Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (67): Sahoyi, wanita yang membuat geger

 Alkisah Sang Raja Mataram Susunan Amangkurat memanggil mantri dalam bernama Wangsatruna dan Ki Yudakarti. Kedua mantri yang dipanggil segera menghadap.

 Sang Raja berkata, “Engkau pergilah mencari wanita yang baik, yang layak aku jadikan istri. Carilah sampai ke pesisir dan mancanegara, telitilah agar ketemu. Pesanku, bila ada air berbau wangi di situlah ada wanita pilihan yang layak aku jadikan istri. Perhatikan dengan seksama pasti ketemu. Carilah dari kota besar dan kecil sampai ke desa-desa.”

Dua mantri yang disuruh menyembah dan mohon pamit melaksanakan tugas. Keduanya menyisir sepanjang tanah pesisir dari barat. Setiap ada gadis cantik diperiksa, tetapi hingga berhari-hari belum menemukan wanita yang layak. Perjalanannya diteruskan ke timur sampai di Surabaya. Yudakarti ingat pesan Sang Raja, bahwa si wanita itu tinggal dekat sebuah mata air yang airnya wangi.

Yudakarti berkata kepada Wangsatruna, “Apa di sini tempat wanita cantik itu? Marilah kita minta tolong punggawa Surabaya untuk mencarikan.”

Dua mantri segera menemui mantri setempat, salah seorang tangan kanan Pangeran Surabaya yang bernama Mangunjaya. Kepada Mangunjaya kedua mantri mengatakan kedatangannya diutus Sang Raja untuk mencari wanita cantik. Mereka meminta si mantri meneliti setiap wanita di Surabaya.

Mangunjaya tertegun, seketika ingat kepada putrinya di rumah. Putrinya memang cantik melebihi sesama wanita. Apakah sudah kehendak Tuhan putrinya itu yang diinginkan Sang Raja?

Mangunjaya berkata, “Wahai sang utusan, saya sanggup menjalankan perintah Sang Raja. Tetapi sebelumnya, saya punya anak perempuan yang cantik, kalian berdua lihat dulu. Kalau anak saya bukan yang tuan maksud nanti saya kumpulkan setiap gadis di Surabaya untuk kalian pilih.”

Dua utusan berkata, “Baiklah, syukur kalau Anda sendiri punya anak perempuan. Kami mau melihat.”

Mangunjaya segera memanggil anak perempuannya. Seorang gadis yang sedang mekar tetapi belum cukup umur. Perilakunya membuat kesengsem banyak orang, wajahnya seperti bulan purnama. Si gadis segera memenuhi panggilan sang ayah. Setelah si gadis hadir di hadapan mereka si Yudakarti terkejut. Adapun si Wangsatruna hanya melongo saja. Mereka berpikir, inilah wanita yang Sang Raja cari. Wajahnya seperti rembulan, jari-jarinya lentik dan berkaki jenjang serasi. Seumur hidup belum pernah aku melihat wanita secantik ini.

Dua utusan berkata, “Ki Mangunjaya, aku lihat putrimu cantik jelita, sepertinya inilah yang Sang Raja kehendaki. Putrimu sebaiknya segera dihaturkan kepada Sang Raja. Sepengetahuanku di pesisir Jawa tidak ada wanita yang seperti putrimu.”

Mangunjaya berkata, “Saya sepenuhnya berserah diri, tak merasa bahwa itu putriku, semua saya haturkan kepada Sang Raja. Walaupun soal mati hidup saya pun tak merasa memiliki, semua milik Sang Raja.”

Dua utusan berkata, “Nah, segera bersiaplah Ki.”

Mangunjaya dan seluruh keluarganya bersiap berangkat. Si gadis dibawa dengan tandu. Singkat cerita perjalanan mereka sudah sampai di Mataram. yang pertama dituju adalah Kawirarejan, kediaman Ki Ngabei Wirareja. Yudakarti dan Wangsatruna sudah melapor kepada Ki Wirareja.

