Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (58): Pangeran Pekik menaklukkan Giri

 Telah lama berlalu sejak Pati takluk. Pada suatu hari Sultan sedang bertahta di hadapan para punggawa. Semua perwira Mataram hadir lengkap. Pangeran Purubaya selalu berada di depan.

Sultan berkata, “Eyang Purubaya, bagaimana beritanya dari Surabaya? Kabarnya Adipati Surabaya sudah wafat. Sekarang yang tinggal hanya anaknya, Raden Pekik. Aku ingin si Pekik dipanggil ke Mataram, aku ingin tahu tentang dirinya.”

Pangeran Purubaya berkata, “Saya berserah kepada kehendak paduka. Baiknya memang segera dipanggil ke Mataram.”

Sultan segera mengirim Tumenggung Alap-Alap untuk berangkat ke Surabaya guna menyampaikan perintah Sultan. Singkat cerita Tumenggung Alap-Alap sudah berhasil menemui Raden Pekik di desa Ngrerepeh.

Berkata Tumenggung Alap-Alap, “Kedatangan saya diutus kakak tuan Kangjeng Sultan, Anda dipanggil menghadap karena kakak tuan ingin bertemu. Bawalah para istri semuanya, jangan ada yang ketingalan.”

Raden Pekik tidak membantah. Tumenggung Alap-Alap lalu menunjuk Tumenggung Sapanjang untuk mengawal Raden Mas Pekik selama dalam perjalanan. Perjalanan Raden Pekik sekeluarga sampai di Butuh. Mereka beristirahat semalam sambil ziarah ke astana Butuh. Raden Mas Pekik tidur di bawah pusara Sultan Hadiwijaya. Pada tengah malam Raden Pekik mendengar suara tanpa wujud yang berisi peringatan.

Suara itu menyatakan: “Wahai cucuku, ketahuilah kelak di Pajang ada seorang dari cucumu yang menjadi raja di Wanakarta, namanya Sang Ratu Kuning. Itulah cucumu, yang bertahta di sebelah barat kota.”

Raden Mas Pekik kaget dan terbangun. Paginya Raden Pekik melanjutkan perjalanan. Singkat cerita perjalanan Raden Pekik sudah sampai di Mataram. Ki Tumenggung Alap-Alap segera melapor kepada Sultan bahwa Raden Pekik sudah sampai di Mataram.

Pagi itu Sang Sultan bertahta di hadapan para punggawa. Sultan bertanya kepada Pangeran Purubaya perihal kedatangan Raden Pekik.

Berkata Sultan, “Eyang Purubaya, bagaimana kalau Raden Mas Pekik datang. Siapa yang seharusnya menyampaikan sembah. Apakah saya yang menghormat kepadanya, atau dia yang seharusnya menghormat kepadaku. Coba Eyang pikirkan bagaimana sebaiknya.”

Pangeran Purubaya berkata, “Kalau menurut pendapat saya, Raden Mas Pekik yang harus menyembah. Karena paduka adalah raja. Dan juga dari segi ilmu sudah kalah.”

Sultan suka mendengar saran Pangeran Purubaya, “Benar Eyang.”

Sang Sultan segera memerintahkan gandek untuk memanggil Raden Pekik. Gandek segera menuju alun-alun. Tumenggung Alap-Alap telah membawa Raden Pekik melakukan pepe di alun-alun. Gandek datang dan memanggil mereka masuk ke istana. Sesampai di hadapan Sultan pangeran dari Surabaya itu menghadap sambil menunduk. Tampak dia sangat takut, mukanya memandang tanah.

Raden Pekik berkata, “Hamba serahkan hidup mati kepada paduka Sultan Mataram. Hamba lama tidak menghadap, mohon maaf atas segala kesalahan hamba. Sungguh paduka yang layak menjadi panutan orang sedunia. Ketika hamba mendengar panggilan paduka, segera hamba datang untuk berserah diri.”

Sultan suka mendengar perkataan Raden Pekik. Sultan kemudian berkata kepada calon Adipati Surabaya tersebut.

