Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (57): Adipati Bragola di Pati memberontak kepada Mataram

 Pada pisowanan hari Senin di Mataram, Sultan bertahta di hadapan para punggawa di Panangkilan. Para magersari mengapit di kiri-kanan dengan senjata pedang dan tombak. Prajurit Nyutra sudah mendekat. Prajurit Priyantaka berada di depan agak jauh, berjajar dengan prajurit Sarageni. Juga sudah menghadap para prajurit Miyangga, Nirbaya, Kartiyasa, Wiramarta, Brajanala, Wirabraja dan Patrayuda. Juga para Gandek dan Kanoman, Singanagara, Martalulut, Niyaga dan para Kabayan. Juga para Astranangga, Maudara, Judipati dan Jayantaka. Para adipati duduk di depan bersama para kerabat raja.

Para kerabat telah hadir, Pangeran Purubaya, Pangeran Arya Wiramanggala, Pangeran Adipati Singasari, Pangeran Adipati Tepasana, Pangeran Adipati Juminah, Pangeran Adipati Mangkubumi, Pangeran Adipati Puger, Pangeran Adipati Sokawati, Pangeran Adipati Balitar. Juga telah hadir para kerabat muda, Martasana, Prawirataruna, Pulangjiwa, Ranggatanpulas dan Raden Wirasari.

Juga telah hadir Adipati Martalaya. Adipati Mamenang, Raden Pringgalaya, Kusumayuda, Demang Malaya, Singaranu, Endranata, Tumenggung Alap-Alap, Mangunoneng, Rajaniti, Tumenggung Asmaradana, Wirapati, Prangwadana, Tepengsara, Tumenggung Mandakarta, Aryanagara, Arya Dhadhptulis, Raden Pamot, Kulandrageni, Salingsingan, Tumenggung Singajaya, Ngabei Prabangsa, Ngabei Katawengan, Ngabei Yudprana, Tumenggung Sindubaya, Jayamanggala, Malangsumirang, Ngabei Nayahita, Panji Wirabumi, Astrawedana, Arya Panular, Ngabei Randhegan, Wirantaka, Kanduruan di Wedhi, Kartamanggala, Kyai Wiraguna, Adipati Sampang.

Telah hadir pula para prajurit Sewu, Numbakanyar dan Bumi. Juga para prajurit pesisir, Cebonggebang, Kaliwungu, Kendal, Brebes, Tegal, Batang, Pemalang, Wiradesa, Madiun Magetan, Ponorogo, Kawuwang, Jagaraga, Japan, Wirasaba, Kalangbret, Rawa dan Malang. Para wedana juga telah hadir, lurah kiri Mangunnagara dan lurah kanan Surantani serta lurah kapedhak Ki Nayagarwa. Hampir seluruh punggawa dan negeri taklukan hadir menghadap Sultan.

Pada kesempatan tersebut Sultan menanyakan mengapa dari Pati tidak ada yang datang menghadap sedangkan pada hari ini sudah waktunya semua wilayah datang menghadap.

Tumenggung Endranata menyembah dan berkata, “Hamba mendengar Adipati Pragola hendak melawan paduka, menggantikan paduka di tahta Mataram. Sebaiknya segera paduka hadapi karena sekarang sudah bersiap hendak menyerang ke sini. Negeri paduka di wilayah utara semua sudah ditaklukkan. Warung, Juwana dan Grobogan sudah tunduk. Demak tinggal menyisakan kotanya, desa-desa sudah diduduki. Lasem, Pajangkungan dan Rembang sudah dikangkangi Adipati Pragola di Pati.”

Terlihat agak marah, Sultan berkata, “Baiklah. Memang harus segera diselesaikan. Uwak Pangeran Purubaya Anda pikirkan siapa saja yang sebaiknya berangkat menyerang Pati. Aku ingin pergi sendiri melawan Dinda Pragola. Para pasukan Mataram semua bersiaplah. Besok pagi kita berangkat.”

Semua bupati menyembah, bersiap melaksanakan perintah. Sultan beranjak masuk puri diiringi para selir. Paginya pasukan Mataram sudah bersiap. Tanda berangkat sudah dipukul. Pasukan bergerak dari alun-alun. Mereka berbaris memenuhi jalan. Jalanan penuh prajurit hingga tak dapat lagi dilewati. Jika dilihat dari jauh gerakan pasukan seperti gelombang samudera. Pasukan Sampang berada di depan dengan menyandang tombak pendek, senapan, tulup, lembing dan pedang. Parajuritnya gagah-gagah dengan kumis sekepalan tangan.