“Kami sudah mendapat wanita cantik, anak Ki Mangunjaya seorang mantri dari Surabaya. Sepertinya layak menjadi istri Sang Raja. Sekarang sudah saya bawa beserta seluruh keluarganya.”

Wirareja berkata, “Kalian panggilah, aku ingin melihat.”

Mangungjaya sudah diundang. Tak lama segera menghadap Ki Ngabei Wirareja. Setelah melihat Wirareja sependapat kalau si gadis layak dihaturkan Sang Raja. Hanya saja terhalang satu perkara, si gadis belum cukup umur.

Wirareja berkata, “Nah, sebaiknya segera bawa menghadap Sang Raja. Orang cantik tak baik terlalu lama di luar.”

Wirareja bersama dua utusan segera menghadap kepada Sang Raja untuk melaporkan bahwa telah berhasil melaksanakan tugas. Mendapat gadis cantik tetapi masih bocah. Setelah dihadapkan Sang Raja sungguh berkenan, tetapi sedikit kecewa karena si gadis belum sampai masa birahinya.

Sang Raja berkata kepada Nyai Wirareja, “Bawalah pulang ke rumahmu dan didiklah. Kelak kalau sudah masanya si gadis mencapai usia birahi bawalah ke istana.”

Wirareja segera keluar membawa pulang si gadis ke rumahnya.

Lain cerita, ketika itu istri Pangeran Singasari menjalin cinta terlarang dengan Pangeran Adipati Anom. Bahkan Pangeran Adipati sudah menjatuhkan janji.

Pangeran Adipati berkata, “Besok kalau aku sudah menjadi raja, Dinda jangan khawatir, pasti aku jadikan sebagai ratu. Percayalah.”

Namun istri Pangeran Singasari tampaknya mengabaikan janji itu, terbukti dia mempunyai selingkuhan yang lain. Yang menjadi kekasihnya itu adalah Raden Dobras. Raden Dobras masih terhitung paman dari Pangeran Adipati, yakni adik dari ibunda Pangeran Adipati. Raden Dobras adalah putra Pangeran Surabaya. Mengetahui hal ini Pangeran Adipati sakit hati. Rupanya Pangeran Singasari telah mengetahui bahwa istrinya menjalin cinta dengan Raden Dobras, tetapi perbuatan istrinya dengan Pangeran Adipati belum dia ketahui. Pangeran Adipati bermaksud melakukan pembalasan dengan menghasut Pangeran Singasari.

Berkata Pangeran Adipati, “Dinda, bagaimana sampai istrimu berselingkuh dengan Paman Dobras dan engkau tidak mengambil tindakan. Walau dia paman kita kalau berbuat buruk dan tidak baik, terserah padamu hendak melakukan apa.”

Raden Dobras lalu ditipu oleh Pangeran Singasari. Pada suatu malam diajak berkelana di kebun. Sesampai di kebun kemudian dibunuh. Untuk membuang jejak Raden Dobras dimasukkan ke dalam sumur yang berada di kebun itu dan ditimbun tanah lalu ditanami pohon pisang. Tetapi perbuatannya itu diketahu oleh pencari legen. Setelah Pangeran Singasari pergi dia mengajak teman-temannya untuk menggali sumur. Mayat Raden Dobras akhirnya ditemukan.

Bersamaan dengan ditemukannya mayat Raden Dobras gunung Merapi meletus. Mayat Raden Dobras segera dikuburkan. Gunung Merapi tetap meletus berkali-kali. Suaranya menggelegar menggetarkan. Lahar dingin turun bercampur air hujan memenuhi sungai-sungai sampai mengalir ke kotaraja. Hujan abu pun turun membuat langit gelap gulita. Banyak desa-desa diterjang awan panas dan banyak penduduk tewas karenanya. Orang-orang Mataram geger. Para ulama memanjatkan doa meminta keselamatan. Tak lama kemudian gunung Merapi berhenti mengamuk. Awah panas dan lahar dingin sirna. Para penduduk Mataram kembali hidup tenang.

