Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (66): Bekisar betina menjadi jantan, lalu dihaturkan kepada Sang Raja

 Alkisah, Sang Raja selama menduduki takhta sudah mempunyai banyak putra. Putra dari istri asal Surabaya merupakan putra tertua yang diharapkan kelak menjadi raja, sudah diberi gelar Pangeran Adipati Anom Mataram. Dua putra lainnya dari satu ibu, keduanya bernama Pangeran Puger dan Pangeran Singasari. Masih ada lagi putra dari lain ibu bernama Pangeran Martasana. Juga masih ada lagi putra yang masih kecil bernama Raden Tapa.

Sementara itu kakek dari Pangeran Adipati Anom Mataram masih hidup, yakni Pangeran Surabaya atau yang dulu dikenal dengan nama Raden Pekik. Sang kakek juga tinggal di Mataram. Pangeran Surabaya mempunyai ayam bekisar yang dipelihara sejak kecil. Bekisar itu semula betina, tetapi lama-lama menjadi jantan. Si bekisar indah warnanya, tak seperti umumnya bekisar lain. Karena warna yang bagus dan keanehan yang terjadi tersebut Pangeran Surabaya bermaksud memberikan kepada Sang Raja sebagai hadiah. Pangeran berpikir bahwa bekisar aneh ini pantas menjadi hewan peliharaan Sang Raja di istana.

Pangeran Surabaya berkata kepada sang istri, “Bekisar ini akan aku haturkan kepada Sang Raja.”

Dengan dibungkus kain sutra Pangeran Surabaya membawa bekisar tersebut ke istana. Setelah melapor kepada penjaga Pangeran Surabaya dipanggil menghadap Sang Raja.

Pangeran Surabaya berkata, “Saya menghaturkan bekisar ini kepada paduka. Bekisar ini dulu betina tetapi lama-lama menjadi jantan dan indah warnanya. Sekarang sudah dewasa dan sudah bisa berkokok. Saya haturkan kepada paduka.”

Mendapat hadiah bekisar aneh dan langka Sang Raja tampak gembira. Namun di dalam hati Sang Raja punya penafsiran lain atas pemberian bekisar itu. Dalam hati Sang Raja sangat marah karena mengira Pangeran Surabaya menyindir dirinya.

Ketika pagi harinya Sang Raja bertemu para mantri Sang Raja berkata, “Hai para mantri, si Paman Surabaya kemarin memberi bekisar yang awalnya betina tetapi kemudian menjadi jantan. Perasaan saya Paman Surabaya seperti memberi sindiran kepadaku, agar aku segera lengser dan memberikan kedudukan raja kepada cucunya si Pangeran Adipati. Yang demikian ini bisa disebut nggege mangsa[1].

Para mantri sangat takut mendengar perkataan Sang Raja yang mengandung kemarahan. Tak lama kemudian sudah tersiar kabar bahwa Pangeran Surabaya ingin Sang Raja segera lengser dan mengajukan cucunya sebagai pengganti. Pangeran Surabaya pun sudah mendengar berita ini. Pangeran sangat takut karena pemberian ayam bekisarnya ditafsirkan lain oleh Sang Raja. Dianggap sebagai isyarat agar Sang Raja lengser. Padahal dalam mimpi pun tak pernah punya maksud seperti itu.

Pangeran Surabaya kemudian bermaksud menjernihkan perkara tersebut. Bersama istri dan para anak-anaknya Pangeran Surabaya hendak menyerahkan hidup dan mati kepada Sang Raja. Semua kerabatnya kemudian  dibawa menghadap kepada Sang Raja dengan cara melakukan pepe[2] di alun-alun.

Pada waktu itu Sang Raja sedang mewisuda putra peninggalan Ratu Wetan dari hasil pernikahan Ratu Wetan dengan suaminya terdahulu. Si anak diberi nama Raden Arya Natabrata. Pada saat itulah Pangeran Surabaya melakukan pepe di alun-alun. Anak dan cucu serta kerabat yang dibawa pepe ada enam puluh empat. Ketika melihat ada banyak orang pepe di alun-alun Sang Raja kaget. Segera mengirim gandek untuk memeriksa siapa yang melakukan pepe tersebut dan apa maksudnya. Gandek segera turun dari Sitinggil dan menemui orang-orang yang pepe.

Gandek bertanya, “Pangeran mengapa Anda melakukan pepe di alun-alun, apa maksudnya?”

Pangeran menjawab, “Saya melakukan pepe karena hendak menyerahkan hidup mati kepada Sang Raja. Katakan segera kepada Sang Raja.”