Sang Raja sudah bersiap dengan pakaian keprajuritan, berkain bathik, celana berenda dan pakaian motif tambal. Dengan ikat pinggang kain cinde hijau berenda emas. Penutup kepala dari kulit dilapisi ikat kepala kain putih berenda tepinya. Terlihat sangat mengesankan. Keris sudah disandang, tombak telah disiapkan. Pasukan Sang Sultan telah keluar dari istana. Prajurit sarageni, Magersari dan Nyutra mengiringi Sultan berangkat ke medan perang.

Sultan telah memberi perintah agar tanda berangkat dibunyikan. Pasukan Sultan bergerak menyusul pasukan Mataram. Sultan berangkat dengan naik gajah. Pasukan Mataram memenuhi jalan, barisannya panjang seperti gulungan kabut.

Singkat cerita pasukan Mataram telah sampai di Pajang. Sultan beristirahat di Pajang. Pasukan pesisir mendahului berangkat dan sudah memasuki wilayah Pati. Mereka mulai menjarah pedesaan di selatan gunung. Banyak jarahan dan boyongan mereka bawa. Penduduk yang melawan mereka bunuh. Yang hidup lari mengungsi ke kota untuk melapor kepada tuannya.

Adipati Pati duduk di hadapan para punggawa dan mantri. Hadir para pembesar Pati, Arya Sawunggaling, Sindureja, Rajamenggala, Adipati Kulanangkil, Tumenggung Binorong, Mangunjaya, Demang Tanpanaha, Ngabei Carangdesa, Arya Tanda, Raden Megatsari, Pangalasan, Demang Jagantaka, Ki Waduaji, Jayengrana, Prameya dan Rangga Surengpati.

Para mantri andalan Pati juga telah hadir, Surantaka, Dêmang Kartalaya, Ngabèi Jayèngpati, Rôngga Martahita, Wirabramêtya, Ki Rôngga Kartapati, Astrawijaya, Kartayuda, Dêmang Caruban, Marcukilan, Ki Gêlapthathit, Dêmang Katawan, Rôngga Orang-aring, Dêmang Cêkaklak, Dêmang Gêlapngampar, Endragini, Cakrajagad, Langitbêdhah, Jurangambrah, Setan Arungan, Mancangah, Astrapati, Dêmang Pangrunjanglawang, Dêmang Kêkolik, Rujakpanjang, Rajatumbakan, Setan Mangan bêlis, Rujakbaruwang, Bajobali, Ki Lurah Patra, Gajah Tambakbaya, Ki Lurah Astranôngga, Patragati dan Ki Sewandaka.

Di hadapan para punggawa Adipati Pragola berkata, “Segenap para mantri, bagaimana dengan kabar adanya kehebohan di luar sana?”

Lurah prajurit sandi berkata, “Tuan, saya melaporkan. Pasukan Mataram sudah sampai di tapal batas Pati. Mereka menjarah desa-desa dan membunuh penduduk laki-laki dan para wanitanya diboyong.”

Berkata Adipati Pragola, “Siapa yang menjadi panglima pasukan Mataram?”

Seorang prajurit menjawab, “Kakak paduka Kangjeng Sultan sendiri yang datang ke sini. Semua prajurit dikerahkan, juga para mantri pesisir dan mancanegara.”

Adipati Pragola berkata, “Syukur kalau demikian. Saya hadapi sendiri. Dan kalian para punggawa dan kerabatku, aku tanya kemantapan kalian. Aku hendak mengajak kalian mati bersama. Jangan ada yang mengecewakan. Pejamkan mata kalian, jangan menoleh lagi.”

Berkata Kanduruan, “Maaf Tuan, kalau paduka hendak mencari mati, saya duluan yang mati. Kalau sampai paduka mengalaminya saya jangan sampai melihatnya.”

Arya Sawunggaling berkata, “Sumpah saya Tuan, tidak akan mencari tuan selain paduka. Kalau Tuan mencari mati, saya tak mau ketinggalan.”

Arya Sindureja berkata, “Permintaan saya Tuan, kalau Anda memulai perang, saya akan mengamuk duluan. Kalau kelak saya mati, terserah paduka selanjutnya. Dan permintaan saya lagi, di dunia sampai akhirat Anda menjadi tuan saya.”

Ki Rajamenggala berkata, “Kalau Anda hendak berperang, mosok saya akan mundur. Permintaan saya kalau berperang jangan sampai masih hidup.”

Adipati Tohpati berkata, “Buat apa hidup kalau Tuan hendak berperang. Siapa yang lari besok, jangan diberi makan nasi. Kasih saja tai.”

Tumenggung Binorong berkata, “Kalau ada yang takut mati, sayang wanitanya kalau diajak tidur. Pantasnya tidur dengan anjing.”

Adipati Pati berkata, “Saya memohon kepada Tuhan, semoga kalian semua tetap teguh pendirian.”

Adipati Pragola kemudian berkata kepada para wanita, “Ambilah arak, anggur dan brandewijn. Juga ambilkan pakaian, emas dan koin uang.”