“Sebab engkau aku undang untuk bertemu, sudah menjadi kehendak Tuhan bahwa engkau dan aku laksana bulan dan matahari. Kalau matahari terbit bulan pasti surut dan kalau matahari terbenam bulan pasti muncul. Engkau menjadi perimbanganku dalam menata tanah Jawa. Ibarat air sendang, aku airnya engkau sendangnya. Ibarat cincin, aku permata engkau bingkainya. Mulai sekarang engkau tinggalah di Mataram. Negeri Surabaya aku serahkan kepadamu.”

Raden Pekik diangkat sebagai Adipati Surabaya. Sultan lalu memberikan adik perempuannya yang bernama Ratu Pandhansari untuk menjadi istri Raden Pekik. Setelah itu untuk beberapa lama Raden Pekik dan Ratu Pandhansari berumah tangga dan tinggal di kotaraja Mataram.

Pada suatu hari Sultan menyuruh seorang pelayan wanita, “Panggilah adikku Ratu Pandhansari. Katakan kalau aku sedang sakit.”

Pelayan segera berangkat ke Kasurabayan untuk menemui Ratu Pandhansari.

Pelayan berkata, “Hamba diutus kakak paduka Kangjeng Sultan. Kangjeng Sultan sedang sakit. Kalau paduka diizinkan suami paduka, segeralah menengok ke istana. Tetapi kalau suami paduka tidak mengizinkan, jangan berangkat.”

Adipati Surabaya yang mendengar mempersilakan. Ratu Pandhansari segera berangkat ke istana. Sesampai di hadapan Sultan, Ratu Pandhansari sungkem dan mengusap kaki.

Ratu Pandhansari berkata, “Kanda apakah paduka sakit, hati saya khawatir.”

Sultan berkata pelan, “Adikku, aku menderita lebih dari sakit. Di hati tempatnya. Semakin lama kurasa semakin sakit. Karena ada seorang pendeta di Giri yang belum tunduk ke Mataram. Itu yang menjadi penyebat sakit hatiku. Tak ada obatnya. Tanah Jawa sudah bisa kusatukan. Semua raja sudah tunduk, semua aku kalahkan. Tetapi Giri belum aku tundukkan. Karena menundukkan Giri perlu seorang keturunan pendeta yang juga mumpuni. Itu hanya bisa dilakukan oleh suamimu. Giri pasti kalah oleh suamimu karena leluhur Giri dulu berguru ke Surabaya, kepada sang guru Susunan Ampeldenta.”

Ratu Pandhansari segera pulang ke kediamannya. Sesampai di Kasurabayan bertemu dengan suaminya Raden Pekik, Ratu langsung menyembah dan mencium kaki. Pangeran Surabaya itu paham bahwa Ratu Pandhansari pasti membawa tugas yang berat, tetapi tidak bertanya lebih lanjut dan memilih menunggu. Pada malam harinya saat keduanya memadu kasih, Ratu Pandhansari berbisik kepada suaminya perihal keinginan Sultan untuk menundukkan Giri.

Raden Pekik berkata, “Aku tidak mengira Sultan berkehendak seperti itu. Kalau saja aku tahu kalau Sultan menghendaki Giri tunduk, itu sudah berada di tanganku. Sudah pasti Giri akan takluk. Kalau demikian hadapkan aku segera kepada Sultan. Aku hendak berpamitan menaklukkan Giri.”

Paginya sang istri segera membawa Raden Pekik ke hadapan Sultan. Setelah menghadap keduanya sungkem dan mengusap kaki.

Sultan berkata, “Bagaimana pendeta di Giri, tunduknya mereka aku serahkan kepadamu.”

Raden Pekik berkata sambil menyembah, “Karena saya akan berperang melawan musuh yang sakti, Ratu Pandhansari saya serahkan kepada paduka agar tinggal di Mataram. Karena akan sangat merepotkan bila seorang wanita ikut ke medan perang. Saya nanti tak sempat perang hanya menjaga istri saja.”

Sultan tertawa, “Kehendakku Dinda, semua istrimu bawalah. Istrimu adalah saudaraku. Bawalah pergi agar sehidup semati denganmu. Sudah lazim kalau orang beperang dan kalah, istrinya menjadi boyongan.”

