pasuruan. Semua isi kota dijarah dan para wanita dijadikan boyongan. Mereka semua dibawa ke markas pasukan Mataram. Sebagian prajurit Mataram mengejar larinya Tumenggung Kapulungan. Di desa Benda sang tumenggung berhasil dikejar. Ketika melihat banyak prajurit Mataram mengejar Ki Tumenggung memacu kudanya. Karena tergesa-gesa si kuda terperosok. Ki Tumenggung melompat, nasi keringnya berhamburan. Ki Tumenggung lari pontang-panting. Istrinya berhasil ditawan dan dijadikan boyongan.

Ki Tumenggung masih berlari menyusup di perkebunan. Sepanjang jalan memanggil-manggil istrinya pamit mati. Berjalan sambil menahan lapar Ki Tumenggung teringat nasi keringnya yang telah berhamburan.

“Duh, sungguh teraniaya diriku. Kuda dirampas, istri direbut, nasi kering tumpah berhamburan. Mau merokok canduku ikut hilang.”

Sungguh kasihan Ki Tumenggung Kapulungan, terluta-lunta tanpa teman. Para prajurit Mataram yang mengejar kehilangan jejak. Mereka hanya bisa membawa kuda dan istri Ki Tumenggung. Mereka kemudian kembali ke markas dan membagi jarahan. Pasuruan sudah takluk.

Alkisah Ki Jayasupanta menjalankan perintah Sang Sultan dalam memata-matai perjalanan pasukan Mataram. Arya Jayasupanta berjaga di Jurang Prahu dan bermarkas di sana. Orang Mataram yang sedang berjalan pulang diberi pesan agar tidak pulang dulu. Mereka semua dalam perjalanan pulang membawa wanita boyongan yang cantik-cantik. Ketika diberi tahu agar menunggu banyak yang tidak sabar.

Ki Martalaya berkata, “Bagaimana maksud Jayasupanta ini. Mengapa kami tak boleh lewat? Dan dia berada di sana untuk apa?”

Pangeran Adipati Purubaya berkata, “Saya duga dia sedang menjalankan perintah Sultan. Kalau sekiranya dia datang membawa pasukan bantuan, pasti Sultan berkirim surat padaku.”

Adipati Mandura berkata, “Apa maksudnya menghadang di jalan. Tidak usah banyak perdebatan, ayo kita terjang saja.”

Pangeran Purubaya berkata, “Kalau itu kehendak Jayasupanta sendiri, masa kita tidak berani. Tetapi aku duga dia sedang menjalankan perintah Sultan. Si Jayasupanta kalau tidak sedang bertugas mustahil dia berani melakukan itu.”

Adipati Madura menyesal telah bicara ngelantur. Ngabei Singawadana mendengar perkataan Adipati Mandura yang ngawur tadi, lalu berangkat duluan. Setelah sampai di Jurang Prahu Ngabei Singawadana melapor kepada Jayasupanta bahwa Adipati Mandura hendak menerjang pasukan Jayasupanta.

Ki Arya Jayasupanta berkata, “Beruntung urung, tidak jadi menerjang. Kanda, ketahuilah aku berjaga di sini hanya menjalankan perintah Kangjeng Sultan.”

Arya Jayasupanta segera membubarkan pasukannya. Pasukan besar Mataram dipersilakan lewat dan pulang ke Mataram. Peristiwa takluknya Pasuruan ini ditandai dengan sengkalan tahun: trus katiga kang janma[3]. Sesampai di Mataram hasil jarahan dan boyongan dilaporkan kepada Sultan. Kangjeng Sultan sangat suka mendengar perjalanan pasukannya berhasil. Dalam kesempatan tersebut Arya Jayasupanta juga melaporkan bahwa Adipati Mandura kemarin hendak menerjang pasukannya.

Sultan berkata, “Sudahlah, tidak usah diperpanjang.”

Setahun telah berlalu, Sang Raja pada hari pisowanan duduk di hadapan para punggawa dan kerabat. Tumenggung Singaranu berada di depan dan melapor kepada Sang Sultan.

Berkata Ki Tumenggung, “Mohon maaf, hamba mendengar berita bahwa paman paduka di Pathi berbesanan dengan orang Tuban.”

Sultan berkata, “Apa kabar itu benar, mustahil paman mau melawanku.”

Jayasupanta teringat peristiwa setahun lalu, “Dulu ketika di Pasuruan, Adipati Mandura hendak menyerang pasukan saya.”

Sang Raja berkata, “Lah, mustahil demikian itu. Paman Mandura orang tua, mustahil punya pikiran melawanku.”


[1] 1508 AJ

[2] 1567 AJ

[3] 1539 AJ


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/07/19/babad-tanah-jawi-52-negeri-lasem-dan-pasuruan-ditaklukkan-oleh-pasukan-mataram/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...