Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (77): Sinuhun Amangkurat datang ke Jepara

Sementara itu di Tegal, Kangjeng Sunan Amangkurat II bertahta di hadapan para mantri dan punggawa. Semua wilayah pesisir Kaliwungu, Kendal, Batang, Pekalongan dan Pemalang sudah tunduk. Wilayah Kedu pun sudah bergabung dengan Prabu Amangkurat. Dengan demikian seluruh wilayah Jawa tengah sudah tunduk semua. Sang Raja bermaksud berangkat ke Jepara untuk terus mendesak musuh. Sang Raja meminta pertimbangan kepada Patih Mandaraka, juga Ki Sindureja, Ki Urawan dan tak ketinggalan Ki Wiradigda. Semua punggawa sepakat dengan kehendak Sang Raja. Segera mereka menyiapkan pasukan. Tak lama berselang pasukan besar berangkat dari Tegal. Suara para prajurit bergemuruh bercampur suara ringkik kuda. Sang Raja tidak berkenan melewati laut dan lebih memilih jalan darat.

Pasukan Raja Amangkurat sudah sampai di Pekalongan, kemudian berhenti untuk istirahat. Di Pekalongan Sang Raja mengumpulkan tambahan prajurit. Tujuh ratus prajurit berhasil direkrut. Para prajurit baru itu kemudian disebut sebagai prajurit Judhipati. Dari Pekalongan Sang Raja hendak terus ke Jepara, akan tetapi kali ini jalan laut yang dipilih. Karena akan sangat kerepotan kalau lewat darat. Para pasukan dari pesisir kemudian menyiapkan perahu. Tidak lama kemudian perahu dan kapal sudah siap di muara. Barang-barang bawaan segera dinaikkan. Sang Raja pun sudah naik ke kapal. Pasukan laut segera berangkat.

Alkisah, ketika Sang Raja masih berada di kadipaten, mempunyai seorang abdi yang dikasihinya, bernama Martanaya. Ketika Mataram takluk Ki Martanaya memisahkan diri dari tuannya hendak mencari selamat. Yang dituju adalah Semarang. Sesampai di Semarang tidak ada pekerjaan baginya. Dalam hati selalu memikirkan nasib tuannya. Maka ketika mendengar tuannya berada di Tegal dan sekarang sedang berlayar ke timur, Ki Martanaya hendak memberi hadiah. Dengan membawa apa yang dimilikinya walau tak seberapa, Ki Martanaya berlayar ke tengah laut hendak menemui Sang Raja. Di tengah lautan Ki Martanaya berhasil bertemu Sang Raja. Sang Raja kaget melihat Martanaya menghadang perjalanannya.

Ki Martanaya menyembah dan berkata, “Duh Tuan, si Martanaya menghaturkan hidup mati. Hamba tak dapat hidup jauh dari tuanku. Boleh atau tidak boleh walau harus mati si Martanaya ini tak mau jauh dari Sang Raja lagi.”

Sang Raja berkata, “Baiklah Martanaya, aku terima kesetianmu kepadaku. Namun aku tanya engkau, selama berpisah denganku engkau berada di mana?”

Martanaya berkata, “Hamba berada di Semarang. Selama berpisah hamba selalu memikirkan keadaan paduka. Maka sekarang hamba boleh atau tidak boleh ingin tetap bersama paduka.”

Sang Raja berkata pelan, “Baik Martanaya, sungguh aku terima keinginanmu. Tetapi sekarang lakukan dahulu perintahku. Engkau tinggalah di Semarang saja. Jangan ikut denganku. Lanjutkan beramal di bumi Semarang. Berdoalah kepada Tuhan. Doakan diriku agar segala kehendakku dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Agung. Kelak kalau aku lestari menjadi raja menguasai tanah Jawa, jangan khawatir tanah Semarang aku serahkan kepadamu.”

Martanaya menyembah, tetapi hatinya sangat masygul karena keinginannya bersama Sang Raja tak dikabulkan. Adapun sekarang terpaksa berpisah kembali karena harus menjalankan perintah tuannya. Martanaya tak bisa menolak perintah Sang RAja. Martanaya kembali ke darat dan Sang Raja melanjutkan perjalanan ke Jepara.

