Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (75): Pangeran Adipati Anom menjadi raja bergelar Susuhunan Amangkurat di Tegal

 Alkisah, di Tegal putra Prabu Amangkurat yang tertua, Pangeran Adipati Anom, sangat bersedih atas kepergian sang ayah. Sepeninggal sang ayah semangat hidup Pangeran seolah padam. Niatnya hanya hendak mengembara sampai ke Mekkah untuk naik haji. Namun para punggawa mencegah dan berupaya membangkitkan semangat sang pangeran kembali.

Para punggawa berusaha membesarkan hati Pangeran Adipati, tetapi ambisi Pangeran untuk merebut tahta sudah padam. Yang dipikirkan tetap, hanya ingin naik haji ke Mekkah saja.

Kyai Tumenggung Martalaya berkata, “Marilah Nak, Nak Pangeran Adipati segera mengangkat diri menjadi raja menggantikan ayah paduka.”

Berkata Pangeran Adipati, “Benar katamu, tetapi aku sekarang sedang tidak ingin menjadi raja. Sebaliknya engkau carikan aku perahu, berapa harganya aku bayar. Akan aku bawa naik haji ke Mekkah.”

Martalaya berkata, “Baiklah Pangeran, tetapi hamba tidak rela bila Pangeran meninggalkan kehidupan dunia. Kalau hendak melakukan yang demikian, tunggulah sampai Martalaya tewas. Adapun mengenai musuh paduka orang Madura, hamba yang sanggup melawan mereka.”

Berkata sang Pangeran, “Aku terima kesetiaanmu. Namun sekarang aku tidak ingin perang. Keinginanku yang segera aku laksanakan adalah naik haji ke Mekkah. Upayakan aku perahu yang bagus.”

Ki Martalaya berkata, “Tetapi di Tegal tidak ada perahu yang bagus. Tuan tunggulah dulu akan kami buatkan perahu yang sanggup membawa tuan ke Mekkah.”

Pangeran berkata, “Baiklah aku tunggu, tetapi cepatlah. Aku tunggu di Banyumas.”

Pangeran lalu berangkat ke Banyumas. Adapun yang mengiringi kepergian Pangeran Adipati adalah lurah prajurit muda bernama Andakara. Sesampai di Banyumas Pangeran berdiam di masjid untuk bermunajat kepada Tuhan. Selama tujuh hari tujuh malam Pangeran Adipati tidak keluar masjid. Siang malam Pangeran selalu bermunajat. Pada hari ketujuh, hari Jum’at, Pangeran melihat ada tujuh bulan. Ketujuh bulan itu lalu masuk ke dadanya. Saat itu atap masjid seperti berlubang sehingga langit tampak nyata. Lalu dari langit turun seorang manusia kecil yang bercahaya. Manusia kecil itu berada di depan Pangeran. Pangeran berusaha meraihnya. Si manusia kecil itu tiba-tiba masuk dalam tubuhnya melalui hidung. Setelah peristiwa tersebut tiba-tiba timbul keinginan Pangeran untuk memperbaiki kehidupan manusia Jawa. Caranya tak lain dengan menjadi raja menggantikan sang ayah. Semua pusaka Mataram kemudian dikenakan. Kyai Gondil, Kyai Balabar dan tombak Kyai Baru.

Pangeran sudah bertahta di hadapan para punggawa. Para punggawa yang hadir merasa heran karena Pangeran berwibawa tidak seperti biasanya. Pangeran kelihatan berseri laksana bulan purnama.

Pangeran Adipati berkata, “Kyai Andakara dan Kyai Sendhi. Ketahuilah, sekarang aku urungkan keinginanku hendak naik haji ke Mekkah. Adapun kehendakku sekarang adalah kembali membangun keraton Jawa. Sekarang Andakara dan Sendhi, kita bagi tugas. Andakara dan Nirdakarti pergilah ke Betawi, mintalah bantuan pasukan Belanda kepada Eyang Gubernur Jenderal. Katakan kepada Eyang Gubernur Jenderal kalau sekarang aku berniat menyerang pasukan Madura.”

Andakara dan Nirdakarti segera bersiap dan berangkat.

