Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (79): Trunajaya menyerah dan dibunuh di Payak

 Kangjeng Susunan Amangkurat berkata kepada Admiral Heldhuweldheh, “Admiral, ayo jarahlah apa yang ada di dalam kota. Aku sudah berjanji semua jarahan menjadi milikmu.”

Segera pasukan Kumpeni Bugis dan Makasar menjarah habis isi kota Kediri. Mereka suka hatinya karena mendapat jarahan atas izin Sunan. Setelah selesai menjarah pasukan diberangkatkan untuk mengejar Trunajaya ke Wukirsari. Trunajaya yang dikejar sudah tak hendak melawan. Hanya berpikir mencari hidup saja. Dari Wukirsari dia membawa orang-orangnya menuju Ngantang. Sunan Amangkurat terus mengejar. Di Payak pasukan Sunan berhenti dan bermarkas karena jalan yang akan dilewati sulit.

Sementara itu Pangeran Cakraningrat yang dulu disakiti oleh Trunajaya dan ditempatkan di Lodaya segera dipanggil oleh Sunan Amangkurat. Sesampai di hadapan Sang Raja Madura diserahkan kembali kepada Cakraningrat.

Berkata Sang Raja kepada Cakraningrat, “Sebab apa engkau kupanggil? Sekarang terimalah kembali negerimu di Sampang. Aku percayakan kepadamu, terserah kamu dalam mengaturnya. Tetapi aku minta karyamu dalam hal yang berat, si Trunajaya upayakan sampai di hadapanku. Aku serahkan kepadamu bagaimana caranya.”

Berkata Cakraningrat sambil menyembah, “Siap paduka, abdi paduka si Cakraningrat sungguh tidak boleh malas walau sampai harus mati demi melaksanakan tugas. Karena saya bisa melakukan apapun karena berkah paduka Raja. Hanya saya minta doa agar dapat menangkap Trunajaya.”

Setelah Sang Raja selesai memberi pesan Cakraningrat segera berangkat ke gunung Ngantang. Pasukan Madura yang berada di gunung Ngantang tinggal sisa-sisa pasukan Trunajaya yang masih hidup. Mereka dipimpin Raden Mangunjaya dari Sumenep. Pangeran Cakraningrat sudah bertemu dengan Trunajaya. Berkat kepiawaian Pangeran Cakraningrat dalam membujuk Trunajaya bersedia menyerah dan turun dari gunung Ngantang. Selain itu keadaan pasukan Trunajaya sudah sangat kepayahan. Juga para istrinya selalu membujuknya untuk menyerah karena sudah tak tahan hidup di gunung.

Pangeran Cakraningrat segera membawa Trunajaya ke markas Sang Raja di Payak. Sebelum menghadap Pangeran Cakraningrat membujuk keponakannya itu agar mau diikat.

Berkata Pangeran Cakraningrat, “Nak Trunajaya, jangan engkau khawatir dalam hati. Percayalah kepadaku kalau sampai ada amarah Sang Raja, saya yang menghalangi.”

Trunajaya menurut dan bersedia diikat bersama seorang pengasuhnya yang tinggi besar. Pangeran Cakraningrat segera melapor kepada penjaga. Sang Raja diberi tahu bahwa Trunajaya sudah dibawa tetapi dalam keadaan diikat.

Sang Raja berkata, “Segeralah bawa menghadap. Aku hendak bertemu dengan adikku. Tetapi lepaskanlah ikatannya. Tidak baik dilihat orang kalau diikat. Nah segera ajukan ke sini.”

Pangeran Cakraningrat segera dipersilakan masuk membawa Trunajaya. Trunajaya masuk dan duduk di hadapan Sang Raja dengan menunduk.

Sang Raja berkata, “Hai Dinda Trunajaya, lepaskan diriku dari janji kepadamu. Dulu aku berjanji kalau aku menjadi raja, semua wilayahku yang berada di luar kotaraja akan aku serahkan kepadamu. Dan aku cukup yang berada di dalam kota saja. Nah janjiku itu sekarang terimalah.”

Trunajaya berkata pelan sambil menyembah, “Sinuhun mohon maaf, si Trunajaya tidak berani menerima janji paduka. Bila paduka menghendaki kematian abdi paduka ini, sungguh hamba berterima kasih. Abdi paduka merasa tidak akan mampu mengatur pasukan Raja. Hanya hidup mati hamba serahkan kepada paduka.”

