Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (59): Adipati Mandurareja diperintahkan menyerang Jakarta

 Lama berlalu sejak takluknya Giri Kedaton. Pada satu hari pisowanan Sang Raja Mataram bertahta di hadapan para punggawa. Para tumenggung dan para mantri hadir lengkap. Semua kesatuan prajurit menghadiri pisowanan agung di keraton Mataram. Para prajurit Prinyantaka, Nyutra, Jagabaya, Sangkragnyana, Wisamarta, Kartiyasa, Wirabraja dan Brajanala. Juga abdi dalem Gandek dan Kanoman. Singanagara, Martalulut, Astranangga, Maudara, Jagasura, Jodipati, Gowang dan Margasara, semua hadir.

Kangjeng Sultan berkata kepada Pangeran Mandurareja, “Uwak Mandurareja, nanti Anda berangkatlah berperang dan menjadi panglima bagi para pasukan pesisir. Bawalah mereka menyerang Jakarta. Beritanya Jakarta sudah dikuasai orang Belanda. Bupatinya sudah ditaklukkan. Jakarta Anda rebut kembali dari orang Belanda. Bawalah pasukan pesisir untuk bertempur habis-habisan.”

Pangeran Adipati Mandurareja menyembah seraya memohon pamit untuk mempersiapkan diri.

Sultan berkata pelan, “Anda bawalah meriamku, dua meriam yang bagus. Lewatlah jalan laut. Bawalah prajurit pesisir.”

Adipati Mandurareja segera keluar dari istana. Sesampai di rumah Adipati Mandurareja mengundang para mantri, baik tua maupun muda.

Adipati Mandurareja berkata, “Kalian bersiaplah. Aku ditugaskan memimpin pasukan pesisir menyerang Jakarta untuk mengusir orang Belanda. Semua kerabatku dan anak cucuku, kalian bersiaplah. Tetapi perasaanku mengatakan aku tidak akan pulang. Walau kelak kalau menangpun sudah pasti aku tidak akan pulang.”

Istri sang adipati ketika mendengar perkataan suaminya semua menangis. Mereka merasa bersedih dan bertanya mengapa Kyai Adipati mengatakan hal yang membuat mereka khawatir

Adipati Mandurareja berkata, “Sudahlah, kalian baik-baiklah tinggal di rumah. Semua sudah kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Kelak pun kalian juga akan menyusulku.”

Segera Pangeran Adipati Mandurareja menyiapkan pasukan. Para prajurit dipersenjatai. Semua sudah lengkap termasuk para mantri dari pesisir. Senjata berat meriam dan senapan sudah keluar dari gedong. Tumenggung Bahureksa sudah bersiap. Juga Adipati Mataram, Adipati Sampang, Adipati Surabaya, Gresik, Lamongan, Lasem, Sidayu, Tuban, Jepara, Demak, Juwana, Kudus dan Semarang. Pasukan Sampang dan Surabaya akan berangkat dari timur melalui laut. Mereka berjanji bertemu di Astina.

Ki Adipati Mandura telah berangkat. Singkat cerita sudah sampai di Astina. Pasukan Sampang dan Surabaya dari timur juga sudah tiba. Bersama-sama mereka berangkat menuju Jakarta. Rombongan pasukan Mataram sempat berhenti di Cirebon, lalu meneruskan perjalanan sampai di Jakarta. Setelah mendarat Pangeran Adipati Mandura segera membuat markas, letaknya berada di tenggara kota Jakarta. Sudah tersiar kabar bahwa pasukan Mataram akan menyerang orang Belanda. Orang-orang asli Jakarta sudah berbalik memihak pasukan Jawa. Mereka mendatangi Pangeran Mandura untuk bergabung.

Pertahanan kota Jakarta hanya tinggal menyisakan pasukan Kumpeni. Mereka segera mempersiapkan senjata untuk menahan serangan pasukan Mataram. Meriam telah ditempatkan di benteng, juga gurnada dan gutuk api. Mereka tampak kebingunan menghadapi kepungan pasukan Mataram.

Ada delapan kapten yang berjaga. Ada yang bernama Jakuespeh, seorang kapten yang berperawakan tinggi besar. Ada lagi bernama Kapten Belem, Kapten Indras, Kapten Situye, Kapten Jodro, Kapten Kareng, Kapten Getyu. Juga ada empat Petor dan enam belas letnan. Juga alperes yang jumlahnya tak terhitung.

Pangeran Mandura menata barisannya. Semua pasukan dari berbagai negeri sudah terkumpul. Dari Brebes, Tegal, Roban Samedhang, Pamalang, Wiradesa, Batang, Kendal, Kaliwungu, Semarang, Jepara, Tuban, Sidayu, Kudus, Juwana, Gresik, Surabaya, Bangil, Gambong, Lasem dan Lamongan. Akan tetapi masih ada sebagian pasukan yang berada dalam perjalanan laut, yakni dari Sampang.