Yang disuruh segera pergi, tak lama datang membawa barang yang diminta.

Adipati Pragola berkata kepada para selir, “Bagilah pakaian kepada para punggawa.”

Busana dibagikan, juga sumping di telinga telah dipasang. Mereka kemudian menari tayub. Para punggawa bersuka-suka sampai mabuk.

“Permintaan saya, kalau kelak berperang, saya akan mengamuk duluan untuk membalas kebaikan Tuan. Tumpahnya darah saya dan terpenggalnya kepala, saya pakai untuk membalas kasih sayang Tuan,” kata salah seorang yang mabuk.

“Permintaan saya kelak, kalau sampai tujuh kali mengabdi, tetap mengabdi kepada paduka. Kalau kelak paduka berperang, saya ingin hancur duluan,” kata pemabuk yang lain.

Adipati Pragola berkata, “Aku terima kesetiaan kalian semua. Tak beda denganku, besok kalau terjadi perang aku pun hendak mati bersama kalian. Bersama para kerabatku semua mengamuk ke orang Mataram. Tetapi perasaanku kalau aku melawan Kanda Sultan, mustahil kalau memang. Pasti aku mengalami kalah atau mundur.”

Raden Kanduruan, Raden Sindureja dan Raden Sawunggaling berkata sambil menangis, “Tuanku, paduka jangan ikut berperang. Kami saja yang maju menghadapi orang Mataram. Kalau para abdi ini sampai mundur, ditusuk saja dari belakang dan istri kami jadikan saja boyongan. Paduka kembali saja hidup mulia di negeri, biar hamba yang berperang sampai mati. Kalau kami sudah mati, terserah paduka.”

Adipati Pragola berkata, “Aku terima kesetiaan dan cinta kalian kepadaku. Sungguh aku tak mampu membalasnya. Semoga dibalas oleh Tuhan. Kelak semua keluargaku dan para mantriku, semoga mendapat balasan surga.”

Arya Mangunjaya berkata dengan menghiba-hiba, “Duhai Tuanku, kalau bolah hamba sarankan jangan berperang melawan Kakak paduka Sang Raja Mataram. Tidak ada keburukan dari Sang Raja kepada paduka, bahkan sangat berbelas kasih. Pasukan Pati mustahil bisa menang.”

Adipati Pati berkata, “Itu sudah pasti, kalau memang kehendak Tuhan. Tidak akan bisa berubah. Kalau aku harus mati biar Kanda Sultan sendiri yang membunuh.”

Para perwira berkata, “Ki Mangunjaya, engkau ini sungguh penakut. Mengapa engkau takut mati. Engkau diam saja kalau begitu, tak usah ikut perang.”

Ki Mangunjaya berkata, “Lhoh, berlagak sekali orang ini. Menjadi panjang urusan kalau ditanggapi.”

Adipati Pati berkata lagi, “Aku keluar berperang besok pagi. Semua prajuritku bersiaplah. Besok pagi barisan ditata di alun-alun Pati.”

Semua punggawa, mantri dan prajurit sudah diberi uang dan pakaian seragam. Sang Adipati beranjak masuk ke puri. Para istri mengiringi. Ketika sudah sampai di dalam Sang Adipati duduk, para istri memijat kaki. Para istri melihat raut muka Sang Adipati berbeda dari biasanya.

Para istri berkata pelan, “Duhai paduka, apa sebab paduka tidak berkata apapun. Apakah marah kepada semua istri. Kami semua lebih suka dibunuh saja daripada mendapat amarah.”

Ki Adipati berkata, “Ketauilah Dinda, aku katakan padamu, aku pamit mati kepada kalian semua, wahai juwitaku. Besok saya akan berperang dengan Kanda Sultan, raja di Mataram. Semua istriku kelak sepeninggalku, yang bisa kalian mengabdi ke Mataram. Dan aku titip putraku laki-laki, rawatlah dia karena dia belum pernah merasakan hidup mulia. Ketahuilah kalau besok aku berperang melawan Kanda Sultan, sudah pasti aku akan tewas.”

Para istri menjerit mendengar perintah suami mereka. Dengan terbata-bata mereka berkata, “Duhai paduka, menghadaplah kepada kakak paduka Sang Sultan. Jangan melawan kepadanya.”

Adipati berkata, “Sudah takdir kalau aku harus mati melawan orang Mataram. Dinda, aku yang akan menjadi adipati terakhir di Pati. Anakmu Raden Rangga tidak akan menggantikanku. Bagaimana kehidupannya kelak.”

