Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (78): Sunan Amangkurat berangkat ke Kediri hendak menangkap Trunajaya

 Para istri Kangjeng Sunan Amangkurat sudah datang dari Tegal dan berkumpul di Jepara. Dari Jepara Sunan bermaksud ke Kediri melalui jalan darat. Di Pati Sunan berhenti semalam, paginya segera meneruskan perjalanan. Setelah secara maraton berjalan Sunan sampai di Kediri. Sunan bermarkas di desa Singkal, sebelah utara bengawan. Perjalanan sedikit lambat karena Patih Mandaraka menderita sakit.

Alkisah, ada seorang pertapa bernama Panembahan Gunung Kelud. Dia hendak menghadang pasukan Sunan bersama para cantrik sejumlah kira-kira empat puluh orang. Panembahan sudah menyeberang bengawan dengan melewati pelabuhan. Panembahan dan para muridnya tidak memakai senjata, hanya dengan tangan kosong. Setelah bertemu pasukan Sunan, Panembahan dan para muridnya segera menerjang. Adipati Urawan dan Mangunoneng dari Pati yang menghadapi. Pasukan tombak kedua punggawa menahan para murid si Panembahan. Tidak lama Panembahan tewas bersama murid-muridnya tanpa sisa.

Sementara itu sakit Patih Mandaraka semakin parah hingga menemui ajal. Sunan Amangkurat dan para punggawa dari Mataram sangat prihatin. Sang Raja kemudian memanggil pasukan Mataram yang berada di Surabaya. Tuan Admiral dan Pangeran Tumapel juga datang. Tak ketinggalan Ki Anggawangsa. Semua sudah menghadap Sang Raja di Singkal.

Tuan Admiral melaporkan kalau Surabaya sudah takluk. Meriam Nyai Satomi yang dibawa pasukan Madura berhasil dicuri Anggawangsa.

Berkata Sang Raja, “Anggawangsa, aku berterima kasih kepadamu.”

Sang Raja berkata lagi, “Semua punggawa dan mantri patuhilah, perintahku. Setelah Mandaraka meninggal dunia, si Nrangkusuma aku angkat sebagai patih. Semua mantri patuhilah.”

Semua punggawa dan mantri menyatakan patuh kepada keputusan Sang Raja.

Sang Raja berkata lagi, “Si Anggawangsa sekarang, aku penuhi janjiku. Aku serahkan Surabaya kepadamu. Sekarang terimalah.”

Anggawangsa menyembah dan melaksanakan perintah. Setelah Sang Raja mengangkat Nrangkusuma sebagai patih, para pasukan sudah kembali tenang dan percaya diri.

Sementara itu di kubu Trunajaya, Ki Darmayuda melapor kepada tuannya kalau Kraeng Galengsong hatinya mendua. Tak urung nanti akan membuat repot. Mendengar perkataan Darmayuda Raden Trunajaya kaget, sesaat tak mampu  bicara.

Akhirnya Trunajaya berkata, “Kalau begitu segera panggil si Galengsong. Aku ingin tahu wujud orang yang tega bertindak seperti itu.”

Utusan segera mencari Kraeng Galengsong. Di tengah jalan dia bertemu, lalu segera dibawa menghadap Raden Trunajaya di pondokan. Sesampai di hadapan, Trunajaya memerintahkan untuk menangkap dan mengikatnya.

Raden Trunajaya berkata, “Nah, segera kalian tikam.”

Yang diberi perintah segera melaksanakan. Kraeng Galengsong sudah ditikam beramai-ramai dan tewas. Mayatnya langsung dikubur di dalam pondokan. Tidak ada orang Makasar yang tahu kalau tuan mereka telah tewas.

Sementara itu Kangjeng Susunan Amangkurat berkata kepada Tuan Admiral, “Hai Admiral. Ayo segera maju ke medan perang. Jangan terlalu lama para prajurit menganggur.”

Admiral menjawab, “Tuan, pasukan tidak bisa menyeberang bengawan kalau tidak diberi jembatan sasak dulu. Kalau bisa dibuat sasak dulu.”

Berkata Sang Raja, “Benar Admiral. Apa kehendakmu aku turut. Ayo prajurit Mataram, segera laksanakan pembuatan sasak di bengawan ini.”