Perjalanan laut Sang Raja sudah sampai di Jepara. Sesudah mendarat Sang Raja membuat markas sementara di Jepara. Para punggawa dari Tegal sudah bersiap menggelar pasukan. Sang Raja memerintahkan kepada para punggawa untuk meluaskan jajahan ke negeri sekitar Jepara. Segera Ki Wangsadipa mengerahkan pasukan untuk menaklukkan negeri sekitar. Ki Wangsadipa tidak memerlukan waktu yang lama untuk membuat negeri sekitar Jepara tunduk. Bahkan wilayahnya telah sampai di Pati. Setelah dirasa cukup Ki Wangsadipa kembali ke Jepara.

Sementara itu dari Demak, Ki Martajaya melaporkan kepada Sang Raja kalau Demak sudah tunduk. Sang Raja sudah tenang hatinya karena satu persatu wilayah sudah bisa direbut kembali. Sang Raja segera mengirim utusan ke Tegal untuk menjemput para istri.

Pada suatu pagi Sang Raja sedang bertahta di hadapan para punggawa. Para pembesar Kumpeni sudah hadir dan juga para mantri. Kyai Patih Mandaraka berada di depan, siap menerima perintah. Juga telah menghadap beberapa punggawa andalan  seperti Arya Sindureja, Demang Urawan, Ngabei Wiradigda, Ngabei Jagapati, Wangsadipa, Nirdakarti, Ki Martajaya dan Ki Wija.

Berkata Sang Raja, “Mandaraka, sekarang si Wangsadipa aku wisuda dan aku naikkan kedudukannya menjadi adipati dengan nama Adipati Martapura dan membawahi negeri Jepara dengan berbagi wilayah bersama si Jagapati yang juga aku angkat sebagai adipati dengan nama Adipati Sujanapura. Si Martajaya aku angkat kedudukannya menjadi Tumenggung Suranata dan membawahi Demak. Si Wija aku angkat menjadi adipati di Pati dengan nama Adipati Mangunoneng. Si Nirdakarti di Grobogan dengan nama Tumenggung Binarong. Si Martalaya pakailah nama Adipati Martalaya.”

Semua punggawa yang telah ikut menderita sudah diangkat pada kedudukannya masing-masing. Semua menyatakan kesanggupan melaksanakan perintah.

Alkisah, ada seorang bernama Anggawangsa yang asalnya dari Surabaya. Dia telah meninggalkan rumah hendak menyusul kakaknya yang telah mengabdi kepada Sang Raja sewaktu di Tegal. Si kakak bernama Anggajaya. Oleh Anggajaya si adik dibawa menghadap kepada Sang Raja dan menyatakan kesiapannya untuk mengabdi. Sang Raja kemudian menanyai berbagai hal yang diketahui oleh Anggawangsa.

Anggawangsa berkata, “Paduka, Trunajaya sudah mendengar bahwa paduka datang membawa pasukan Kumpeni dan Jawa dalam jumlah besar. Trunajaya bermaksud menghadapi pasukan paduka. Punggawanya yang ditunjuk adalah Darmayuda dan Galengsong. Si Galengsong sekarang sudah diambil menantu oleh Trunajaya dengan dinikahkan dengan anak Trunajaya yang bernama Raden Ayu Suretna.”

Sang Raja berkata, “Baiklah Anggawangsa. Aku sangat berterima kasih atas informasi darimu. Pengabdianmu aku terima. Kalau kita beruntung dan selamat apa yang aku kehendaki, kelak negeri Surabaya aku serahkan kepadamu. Namun aku minta kepadamu agar menjadi penunjuk jalan bagi Admiral. Engkau yang lebih tahu negerimu, berilah saran dalam perang dan maju-mundur pasukan.”

Anggawangsa menyembah dan menyatakan kesanggupan. Sang Raja berkata kepada Admiral, “Hai Admiral, sekarang si Kraeng Madhangdhrang aku minta untuk mencari berita ke pasukan Trunajaya.”

Admiral berkata, “Saya serahkan kepada paduka.”

Berkata Sang Raja, “Hai Kraeng Madhangdhrang, aku perintahkan kepadamu untuk menelisik ke Kediri. Bujuklah si Galengsong. Jangan membawa banyak pasukan. Aku sertakan si Mirmagati agar ikut denganmu. Si Mirmagati itu bisa lima belas bahasa. Juga saya sertakan si Martapura dan si Martalaya ke Kediri.”

Punggawa yang ditunjuk menyembah dan segera berangkat. Kraeng Madhangdhrang berjalan bersama Mirmagati, sedangkan Martapura dan Martalaya berada di belakang. Setelah sampai di Kediri Kraeng Madhangdhrang menemui Kraeng Galengsong secara rahasia. Meski sudah lama tak bertemu Galengsong masih bisa mengenali saudara tuanya itu. Keduanya saling berangkulan melepas rindu. Galengsong menangis tersedu-sedu.

