Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (73): Sunan Amangkurat wafat dan dikebumikan di Tegalwangi

 Sang Prabu Amangkurat dan para putra telah berhasil menyeberangi sungai Bagawanta. Perjalanan terus dilanjutkan melalui Waja ke barat. Melalui rawa-rawa Sang Raja dan rombongan terus berjalan. Para putra semua ikut serta, Pangeran Puger, Pangeran Martasana, Pangeran Singasari dan Raden Tapa yang masih kecil. Di sepanjang perjalanan Pangeran Adipati selalu berada di belakang. Sebab mengambil posisi belakang karena setengah mengharap kalau-kalau ada utusan dari Trunajaya yang menyusul. Namun sampai berjalan jauh tak ada utusan datang.

Perjalanan Sang Raja telah sampai di desa Kawisanyar. Di desa itu mereka dirampok penduduk setempat. Para wanita hendak diperkosa.

Sang Raja berkata, “Benar saja kalau mereka hendak mengangguku karena belum pernah mendapat berkah dariku. Ini ada uang berikan kepada mereka agar mengurungkan niatnya.”

Meski telah ditawarkan uang para pembegal tak surut dari niatnya memperkosa para wanita. Sang Raja menjadi sangat marah dan mengeluarkan kutukan.

“Tidak akan selamat kalian kalau polahmu demikian.”

Sang Raja meneruskan perjalanan. Para pembegal tiba-tiba saja lumpuh tak dapat bergerak. Rombongan meneruskan perjalanan menuju Banyumas. Tak lama kemudian sudah mencapai Ajibarang. Sang Raja berhenti untuk beristirahat dan menata rencana selanjutnya.

Sang Raja berkata kepada Pangeran Adipati, “Engkau kembalilah ke Mataram. Rebutlah kembali negerimu. Semua adikmu bawalah serta.”

Pangeran Adipati berkata, “Mohon maaf paduka. Kalau Saya harus kembali saya tidak sanggup. Saya ingin bersama anyahanda ke manapun ayah pergi.”

Sang Raja berkata, “Mengapa engkau berkata demikian. Kalau begitu aku hendak menanyakan kepada adikmu. Hai engkau Adipati Puger, engkau kembalilah, rebutlah negerimu. Adapun diriku sudah menjadi kehendak Tuhan kalau harus sampai di sini. Engkau yang masih muda aku serahi tugas ini. Bagaimana Puger?”

Pangeran Adipati Puger berkata, “Baik paduka. Kalau sudah mendapat izin paduka, walau harus hilang nyawa saya bersedia.”

Sang Raja berkata, “Kalau demikian, anakku, semoga engkau mendapat pertolongan Tuhan. Aku berikan engkau senjata sebagai pegangan. Keris pusaka bernama Kyai Maesanular dan tombak Kyai Pleret. Aku serahkah dua pusaka itu sebagai modal berperang. Semoga doa para leluhur selalu menyertaimu. Si Tapa aku titipkan kepadamu. Asuhlah dia baik-baik. Kelak bila dewasa berikan negeri Pati kepadanya. Menurut ramalan dia nanti yang akan menjadi pembantu andalanmu. Kelak kalau sudah menjadi penguasa Pati dia akan menjadi penguasa yang tangguh. Sudah, sekarang berangkatlah. Rebut kembali Mataram. Yang aku tugaskan ikut bersamamu adalah si Martasana dan si Singasari. Adapun perjalanan saya akan dikawal kakakmu Pangeran Adipati Anom Amangkunagara.”

Sang putra menyembah dan bersiap melaksanakan tugas. Setelah mencium kaki sang ayah Pangeran Adipati Puger segera berangkat. Yang pertama dituju adalah Jenar. Sang Raja kemudian melanjutkan perjalanan ke barat. Sudah melewati Ajibarang tetapi masih berada di bumi Banyumas. Ketika sampai di Pasiraman Sang Raja menderita sakit. Putra yang menemani Sang Raja hanya Pangeran Adipati dan Raden Tapa yang masih kecil. Ketika itu Sang Raja meminta degan kelapa muda. Oleh Pangeran Adipati degan dilubangi dan dihaturkan kepada Sang Raja.

Ketika Sang Raja melihat degan sudah dilubangi Sang Raja berkata, “Terima kasih Ki Adipati pemberian degan ini. Tetapi aku melihat maksudmu dengan pemberian degan berlubang ini. Engkau hendak nggege mangsa kematianku. Bagaimana sampai engkau berbuat demikian anakku? Aku suruh engkau merebut negerimu engkau tidak mau, tetapi sekarang engkau menghendaki aku segera mati. Ketahilah anakku Pangeran Adipati, hanya engkau sendiri yang bisa menjadi raja hidup mulia. Tidak sampai menurun ke anakmu. Aku punya pesan kepadamu, kelak sepeninggalku engkau dan anak keturunanmu tidak aku izinkan ziarah ke kuburanku.”

Sakit Sang Raja semakin parah. Pangeran mengetahui bahwa sang ayah sudah menjelang ajal. Pangeran selalu menunggui sambil menangis. Sang Raja merangkul leher sang putra.

Berkata Sang Raja, “Duh anakku, Ki Adipati. Sudah saatnya aku berpulang. Terimalah pusaka dariku. Engkau yang berwenang memiliki. Engkaulah yang akan menggantikanku karena engkau anak tertua. Pesanku, engkau pergilah ke timur mengajak Belanda. Bawalah untuk berperang menaklukkan musuh. Balaslah kekalahan kita ini. Pergilah ke wilayah timur bersama orang Belanda. Sudah saatnya Mataram berganti zaman. Kelak bila si kafir itu menang perang bawalah merebut negeri Mataram. Dan pesanku lagi, bila aku telah pulang ke rahmatullah. Kuburkan aku di Tegal, menyatu bersama dengan makam guruku. Carilah gundukan tanah yang berbau wangi. Di situlah engkau harus menguburkanku.”

Sudah habis pesan Sang Raja. Semakin lama Sang Raja semakin lemah dan sampailah pada janjinya kepada Tuhan. Ketika wafat hanya Pangeran Adipati dan Raden Tapa yang menunggui. Pangeran segera memberi tahu Tumenggung Martalaya di Tegal. Ki Tumenggung segera menjemput jenazah Sang Raja di Banyumas. Pangeran dan para punggawa mengiringi jenazah hingga ke kompleks pemakaman di Tegal. Pada sebuah gundukan tanah yang berbau wangi jenazah Sang Raja dikebumikan.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/08/10/babad-tanah-jawi-73-sunan-amangkurat-wafat-dan-dikebumikan-di-tegalwangi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...