Pada suatu hari Sang Raja memanggil Pangeran Adipati Anom. Yang dipanggil segera menghadap. Setelah berada di hadapan Sang Raja, Pangeran Adipati menyembah dan mencium kaki. Setelah bangkit kemudian mundur sambil menyembah dan duduk tertunduk. Sikap Pangeran bukan layaknya seorang anak. Terlihat sangat takutnya. Para punggawa yang melihat pun menjadi terharu.

Berkata Sang Raja, “Anakku, engkau aku panggil karena kurasa sekarang engkau sudah dewasa. Sudah waktunya engkau menikah. Aku punya pandangan wanita yang baik, putri dari Adipati Carebon. Wajahnya cantik dan juga putri seorang adipati yang menguasai wilayah bekas kerajaan. Jadi engkau dan dia sesama keturunan raja. Bila engkau setuju saranku, lihatlah dulu wanita itu. Pergilah ke rumah Adipati Carebon. Segeralah berangkat.”

Sang putra menyembah dan mundur perlahan. Pangeran lalu berangkat menuju Carebon. Singkat cerita Pangeran sudah sampai dan diterima dengan baik oleh bupati Carebon. Adipati Carebon tanggap akan isyarat bahwa Pangeran hendak melihat putrinya. Sang Adipati segera memanggil sang putri menghadap. Memang cantik jelita menarik hati. Hanya saja Pangeran melihat watak sang putri ini tampaknya berani melawan suami. Perilakunya ketika menghadapi tamu tampak berani, wajahnya terkesan galak. Pangeran Adipati merasa tidak ada perasaan khusus dengan sang putri. Maka bersegera Pangeran minta pamit.

Berapa lama dari kejadian tersebut, momongan Wirareja si gadis Surabaya sudah menginjak dewasa. Kecantikannya semakin terlihat, wajahnya makin bersinar. Ibarat bunga sedang mekar-mekarnya. Memang sudah waktunya Wirareja mengantar momongannya itu ke istana. Hanya belum terlaksana.

Pada suatu hari Pangeran Adipati sedang berjalan-jalan. Timbul keinginan mampir ke rumah Ngabei Wirareja. Pangeran masuk ke pelataran, terlihat ada seorang gadis sedang membatik. Si gadis malu ada orang asing datang lalu segera masuk ke rumah, tetapi sempat menoleh ke arah Pangeran sambil membetulkan gelung rambut. Pangeran yang melihat kecantikan si gadis bergetar hatinya. Untuk sesaat Pangeran tertegun melihat sang rembulan bersinar.

Wirareja yang melihat kedatangan Pangeran segera menyambut. Dengan tergopoh-gopoh Wirareja terduduk merangkul kaki Pangeran.

Wirareja berkata, “Duh Pangeran, apa ada keperluan, tumben paduka berkunjung ke rumah hamba. Silakan Pangeran duduk.”

Pangeran tak segera menjawab, pikirannya masih mengenang yang tadi bergelung rambut.

Pangeran berkata pelan, “Paman, aku tanya siapa gadis tadi. Siapa yang punya. Apakah anakmu sendiri?”

Wirareja berkata, “Duh Tuan, hamba hanya sekedar mengasuh. Gadis tadi milik ayah paduka, asalnya dari Surabaya. Putri Ngabei Mangunjaya. Ketika dulu dihaturkan Sang Raja si gadis belum cukup umur, lalu dititipkan kepada hamba. Kelak kalau sudah masanya birahi disuruh mengantar ke istana. Sekarang sudah waktunya. Besok hari Kamis akan hamba antar kepada Sang Raja.”