Pangeran Mandura berkata, “Saudara-saudara dari pesisir, aku tanyakan kesanggupan kalian untuk menyerang Jakarta sekarang. Di dalam kota sudah tidak ada lagi orang Jawa, mereka sudah datang bergabung dengan kita. Hanya tinggal orang-orang Belanda yang berada di kota.”

Ki Bahureksa berkata, “Saya sarankah untuk menunggu terlebih dulu pasukan kita yang masih berada di laut. Karena dulu sudah berjanji akan sehidup semati menyerang orang Belanda. Sebaiknya kita tunggu sehari dua hari ini.”

Ki Mandura setuju dengan usulan Bahureksa. Para prajurit diperintahkan menunggu dua malam lagi.

Sementara itu di Mataram, Sultan sedang berbincang berdua dengan sang uwak Pangeran Purubaya.

Sultan berkata, “Uwak, Anda susullah pasukan kita yang berada di Jakarta. Anda tinjau saja melalui lautan. Tetapi jangan terlibat dalam perang, berilah tanda saja.”

Pangeran Purubaya segera mundur dan pamit berangkat. Setelah keluar keraton Pangeran membawa beberapa prajurit dari pasukan dalam istana. Pangeran kemudian berangkat dari Jepara naik perahu milik sendiri yang bernama Kaladuta. Sebuah kapal layar yang dihias indah. Kapal segera berangkat untuk meninjau pasukan Mataram yang sedang menyerang Jakarta.

Sementara itu Pangeran Mandura sudah mendengar kalau Pangeran Purubaya menyusul. Dalam hati Pangeran Mandura merasa malu karena perjalanannya dimata-matai. Pangeran Mandura segera menabuh tanda perang. Bahureksa menata barisan dan segera berangkat. Pasukan dari Sampang sudah sampai dan bergabung dengan pasukan Mataram yang lain.

Pasukan Belanda sudah tahu kalau akan segera diserang. Mereka mempersiapkan diri dengan menggelar meriam, gurnada[1] dan ketapel api. Para kestabel sudah bersiap di depan masing-masing meriam. Satu brigade penembak sudah ditempatkan di bawah pimpinan tiga orang kopral dan seorang alperes. Setiap brigade diawasi seorang kapten dan dua letnan. Jumlah serdadu Belanda hanya empat brigade. Kapten Jakuespeh sudah meminta kesanggupan para serdadu Belanda untuk bertempur sampai mati. Jangan sampai ada yang lari dari perang. Para serdadu Belanda bersipa sedia mati bersama Kapten Jakuespeh. Sisi kota sebelah selatan tempat yang berhadapan langsung dengan musuh telah diperkuat dengan senjata meriam, gurnada, granat, bom, kalantaka dan ketapel api. Kapten Jakuespeh berada di selatan dengan ditemani empat kapten, yakni Kapten Belem, Kapten Wisdrus, Kapten Gubyus dan Kapten Wali.

Pangeran Adipati Mandurareja segera memukul tanda perang. Pasukan Mataram bersamaan menerjang sambil bersorak-sorai. Pasukan Belanda menyambut dengan hati-hati. Meriam sudah disulut, suaranya seperti petir. Pasukan Belanda mengobral tembakan. Pasukan pesisir banyak yang tewas. Meriam dan kalantaka serdadu Belanda terus menyalak, suaranya seperti gunung runtuh. Siapapun yang diterjang peluru meriam tak ada yang hidup. Pasukan pesisir semakin banyak yang berjatuhan. Pangeran Adipati Mandura terluka, pasukannya bubar berantakan. Malam menjelang, perang berhenti sementara.

Keesokan harinya Pangeran Mandura berencana menyerang lagi. Untuk memaksimalkan serangan pasukan Mataram yang masih berlabuh di laut diperintahkan menyerang bersamaan dari arah laut. Pertempuran kembali pecah. Pasukan Mataram menyerang dengan meriam dari lautan. Prajurit darat menyerang di daratan. Kedua pihak banyak mengalami kerugian yang besar. Korban berjatuhan dan tewas. Serdadu Belanda banyak yang mati, membuat seisi kota kebingungan.

Pasukan Mataram yang menyerang di laut mendapat kemajuan besar. Seorang panglima pasukan laut Belanda bernama Kapten Drus tewas bersama dua letnan dan tiga sersan. Tetapi posisi mereka dengan cepat digantikan. Perang terus berlangsung hingga menjelang malam.