Pra prajurit segera melaksanakan perintah Sang Raja. Tak lama jembatan sasak sudah melintang memotong bengawan. Kuat dan kokoh. Para prajurit bersiap menata barisan.

Di tempat lain Raden Trunajaya mendapat laporan kalau sekarang bengawan sudah diberi sasak. Pasukan Mataram bersiap menyeberang. Raden Trunajaya kaget dan marah. Segera berganti pakaian keprajuritan. Kain samboja merah, ikat pinggang kain cinde merah, baju kain beludru hijau berenda, ikat kepala kain putih halus, celana beludru berenda dan menyandang cundrik. Raden Trunajaya sudah keluar dari pondokan, tanda-tanda perang sudah dibunyikan. Bende ditabuh bertalu-talu, suaranya menggema di angkasa. Pasukan Trunajaya sudah bersiap dengan senjata senapan, tombak, sumpit, lembing dan lain-lainnya. Semua prajurit sudah berbaris menunggu perintah.

Raden Trunajaya keluar dari kediamannya diiringi para istri, mereka semua terlihat menahan airmata. Setelah Trunajaya bersiap berangkat para istri kembali ke pura. Trunajaya berangkat dengan pengawalan para prajurit pilihan. Delapan puluh prajurit berani mati tak boleh jauh darinya. Para prajurit itu sudah berpengalaman tempur, tak takut tombak dan senapan. Juga masih kerabat satu keturunan dengan Raden Trunajaya.

Pasukan garis depan Trunajaya sudah berhadapan dengan musuh. Raden Trunajaya telah berada di tempatnya memberi komando dari pinggir bengawan.

Dengan suara keras Trunajaya menantang, “Hai orang Mataram, ayo datangkan segala kekuatanmu. Buatlah jembatan sasak dan perkuatlah. Pasukan Kediri walau selembar rambut pun tak punya rasa takut. Dan juga tuanmu mustahil sama denganku, keturunan dari Jaran Panolih.”

Watak Sunan Amangkurat yang terlalu gegabah. Ketika mendengar laporan kalau Trunajaya menantang dengan merendahkan, Sang Raja sangat murka. Kangjeng Susunan segera menabuh tanda perang, bende Kyai Bicak berbunyi menggema. Pasukan Mataram heboh. Kangjeng Sunan sudah berganti pakaian perang dan menyandang pusaka tombak Kyai Baru. Pasukan Mataram bersiap menyongsong dengan mencari jalan lain, tetapi tak ada yang bisa dilalui. Terpaksa mereka menunggu giliran menyeberang melewati sasak. Pasukan yang belum menyeberang hanya bisa saling menantang.

Raden Trunajaya terus menantang, “Sudah nyata bobotnya keturunan Mataram dan keturunan Jaran Panolih. Ibarat pucuk dengan pangkal bedanya.”

Sunan Amangkurat mendengar suara tantangan itu. Sunan bertanya, “Siapa yang ngomong itu?”

Para prajurit menjawab, “Trunajaya paduka.”

Sunan segera menabuh Kyai Bicak, setelahnya segera menenteng Kayi Baru hendak maju sendiri ke medan laga. Para punggawa menangis, mencegah Sang Raja maju dengan memegang kendali kuda.

Tumenggung Suranata berkata sambil menangis, “Duhai Tuan, semua abdi menyerahkan hidup-mati untuk tuan. Tuan jangan maju sendiri ke medan perang kalau para punggawa Mataram belum tumpas habis semua. Adapun kalau nanti para punggawa sudah tewas semua, terserah paduka Tuan.”

Sunan berhenti, para bupati segera maju. Ketika itu bengawan sedang penuh airnya, sampai batas bibir bengawan. Para bupati memimpin pasukan untuk terjun ke bengawan, menyeberang dengan berenang. Ketika mereka sudah sampai di tengah Admiral memerintahkan pasukan Kumpeni untuk menembak dari belakang. Tumenggung Suranata berbalik keluar dari sungai dan dengan sangat marah memegang tangan Admiral.

Suranata berkata, “Apa maksudmu menembaki dari belakang, sedang kami masih menyeberang. Kalau begitu jangan tanggung, jadilah musuh sekalian agar bisa aku habisi.”

