Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (56): Surabaya takluk kepada Mataram

 Lama berlalu sejak penaklukan Madura. Pada suatu hari pisowanan, Sang Raja bertahta di hadapan para punggawa Mataram. Saat itu ada seorang mantri dari Kajragan bernama Geniroga, diangkat sebagai bupati dengan nama Tumenggung Endranata. Pada saat itu Sultan juga memanggil Mangunoneng. Mangunoneng segera mendekat dan menghaturkan sembah.

Sultan berkata, “Mangunoneng, engkau berangkatlah menyerang Surabaya. Semua pasukanku bawalah, engkau yang memimpin.”

Mangunoneng menyembah dan segera undur diri dari hadapan Sultan untuk melaksanakan tugas. Bersamaan mundur pula Ki Ngabei Katawengan dan Ki Demang Yudaprana. Setelah mereka bersiap, pasukan Mataram segera berangkat. Sesampai di Japan mereka berhenti di sebuah tempat bernama Terusan. Bengawan Surabaya mereka bendung. Anak sungai yang mengalir ke Surabaya mereka penuhi dengan bangkai dan kolang-kaling busuk. Orang Surabaya menjadi kekurangan air minum. Barangsiapa nekad minum menjadi sakit batuk panas.

Di Surabaya para mantri terbelah dalam menghadapi kedatangan pasukan Mataram. Sebagian mengajak berperang, sebagian lagi mengajak tunduk dengan menghadap ke Mataram. Adipati Sanjata bersikeras untuk melawan pasukan Mataram. Para mantri beralasan kalau Adipati Sanjata terlalu memaksakan kehendak. Tidak aneh karena Adipati Sanjata seorang buronan Mataram. Jadi pasti selalu mengajak memusuhi Mataram. Lagipula Adipati Sanjata belum tentu menang. Kalau memang sakti pasti dulu ketika di Pajang juga menang.

Adipati Surabaya merasa bingung harus berbuat apa. Kubu penganjur tunduk punya alasan yang masuk akal, tetapi sang adipati merasa malu kalau menyerah. Kebingungan sang adipati berlarut-larut membuat penduduk Surabaya semakin kurus karena kekurangan makan dan minum.

Adipati Surabaya kemudian mengambil jalan tengah. Sang putra, Raden Pekik, dikirim ke Mataram untuk menyerah duluan. Barangkali nanti diterima oleh Sultan Agung di Mataram. Para mantri menyarankan agar sang adipati sekalian saja yang berangkat ke Mataram.

Adipati Surabaya berkata, “Aku belum siap bertemu Sultan. Sebaiknya anakku Raden Pekik yang berangkat menghadap Sultan di Mataram sebagai wakilku. Aku serahkan putraku untuk mengabdi, berserah hidup dan mati. Perjalanan putraku aku serahkan kepada kalian semua untuk mendampingi. Bawalah seribu orang dan harta benda. Juga suratku berikan kepada Mangunoneng yang berjaga di luar kota Surabaya.”

Para mantri dan Raden Pekik segera undur diri untuk bersiap. Setelah segala sesuatu beres mereka segera berangkat. Raden Pekik berada di depan, diiringi para mantri. Harta benda dibawa oleh para tukang pikul sebagai tanda bahwa Surabaya telah sungguh-sungguh menyerah. Sesampai di luar kota mereka takjub pada barisan pasukan Mataram. Ki Demang Urawan menemui Mangunoneng untuk menyerahkan surat dari Adipati Surabaya. Surat dibaca oleh Mangunoneng dengan seksama. Isi suratnya menyatakan Surabaya tunduk dengan mewakilkan putra sang adipati untuk menghadap ke Mataram.

Mangunoneng menyambut dengan suka hati, “Ini benar kehendak Adipati Surabaya? Sudah benar bagi orang yang sayang kepada negerinya. Yang sedikit membuat kecewa, dia hanya mengirim anaknya sebagai wakil. Bagaimana menurut kalian wahai para mantri?”

Para mantri menyerahkan keputusan kepada Mangunoneng. Mangunoneng menerima penyerahan tersebut dan segera membubarkan pasukan untuk kembali ke Mataram. Ki Demang Urawan segera kembali ke barisannya untuk melapor bahwa penyerahan Surabaya sudah diterima Mangunoneng. Rombongan Raden Pekik berangkat ke Mataram bersama pasukan pimpinan Mangunoneng.

Perjalanan rombongan dari Surabaya tak diceritakan, dalam perjalanan Mangunoneng berembug dengan Ngabei Katawengan dan Ngabei Yudaprana. Ada hal yang masih mengganjal di hati mereka, yakni Adipati Surabaya belum menghadap sendiri ke Mataram. Mereka sepakat untuk meminta Raden Pekik agar membujuk sang ayah.

Mangunoneng berkata, “Kalau begitu kita segera kirim utusan ke Surabaya agar Adipati Surabaya segera menyusul.”

Raden Pekik setuju dengan usulan ketiga punggawa Mataram tersebut. Demang Urawan kemudian ditunjuk oleh Raden Pekik untuk berangkat ke Surabaya bersama utusan Mangunoneng. Sesampai di Surabaya Demang Urawan membujuk Adipati Surabaya agar mau menghadap Sultan.

Berkata Demang Urawan, “Paduka diminta oleh putra paduka agar datang ke Mataram untuk bertemu Sultan.”

Adipati Surabaya tergopoh-gopoh, lalu segera bersiap berangkat. Dalam hati merasa menyesal karena tidak menuruti saran para mantri untuk berangkat sendiri ke Mataram. Adipati berharap Sultan memaafkannya. Keberangkatan Adipati Surabaya juga membawa serta Adipati Sanjata, Adipati Pajang dan Adipati Jagaraga. Dengan pasukan besar dari Surabaya sang adipati berangkat.

Perjalanan Adipati Surabaya sudah mencapai Ponorogo. Mangunoneng, Ngabei Katawengan dan Ngabei Yudaprana telah berhenti di situ menunggu perintah selanjutnya dari Mataram. Tak lama utusan Sultan datang membawa perintah. Adipati Surabaya akan disuruh kembali ke Surabaya bersama Raden Pekik. Adapun Adipati Sanjata diambil oleh Sultan untuk ditinggal di Mataram. Tetapi sebelum Adipati Surabaya kembali diminta untuk datang ke istana, Sang Sultan ingin bertemu.

Adipati Surabaya hanya bisa menunduk tanpa kuasa menolak. Segera sang adipati berangkat menuju istana. Sesampai di istana Mangunoneng melaporkan segala yang terjadi.

Sang Raja berkata, “Semua yang diikat lepaskanlah. Semua wanita kembalikan kepada lakinya.”

Sang Raja lalu memberi perintah kepada Adipati Surabaya, “Ki Tumenggung Surabaya engkau sekarang memimpin Surabaya. Adapun Pangeran bertempatlah di luar kota tanpa pasukan.”

Adipati Surabaya segera melaksanakan perintah. Sesampai di Surabaya Tumenggung Sapanjang berdiam di kota dan Pangeran Adipati Surabaya tinggal di Rempeh dengan keluarganya.

Adapun nasib Adipati Sanjata, ketika sampai di Pajang langsung ditikam beramai-ramai tetapi tak satupun senjata mempan kepadanya. Ditindih batu dikepruk kayu, semua tak dirasa. Akhirnya Ki Adipati diikat dan diceburkan ke dalam sungai. Sudah hilang wujudnya, tak pernah terlihat lagi.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/07/24/babad-tanah-jawi-56-surabaya-takluk-kepada-mataram/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...