Pangeran berkata lagi, “Hai Sendhi, Wiradipa dan Anggajaya, berangkatlah ke Tegal. Katakan kepada Tumenggung Martalaya kalau aku batal ke Mekkah naik haji. Aku hendak membangun keratonku dan merebut negaraku. Dan katakan aku akan bermarkas di Tegal. Pesanku agar Martalaya menyiapkan prajurit.”

Sendhi, Wiradipa dan Anggajaya segera berangkat ke Tegal. Ada seorang abdi lama di kadipaten bernama Ki Pranantaka. Nama kecilnya Gendhowor. Ketika masih bocah menjadi punakawan di kadipaten.

Pangeran berkata, “Engkau Pranantaka si Gendhowor, pergilah ke Donan mencari bunga Wijayakusuma. Carilah sampai dapat.”

Pranantaka menyembah dan segera berangkat.

Singkat cerita para utusan sudah sampai di tempat tujuan masing-masing. Utusan ke Tegal telah menemui Tumenggung Martalaya dan menyampaikan perintah Pangeran Adipati. Tumenggung Martalaya segera menyiapkan pasukan. Ki Tumenggung juga membuat markas tempat Pangeran nanti akan tinggal selama di Tegal. Setelah semua siap Tumenggung Martalaya berangkat bersama para utusan ke Banyumas menjemput Pangeran Adipati. Sendhi, Wiradipa dan Anggajaya membawa Martalaya menghadap Pangeran Adipati.

Kepada keempat punggawa Pangeran Adipati berkata, “Selamat datang untuk kalian.”

Martalaya berkata, “Nak Adipati, Martalaya selama ini sangat menunggu kesediaan Nak Pangeran untuk mengambil tahta. Maka saya sangat senang karena apa yang saya tunggu telah terwujud. Markas sudah saya bangun bila sewaktu-waktu paduka ingin segera turun ke Tegal.”

Pangeran berkata, “Baiklah. Aku akan merebut negaraku, tetapi tungguhlah sebentar. Aku sedang menunggu perjalanan Andakara dan Nirdakarti, keduanya aku utus ke Betawi untuk meminta bantuan pasukan Kumpeni kepada Gubernur Jenderal.”

Ki Martalaya berkata, “Kalau berkenan paduka, jangan meminta bantuan kepada Kumpeni. Biasanya mereka banyak ingkar janji. Adapun musuh paduka orang Madura itu jangan menjadi kekhawatiran. Bila Martalaya masih hidup, Pangeran jangan sampai ikut perang. Saya yang akan menghadapi. Si Martalaya ini takkan menghindar.”

Pangeran berkata, “Benar yang kau katakan. Tetapi aku ini tak bisa mengelak dari ramalan kakek Sultan dahulu. Pada saat ibuku mengandungku dalam usia kandungan lima bulan, ibu dipanggil oleh Eyang Sultan. Ketika ibuku sudah terlihat menghadap, Eyang Sultan turun dari tahtanya. Eyang Ratu bertanya kepada Eyang Sultan mengapa sampai turun dari tahta ketika melihat sang menantu datang. Eyang Sultan menjawab bahwa menantuku ini mengandung anak yang kelak akan menjadi raja. Dia akan mempunyai prajurit campuran dari berbagai negeri. Makanya aku turun karena ingin menghormati cucuku itu. Jadi Martalaya, kalau sekarang aku meminta bantuan pasukan dari Kumpeni, itu tak lain hanya menepati ramalah Eyang Sultan.”

Martalaya terdiam karena sudah kalah alasan, sehingga dia hanya menyerahkan sepenuhnya kepada Pangeran Adipati. Setelah selesai pembicaraan antara mereka, Pangeran Adipati memutuskan segera berangkat ke Tegal.