Admiral menjawab, “Lah Anda jangan marah. Saya menembaki musuh. Maafkan kalau pasukan saya bersalah. Saya bermaksud menembaki musuh agar tidak menggantu pasukan kita yang menyeberang.”

Suranata kembali masuk ke air dan berhasil menyeberang. Tetapi begitu sampai di seberang pasukan Madura menyongsong dengan tombak mereka. Para punggawa Mataram tidak peduli, mereka terus merangseg maju dan mengamuk. Pasukan Madura terus menembaki mereka. Pertempuran berkecamuk dahsyat. Pasukan Mataram terus datang menerjang seperti gelombang menabrak karang. Suara tembakan terus terdengar seperti gunung runtuh, peluru berjatuhan laksana hujan. Namun tak satupun bupati Mataram yang lecet kulitnya. Peluru yang mengenai dada terlihat seperti hiasan. Punggawa Mataram terus mengamuk, orang Madura pun tak goyah. Akhirnya pasukan Mataram tertahan di pinggir bengawan, membuat pasukan di belakangnya tak bisa segera menyeberang.

Sang Sunan melihat pasukannya tertahan, segera mengambil tombak Kyai Baru dan menyeberang. Begitu Sang Raja menyeberang seketika air bengawan kering. Para bupati dan prajurit segera mengikuti menyeberang. Orang Madura sama sekali tak gentar melihat pasukan Mataram sudah menyeberang semua. Mereka terus melawan. Kedua pasukan sudah sama-sama berani mati. Senapan-senapan sudah tak berguna, kedua pasukan tinggal memakai tombak dan keris. Pertempuran masih terus berkecamuk. Orang Madura tak pilih-pilih dalam menombak, tetapi orang Mataram semakin berani. Denting suara senjata terdengar nyaring. Banyak prajurit gagang-gagang tombaknya sudah patah, lalu berganti perang keris.

Para prajurit Mataram banyak yang kebal senjata. Mereka tak lecet sedikitpun. Seorang bupati Mataram ditombak oleh prajurit Madura, tidak terluka. Lalu membalas dengan tombak, si prajurit Madura tembus dadanya sampai ke punggung. Pertempuran masih berlangsung. Keris-keris sudah patah. Mereka berganti duel tangan kosong, saling tendang saling banting.

Semakin lama prajurit Madura semakin berkurang. Rasa takut kemudian timbul. Apalagi melihat banyak temannya sudah tewas. Yang nekad melawan semakin terdesak oleh amukan prajurit Mataram yang tak kunjung reda. Pasukan Madura bubar berlarian. Raden Trunajaya ikut lari mengungsi ke kota Kediri dan masuk ke pura. Trunajaya dengan cepat menutup pintu gerbang. Pintu lalu dijaga dari dalam dan luar. Yang ditunjuk untuk menjaga pintu adalah Darmayuda.

Pasukan Mataram terus mengejar sampai ke pura. Tumenggung Mangkuyuda menerjang hendak merebut pintu. Terjadi pertempuran sengit di depan pintu. Tumenggung Mangkuyuda tidak sabar, segera menerobos pertempuran dan sampilah dia di depan pintu. Dengan sekali tendang pintu jebol. Ketika pintu terbuka dari balik pintu Darmayuda menyongsong Mangkuyuda dengan tombak. Mangkuyuda terkena tombak dadanya tembus ke punggung. Namun Ki Mangkuyuda masih sempat membalas dengan gantian menombak Darmayuda. Leher Darmayuda putus. Kedua komandan itu jatuh bersamaan dan tewas. Mangkuyuda jatuh di luar pintu, Darmayuda jatuh di dalam pintu. Seluru isi pura geger berebut mengungsi.

Raden Trunajaya bersama para prajurit yang masih setia melarikan diri melalui pintu belakang. Tujuannya hendak mengungsi ke Wukirsari. Kota Kediri sudah takluk. Peristiwa ini ditandai dengan sengkalan tahun: rupa sirna angrasani janma[1].


[1] Sengkalan rupa sirna angrasani janma.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/08/15/babad-tanah-jawi-78-sunan-amangkurat-berangkat-ke-kediri-hendak-menangkap-trunajaya/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...