Raden Pekik dan istri menyembah dan patuh melaksanakan kehendak Sultan. Keduanya berpamitan sambil mengusap kaki Sang Sultan.

Sultan berkata, “Adikku pergilah. Hidup dan mati bersamalah suamimu.”

Adipati Surabaya Raden Pekik lalu diberikan bekal emas, perak, harta dan busana. Sultan juga mendoakan agar pasangan suami-istri itu selamat dalam menjalankan tugas. Raden Pekik dan istri segera kembali ke rumahnya untuk bersiap.

Kepada para punggawanya Raden Pekik berkata, “Wahai segenap para mantri, saya akan pulang ke Surabaya karena mendapat tugas menyerang Giri.”

Para mantri menyembah dan menyatakan kesanggupan, “Kalau Tuan hendak menyerang Giri, tentu sebentar saja terlaksana. Giri hanya punya sedikit prajurit, takkan bertahan lama. Prajurit Surabaya banyak, mustahil Giri bisa melawan.”

Raden Pekik berkata, “Kalau bisa Giri aku minta ketundukannya saja, tidak perlu memakai perang.”

Ada seorang mantri berkata, “Saya mendengar sang guru di Giri mempunyai anak angkat bernama Endrasena yang sakti. Asalnya dari Cina, pasukannya tangguh dan berani. Kita harus waspada karena mereka punya senapan dan mendapatkan kepercayaan Sunan Giri.”

Berkata Adipati Surabaya, “Syukur kalau Ki Cina itu yang maju. Takkan mundur aku. Segeralah menabuh tanda berangkat.”

Bende sudah dipukul. Para prajurit berkumpul di alun-alun. Para perwira dan prajurit sudah bersiap. Tak lama kemudian tanda berangkat dipukul dan pasukan Adipati Surabaya berangkat. Ki Adipati Surabaya Raden Pekik berada di belakang naik kuda. Istrinya Ratu Pandhansari naik tandu dengan diiringi para pengawal. Pasukan Surabaya bebaris dengan semangat, seperti macan lapar yang hendak berburu mangsa. Singkat cerita perjalanan pasukan Surabaya telah sampai di Argapura.

Sementara itu di Giri Kedaton, Sunan Giri sudah diberitahu kalau akan diserang oleh pasukan Surabaya. Mereka sudah sampai di kaki Gunung dan menggelar barisan.

Berkata Sunan Giri, “Kalau benar berita itu, hadapilah dengan kekuatan yang ada. Anakku raja dari Cina yang akan memimpin.”

Raja dari Cina berkata, “Terima kasih sudah dipercaya untuk mengabdi kepada paduka. Saya bersedia melawan para prajurit Surabaya.”

Para penghuni Giri Kedaton sudah bersiap berperang dengan segenap persenjataan yang ada. Para ketib, penghulu, marbot, modin dan para santri semua dikerahkan. Dengan pakaian serba putih mereka tampak seperti burung bangau berbaris. Ki Cina yang menjadi panglima pasukan Giri. Ki Cina mempunyai kerabat sejumlah dua ratus dan semua sudah masuk Islam. Bende pasukan Giri sudah ditabuh, suaranya menggema di angkasa.

Pasukan Surabaya yang sudah berada di kaki gunung mendengar bende pasukan Giri sudah dipukul. Mereka segera naik untuk menyerang. Kedua pasukan sudah bertemu dan pecahlah pertempuran sengit. Pasukan Giri menembak dengan berondongan peluru. Prajurit Surabaya banyak yang tewas. Mereka ingin segera menyudahi pertempuran, tetapi Giri melawan dengan gigih. Pasukan Surabaya terdesak dan mundur. Pasukan Giri hendak mengejar tetapi hari sudah menjelang malam. Pertempuran berakhir, kedua pasukan mundur.

Para prajurit Surabaya menghadap kepada tuannya untuk melaporkan kekalahan. Banyak prajurit tewas, yang hidup pun tak mampu menghadapi amukan orang Giri. Raden Pekik merasa kerepotan hatinya. Apa yang diperhitungkan mudah ternyata meleset. Hatinya ciut, merasa tak akan mampu melaksanakan tugas. Ratu Pandhansari mengetahui kalau sang suami galau.