Para istri semakin keras menangis. Di pura terjadi hujan air mata. Paginya Adipati Pragola tak ingkar akan janjinya. Sang Adipati mandi keramas sampai bersih, lalu memakai wewangian jebat kasturi, lalu memakai kain samboja, ikat pinggang kain putih, baju hitam berenda. Dengan menyandang keris Parungsari tangguh Jigja. Kerisnya tiga buah, salah satunya tangguh Tuban dhapur Carita. Satunya bernama Ki Keleng berdhapur Sampana. Penampilan Sang Adipati sangat gagah, mirip Karna ketika hendak berperang dengan Arjuna di tegal Kuruksetra.

Para prajurit Pati sudah tergelar di alun-alun, tinggal menunggu sang tuan keluar. Mereka menyandang tombak pendek berdhapur Tumper Ingas, ada pula yang berdhapur Bung Ampel. Juga ada yang memakai tombak panjang. Tidak lama kemudian Adipati Pragola keluar diiringi para istri. Tampak para istri sangat prihatin, semua menahan tangis. Setelah sampai di luar para istri disuruh kembali masuk ke dalam pura.

Sang Adipati segera memimpin pasukan bergerak ke luar kota. Tampak jalanan seperti diliputi hamparan bunga oleh pakaian warna-warni yang mereka kenakan. Para komandan masing-masing kesatuan telah memimpin prajuritnya. Lurah kapedhak bernama Cakrawati dan Cakrayuda. Lurah pasukan Sarageni bernama Prayadita dan Prayanangga. Lurah Kanoman bernama Anggayuda dan Yudakarti. Patrawisa dan Wisamarta sebagai purah prajurit sumpit. Lurah prajurit Nyutra bernama Anggandara dan Jayaleksana. Lurah Angrangin Jayengsari dan Jayengresmi. Masing-masing kesatuan memakai pakaian warna-warni membuat jalanan seperti hamparan bunga.

Adipati Pragola naik kuda bernama Layarwaring, kudha dhawuk berbulu putih dengan pelana berwarna mencolok. Sesampai di luar kota Pati pasukan Adipati Pragola berhenti dan membuat markas. Sepanjang malam para prajurit bersuka ria dan menggelar tayub. Agar semangat tempur mereka terus terjaga.

Sementara itu di markas pasukan Mataram, Sultan telah menerima berita bahwa pasukan Pati telah keluar dari kotanya.

Sultan berkata, “Ayo kita bersiap. Yang di sayap kanan Tumenggung Singaranu, pimpinlah semua pasukanku. Aku sendiri berada di belakang agak ke kiri, memimpin para kapedhak dan kerabat. Semua jangan jauh dari saya. Orang Pati cakap-cakap waspadalah. Si Endranata pimpinlah semua prajurit pesisir di sayap kiri.”

Semua sudah mendapat perintah dan segera menempati posisi masing-masing. Sementara itu, di markas pasukan Pati, Adipati Pragola juga sudah bersiap berangkat.

Berkata Adipati Pragola kepada Kanduruan, “Di mana posisi pasukan Kanda Sultan. Aku akan menghadapinya. Permintaanku kepada Tuhan, agar jangan orang lain yang membunuhku. Aku hendak beradu keberanian dengan Kanda Sultan.”

Sawunggaling menyembah dan berkata, “Saya sudah bertanya kepada prajurit sandi. Posisi kakak paduka berada di kanan, dengan tanda bendera gula kelapa. Itulah posisi Sultan.”

Adipati Pragola suka hatinya, “Kalau begitu segera tabuh tanda perang. Ayo bersama kita terjang. Jangan ada yang lari. Keinginanku semua hancur bersama. Tak ada satupun yang menghindar. Kita sudah berjanji mati bersama.”

Segera tanda perang dipukul. Para bupati berpesta dan mabuk. Ketika semua sudah mabuk kesanggupannya nyaring, semua berjanji takkan ada yang lari, semua siap mati bersama.

Raden Kanduruan menyembah, “Kalau boleh saya sendiri yang mengamuk duluan. Kalau saya  sudah hancur, terserah paduka mau berbuat apa.”

Sawunggaling menghiba-hiba meminta izin untuk mengamuk duluan.

Sang Adipati berkata, “Aku terima kesanggupanmu, tetapi aku minta kita mati bersama. Hancur bersama semua orang Pati, jangan ada yang pulang. Aku pun takkan ingkar untuk mati bersama kalian. Ayo segera pukul tanda perang.”

Tanda perang sudah dipukul, pasukan Pati maju bersama. Kanduruan berada di depan tak jauh dari Sawunggaling. Prajurit Mataram mendengar prajurit Pati sudah bersorak-sorak, tanda telah siap tempur. Tak lama kemudian kedua pasukan sudah terlibat pertempuran sengit. Sayap kiri pasukan Pati yang dipimpin Sawunggaling mengamuk, menerjang prajurit pesisir pimpinan Endranata. Sawunggaling menantang prajurit Mataram.