Mendengar penuturan Wirareja Pangeran terdiam, lalu mundur tanpa pamit. Dengan cepat mengambil kuda dan dicambuk. Si kuda segera lari membawa Pangeran yang kecewa. Para pengiringnya ditinggal begitu saja.

Sesampai di kediamannya Pangeran langsung ke kamar. Seharian tak keluar, tak mau makan. Yang diangannya hanya gadis bergelung rambut di rumah Wirareja. Para pengasuh wanita tahu bahwa Pangeran Adipati sedang kasmaran. Seorang pengasuh lalu melaporkan keadaan Pangeran Adipati kepada sang eyang, Pangeran Surabaya.

Sambil menangis si pengasuh menceritakan apa yang dialami Pangeran Adipati, “Tuan, cucu paduka terlihat seperti orang gila karena kasmaran. Melihat gadis cantik simpanan sang ayah yang dititipkan kepada Ngabei Wirareja. Seorang gadis asal Surabaya, putri Ngabei Mangunjaya. Gadis itu telah diambil Sang Raja dulu dan sekarang dititipkan di rumah Wirareja. Si gadis itulah yang membuat Pangeran sakit rindu. Cucu paduka tak mau makan dan tidur. Sekarang masih berada di kamarnya.”

Pangeran Surabaya kaget mendengar penuturan si pengasuh. Dalam hati merasa serba salah. Di satu pihak merasa takut kepada Sang Raja, di lain pihak merasa kasihan kepada sang cucu. Akhirnya Pangeran Surabaya pasrah, karena merasa sudah tua jika pun harus mati tidak mengapa. Dia memutuskan hendak menolong sang cucu.

Kepada istrinya, Raden Ayu Pekik, Pangeran Surabaya berkata, “Ayo kita membela cucu kita Pangeran Adipati. Cucu kita sedang kasmaran dengan seorang gadis. Ayo kita ambil walau nanti kita harus mati.”

Istri Pangeran Surabaya menurut, kemudian diajak menjemput si gadis. Pangeran memerintahkan kepada punggawanya untuk mempersiapkan tandu. Setelah siap Pangeran berangkat ke rumah Wirareja. Raden Ayu Pekik dan para istri Pangeran Surabaya yang lain ikut naik tandu.

Sesampai di rumah Wirareja Raden Ayu Pekik turun dari tandu dan masuk ke kediaman Wirareja bersama Pangeran Surabaya. Ki Wirareja menyambut dengan tergopoh-gopoh kedatangan bibi Sang Raja itu.

Berkata Ki Wirareja, “Anda berdua silakan masuk ke dalam rumah.”

Pangeran Surabaya dan Ratu Pekik masuk ke rumah Wirareja. Setelah duduk nyaman Pangeran Pekik mengutarakan maksud kedatangannya.

“Wirareja anakku, kedatanganku ke sini hendak meminta anak asuhmu, seorang gadis cantik yang berada di rumahmu. Aku hendak memakainya sebagai obat kasmaran bagi cucuku Pangeran Adipati. Kalau sampai ada kemarahan Sang Raja, biarlah aku yang menanggung.”

Ki Wirareja berkata, “Permintaan paduka tidak bisa saya turuti. Saya takut kepada Sang Raja. Karena sudah perintah bahwa gadis itu dititipkan kepada saya. Karena dulu belum dewasa. Sekarang sudah waktunya  birahi, besok akan saya haturkan kepada Sang Raja. Kalau paduka hendak mengambil anak itu, nanti saya yang kena marah, bisa dihukum mati.”

Ratu Pekik tertegun, sangat repot hatinya mendengar perkataan Wirareja.

Pangeran Surabaya kemudian berkata, “Anakku Wirareja. Benar katamu kalau takut kepada amarah Sang Raja. Tetapi ketahuilah, aku tidak salah mengambil anak itu karena dia adalah kawulaku dari Surabaya. Sudah sepantasnya kalau aku berikan kepada cucuku.”