Gandek segera melaporkan bahwa yang pepe adalah sang paman Pangeran Surabaya dan bermaksud menyerahkan hidup-mati kepada Sang Raja.

Sang Raja kaget dan mengira bahwa Pangeran Surabaya melakukan pepe dan menyerahkan hidup-mati pasti punya maksud lain hendak memintanya lengser dari jabatan raja. Sang Raja sudah bertekad bahwa yang menjadi raja di Mataram hanyalah dirinya. Sang Raja akan tetap mempertahankan kedudukannya.

Sang Raja kemudian berkata, “Segeralah panggil Paman Surabaya dan bibi agar menghadap kepadaku.”

Gandek segera kembali ke alun-alun menyampaikan perintah Sang Raja agar Pangeran Surabaya masuk ke istana. Pangeran Surabaya dan istri serta para anak-anak dan kerabat semua segera naik ke Sitinggil.  Semua punggawa yang hadir merasa prihatin melihat kedatangan Pangeran Purubaya yang berjalan sambil tertunduk. Sang Raja kemudian mempersilakan Pangeran Surabaya duduk. Empat istri Pangeran duduk di belakangnya.

Sang Raja berkata, “Duduklah agak maju Paman dan Bibi.”

Sang paman maju sedikit, para bibi duduk bergerombol di belakang Pangeran Surabaya. Terlihat mereka sangat takut kepada Sang Raja. Muka-muka mereka tertunduk memandang tanah. Sang Raja sangat kasihan melihat paman dan bibinya.

Berkata Sang Raja, “Apa kehendak Anda melakukan pepe di alun-alun. Aku sangat kaget melihat Paman berlaku tak seperti biasanya.”

Pangeran Surabaya berkata, “Saya takut berkata apapun, hanya ingin menyerahkan hidup dan mati saya sekeluarga. Karena sangat bodoh hamba sampai memberikan sesuatu yang bisa ditafsirkan hendak melawan paduka. Sungguh tak pernah sekalipun walau dalam mimpi hamba berniat memberi isyarat dengan pemberian bekisar itu. Hanya semata-mata karena bekisar itu bagus dan aneh, maka paduka yang hamba rasa lebih pantas memilikinya. Sungguh tak ada maksud menyindir atau memberi isyarat. Demi Allah, demi Rassulullah, andai saya berani melakukan itu sungguh tak pantas berada di Mataram. Maka si paman ini menyerahkan hidup-mati kepada paduka bila memang dianggap bersalah.”

Sang Raja mendengar perkataan sang paman menahan airmata, para punggawa yang menyaksikan terlihat sudah hampir-hampir menangis, malah sudah ada yang menitikkan air mata.

Sang Raja berkata, “Paman jangan mempercayai perkataan yang bukan-bukan. Banyak perkataan dari orang yang suka mengadu domba dan memanas-manasi. Aku sendiri tidak merasa kalau memarahi paman. Tidak ada perkatan seperti itu. Aku pun tahu kalau kelak sepeninggalku yang menggantikan adalah cucu paman si Adipati. Tetapi keratonnya tidak berada di sini, cucu Anda akan berkeraton di Wanakarta. Adapun di keraton Mataram akulah yang bertakhta terakhir kali.”

Pangeran Surabaya berkata, “Baik paduka, saya doakan kepada Tuhan Yang Maha Suci agar tidak perlu berganti keraton dan jangan sampai terjadi yang seperti itu. Saya doakan Mataram tetap kuat karena tak ada tempat lain yang lebih bagus selain tanah Mataram.”

Sang Raja berkata, “Sudah kehendak Tuhan Mataram akan rusak kelak oleh putraku si Adipati Anom. Dialah awal mula negeri hancur.”

Pangeran Surabaya sangat menyesal mendengar ramalan Sang Raja.

Sang Raja berkata lagi, “Nah Paman Surabaya, Anda pulanglah segera. Jangan mempercayai setiap berita yang Anda dengar.”

Pangeran Surabaya segera mohon diri bersama para istri dan kerabat. Sang Raja kemudian masuk ke dalam puri diiringi para bedaya tujuh baris yang cantik-cantik. Pangeran Surabaya sudah kembali ke rumahnya dan melanjutkan pengabdiannya di Mataram.


[1] Ingin mempercepat sesuatu yang belum waktunya.

[2] Berjemur di alun-alun sebagai pertanda ada sesuatu yang ingin disampaikan kepada raja


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/08/03/babad-tanah-jawi-66-bekisar-betina-menjadi-jantan-lalu-dihaturkan-kepada-sang-raja/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...