Sang Ratu memohon, “Kalau seperti itu keadaan para prajurit, izinkan saya memcoba memperbaiki keadaan.”

Sang suami berkata, “Duhai Dinda, apa yang hendak kau lakukan. Pasukanku sudah banyak yang tewas.”

Sang istri berkata, “Apakah Anda rela jika saya membantu membangkitkan keberanian mereka?”

Sang suami berkata, “Baiklah, aku serahkan padamu. Aku takkan menolak.”

Pagi harinya Ratu Pandhansari dan Raden Pekik keluar menemui para prajurit. Para mantri sudah bersiap di tenda untuk menerima perintah selanjutnya.

Berkata Ratu Pandhansari, “Para prajurit semua, wahai pasukan suamiku, aku hanya punya delapan ribu riyal. Semua ini bagilah di antara kalian secara merata.”

Uang delapan ribu riyal sudah dibagikan. Juga pakaian indah untuk para prajurit. Semua sudah mendapat bagian tak satupun yang terlewat.

Ratu Pandhansari berkata, “Semua hadiah dariku tadi pakailah untuk merawat anak-istri kalian. Agar besok kalau kalian pulang ke rumah tidak khawatir. Aku sendiri besok akan pulang ke Mataram untuk melaporkan kekalahan ini. Semua prajurit tak mampu melawan pasukan Giri. Banyak prajurit tewas dan lari dari medan perang.”

Para mantri dan prajurit menangis. Merasa bahwa mereka tak dapat melaksanakan tugas dengan baik.

Mereka berkata, “Duh tuanku. Jangan lakukan itu selama kami semua masih hidup. Boleh atau tidak, kami akan maju kembali sampai hancur lebur. Kami akan berperang kembali melawan prajurit Cina yang mahir memakai senapan.”

Para prajurit saling menyahut menyatakan keberanian dan keinginan untuk berperang kembali.

Ratu Pandhansari berkata, “Kalau kalian hendak maju perang lagi, aku ingin ikut serta. Aku ingin menyaksikan sepak terjang kalian di medan laga.”

Para prajurit menyembah, “Tuanku jangan lakukan itu. Tingkah prajurit di medan perang seperti raksasa. Mereka tak peduli kepada tuan, yang dipikirkan hanya bertarung.”

Ratu Pandhansari berkata, “Hai para prajurit semua. Aku juga keturunan prajurit unggul. Para leluhurku adalah prajurit pilihan. Ayahandaku juga seorang prajurit di tanah Jawa. Makanya aku ingin berada di medan perang.”

Para prajurit berkata, “Kalau kami semua masih berada di dunia ini, jangan tuan keluar dari markas. Kami saja yang bertempur.”

Ratu Pandhansari berkata pelan, “Aku terima kesanggupanmu. Semoga dibalas oleh Tuhan Yang Maha Benar. Sekarang kalian bersembunyilah. Kalau sudah aku beri tanda dengan tujuh tembakan segera majulah. Pesanku kalau sudah terjadi pertempuran, peranglah sampai habis-habisan.”

Ratu Pandhansari berangkat bersama para prajurit. Tempatnya ke pinggir agak jauh. Para tukang pikul diberi pakaian prajurit yang mencolok. Baju sangkelat merah dan memakai topi serta ikat pinggang. Terlihat berwibawa menakutkan musuh. Selama berperang Ratu Pandhansari selalu didampingi suaminya.

Kangjeng Susunan di Giri sudah keluar ke medan perang bersama putra dari Cina Ki Endrasana. Pasukan Endrasana menembaki prajurit Surabaya, tetapi mereka terus merangsek tak mau mundur. Merasa sudah mendapat hadiah dari Ratu Pandhansari, mereka hendak membalas kebaikan. Terjadi pertempuran sengit. Saling tembak, saling tusuk, saling pukul antara kedua pasukan. Putra Cina Ki Endrasana mengamuk seperti banteng terluka. Prajurit Ratu Pandhansari banyak yang tewas, yang masih hidup bubar diterjang Endrasana.