Wirareja merasa sangat kerepotan menjawab permintaan Pangeran Surabaya.

Pangeran Surabaya berkata lagi, “Wirareja anakku, kalau Sang Raja marah biar aku yang menghadapi. Ini ada cincinku, aku berikan kepadamu. Permata intan dua biji berharga seribu riyal. Juga dua keris aku relakan kepadamu. Jangan masygul hatimu.”

Para istri Pangeran Surabaya juga ikut membujuk Nyai Wirareja dengan memberikan kepadanya permata dan koin emas serta busana yang indah-indah. Nyai Wirareja sangat suka hatinya.

Berkata Nyai Wirareja kepada suaminya, “Kyai, engkau diam sajalah karena Pangeran yang akan menanggung amarah Sang Raja. Dan juga Pangeran benar bahwa anak kita itu dari Surabaya, jadi hak Pangeran untuk menikahkan dengan cucunya. Dan lagi Sang Raja tidak akan marah kalau yang mengambilnya putra sendiri. Karena aku mendengar kemarin Pangeran Adipati diminta sang ayah untuk menikah tetapi belum berkenan. Sekarang ada gadis yang bisa merebut hatinya, ini kan sebuah kebetulan. Walau akan menjadi marah tetapi pasti akan segera luluh kemarahan Sang Raja. Sekarang sebaiknya si anak kita serahkan saja.”

Kyai Wirareja hanyut dalam bujukan istrinya. Si gadis segera dibawa oleh para istri Pangeran Surabaya.

Pangeran Surabaya berkata kepada Wirareja, “Wirareja anakmu aku bawa. Nanti bisa-bisa Sang Raja marah dan menghukumku. Tetapi aku sudah pasrah jika itu terjadi. Sudah aku sengaja, karena aku hanya memikirkan kesembuhan cucuku. Walau aku harus mati tidak apa asalkan cucuku bahagia.”

Wirareja menyembah, Pangeran segera minta pamit. Si gadis dibawa dengan tandu dan langsung menuju kadipaten. Pangeran Surabaya mengantar sampai ke dalam dan menyerahkannya kepada Pangeran Adipati. Si gadis yang bernama Rara Sahoyi sudah dipertemukan dengan Pangeran Adipati.

Pangeran Surabaya berkata, “Cucuku, jangan menanggung sakit rindu lagi. Aku sudah mendapatkan obat dari Kawirarejan. Dia pantas menjadi istrimu.”

Pangeran Adipati suka hatinya melihat si gadis yang cantik pujaan hati. Namun Pangeran tampak gelisah. Sang kakek memahami kegelisahan cucunya.

Berkata Pangeran Surabaya, “Cucuku, jangan khawatir. Kalau ada kemarahan ayahandamu, aku yang menanggung. Walau sampai mati akan aku bela. Sekarang aku pulang. Engkau tinggalah bersama pengantinmu.”

Pangeran Surabaya keluar dari Kadipaten dan pulang ke rumahnya. Sementara itu Pangeran Adipati segera membawa sang dewi ke tempat tidur. Si gadis tampak gelisah tak tenang. Sang putra raja membujuknya dengan kata-kata manis.

“Duhai kekasih hatiku, sudah lama aku merindukanmu. Sejak pertemuan pertama dulu hidupku tak bisa tenang. Makan tak enak, tidur tak nyenyak. Yang dipelupuk mataku hanya dirimu. Serasa diriku lebih baik mati jika harus hidup tanpamu. Sekarang aku merasa hidup kembali setelah bertemu denganmu.”

Si cantik berkata, “Apakah itu sungguh-sungguh Pangeran? Watak seorang pria bila belum kesampaian memang kata-katanya semanis madu. Kalau sudah tercapai kehendaknya segera menghindar tak ingin lagi.”

