Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (53): Kuda bernama Domba menjadi sebab negeri Pajang diserang Mataram

 Alkisah, Pangeran Mandura mengirim surat ke negeri Pajang. Utusan sudah berangkat dan sampai di Pajang. Setelah melapor penjaga pintu si utusan dipersilakan menghadap. Surat dari Adipati Mandura dihaturkan dan dibaca oleh Adipati Pajang.

Isi suratnya, “Salam dari Adipati Mandura kepada Dinda Adipati Pajang yang telah mendapatkan belas kasih Tuhan dan berkah Kangjeng Nabi Muhammad, para sahabat serta para waliyullah di tanah Jawa. Juga berkah dari para leluhur. Setelah doa saya, Dinda pernah mengatakan akan berbalik menyerang Mataram. Jika hendak mewujudkan niat itu, sekaranglah saatnya. Anda nanti kalau telah terlaksana menyerang Mataram, saya akan mengamuk di belakang. Percayalah, Dinda bisa mengandalkan saya.”

Sudah habis isi surat. Satu keinginan sudah dinyatakan dalam surat itu.

Adipati Pajang berkata, “Sampaikan rasa terima kasihku. Sepertinya Kanda tidak akan ingkar janji.”

Si utusan berkata, “Sepertinya tidak akan ingkar.”

Adipati Pajang berkata, “Kembalilah dulu. Katakan kepada Kanda Adipati kalau kelak aku dapat jalan pasti segera aku wujudkan. Ingatkan Kanda jangan sampai ingkar janji.”

Si utusan segera minta pamit dan kembali ke Mataram. Sesampai di hadapan tuannya si utusan berkata, “Adik paduka sedang menunggu kesempatan. Sungguh pasti kelak akan melawan Mataram.”

Si utusan segera undur diri.

Di keraton Mataram pada suatu hari Sultan bertahta di hadapan para punggawa Mataram.

Sultan berkata, “Aku mendengar di Pajang ada seekor kuda bagus bernama si Domba. Nah gandek, engkau berangkatlah ke Pajang. Mintalah kuda bernama Domba itu, milik si Tambakbaya.”

Gandek segera berangkat ke Pajang. Singkat cerita gandek sudah menghadap Adipati Pajang pada hari pisowanan. Pada saat itu Tambakbaya belum datang menghadap.

Gandek utusan segera menyampaikan perintah Sang Sultan, “Saya datang membawa perintah Sultan. Kangjeng Sultan meminta kuda si Tambakbaya yang bernama si Domba.”

Adipati Pajang berkata, “Itu bukan kudaku. Nanti saya panggil pemiliknya dulu.”

Adipati Pajang segera menyuruh utusan untuk memanggil Tambakbaya dengan sekalian membawa kudanya yang bernama si Domba. Utusan sudah sampai di kediaman Tambakbaya dan menyampaikan perintah.

Berkata si utusan, “Anda dipanggil menghadap di kadipaten dengan membawa kuda si Domba. Kuda Anda diminta Kangjeng Sultan.”

Tambakbaya tampak kurang senang, lalu mengambil kudanya dan memberinya pelana. Setelah siap Tambakbaya menuju ke tempat pisowanan dengan segera.

Sambil berjalan Tambakbaya bergumam, “Sayang kudaku ini. Barangsiapa mau naik kuda ini, kelak kalau aku mati dia bisa memiliku kudaku ini.”

Tidak lama Tambakbaya sampai di balai pisowanan. Adipati Pajang segera menyampaikan perintah Sultan.

Sang Adipati berkata, “Kudamu diminta oleh Kangjeng Sultan Mataram. Serahkan segera, itu perintahku.”

Tambakbaya tampak tak senang, dia berkata, “Kalau si Domba mau diminta oleh Sang Raja, lebih baik istri saya saja yang saya serahkan sebagai gantinya. Silakan.”

Tambakbaya mundur dan segera keluar. Sampai di luar naik kuda dan memanas-manasi si utusan. Kuda dicambuk dan melesat. Tambakbaya mengambil tombak dan berjingkrak.

Tambakbaya berseru, “Sayang kudaku kalau pergi. Kalau aku masih hidup aku bela sampai mati. Takkan aku berikan.”

Tambakbaya mencubit kulitnya, lalu berkata, “Kulitku ini masih laku dua bulan kalau melawan Mataram.”

Perilaku Tambakbaya semakin menjadi. Tombaknya berputar, dia terus memanas-manasi gandek utusan. Si utusan hanya melihat dan membiarkan si Tambakbaya. Utusan minta pamit kembali ke Mataram. Dengan berpacu utusan segera sampai di keraton. Utusan melapor kepada Sultan segala yang dialaminya.

Berkata si utusan, “Paduka, hamba sudah menjalankan perintah mengambil kuda si Domba. Tambakbaya tidak mau menyerahkan kudanya. Perilakunya membuat panas hati. Katanya, orang Mataram datanglah ke sini, aku tidak takut berperang.”

Sultan sangat marah mendengar penuturan gandek utusan. Segera Sang Sultan keluar dan menyiapkan pasukan. Dengan masih sangat marah Sultan berkata kepada para prajurit.

“Bawalah semua orang Pajang sampai habis. Kalau melawan bunuhlah semua laki-laki di sana. Orang Mataram sudah rela.”

Semua prajurit menyembah dan segera berangkat menyisir wilayah Pajang selatan. Sepanjang jalan kalau melihat orang Pajang langsung dibunuh. Yang selamat mengungsi ke kota dan melapor kepada bupatinya. Sang Adipati Pajang segera menyiapkan pasukan untuk menghadapi kedatangan prajurit Mataram.