Sementara itu di tengah lautan kapal Kaladuta sedang mengarungi laut menuju Jakarta. Di tengah laut mereka dihadang tiga kapal Belanda. Kapal Kaladuta panjang dan besar. Salah satu kapal Belanda bermaksud mencegat dengan menembakkan meriam. Pangeran Purubaya tidak gentar. Kapal Kaladuta terus maju menerjang kapal Belanda. Sebuah kapal hancur dan tenggelam. Dua kapal lainnya melarikan diri.

Berita tenggelamnya kapal Belanda sudah tersiar ke kota. Para serdadu  Belanda ketakutan. Sudah masyhur kalau Pangeran Purubaya sangat sakti, terkenal bisa terbang. Para serdadu Belanda ciut hatinya. Apalagi persediaan mesiu sudah menipis.

Hari berikutnya Pangeran Purubaya sudah menepi. Pasukan Belanda berhemat mesiu, mereka membidik dengan hati-hati agar tepat sasaran. Sebuah meriam ditembakkan ke arah meriam Mataram. Meleset, hanya mengenai bibir meriam dan membuatnya cuil. Tembak-menembak terus terjadi. Serdadu Belanda banyak yang tewas. Dua kaptennya mati.

Pangeran Purubaya segera turun dari kapalnya. Dengan hanya membawa tiga pembantu yang membawa alat kinang Pangeran berjalan ke arah kota. Serdadu Belanda memberondong dengan tembakan. Meriam telah dibunyikan, suaranya seperti terompet memekakkan telinga.

Pangeran Purubaya berkata, “Hai si Belanda, mengapa membabi buta menembakku. Ayo habiskan bubuk mesiumu.”

Para serdadu Belanda ketakutan dan gugup karena seolah hanya menembak bayangan. Tak satupun peluru mengenai Pangeran Purubaya. Serdadu Belanda semakin gugup ketika Pangeran semakin dekat.

Berkata Pangeran Purubaya, “Hai orang-orang Belanda, mengapa engkau mengandalkan kotamu? Mentang-mentang tebal bentengnya dan lebar. Kalau kami bersungguh-sungguh pasti hancur.”

Pangeran Purubaya lalu menunjuk ke tembok benteng yang kokoh itu. Seketika tembok berlubang sebesar manusia. Pangeran Purubaya lalu kembali ke pesisir. Para serdadu Belanda masih terus menembaki, tetapi Pangeran Purubaya terus berjalan dengan tenang. Malam menjelang, Pangeran Purubaya naik ke kapal.

Kepada para prajurit di pantai Pangeran Purubaya berkata, “Sudah kalian tinggalah semuanya. Aku hendak ke tengah laut menjaga musuh yang datang dari laut.”

Sebentar kemudian kapal Pangeran Purubaya berlayar ke tengah lautan. Pangeran langsung kembali ke Mataram, setelah membuat tanda kerusakan dan membuat gentar serdadu Belanda. Sepeninggal Pangeran Purubaya serdadu Belanda semakin membabi buta menembak. Segala yang terlihat ditembak sehingga menghabiskan peluru dan mesiu.

Sementara itu di selatan, Tumenggung Bahureksa terus menerjang benteng. Serdadu Belanda kehabisan peluru dan perabotan perang mereka menipis. Berbagai cara mereka lakukan untuk menyiasati kelangkaan peluru. Sisa peluru mereka rendam dalam air kencing dan tinja. Dengan sisa mesiu mereka berusaha menghadang laju pasukan Jawa. Meriam-meriam mereka tembakkan kepada pasukan Mataram.

Tumenggung Bahureksa terkena perluru pahanya, sampai robek dan terluka parah. Prajurit pesisir banyak yang tewas. Belanda sudah perang habis-habisan dengan menggunakan sisa peluru yang ada. Persediaan peluru mereka tinggal tersisa untuk satu hari saja. Dalam pertempuran hari itu pasukan Jawa banyak jatuh korban. Namun malam menjelang dan pertempuran berhenti.

Malam hari itu Pangeran Mandura sudah bertanya tentang kesungguhan para prajurit Jawa untuk berperang habis-habisan keesokan harinya.

Berkata Pangeran Mandura, “Wahai para saudaraku, besok aku hendak mengamuk di medan perang. Kalian bersucilah, aku ajak perang sabil bersama.”

Semua prajurit menyatakan kesanggupan. Para kerabat dan para mantri menyatakan berani mati. Pagi harinya Pangeran Mandura sudah bersiap. Ini adalah pertempuran hari terakhir yang menentukan. Di dalam benteng serdadu Belanda tinggal mempunyai persediaan peluru untuk satu hari ini. Mereka telah bersiap dengan peluru yang dicampur ari kencing dan tinja.