Sementara itu Ki Andakara dan Nirdakarti yang pergi ke Betawi sudah mendapatkan hasil. Tuan Jenderal berkenan membantu dan mengirim pasukan di bawah pimpinan Admiral Heldhuweldheh. Admiral didampingi dua pembesar pasukan Bugis Makasar bernama Kraeng Madhangdhrang dan Kraeng Naba. Selain itu, Tuan Gubernur Jenderal juga mengirim banyak busana indah. Pasukan Admiral Heldhuweldheh segera berangkat bersama Andakara dan Nirdakarti melalui laut. Singkat cerita pelayaran mereka berjalan cepat dan sudah sampai di Tegal. Andakara segera melapor kepada Pangeran Adipati di markas Tegal. Ketika melihat Andakara datang, Pangeran memberi isyarat untuk mendekat.

Berkata Pangeran Adipati, “Andakara apakah perjalananmu mendapat hasil?”

Ki Andakara berkata, “Berkah doa paduka, saya berhasil melaksanakan tugas. Tuan Gubernur Jenderal mendukung rencana paduka. Sekarang saya membawa serta pasukan Kumpeni. Adapun yang memimpin seorang admiral bernama Heldhuweldheh, dengan dua pendamping bernama Kraeng Madhangdhrang dan Kraeng Naba. Sekarang pasukan Kumpeni masih berada di muara.”

Pangeran berkata, “Segeralah suruh mereka mendarat. Aku ingin bertemu mereka.”

Ki Andakara berangkat menuju muara untuk membawa Admiral Heldhuweldheh menghadap Pangeran Adipati. Sesampai di hadapan Pangeran Adipati para pembesar Kumpeni hanya berdiri saja. Para komandannya menjepit topi dengan lengan mereka di bawah ketiak.

Pangeran berkata kepada Andakara, “Mengapa mereka hanya berdiri saja tak mau duduk bersila di hadapanku?”

Nirdakarti menyembah dan berkata, “Seperti itu sudah menjadi tatakrama di negerinya.”

Pangeran tertawa melihat tatacara orang Belanda. Segera Tuan Admiral Heldhuweldheh melapor kepada Pangeran Adipati.

Berkata Heldhuweldheh, “Tuan, saya diutus Eyang Jenderal untuk menyampaikan salam serta menyerahkan berbagai kiriman busana indah, untuk paduka Tuan Pangeran.”

Pangeran berkata, “Aku terima kiriman hadiah dari Tuan Jenderal, sungguh kemurahan hatinya tidak bisa aku balas.”

Pangeran Adipati segera mengundang para punggawa dan seluruh pasukan di Tegal untuk melaksanakan acara pengangkatannya sebagai raja. Para ulama telah diundang untuk menjadi saksi, juga para pendeta dan orang-orang pintar.

Pangeran berkata, “Wahai segenap pasukanku, sekarang aku minta doa restu kalian. Aku hendak menjadi raja menggantikan ayahanda dengan gelar Susuhunan Amangkurat Senapati Ngalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama.”

Para prajurit, punggawa dan para ulama telah menyaksikan dan menyatakan kepatuhan kepada raja baru mereka.

Berkata Sang Raja, “Si Andakara aku angkat sebagai patih dan aku beri wewenang memerintah segenap pasukanku. Si Andakara mulai sekarang aku beri nama Tumenggung Mandaraka.”

Para punggawa dan prajurit menyatakan patuh pada perintah Sang Raja. Peristiwa pengangkatan Pangeran Adipati Anom menjadi raja pada hari Rabu Pon, tanggal dua puluh empat, bulan Sura, tahu Wawu. Peristiwa itu ditandai dengan sengkalan tahun: janma aneng gegana sinayang ing ratu[1].

Ketika itu Ki Pranantaka yang diutus ke Donan untuk mencari bunga sudah datang dengan membawa hasil. Bunga satu rakit bernama bunga Wijayakusuma sudah dihaturkan kepada Sang Raja. Sang Raja sangat suka mendapat bunga yang dicarinya tersebut. Sang Raja merasa bahwa dirinya mendapat anugerah yang besar dari Tuhan Yang Maha Tinggi. Sang Raja percaya bunga itu menjadi pertanda bahwa dirinya akan lestari menguasai tanah Jawa. Keberhasilan Pranantaka membuat dirinya dipercaya oleh Sang Raja. Pranantaka kemudian diangkat sebagai punggawa utama dengan nama Arya Sindureja. Kyai Sendhi kemudian diberi nama Demang Urawan. Semua wilayah tengah sudah tunduk dan patuh kepada Sang Raja Amangkurat. Diantara para punggawa yang belum mendapat kenaikan pangkat adalah Ki Nidakarti, Anggajaya dan Wiradipa. Ketika itu mereka langsung disibukkan dengan berbagai pekerjaan yang berkaitan dengan perabotan Sang Raja. Sang Raja berkenan mengambil orang Tegal sejumlah tujuh ratus sebagai prajurit dalam pengawal Sang Raja dan mereka dinamakan Jagasura. Sang Raja berkehendak memanggil para bupati pesisir untuk menghadap ke Tegal.