Tambakbaya menyiapkan pasukan andalannya yang berjumlah empat puluh orang. Perawakannya besar, kumis seperti tanduk, brewok dadanya. Pasukannya konon sangat tangguh. Kalau ditombak hanya tersenyum, kalau ditembak malah tertawa. Para prajuritnya itu bernama: Gelap Ngampar, Jurang Gerawah, Langit Bedhah, Macan Guguh, Sapi Gumarang, Kalandaru, Kalamarcu, Marcukundha, Dhudha Salawe, Edan Sabendina, Keneng Lanat, Jaya Jegrang, Rangga Lalualis, Demang Sidaedan, Jaka Prabangsa, Walang Anggas, Pasararungan, Gagak Rimang, Rangga Janur, Suduk Kocar-Kacir, Ora Kawarasan, Keneng Tulah Salawase, Dhudha Mete-Mete, Jaka Kawak dan Ginepok Jengat Ngayun. Bersama pasukan Pajang yang lain Tambakbaya telah bersiap.

Sementara itu di Mataram, Kangjeng Sultan memanggil para punggawa untuk menghadap.

Sultan berkata, “Paman Mandura, Anda yang mempunyai pasukan. Prajurit Mataram pimpinlah. Siapapun yang menganggu bunuhlah sekalian. Dan Uwak Purubaya, Paman Juminah, Adipati Sumedhang dan Demang Tanpanangkil, semua ikutlah serta menjadi pendamping.”

Adipati Mandura merasa kerepotan. Dulu pernah berjanji akan membantu Pajang jika melawan Mataram, sekarang dia sendiri yang ditugaskan menumpas. Kalau tidak melaksanakan malu karena sudah mendapat kepercayaan. Kalau melaksanakan berarti ingkar janji kepada Adipati Pajang.

Pasukan Mataram sudah berangkat. Singkat cerita sudah sampai di Pajang. Adipati Mandura berada di tengah, yang menjadi sayap kiri Adipati Sumedhang dan Pangeran Juminah. Sayap kanan diisi Pangeran Purubaya, didampingi Demang Tanpanangkil.

Adipati Pajang akan menghadapi musuh di luar kota. Sang Adipati telah mendengar kalau pemimpin pasukan Mataram adalah Adipati Mandura. Hatinya menjadi tenang karena sudah mendapat jaminan akan dibantu. Kedua pasukan sudah berhadap-hadapan. Ki Tambakbaya segera menerjang sayap kiri yang ditempati Adipati Sumedhang. Bersama pasukan andalannya Tambakbaya mengamuk dengan ganas. Adipati Sumedhang terluka, prajuritnya banyak yang tewas. Pangeran Adipati Juminah datang membantu, pasukan Pajang diterjang. Gantian pasukan Pajang terdesak. Adipati Pajang datang membantu Tambakbaya, tetapi pasukan Mataram terlalu banyak. Pasukan pajang kerepotan menghadapi gelombang serangan pasukan Mataram. Tambakbaya dikeroyok pasukan Mataram.

Karena merasa tak mampu lagi menahan serangan pasukan Mataram Tambakbaya lari dari medan perang dengan memaki-maki Adipati Mandura. Tadinya pasukan Pajang berharap Adipati Mandura berbalik menyerang Mataram, tetapi sampai pasukan Pajang hancur janjinya dulu tak ditepati. Seluruh prajurit Pajang memaki Adipati Mandura.

“Sungguh buruk kelakuan Adipati Mandura, ingkar janji,” kata para prajurit Pajang.

Para prajurit Mataram mendengar rahasia itu, mereka mengingatnya dalam hati.

Adipati Pajang ikut lari bersama Tambakbaya. Istri Tambakbaya dibawa naik kuda. Para prajurit Mataram mengejar. Sepanjang jalan Tambakbaya berkata kepada istrinya, “Pegangan yang kuat Nyai, kalau sampai jatuh kamu dibawa musuh.”

Tambakbaya jatuh dari kudanya. Sambil menarik istrinya Tambakbaya lari meninggalkan kudanya.

“Kuda sumber bencana, kalau tak aku tinggalkan pasti mendatangkan celaka,” kata Tambakbaya.

Tiga orang pembesar Pajang, Tambakbaya, Adipati Jagaraga dan Adipati Pajang lari sampai di Semanggi. Mereka kemudian memakai perahu meneruskan perjalanan. Prajurit Mataram kembali ke kota dan menjarah isinya. Sapi kerbau dan harta benda dibawa ke Mataram. Adipati Pajang sudah dipastikan larinya, yakni menuju Surabaya.

Di Mataram Kangjeng Sultan menyambut pasukannya yang baru saja menang perang. Jarahan dan boyongan dihaturkan kepada Sultan. Juga termasuk kuda bernama si Domba yang menjadi sebab hancurnya Pajang. Sultan sangat bersukacita.

Berkata Sultan, “Adipati Pajang mengungsi ke mana?”

Yang ditanya menyembah dan menjawab, “Lari ke Surabaya. Bersama Tambakbaya dan Adipati Jagaraga.”

Sultan memberi perintah, “Hai Kanda Martalaya, engkau aku utus menyerang ke timur bersama si Arya Jayasupanta. Kalian persiapkan persenjataan kalian. Bawalah prajurit Sewu dan Numbakanyar dan Bumija. Dan engkau kirimlah utusan ke Pati untuk memberi tahu kalau pasukan Mataram akan menyerang Tuban.”

Sang Sultan telah selesai memberi perintah, segera masuk ke dalam istana.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/07/21/babad-tanah-jawi-53-kuda-bernama-domba-menjadi-sebab-negeri-pajang-diserang-mataram/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...