Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (80): Negeri Kartasura berdiri

Alkisah, sang Raja Amangkurat II hendak membubarkan barisan Payak dan berangkat ke Surabaya sekalian berkunjung ke Ampel. Sudah diumumkan kepada para pasukan dan Kumpeni. Semua prajurit senang hati karena sudah merasa jenuh berada di Payak. Maka dengan bersemangant pasukan segera bersiap berangkat.

Barisan pasukan Sunan Amangkurat sudah sampai di Surabaya. Karena jumlah pasukan sangat besar barisan belakang masih berada di Payak dan masih berbaris sepanjang jalan. Sang Raja kemudian bermarkas di Surabaya. Paginya Raja bermaksud mengunjungi Ampel Denta untuk ziarah ke makan Sunan Ampel.

Selama di Surabaya Sang Raja mengirim utusan ke Giri Kedaton untuk meminta izin kepada Sunan Giri. Yang diutus ke Giri Kedaton bernama Raden Mangunjaya. Sang raden sudah sampai di Giri dan dan bertemu dengan Sang Guru.

Raden Mangunjaya berkata, “Saya diutus Susunan yang berkuasa, untuk meminta izin kepada Kangjeng Panembahan, Susunan akan bertahta sebagai raja di tanah Jawa. Mohon Kanjeng Sinuhun di Giri memberi izin agar Susunan lestari dalam memerintah pula Jawa.”

Panembahan Giri berkata, “Baiklah saya izinkan Mangunjaya. Kalau keturunan Mataram sudah nyata-nyata punya darah raja-raja Jawa. Hanya keturunan Mataram yang punya, tak ada yang lain. Maka sebaiknya saya mengizinkan. Kalau bukan darah Mataran saya tidak akan izinkan.”

Ki Mangunjaya berkata pelan, “Panembahan, saran saya paduka jangan tergesa-gesa memberi izin. Saya mencegah paduka, karena hati saya merasa Susunan itu bukan keturunan Mataram. Sepertinya dia itu anak keturunan Belanda.”

Panembahan berkata, “Kalau seperti katamu itu, sungguh aku tak akan mengizinkan. Kalau memang itu bukan keturunan raja Mataram, sungguh nanti tak akan lestari.”

Raden Mangunjaya segera minta pamit dan kembali dari Giri. Tak diceritakan di jalan, Raden Mangunjaya sudah sampai Surabaya. Segera Mangunjaya menghadap kepada Susunan Amangkurat II. Setelah menyembah dan mengusap kaki Sang Raja, Mangunjaya melaporkan hasil perjalanannya ke Giri.

Berkata Raden Mangunjaya, “Mohon maaf paduka. Saya sudah menunaikan tugas dari paduka untuk meminta izin kepada Sinuhun di Giri bahwa paduka akan bertahta sebagai raja. Panembahan Giri tidak berkenan memberi izin, tetapi alasannya masih disembunyikan.”

Sang Raja Amngkurat sangat murka mendengar penuturan Raden Mangunjaya. Telinga seperti disayat, dada memerah seperti keluar api, dan mata merah melotot. Tanda bahwa sangat besar murka Sang Raja. Kyai Bicak segera dipukul menggema. Para prajruti dan para mantri serta punggawa sangat kaget. Dengan cepat para purajurit bersiaga dan Sang Raja tanpa menunggu lama segera memberangkatkan pasukan. Gabungan pasukan Kamangkuratan dan pasukan Kumpeni Belanda menuju Giri bergelombang seperti ombak.

Singkat cerita pasukan Amangkurat II sudah mengepung Giri Kedaton. Orang-orang di padepokan Giri pun sudah bersiap menghadang datangnya musuh. Para santri mempersenjatai diri dengan niat jihad fi sabilillah. Ketika itu Panembahan Giri mempunyai keponakan, anak dari kakaknya, yang sangat tampan. Namanya Pangeran Singasari, putra dari Panembahan Pangulu. Raden Singasari inilah yang menjadi komandan pasukan Giri Kedaton.