“Ini Ki Arya Sawunggaling dari Pati. Prajurit Mataram, ayo keroyoklah. Jangan ada yang mundur!”

Kanduruan berseru, “Jangan ada yang lari. Ibarat satu rumpun bambu, telur satu induk, jangan ada yang ingkar. Ayo maju bersama-sama.”

Sepak terjang prajurit Santenan seperti singa memangsa ular, suara senjatanya seperti gunung roboh, sorak-sorai prajurit seakan meruntuhkan langit. Arya Sawunggaling mengamuk menakutkan. Ki Tumenggung melihat prajurit Pati mengamuk laksana macam tak mendapat mangsa. Endranata ciut hati dan lari terbirit-birit. Sawunggaling mengejar Endranata. Endranata turun dari kudanya dan lolos. Prajurit pesisir kocar-kacir berlarian. Prajurit Pati terus mengamuk tak kenal takut.

Ki Subrametya berperang dengan Jagabaya, saling tombak. Subrametya menombak tanpa henti, tetapi berhasil ditangkis Jagabaya. Gantian Jagabaya menyerang dengan tombak. Subrametya terkena bagian leher, Subrametya tewas di tempat.

Martalaya bertarung melawan Ki Jayengrana. Keduanya saling beradu keris. Tampak keduanya sama-sama tangguh. Setelah beberapa lama saling tikam dan saling menghindar, Jayengrana tertembus dadanya. Jatuh lalu tewas.

Raden Kanduruan berhadapan dengan Ki Rajaniti. Keduanya membawa tombak. Saling tusuk, saling tangkis. Dalam satu kesempatan terakhir Rajaniti menombak, tetapi Kanduruan dapat menangkis hingga tombak Rajaniti patah. Kanduruan segera membalas. Dada Rajaniti ditombak hingga tembus belikat.

Tumenggung Mangunoneng melihat anaknya tewas. Dengan segera mengejar Kanduruan dan menantangnya. Dengan sekuat tenaga Mangunoneng menombak Kanduruan hingga terjatuh dari kuda. Mangunoneng terus menombak, tetapi Kanduruan tak mempan senjata. Kanduruan berdiri dan membalas menombak. Mangunoneng tertusuk dadanya, jatuh dan tewas seketika.

Kanduruan naik kembali ke kuda sambil mengayun tombak, menantang siapa saja yang berani.

“Inilah Kanduruan, saudara ipar Adipati Pragola. Ayo keroyoklah wahai prajurit Mataram!”

Di tempat lain Kartajaya bertarung melawan Yudabangsa. Saling tombak dan saling desak. Kartajaya berhasil dilukai Yudabangsa dan terjatuh. Yudabangsa tak henti menombak hingga Kartajaya tewas.

Ki Adipati Pati yang melihat mantrinya banyak yang tewas sangat marah. Segera mencambuk kuda Layarwaring, bersama prajurit Kapedhak dan Kajineman, sang adipati mendekat ke arah pasukan Mataram. Dari arah pasukan Mataram terlihat senapan telah dibidikkan. Adipati sangat suka melihatnya. Bersama pasukan yang mengiringinya Adipati Pati menerjang.

Pasukan Mataram tak gentar walau banyak yang tewas oleh amukan sang adipati. Lama-lama pasukan Mataram terdesak. Tumenggung Singaranu kehabisan prajurit, terdesak mundur oleh prajurit Pati. Adipati Pragola makin sengit mengamuk, yang dituju tak lain hanya Sultan. Tetapi lawan yang diinginkan tak kunjung ditemui.

Prajurit Mataram makin terdesak. Sultan segera menabuh Kyai Bicak. Tetapi bende pusaka itu tidak berbunyi. Sang Raja Mataram segera bersemenedi, memuja kuasa Tuhan. Pikirannya fokus kepada Tuhan penguasa jagad raya. Sesaat kemudian Sang Raja bangun dan segera kembali menabuh bende Kyai Bicak. Suara Ki Bicak bergema ke angkasa, menggelegar mengalahkan suara petir musim kesembilan.

Adipati Pragola mendengar suara Kyai Bicak, seketika mengajak para punggawanya untuk segera menerjang. Para prajurit kecil sudah banyak yang tewas, gantian para perwira yang turun ke gelanggang. Bersamaan mereka menempuh pasukan musuh. Ada seorang kerabat aAdipati Pati bernama Raden Wirasinekti, mencambuk kuda menerjang maju.