Berkata Sang Raja, “Hai Trunajaya. Mengapa engkau berkata demikian. Ini sudah kehendakku. Sebelum engkau katakan aku sudah memafkan segala perbuatanmu. Sekarang aku pasrahkan sebagai pemenuhan janjiku dulu kepadamu. Jangan sengkau salah terima. Karena sekarang aku sudah berdiri sebagai raja, tak elok kalau menyelisihi janji.”

Trunajaya tetap tidak mau menerima. Hatinya tidak bisa menebak apa kehendak Sang Raja yang sesungguhnya. Maka sampai lama Trunajaya tetap tidak mau menerima perintah Sang Raja.

Sang Raja menjadi marah karena apa yang dikehendakinya tidak tercapai. Pangeran Lamongan tanggap bahwa Sang Raja marah.

Pangeran Lamongan mengingatkan Trunajaya, “Hai Nak Trunajaya, tidak ada orang yang seperti kamu. Seorang satria ingkar janji. Apa engkau tidak ingat watak Sang Raja yang tidak bisa dibantah. Walau salah pun turutilah.”

Setelah mendengar perkataan Pangeran Lamongan Trunajaya mau menerima perintah Sang Raja. Sudah diumumkan kepada seluruh pasukan bahwa Sang Raja sekarang mengambil Trunajaya sebagai patih. Sang Raja kemudian masuk ke pondokannya, Trunajaya pun disuruh istirahat di pondokan yang telah disediakan.

Selama di Payak Sunan Amangkurat selalu berunding dengan para punggawa. Pasukan dari Mataram sudah sepakat akan meminta matinya Trunajaya kepada Sang Raja. Ketika para punggawa Mataram memohon kepada Sang Raja, Sang Raja tidak bisa menolak. Apalagi Sang Raja sendiri masih ragu terhadap kesetiaan Trunajaya. Disusul perkataan para punggawa Mataram yang mengungkit kesalahan Trunajaya, seketika bangkit lagi amarah Sang Raja.

Setelah menyerah Trunajaya sudah tiga kali bertemu Sang Raja. Yang pertama ketika baru datang dan menerima perintah sebagai patih. Ketika menghadap kedua kali Trunajaya sudah tidak punya rasa khawatir. Ketiga kali Trunajaya menghadap ketika Sang Raja sedang marah akibat hasutan para punggawa Mataram. Sang Raja sudah keluar di tenda besar. Para punggawa sudah menghadap beserta para mantri dan tumenggung. Orang-orang Mataram sudah lengkap hadir memenuhi tempat pertemuan. Raden Trunajaya duduk agak maju daripada punggawa lain. Sudah lazim kalau seorang patih duduk dekat dengan Sang Raja. Tetapi orang-orang Mataram sudah siap. Mereka menyandang keris sambil menanti perintah Sang Raja.

Para punggawa yang hadir terdiam melihat gelagat Sang Raja marah. Tak berapa lama Sang Raja memberi isyarat agar Trunajaya mendekat. Trunajaya segera melaksanakan perintah.

Setelah dekat Sang Raja berkata pelan, “Dinda Trunajaya. Kekuasaanku lecet karena dicolek oleh saudara-saudaramu dari Mataram. Apa yang menjadi rahasianya?”

Trunajaya duduk tertunduk. Sang Raja menghunus Kyai Balabar. Segera turun dari singgasana dan dengan cepat menghujamkan Kyai Balabar ke tubuh kiri Trunajaya. Para mantri segera mengambil Trunajaya dan para punggawa Mataram menarik keris bersamaan menusuk Trunajaya. Trunajaya tewas di bangsal pertemuan.

Sang Raja berkata, “Sudah, bawa pergi mayat Trunajaya. Kalau ada orang Mataram yang punya nazar segera laksanakan. Jangan sungkan kepadaku.”

Para prajurit Mataram segera melepas nazarnya. Ada yang mencuci mukanya dengan darah. Ada yang memakan hati Trunajaya. Ada yang menendang kepalanya dan menjamak rambutnya. Ketika itu Trunajaya dibunuh bersama dengan pengasuhnya. Dua orang itu tewas di Payak. Maka peristiwa itu ditandai dengan sengkalan tahun: kalih ilang angrasani wani[1].

Setelah Trunajaya tewas di Kediri wilayah timur tunduk kepada Sunan Amangkurat II. Wilayah mancanegara dan pesisir tak ada lagi yang melawan.


[1] Sengkalan: kalih ilang angrasani wani (1602 A.J., 1679 A.D.)


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/08/16/babad-tanah-jawi-79-trunajaya-menyerah-dan-dibunuh-di-payak/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...