Ketika pasukan Mataram melihat orang-orang di Giri menghadang mereka sangat suka hati. Mengira bahwa Giri akan segera takluk karena jumlah orang di situ hanya sedikit. Tetapi pasukan Giri tak gentar. Di bawah pimpinan Pangeran Singasari pasukan Giri menghadapi musuh layaknya banteng luka. Orang Giri mengamuk, banyak prajurit Mataram tewas. Mereka menerjang tak berhitung mati. Ditembak pun tak mempan, pelurunya melurut. Pangeran Singasari sepak terjangnya seperti singa lapar. Pasukan Raja Amangkurat dan Kumpeni bubar berlarian. Seorang alperes Kumpeni tewas dan pasukannya bubar.

Pangeran Singasari terus mendekat ke arah Sang Raja Amangkurat II yang dijaga prajurit pilihan, para prajurit muda andalan Susunan. Ketika Pangeran Singasari menerjang para prajurit pengawal raja menyodok dengan tombak. Pangeran Singasari meloncat tinggi, tombak besi tak mempan padanya. Sedikitpun kulitnya tak lecet. Ketika kembali mendarat Pangeran mengamuk sangat mengerikan. Sementara para prajurit muda juga tak hendak mundur. Mereka merasa malu kalau lari dari medan perang. Dengan sisa keberanian mereka menghadang. Para prajurit muda tadi semua tewas tak ada yang tersisa.

Sang Raja murka melihat pasukannya kocar-kacir tak bisa bangkit lagi. Segera mengambil senjata Kyai Baru, hendak maju sendiri ke medan perang. Tetapi punggawa yang selalu menjaga Sang Raja, yakni Panembahan Natapraja[1], mencegahnya. Kyai Baru dimintanya dan segera diberikan oleh Sang Raja. Panembahan Natapraja segera maju ke medan perang. Panembahan Natapraja adalah keturunan Susuhunan Adilangu yang kelima atau disebut wareng dari Susuhunan Adilangu.

Pangeran Singasari melihat bahwa yang maju adalah Panembahan Natapraja. Pangeran berhati-hati, tetapi memang sudah kehendak Tuhan bahwa ajalnya sudah tiba. Tombak Kyai Baru tak dapat ditangkis, dada Pangeran Singasari tembus sampai ke belikat. Pangeran Singasari jatuh dan tak lama kemudian gugur dengan masih kuat memegang kerisnya.

Giri dijarah. Panembahan sudah diikat dengan kain cinde dan dihadapkan kepada Sang Raja. Sang Raja memerintahkan Panembahan Giri dibunuh. Sudah dilaksanakan dengan cara dicekik dengan tambang. Kangjeng Susunan Amangkurat II kembali ke Surabaya. Peristiwa jatuhnya Giri ditandai dengan sengkalan: lir ilang rasaning janmi[2].

Sesampai di Surabaya Susunan Amangkurat untuk sementara berkeraton di Surabaya. Para punggawa diberi kedudukan sesuai jasanya. Raden Mangunjaya diangkat sebagai bupati dengan nama Yudanagara. Anggajaya diangkat bupati di negeri Pasuruan. Ki Anggawangsa diangkat sebagai bupati Surabaya dan diberi nama Tumenggung Anggawangsa. Ada lagi yang diberi kedudukan namanya Ki Secanagara, ditempatkan di Japara. Sebagian tanah Surabaya diambil seluas tiga ribu dan diberikan Pangeran Lamongan. Setelah selesai menempatkan para punggawa Sang Raja berkenan berangkat ke Semarang.

Pagi hari Sang Raja berangakat menuju Semarang beserta semua pasukan. Singkat cerita perjalanan Sang Raja sudah sampai di Semarang dan bertemu dengan Tuan Admiral. Sang Raja memberikan dua tanah sebagai jasa atas bantuannya menumpas pemberontakan Trunajaya. Satu tanah di Cirebon dan satu tanah di Sumenep. Tuan Admiral sangat berterima kasih atas pemberian dua tanah itu. Tuan Admiral segera kembali ke Betawi. Pasukan Kumpeni ditinggalkan untuk menjaga Sang Raja.

Sepulang Tuan Admiral ke Betawi sang Raja dan para punggawa bermusyawarah mengenai tempat yang akan dipakai sebagai kotaraja. Karena kotaraja lama sudah hancur dan pernah diduduki musuh, maka kota harus dipindahkan. Sang Raja menghendaki Ayodya sebagai kotaraja, tetapi para punggawa menyarankan tempat lain. Ada yang menyarankan agar bertempat di Tingkir. Ki Tanuraga menyarankan di Pokak. Semua tak ada yang disetujui Sang Raja. Lalu Ki Urawan mengusulkan Wanakarta sebagai kotaraja. Kali ini Sang Raja setuju.