Seorang perwira Mataram bernama Wirataruna menyambutnya. Dengan senjata tombak Wirasinekti menyerang Wirataruna. Yang diserang menangkis dan gantian menghunjamkan tombak. Wirasanekti tergores lehernya, jatuh lalu tewas. Seorang bernama Wirasaraya melihat temannya tewas, hendak berbela mati. Dengan menenteng tombak dhapur Biring Lanang Wirasaraya menerjang. Wirataruna menangkis tetapi terdesak, tombaknya patah. Lalu ditombak lagi dari atas kuda. Wirasaraya jatuh dari kudanya dan segera disergap. Ki Wirasaraya tewas di tempat.

Adipati Tohpati hendak membantu Wirasaraya, tetapi Pangeran Mangkubumi mencegatnya. Keduanya terlibat pertarungan sengit. Senjata tombak mereka telah patah, lalu berganti adu keris. Keduanya telah turun dari kuda dan melakukan perang jarak dekat. Pangeran Mangkubumi merasa terdesak lalu meraih kemaluan Ki Adipati. Adipati kaget dan melompat, tetapi terbanting. Pangeran Mangkubumi segera menyergapnya.

Adipati Tohpati berseru, “Hai orang Mataram, kalian perang rusuh.”

Pangeran Mangkubumi menjawab pelan, “Peduli amat, ini berebut hidup.”

Ki Tohpati sudah diinjak, lalu ditikam. Tewas seketika.

Di tempat lain Arya Sindureja berhadapan dengan Pangeran Puger. Sudah lama mereka bertarung, sama-sama perkasa. Belum ada yang tampak bakal kalah. Sementara pasukan Mataram terus bersorak, suaranya bergemuruh seperti meruntuhkan langit. Arya Sindureja menombak Pangeran Adipati Puger dengan kekuatan penuh. Pangeran Puger menghindar. Karena kuatnya tenaga, tombak Sindureja patah. Pangeran Puger menarik keris dan segera menikam Arya Sindureja. Arya Sindureja tewas terkapar.

Raden Kanduruan maju ke depan, tangannya memutar tombak. Prajurit Mataram yang diterjang bubar berlarian. Pangeran Purubaya maju menyongsong.

Berkata Pangeran Purubaya, “Kanduruan, mundurlah. Larilah yang jauh. Sayang kalau engkau harus mati. Seberapa kuat dirimu, walau berkulit tembaga bertulang besi, tak urung engkau tewas.”

Kanduruan berseru, “Apakah tidak ada orang sakti di dunia selain Ki Purubaya? Kerahkan segala kemampuanmu aku layani. Aku tidak takut melawan orang Mataram.”

Kanduruan segera menombak Pangeran Purubaya dengan keras, sang panembahan terjengkang.

“Syetan kau Kanduruan, menombak tak tahu aturan,” umpat Pangeran Purubaya.”

Kanduruan terus menombak dengan sengit. Pangeran melayani dengan santai.

“Bersihkanlah tombakmu. Nanti terkena darahmu. Kalau aku sampai mempan kautombak mending mati ketika bayi,” kata Pangeran Purubaya.

Kanduruan terus menombak membabi-buta sampai tombaknya patah. Pangeran Purubaya menarik keris Ki Panji. Pangeran segera menikam Kanduruan tepat di ulu hati. Sekali tikam Kanduruan tewas. Tiba-tiba dari arah barat Adipati Kulon datang menerjang Pangeran Purubaya. Tombaknya berputar ke kiri-kanan. Tak lama batang tombaknya patah. Pangeran Purubaya tak menyia-nyiakan kesempatan. Potongan tombak dipakai menikam Adipati Kulon, tewas seketika. Prajurit Pati lalu datang mengeroyok Pangeran Purubaya. Banyak prajurit Pati bertumbangan di tangan pangeran sepuh itu.

Ki Sawunggaling datang membantu, pasukan Mataram menghadangnya. Sawunggaling mengamuk, siapapun yang diterjang bubar berlarian. Kuda Ki Sawunggaling berhasil dilumpuhkan. Sawunggaling turun dari kuda dan menarik kerisnya. Pangeran Purubaya melihat Sawunggaling mengamuk, dengan keris Ki Panji di tangan Pangeran mendekati. Satu tikaman dari samping membuat Ki Sawunggaling jatuh terkapar. Prajurit Mataram segera menyergap. Sawunggaling tertangkap.

Rajamenggala melihat Sawungaling tertangkap, segera mendekat hendak membantu. Dengan tombak di tangan Rajamenggala berkali-kali menusuk Pangeran Purubaya. Tombak Rajamenggala patah, Pangeran Purubaya dengan tenang balik menikam. Rajamenggala tewas di tempat.

Adipati Pragola melihat satu per satu punggawanya tewas. Sangat marah hatinya. Prajurit Kapedhak dan Kajineman sudah banyak yang tewas. Hanya tinggal empat puluh orang yang hidup. Adipati Pati mengamuk habis-habisan, seperti Abimanyu dalam perang Baratayuda. Dikeroyok prajurit Mataram, Sang Adipati tak hendak mundur. Yang diinginkan hanyalah berprang tanding dengan Sultan. Kudanya dicambuk, berlari ke sana ke mari mencari tempat Sultan berada.