Ratu Pandhansari memerintahkan semua prajurit maju bersamaan. Senapan dibunyikan tujuh kali. Pasukan Surabaya maju menerjang dengan tombak. Pasukan Giri gantian terdesak. Endrasana terkepung, tetapi terus mengamuk. Pasukan Cina merasa kewalahan menghadapi prajurit Surabaya yang terus berdatangan. Satu per satu mereka gugur dan jumlahnya terus menyusut. Pasukan Giri hancur, sebagian sudah lari menyelamatkan diri. Penghuni Giri Kedaton mulai mengungsi berebut selamat. Para wanita kebingungan dan menangis. Giri Kedaton sudah dikepung. Adipati Surabaya naik ke gunung bersama sang istri. Di tengah jalan mereka dihadang para wanita yang hendak mengungsi.

Istri Susunan Giri berkata, “Tuan, permintaan kami maafkan sang guru, biarkanlah hidup.”

Berkata Raden Pekik, “Wahai para wanita di Giri. Aku tak hendak mengganggu kalian. Kalau sang pendeta mau tunduk dan bertemu denganku, aku tak hendak membunuhnya. Hanya pernyataan ketundukan kepada Mataram yang aku minta. Datanglah tanpa senjata.”

Para wanita kembali ke pura dan membujuk Susunan Giri. Berkata para istri sang guru, “Tuan, Anda dipanggil oleh Adipati Surabaya agar segera menghadap.”

Susunan Giri bersiap menghadap tanpa membawa keris. Sesampai di hadapan Adipati Surabaya Raden Pekik, sang guru menyembah. Tampak sang guru sangat ketakutan dan menghormat.

Raden Pekik berkata, “Bagaimana kehendakmu, kalau sekarang kalian aku bawa menghadap ke Sultan di Mataram?”

Kangjeng Susunan Giri tak menolak, “Memang sudah takdir, kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Siapapun yang kalah akan menjadi tawanan.”

Raden Pekik merasa prihatin melihat Susunan Giri, “Jangan khawatir, engkau aku bawa ke Mataram menghadap Sultan.”

Adipati Surabaya lalu memerintahkan kepada para prajuritnya agar menjaga Susunan Giri. Para prajurit menyarankan agar sang Adipati segera membunuh saja sang pendeta karena dia telah banyak menewaskan para prajurit Surabaya.

Raden Pekik berkata, “Aku tak diberi wewenang membunuhnya. Itu bukan tugasku. Mungkin kelak cucuku yang akan menumpas Giri. Sekarang bawa saja dengan tandu ke Mataram.”

Susunan Giri sudah dibawa dengan tandu beserta para istri dan anak-anak. Semua isi Giri sudah dibawa ke Surabaya. Perjalanannya tak diceritakan, singkat cerita mereka sudah sampai di Mataram. Sesampai di Mataram Ratu Pandhansari masuk ke istana, sementara suaminya menunggu di luar gerbang. Setelah menghadap Sultan, Ratu Pandhansari menyembah dan sungkem mencium kaki.

Sultan berkata, “Di mana suamimu?”

Ratu Pandhansari menjawab, “Ada di luar gerbang.”

Sultan berkata, “Segera panggilah menghadap.”

Raden Pekik sudah dipanggil, tak lama kemudian sudah sampai di hadapan Sultan. Raden Pekik menyembah dan sungkem kepada sang kakak

Raden Pekik berkata, “Hamba paduka utus menyerang Giri, sang pendeta sudah kalah. Sekarang hamba bawa beserta para keluarga dan hartabendanya.”

Sultan berkata, “Aku terima Dinda, segala hasil pekerjaanmu. Sang guru di Giri aku serahkan padamu. Sekarang Giri menjadi wilayah kekuasaanmu beserta isinya.”

Sang Sultan kemudian memberikan hadiah kepada suami-istri itu berupa harta-benda dari istana. Juga segala harta rampasan dari Giri diberikan semuanya.

Sultan berkata, “Sekarang pulanglah ke rumah kalian.”

Sang adik sekalian menyembah dan undur diri. Setelah sampai di rumah segera membagi harta kepada para prajurit dan para mantri. Semua sudah mendapat bagian secara merata.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/07/26/babad-tanah-jawi-58-pangeran-pekik-menaklukkan-giri/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...