Ketika bende tanda perang ditabuh kedua pasukan segera menerjang. Pasukan Pangeran Mandura menempuh musuh dengan semangat berani mati. Pasukan Belanda menghadang dengan tembakan peluru bercampur tinja. Pasukan Mataram banyak terkena tembakan peluru. Ada yang patah bahunya, ada yang mati gosong dan ada pula yang putus kakinya. Tidak ada yang kebal peluru, semua yang terkena tidak mampu bertahan hidup. Tetapi persedian peluru Kumpeni pun semakin menipis hingga akhirnya mereka hanya mengisi senapan dan meriam dengan tinja. Tanpa wadah mereka mengisi, ada yang memaki topi sebagai wadah. Ada pula yang memakai tangan kosong untuk mengisikan tinja ke senapan dan meriam.

Upaya terakhir serdadu Belanda ini rupanya berhasil membuat pasukan Mataram kocar-kacir. Tembakan tinja seperti hujan dari angkasa membuat pasukan Mataram berlepotan. Ada yang kemudian karena jijik lalu muntah-muntah. Pasukan Mataram mabuk tinja sehingga mual-mual. Mereka tak dapat lagi berperang.

Pangeran Mandura merasa kecapaian menghindari hujan tinja. Pasukan Mataram mundur perlahan sambil muntah-muntah. Mereka langsung menceburkan diri ke sungai dan mandi. Malam hari mereka kembali berkumpul dengan sisa-sia pasukan. Mereka masih berani dan ingin kembali menyerang keesokan paginya.

Sementara itu di barisan serdadu Belanda mereka sudah merasa kehilangan harapan. Peluru sudah habis dan serdadu banyak yang tewas. Hari itu mereka kehilangan empat kapten, empat letnan dan dua puluh alperes serta satu brigade serdadu Kumpeni. Hati mereka ciut dalam menghadapi hari esok. Malam itu mereka dalam suasana kebingungan yang sangat.

Kita tinggalkan dulu yang sedang bingung di Jakarta. Nun jauh di keraton Mataram, Pangeran Purubaya sudah datang dan menghadap Sultan. Ketika itu Sultan sedang duduk di balai pertemuan dengan semua punggawa.

Pangeran Purubaya berkata pelan, “Saya telah paduka utus untuk meninjau pasukan yang berangkat ke Jakarta. Tugas telah saya lakukan. Saya telah membuat tanda dan kehebohan sehingga pasukan Belanda merasa ciut hatinya. Sementara ini pasukan pesisir yang paduka kirim telah hancur. Banyak yang tewas dan si Bahureksa mengalami luka-luka. Si Mandura sudah terjun sendiri ke medan perang. Pasukannya sudah tumpas habis. Anak cucunya banyak yang telah tewas. Si Mandura berusaha menyerang benteng, tetapi pasukan dipukul mundur oleh serangan tinja. Serdadu Belanda kehabisan peluru sehingga mengisi senjata mereka dengan tinja. Pasukan Mataram tak tahan baunya dan muntah-muntah. Mereka memutuskan mundur. Kedua kubu sudah sama-sama kehabisan tenaga. Kalau kita kirim bantuan sekarang Jakarta pasti jatuh. Sekarang saya serahkan kepada kehendak paduka.”

Sultan berkata pelan, “Baik Wak Purubaya. Aku ingin pasukan kita mundur saja. Ketahuilah kelak, ketika anak-cucuku terusir dari Mataram orang Belandalah yang akan menolong. Hai gandek, panggilah prajurit Singanagara. Segeralah kirim mereka ke Jakarta. Si Bahureksa selesaikan saja. Si Mandura jangan sampai pulang ke Mataram. Tempatkan di Kaliwungu. Sudah, sekarang berangkatlah.”

Gandek mohon pamit dan segera melaksanakan tugas. Utusan yang ditunjuk segera berangkat. Singkat cerita mereka telah sampai di Jakarta dan bertemu dengan Ki Mandura. Utusan menyampaikan perintah agar pasukan Mataram mundur. Pangeran Mandurareja dipersilakan tinggal di Kaliwungu.

Pangeran Mandurareja merasa bersalah, dengan segera membubarkan pasukan dan pulang naik kapal. Di atas kapal Tumenggung Bahureksa ditikam hingga tewas. Pasukan pesisir merasa ciut hatinya. Di pihak lain para serdadu Belanda merasa senang karena musuh telah pergi. Kumpeni bahkan merasa sangat berterima kasih karena Sultan memanggil pasukannya pulang.

Perjalanan Pangeran Mandura telah sampai di Kaliwungu. Pangeran Mandura lalu turun beserta anak cucunya. Di Kaliwungu mereka semua dibunuh dan dimakamkan di Kaliwungu. Peristiwa itu ditandai dengan sengkalan tahun: wong perang anatas ing Butatala[2].


[1] Senjata sejenis meriam.

[2] 1551 AJ ?


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/07/27/babad-tanah-jawi-59-adipati-mandurareja-diperintahkan-menyerang-jakarta/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...