Kraeng Madhandhrang berkata, “Duhai adikku, jangan engkau menangis. Ketahuilah aku sekarang mengabdi kepada Raja Mataram. Kedatanganku ke sini diutus mencarimu. Dan kalau ketemu engkau dipanggil oleh rajaku. Bagaimana engkau sekarang?”

Kraeng Galengsong berkata, “Aduh bagaimana saya akan ikut denganmu Kanda. Namun, saya punya pesan untuk Sang Raja bahwa saya dalam hati tidak berpaling dari Sang Raja. Hanya harus saya samarkan agar tidak diketahui Trunajaya.”

Sang kakak suka hati mendengar penuturan sang adik. Kraeng Madhangdhrang berkata lagi, “Baiklah Dinda, seperti itu yang diharapkan Sang Raja Mataram.”

Galengsong berkata, “Kanda, rencana saya besok kalau sudah terjadi pertempuran dahsyat saya akan mengamuk dari belakang berserta seluruh pasukanku.”

Di tengah pembicaraan Galengsong melihat tiga orang yang menyertai Kraeng Madhangdhrang.

Galengsong bertanya, “Kanda, saya tanya. Siapa nama orang yang mengikutimu itu?”

Madhangdhrang berkata, “Itu temanku. Ki Mirmagati.”

Galengsong berkata dalam hatinya, “Duh, aku lihat prajurit Mataram cakap-cakap. Tidak kalah Sang Raja Mataram kalau akan melawan si Trunajaya.”

Kraeng Madhangdhrang berkata, “Ingatlah Dinda, baik-baiklah dirimu. Yang sungguh-sunguh dalam bicara. Kalau aku sendiri sudah percaya kepadamu. Ingatlah jangan ingkar janji. Jangan sampai lupa. Aku pamit dulu. Setelah kepergianku selalu waspadalah.”

Kraeng Madhangdhrang, Mirmagati, Martapura dan Martalaya bersama-sama hendak menyeberang bengawan yang saat itu sedang banjir. Ada orang Madura yang melihat orang Mataram keluar secara sembunyi-sembunyi dari pondokan Galengsong. Mareka kemudian menghadang keempat orang itu. Madhangdhrang ketika melihat dirinya dicegat dengan cepat memegang Ki Mirmagati dan melompati bengawan. Ki Martapura dan Ki Martalaya tidak ketinggalan, keduanya segera melompat. Dengan bergegas keempat orang tadi langsung kembali menuju Jepara. Sang Raja telah menunggu kedatangan mereka. Kareng Mandhangdhrang segera melaporkan hasil perjalanan mereka.

Berkata Kreng Madhangdhrang, “Tuan, saya sudah melaksanakan perintah mencari Galengsong. Dia sangat suka mendapat panggilan dari paduka. Hanya belum bisa menghadap paduka. Secara lahir masih ikut Trunajaya, tetapi hatinya tidak berpaling dari paduka. Galengsong berjanji kelak jika terjadi pertempuran akan berbalik menyerang Trunajaya dari belakang.”

Sang Raja sangat suka mendengar penuturan Kraeng Madhangdhrang.

Sementara itu, Martalaya sepulangnya dari perjalanan menemui Galengsong secara rahasia hatinya menjadi resah. Ketika melihat orang Madura Martalaya berpikir kalau hanya seperti itu kekuatan mereka tak perlu memakai orang Belanda, aku sendiri pun mampu menangani. Namun mengapa Sang Raja tidak mau mendengar perkataanku dan malah mengandalkan musuh dari dalam. Kalau seperti itu tanpa guna saya mengikuti Sang Raja. Karena itu Adipati Martalaya mogok menghadap Raja dengan alasan sakit. Ulah Adipati Martalaya sudah dilaporkan kepada Sang Raja. Sang Raja sangat marah mendengar kelakuan punggawanya itu.

Berkata Sang Raja kepada Martapura, “Hai Martapura. Segera bunuhlah si Martalaya sekarang juga. Pergilah ke pondokannya dengan membawa pasukan. Barangkali si Martalaya mengamuk engkau segera bisa mengatasi. Si Wiradipa ikutlah sebagai saksi.”