Berkata sang putra raja, “Duhai dindaku, benar demikian, tetapi itu bukan diriku. Percayalah aku tak seperti itu. Kalau sampai begitu semoga aku sakit bisul sebesar beruk. Atau semoga tanganku kiting.”

Sang cantik berkata, “Hamba ingin katakan. Sudah dua kali raga hamba ini menjadi persembahan. Dulu pernah dihaturkan kepada ayah paduka Sang Raja. Adapun sekarang paduka menghendaki diriku. Nanti bila ada kemarahan Sang Raja, saya pasti akan dibunuh.”

Sang putra raja berkata merangkul dan mencium pipi sang dewi. Lalu berkata manis, “Duhai permataku, kalau sampai ayahanda marah aku tidak akan menghindar. Kalau harus mati kita berdua yang menjalani.”

Sang rajaputra mendesak hendak memuaskan kehendak, segera memegang kain hendak disingkap.

Tangan Sahoyi menepis seraya berkata, “Duh Pangeran jangan, paduka hendak melakukan apa?”

Sang rajapurta mencium sambil berkata, “Dindaku, aku minta obat sakit rinduku. Sungguh aku bisa mati kasmaran kalau tidak engkau sembuhkan. Sungguh aku bisa kering kalau engkau tidak tulus mengasihiku.”

Sang Pangeran terus membuai dengan kata-kata manis. Hati Sahoyi goyah oleh serangan bujuk rayu yang menggetarkan hati. Tidak berapa lama Sahoyi melayani apa yang Pangeran kehendaki. Kota Mesir sudah takluk, kata pepatah. Hari-hari berlalu sang Pangeran Adipati dan Sahoyi puas memadu kasih.

Sementara itu Sang Raja pun sudah menanti kekasih hatinya. Menurut perhitungannya sudah saatnya sekarang dibawa ke istana. Sang Raja bermaksud menanyakan kepada Wirareja. Akan tetapi Sang Raja mendapat laporan bahwa gadis simpanannya telah direbut oleh Pangeran Adipati sendiri. Pangeran Surabaya yang menjadi beking dan siap menanggung segala akibatnya.

Sang Raja sangat murka. Seketika bangkit ingatannya ke peristiwa pemberian ayam bekisar dulu. Memang sepertinya sudah sengaja Pangeran Surabaya hendak membikin ulah. Sang Raja habis kesabarannya, segera memerintahkan menghukum mati Pangeran Surabaya dan keluarganya. Ada empat puluh orang yang dibunuh akibat peristiwa itu.

Kyai Wirareja juga menerima hukuman. Kyai dan keluarganya dibuang ke Ponorogo. Kedudukan dan kepemilikannya dirampas. Tapi kemarahan Sang Raja tak segera mereda. Kyai Wirareja akhirnya dibunuh juga di Ponorogo.

Adapun Pangeran Adipati, hukuman telah menantinya. Sang Raja sangat marah dan sakit hati akibat ulah sang putra. Kepada Pangeran Adipati diberikan dua pilihan: membunuh Sahoyi dengan tangannya sendiri atau tidak dianggap anak lagi.

Pangeran sangat sakit hatinya mendengar titah sang ayah. Sambil menangis Pangeran memangku Rara Sahoyi. Sahoyi menemui ajal karena tikaman keris sang pangeran. Anak Ki Mangunjaya dari Surabaya itu telah tewas tetapi amarah sang ayah belum reda. Pangeran Adipati dibuang ke Lipura, rumahnya di kadipaten dijarah dan dibakar. Para prajuritnya dipreteli. Semua wanita diambil ke istana. Semua harta benda dikuras habis tak disisakan.

Tetapi ketika waktu berlalu kemarahan Sang Raja mereda. Pangeran Adipati diberi ampun dan dikembalikan ke kadipaten lagi.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/08/04/babad-tanah-jawi-67-sahoyi-wanita-yang-membuat-geger/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...