Sementara itu Sultan sedang naik kuda si Wagugen, kuda yang berwarna hitam. Sultan hendak menghadapi Adipati Pragola. Si tukang kuda mengingatkan agar Sultan berganti kuda. Sampai empat kali dipanggil Sultan tak mendengar. Sultan pun tak takut melawan si Adipati Pragola, walau mati sekalipun. Sultan segera menyuruh memukul Kyai Bicak. Tombak Barukuping sudah disiapkan, Kyai Nayadarma yang membawa.

Nayadarma menyembah, meminta izin untuk menghadang Adipati Pragola.

Sultan berkata, “Kalau kamu berani, pakailah tombak itu.”

Nayadarma menyembah dan segera maju. Pasukan kapedhak berebut duluan menghadang Ki Adipati. Kuda Adipati Pragola berhasil dibunuh. Sang adipati melompat dari kudanya dan menarik keris. Nayadarma segera maju melayangkan tikaman, tepat ke arah perut Adipati Pragola. Perut Adipati Pragola tembus dan tewas seketika.

Sang Sultan sudah mendapat laporan kalau Adipati Pati tewas. Sultan memerintahkan agar mayat Adipati Pragola dibawa menghadap. Para prajurit segera berebut menghambur ke tempat sang adipati tewas. Mangunjaya meihat tuannya telah tewas, tetapi tak mampu merebut jenazahnya. Mangunjaya segera berlari ke kota dan mengamankan segala yang masih tersisa.

Para prajurit Mataram yang membawa jenazah Adipati Pati merasa kerepotan. Akan dipikul, tetapi kok musuh. Hendak diseret saja, kok masih kerabat raja. Mereka memutuskan untuk memikul bagian kepala dan menyeret bagian kaki. Sultan melihatnya dan merasa suka dengan cara mereka membawa jenazah Pragola.

Sultan berkata, “Periksalah apa senjata yang dibawanya?”

Jenazah segera diperiksa dan tidak ditemukan senjata apapun yang dibawa.

Sultan berkata, “Dinda Adipati memang sudah tidak ada niat pulang. Sang Raja kemudian memerintahkan agar mulutnya dibuka dan diperksa apakah mulut dalam keadaan bersih. Para prajurit melaksanakan. Mulut dibuka dan diperiksa giginya. Tampak giginya kotor.

Sultan berkata, “Dinda belum sempat nginang.”

Sultan kemudian memeriksa siapa diantara para prajurit yang berhasil membunuh Adipati Pragola. Semua mengaku yang telah membunuh.

Sultan berkata, “Si Nayadarma tariklah tombakmu dari sarungnya.”

Nayadarma melepas sarung tombak. Tumbak Barukuping yang dipegang Nayadarma diperiksa. Ternyata berlumuran darah.

Sultan berkata, “Nayadarma yang telah menewaskan Dinda Adipati.”

Sementara itu Sawunggaling yang tertangkap masih hidup dibawa menghadap. Endranata meledeknya dengan kata-kata pedas.

“Hai Sawunggaling, mengamuklah sekarang. Aku taboki kamu.”

Sawunggaling marah dan berseru, “Tak tahu malu kau Endranata. Tadi lari terbirit-birit sampai membalik baju. Akan saya tombak lari bersama orang nista. Memalukan Sang Raja memberimu nama bagus, ternyata takut mati.”

Endranata mundur dan merasa malu. Sawunggaling telah dihadapkan Sultan. Sultan memerintahkan agar dia dibunuh. Sawunggaling merasa lebih baik mati, daripada dibiarkan hidup menanggung malu.

Sultan berkata kepada Alap-Alap, “Engkau pergilah segera bersama si Jagabaya, Arya Panularan, Ngabei Wirapati dan semua punggawa Mataram masing-masing mengirim seorang mantri. Bawalah boyongan dari kota Pati. Kalau ada yang masih melawan bunuhlah saja. Bawa semua perempuan yang ada. Kalau dia istri punggawa bawalah dengan tandu, jangan dibiarkan berjalan kaki. Adik ipar besok naikkan tandu.”

Sementara itu Mangunjaya yang lari ke kota sudah sampai di pura. Segera diberitahukan kepada penghuni pura bahwa Adipati Pragola telah gugur di medan perang. Seketika pura kadipaten Pati hujan air mata. Istri Adipati Pragola menangis sambil memeluk putranya, Raden Rangga.

“Duh anakku, di manakah ayahmu. Siapa yang akan merawatmu kelak. Duhai kanda Adipati, mengapa tega meninggalkan putramu yang masih kecil ini.”