Sang Raja segera memerintahkan kepada para prajurit untuk berangkat ke tanah Pajang menuju desa Wanakarta, tempat yang akan dibangun keraton. Pasukan Sang Raja berangkat dari Semarang dengan berbagai bendera. Ada bendera hitam bergambar kera putih. Ada bendera dari sutra merah bergaris putih, ada bendera kuning bergaris putih ada lagi bendera hijau berenda sutra kuning.

Selam perjalanan Sang Raja dikawal prajurit pilihan dengan senjata tombak bergagang putih. Itulah senjata prajurit Sarageni yang berada di depan dengan bendera sutra merah bergaris putih atau disebut bendera gula kelapa. Sesampai di Wanakarta Sang Raja dan seluruh pasukan membuat markas sementara. Setiap hari para prajurit membersihkan lahan dan membuat bangunan keraton. Tak lama kemudian bentuk keraton sudah jadi dan Sang Raja pun telah mendiami keraton baru. Desa Wanakarta sudah diganti nama menjadi Kartasura Adiningrat. Masuknya Sang Raja ke istana baru bertepatan dengan bulan Ruwah, tahun Alip dan ditandai dengan sengkalan: mantri sirna obahing rat[3].

Kangjeng Susuhunan Amangkurat II setelah berkeraton di Kartasura segera mengirim utusan ke Mataram untuk menemui sang adik Sinuhun Ing Ngalaga. Dua utusan yang dikirim adalah Ki Lembu dan Ki Buwang. Keduanya anak dari Ki Mangkuyuda yang gugur saat perang di Kediri. Ki Lembu dan Ki Buwang sudah diangkat menggantikan kedudukan sang ayah. Ki Lembu menjabat wedana Bumi dengan nama Tumenggung Mangkuyuda, Ki Buwang menjabat wedana Bumija dengan nama Tumenggung Natayuda.

Singkat cerita kedua utusan sudah menghadap Sang Raja Ing Ngalaga di Mataram. Pada hari pisowanan kedua utusan diterima di hadapan seluruh punggawa yang hadir. Hadir pada pertemuan itu Tumenggung Gajah Pramada, Arya Mandalika, Arya Wiramantri, Arya Natabrata, Arya Tambakbaya, Arya Surajaya, Ki Demang Kaleng, Demang Mataun, Ngabei Jagabaya, Ki Bocor, Ki Jenar, Ki Wu-Awu, Ki Rangga Tanpulas dan Ngabei Pulangjiwa Panjer. Juga hadir para kerabat raja seperti Pangeran Pamenang, Pangeran Arya Panular dan para sesepuh kerajaan seperti Pangeran Natakusuma dan Pangeran Mangkubumi.

Utusan dari Kartasura mendekati Pangeran Natakusuma kemudian ditanya maksud kedatangannya. Utusan berkata bahwa dirinya diutus oleh Pangeran Adipati yang kini telah menobatkan diri sebagai raja di Kartasura dengan gelar Prabu Amangkurat. Sang Prabu sudah bersekutu dengan Kumpeni dan menduduki tanah Pajang. Pangeran Natakusuma naik ke sitinggil dan melaporkan kepada Sang Raja. Oleh Sang Raja utusan disuruh maju segera.

Utusan mengatakan bahwa kedatangannya membara perintah dari Sang Prabu Amangkurat. Yang pertama untuk memberi tahu bahwa Pangeran Adipati sudah berdiri sebagai raja di Pajang. Kedua, Sang Prabu Amangkurat meminta kembali istana yang kini ditempati Sinuhun Ing Ngalaga. Sang Raja Ing Ngalaga seketika marah mendengar penuturan kedua utusan. Dua utusan kembali ke Pajang tanpa hasil.

Sang Raja Ing Ngalaga berkata kepada para punggawa, “Bagaimana tanggapan kalian atas utusan dari Pajang?”

Pangeran Natakusuma, Arya Mandalika dan Gajah Pramada berkata, “Paduka lebih dahulu kirim utusan ke Pajang untuk memastikan yang berdiri sebagai raja pajang itu kakak paduka atau bukan. Karena para abdi mendengar berita yang santer beredar bahwa yang berdiri sebagai raja di Panjang itu anak Admiral. Karena tipudaya Kumpeni yang akan menguasai tanah Jawa maka dikatakan sebagai kakak paduka.”