Pada hari pisowanan para punggawa telah berkumpul di hadapan Sang Raja di Pancaniti. Duduk di depan Ki Patih Tumenggung Mandaraka. Di sebelahnya duduk Ki Arya Sindureja. Lalu di sebelahnya lagi Ki Wiradigda, Ki Urawan, Ki Maduretna dan Tumenggung Awangga.

Berkata Sang Raja kepada Tumenggung Mandaraka, “Kehendakku, sekarang engkau Mandaraka dan Sindureja aku tunjuk untuk menaklukkan wilayah pesisir semua. Agar orang pesisir mau menghadapku. Sindureja segeralah bersiap. Bagaimana pendapatmu Mandaraka?”

Mandaraka menyembah dan berkata, “Hamba berserah pada kehendak paduka.”

Berkata Sang Raja, “Kalau begitu segera berangkatlah. Kendal dan Kaliwungu taklukkan segera. Agar mereka mau menghadap kepadaku. Bawalah pasukan yang banyak. Si Maduretna dan Tumenggung Awangga, kalian berdua ikutlah. Juga pesanku, Kedu nanti datangilah. Juga lihatlah yang berada di Mataram, siapa namanya.”

Sindureja menyembah dan segera bersiap melaksanakan tugas. Bersama Maduretna keduanya berangkat membawa pasukan yang besar. Singkat cerita mereka telah sampai di Kendal. Tidak perlu waktu lama orang Kendal sudah tunduk semua, juga di Kaliwungu. Mereka telah mendapat pengakuan dari orang Kendal dan Kaliwungu. Para punggawa di Kendal dan Kaliwungu kemudian dibawa menghadap kepada Sang Raja Amangkurat di Tegal.

Setelah Kendal dan Kaliwungu ditundukkan, Arya Sindureja berangkat ke Kedu bersama Ki Maduretna. Saat itu Kedu masih belum tunduk ke manapun. Sejak Mataram diduduki pasukan Trunajaya Kedu memisahkan diri dan belum bergabung ke manapun. Mereka berada di bawah kekuasaan Ki Wangsacitra.

Arya Sindureja sampai di wilayah Kedu, lalu bermarkas di Kathithang. Ki Wangsacitra segera menemui Arya Sindureja untuk menyatakan ketundukannya dengan membawa hadiah. Arya Sindureja lega hatinya karena orang Kedu masih setia kepada Sang Raja. Ki Wangsacitra lalu diperintahkan untuk menyatukan wilayah Kedu. Ki Wangsacitra segera melaksanakan tugas dengan baik. Arya Sindureja sangat suka hatinya, lalu mengusulkan agar Ki Wangsacitra diangkat sebagai tumenggung. Sang Raja sudah memberikan persetujuan, Ki Wangsacitra lalu diangkat sebagai bupati Kedu dengan nama Tumenggung Mangkuyuda.

Setelah pesisir dan Kedu menyatakan tunduk Sang Raja telah menguasai wilayah tengah pulau Jawa dengan sentausa. Kerajaan yang dibangun Sang Prabu Amangkurat telah menampakkan hasil. Tinggal wilayah Brebes yang belum tunduk.


[1] Sengkalan: janma anèng gêgana sinayang ing ratu (24 Sura 1601 AJ 18 Maret 1678 AD).


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/08/12/babad-tanah-jawi-75-pangeran-adipati-anom-menjadi-raja-bergelar-susuhunan-amangkurat-di-tegal/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...