Macam-macam polah para istri Adipati Pati. Ada yang memanggil-manggil suaminya, hendak ikut mati. Ada yang memeluk anaknya yang masih kecil sambil menangis. Ada pula yang pingsan.

Di dalam pura para prajurit yang ditugaskan berjaga bersiap menahan kedatangan pasukan Mataram yang pasti akan menjarah seisi pura. Empat mantri sudah bersiap, Suraprameya, Rangga Jaladara, Surantaka dan Pangalasan. Keempatnya prajurit tangguh dan berani. Bersama kira-kira dua ratus prajurit yang masih tersisa mereka bersiap menghadang prajurit Mataram yang datang.

Pasukan Mataram sudah sampai di alun-alun kota Pati. Mereka telah bersiaga jika mendapat perlawanan. Ketika datang pasukan empat mantri pimpinan Demang Suraprameya, mereka langsung memberondong dengan tembakan. Empat mantri bersama pasukannya tak gentar. Ki Suraprameya terus maju. Tumenggung Alap-Alap menghadang. Kedua komandan segera terlibat pertarungan sengit. Suraprameya menombak, Alap-Alap menangkis. Tombak Ki Demang patah, Alap-Alap balas menikam. Dada Suraprameya tertembus senjata, luka-luka dan mundur.

Rangga Jaladara masih mengamuk. Ki Arya Panular menghadang. Kedua komandan saling bertukar darah. Ki Panular menombak Rangga Jaladara dengan kuat. Rangga Jaladara menangkis, tetapi meleset. Tombak menyerempet lehernya, menimbulkan luka sejari. Rangga Jaladara mundur.

Di tempat lain Surantaka dihadang Ki Wirapati. Keduanya saling perang darat. Ki Surantaka didesak hingga terjatuh. Ki Wirapati menyergap dengan cepat, lalu menikam. Ki Surantaka tewas seketika.

Satu punggawa Pati yang tersisa, Ki Pangalasan, ditahan oleh Jagabaya. Keduanya terlibat pertarungan yang sengit. Sampai lama tak ada yang kalah. Ki Alap-Alap bermaksud menyudahi pertarungan. Dengan tombak di tangan Ki Alap-Alap menerjang dari kiri. Pangalasan terkena pelipisnya, jatuh di pintu dan tewas dengan posisi duduk.

Pasukan penjaga pura kadipaten sudah tak mampu membendung pasukan Mataram. Mangungjaya segera mencari Rangga Jaladara. Setelah ketemu keduanya segera meloloskan diri melalui pintu belakang. Yang dituju adalah gunung Prawata.

Tumenggung Alap-Alap dan Tumenggung Jagabaya segera masuk pura dan mengambil semua harta benda dan para wanita yang masih tersisa. Para wanita berusaha meloloskan diri. Dengan pakaian yang ada di badan, berusaha lari. Pontang-panting terbirit-birit. Terbentur-bentur, menabrak-nabrak. Tak karuan polahnya.

Ada seorang pelayan wanita yang berusaha membujuk para putri agar berhenti menangis. Si pelayan mengatakan agar mereka menurut saja diboyong ke Mataram. Memang sudah adat kalau berperang dan suaminya mati, istrinya menjadi boyongan. Lama-lama para istri Adipati Pragola dan istri para punggawa berhenti menangis. Ki Alap-Alap dan Ki Jagabaya segera menggiring mereka. Semua istri punggawa dibawa dengan tandu. Dengan pengawalan ketat pra prajurit Mataram, para wanita dibawa ke hadapan Sultan. Pati sudah takluk. Peristiwa ini ditandai dengan sengkalan tahun: sirnaning pandhita  tinata ratu[1].

Sang Sultan sudah mendahului kembali ke Mataram. Sesampai di Mataram segera menggelar pertemuan bersama para punggawa. Sultan telah memberi hadiah kepada para mantri dan kerabat yang berjasa dalam perang. Sultan juga sudah memeriksa para putri boyongan. Istri Adipati ditanya asal mula mengapa suami mereka memberontak kepada Sultan. Dalam kesempatan tersebut Sultan mendapat laporan bahwa Endranata telah berbuat tidak pantas dalam perang. Sultan segera memerintahkan prajurit Martalulut dan Singanagara untuk melaksanakan tugas menghukum mati Endranata. Sultan memerintahkan agar Endranata dieksekusi di Pagelaran. Prajurit yang ditunjuk segera melaksanakan tugas. Endranata sudah dibunuh dengan cara dibedah perutnya, ususnya diambil dan dipajang di pagar pasar besar. Sang Sultan kemudian beranjak masuk ke dalam istana.


[1] 1570 AJ


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/07/25/babad-tanah-jawi-57-adipati-bragola-di-pati-memberontak-kepada-mataram/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...