Martapura menyembah, bersiap melaksanakan tugas. Wiradipa mengikuti. Kedua punggawa membawa beberapa prajurit bersenjata lengkap. Sesampai di pondokan Martalaya sudah tahu kalau dia kedatangan prajurit yang berbaris secara sembunyi sejumlah kira-kira dua ratus orang. Martalaya menyiapkan keris di bawah tikar, namanya keris Kyai Kasur. Tak lama Martapura masuk dengan membawa keris Kyai Jakatua. Setelah keduanya duduk Martapura menyampaikan perintah Sang Raja. Ketika Martapura sedang bicara Martalaya mengambil keris Kyai Kasur dengan cepat dan menusuk Martapura. Martapura membalas menusuk dan keduanya saling tusuk sampai tewas bersamaan.

Pasukan Martalaya yang disebut orang Bareng bertindak membela tuannya. Mereka mengamuk berbela mati. Pasukan dari Tegal itu berhasil melukai Ki Wiradipa. Pasukan dari Jepara segera mengamankan situasi dan berhasil menangkap orang Bareng. Sang Raja ketika mendapat laporan bahwa bahwa Martalaya dan Martapura tewas serta Wiradipa terluka sangat menyesal.

Sementara itu Admiral Heldhuweldheh diperintahkan segera menyerang ke Surabaya. Para prajurit dari berbagai kesatuan, Kumpeni, Makasar dan Jawa dibagi menjadi dua. Satu bagian ikut Tuan Admiral, satu bagian tetap tinggal menjaga Sang Raja. Komandan pasukan Makasar yang bertugas menjaga Sang Raja adalah Kraeng Naba, adapun Kraeng Madhangdhrang ikut Tuan Admiral. Senapati Jawa yang ikut Tuan Admiral adalah Tumenggung Anggajaya dibantu oleh Anggawangsa. Pasukan gabungan segera berangkat melalui laut. Karena Anggawangsa sudah sangat paham jalan, maka tak lama kemudian telah sampai di Surabaya. Setelah naik ke darat pasukan Tuan Admiral membuat markas di Ngampeldenta. Benteng yang kuat berpagar bata telah didirikan.

Sementara itu pasukan Madura di Surabaya sudah mendengar kedatangan pasukan Tuan Admiral. Mereka kemudian mengerahkan bantuan untuk menghadang. Dari Pasuruan Ki Darmayuda dan Kraeng Galengsong berangkat ke Surabaya. Kedua kubu sudah berhadap-hadapan. Pasukan Madura mengeluarkan meriam Nyai Satomi untuk menyerang benteng. Tetapi pada malam hari Anggawangsa mencuri meriam itu. Dengan dipikul sendirian Anggawangsa berhasil membawa meriam itu ke pondokannya tanpa diketahui seorang pun. Sesampai di pondokan Anggawangsa melapor kepada Tuan Admiral. Tuan Admiral sangat suka hati, lalu segera mengumumkan kepada para pasukan.

Berkata Admiral, “Wahai segenap serdadu Belanda dan Makasar, berhati-hatilah. Nanti malam pukul tiga seranglah musuh dengan senapan. Jangan sampai ada meriam yang menganggur.”

Ketika tiba pukul tiga, pasukan Admiral secara bersamaan menyerang. Operator meriam menyalakan semua meriam. Bersamaan meletus seperti gunung berapi. Suara tembakan seperti petir menyambar. Tambur dipukul bergemuruh. Sampai-sampai orang tidak bisa saling bicara karena tertutup suara merian dan senapan. Sampai menjelang pagi, suara-sura meriam dan tembakan tidak mereda. Sampai siang hari pertempuran masih berlangsung. Peluru jatuh ke arah pasukan Madura seperti hujan deras. Pasukan Madura tidak tahan terus-menerus digempur. Ki Darmayuda sudah lari, Kraeng Galengsong mengikuti. Pasukan Madura bubar tercerai berai.

Ki Darmayuda hendak lari ke Kediri. Kraeng Galengsong mengikuti dengan hati yang ragu-ragu. Ketika itu Kraeng Galengsong bertemu dengan Pangeran Tumapel.

Pangeran berkata, “Dinda Galengsong, ayo bergabung denganku mengabdi kepada Raja Mataram.”

Kraeng Galengsong merasa kerepotan hatinya. Dengan hati masih memendam keragu-raguan Kraeng Galengsong ikut lari menuju Kediri. 


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/08/14/babad-tanah-jawi-77-sinuhun-amangkurat-datang-ke-jepara/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...