Sang Raja berkata, “Kalau demikian saya selidiki dulu untuk memastikan apakah dia benar-benar Kanda Pangeran Adipati.”

Sang Raja segera mengutus Raden Arya Natabrata untuk menyelidiki kebenaran berita tersebut. Sang utusan segera melesat menuju Kartasura. Sambil menunggu hasil Sang Raja mengumumkan kepada para pasukan agar segera bersiap siaga. Bila memang terbukti raja baru itu adalah anak Kumpeni, akan segera diserang. Tetapi bila memang itu sang kakak Pangeran Adipati, Sang Raja akan segera menghadap.

Di Kartasura, utusan Sang Raja Amangkurat telah kembali. Dua utusan melaporkan misinya gagal. Sinuhun Ing Ngalaga tidak mau tunduk dan menghadap ke Kartasura karena beranggapan Raja di Kartasura bukan kakaknya, melainkan putra admiral Kumpeni. Menanggapi laporan tersebut Sang Raja Amangkurat hanya tersenyum. Tidak lama dari datangnya dua utusan dari Mataram datang utusan dari Sinuhun Ing Ngalaga, Raden Arya Natabrata. Sang utusan diterima di hadapan para punggawa. Ada Patih Nrangkusuma, Ki Arya Sindureja dan Adipati Urawan. Juga sedang menghadap Tumenggung Mangkuyuda, Tumenggung Natayuda dan Tumenggung Wirawidigda. Para bupati pesisir juga menghadap, Pangeran Madura dan Tumenggung Surabaya.

Raden Arya Natabrata mendekati Raden Patih Nrangkusuma. Patih segera melaporkan kalau ada utusan dari Mataram bernama Natabrata. Sang Raja menyuruhnya maju.

Sang Raja Amangkurat berkata, “Hai Natabrata, engkau apakah diutus oleh Dinda?”

Natabrata menyembah, “Hamba diutus untuk membuktikan apakah paduka sungguh Pangeran Adipati kakak Sinuhun Ing Ngalaga atau hanya putra Admiral yang diselundupkan. Sebab adik paduka melawan adalah karena berita yang beredar menyatakan paduka adalah putra Admiral.”

Sang Raja Amangkurat berkata, “Kalau begitu kamu kembalilah ke Mataram. Katakan pada Dinda kalau aku menjadi raja dibantu Kumpeni dan orang seberang dari berbagai bangsa. Semua wilayah mancanegara dan pesisir sudah tunduk kepadaku.”

Sang duta Raden Arya Natabrata kembali ke Mataram.

Sementara itu di Mataram Sinuhun Ing Ngalaga memanggil para punggawa untuk berembug. Akan tetapi di antara mereka tidak tercapai kesepakatan. Mereka saling berselisih. Pangeran Natakusuma menyarankan agar Sinuhun Ing Ngalaga menghadap Sang Raja Amangkurat di Kartasura karena sudah ada tanda bahwa sang kakak Pangeran Adipatilah yang menjadi raja di Kartasura. Buktinya orang-orang pesisir dan mancanegara sudah tunduk dan datang menghadap.

Sinuhun Ing Ngalaga bingung bagaimana akan bersikap karena para punggawa punya pendapat yang berbeda-beda. Arya Mandalika, Gajah Pramada, Arya Tambakbaya dan Surajaya sangat mencegah Sinuhun menghadap ke Surakarta. Sinuhun Ing Ngalaga memutuskan untuk menunggu kedatangan utusan yang dikirim. Pertemuan hari itu dibubarkan.

Sepulang dari pertemuan Pangeran Natakusuma merasa berputus asa. Sesampai di rumah segera menyuruh anggota keluarganya untuk bersiap-siap berangkat ke Kartasura menyerahkan diri kepada Prabu Amangkurat. Sementara itu Raden Natabrata sudah sampai di Mataram dan bertemu dengan Arya Mandalika dan kawan-kawan.

Tumenggung Gajah Pramada dan Arya Mandalika bertanya, “Wahai Raden, selamat perjalanamu? Apakah sudah dipastikan siapa Raja baru di Kartasura itu?”

Raden Natabrata menjawab, “Itu sungguh Pangeran Adipati. Tetapi dia berteman dengan orang seberang dan Kumpeni. Buktinya banyak para punggawa dari kadipaten yang dahulu orang-orang Pangeran Adipati, sekarang mereka diangkat menjadi demang, ngabei, rangga dan tumenggung.”

Arya Mandalika berkata pelan, “Hai Kanda Gajah Pramada. Kalau engkau setuju biarkan Raden Natabrata membohongi Sinuhun dengan mengatakan kalau raja itu bukan sang kakak. Katakan bahwa itu anak Kumpeni. Kalau berkata jujur bahwa itu Pangeran Adipati, pasti Sinuhun akan menghadap dan menyerahkan kekuasaannya. Kalau itu terjadi aku tidak rela. Sama-sama sudah diijinkan oleh Sang Raja yang mangkat di Tegal Arum untuk merebut istana Mataram dan mengusir musuh dari Madura. Sekarang kita sudah berhasil dan tuan kita menjadi raja. Kok tiba-tiba harus menghadap dan mengabdi kepada Kartasura. Kita akan kembali menjadi pesuruh tak dianggap.”

Gajah Pramada mendengus, “Benar katamu Dinda. Pasti bubar kita nanti kalau menyerahkan kekuasaan. Kita takkan mendapat tempat lagi dan tersingkir. Ayo sekarang melapor kepada Tuan Raja dan suruh Nak Natabrata berkata bohong.”

Para mantri dari tanah Bagelen dan Mataram sudah sepakat dengan usulan Arya Mandalika dan Gajah Pramada. Segera kedua punggawa menghadap Sinuhun Ing Ngalaga beserta Raden Natabrata. Ketika sudah sampai di hadapan Sinuhun Ing Ngalaga ketiganya menyembah.

Sang Raja kaget dan berkata, “Hai, engkau sudah kembali. Bagaimana kebenaran berita itu?”

Natabrata berkata, “Saya sudah sampai di hadapan Sang Raja Kartasura. Sungguh dia adalah putra Admiral, bukan kakak paduka. Dia memaksakan berkuasa di tanah Jawa. Para bupati pesisir sudah tunduk kepada Sang Raja itu.”

 Memerah muka Sinuhun Ing Ngalaga, terlihat sangat marah. Sejenak kemudian berseru:

“Kalau demikian hai orang Mataram, kalian bersiaplah. Mandalika engkau siapkan pasukan. Aku tak rela tanah Jawa dikuasai orang seberang. Lebih baik aku hancur di medan perang membela tanah Jawa.”

Arya Mandalika berkata, “Abdi paduka si Natakusuma telah pergi tadi malam, paduka. Pergi berserta anak istri ke Pajang.”

Sinuhun Ing Ngalaga kaget dan berkata, “Sudah kehendak Tuhan Dinda Natakusuma berselisih. Sudahlah sekarang ayo, pasukan Mataram, Mandalika dan Gajah Pramada, segera engkau bersiap.”

Tiga punggawa menyembah dan keluar dari istana. Sesampai di luar mengumumkan kepada pasukan Mataram. Para prajurit heboh dan segera menata barisan.

Sementara itu Pangeran Natakusuma telah sampai di Kartasura. Kedatangannya sudah dilaporkan kepada Sang Raja Amangkurat. Sang Raja telah memanggilnya untuk menghadap di hari pasewakan. Di hadapan para punggawa yang hadir Pangeran Natakusuma menghadap dengan meletakkan keris dan mencium kaki Sang Raja.

Sang Raja Amangkurat berkata, “Hai Anggayuda, apakah engkau diutus Dinda?”

Natakusuma menyembah, “Hamba datang atas kehendak sendiri untuk menyerahkan hidup mati hamba. Adik paduka Sinuhun Ing Ngalaga terkena tipu daya abdinya sehingga tidak mau menghadap kepada paduka. Maka hamba berserah diri karena tidak bisa meyakinkan adik paduka yang menjadi raja di Mataram untuk menyerahkan kekuasaan kepada paduka.

Sang Raja Amangkurat bingung dan heran dengan apa yang terjadi.

Sang Raja berkata kepada Patih Nrangkusuma, “Segeralah menyiapkan pasukan. Aku hendak menemui Dinda Puger sendiri.”

Patih Nrangkusuma menyembah, Sang Raja masuk ke dalam istana. Patih segera keluar di balai Panangkilan bersama para punggawa. Kemudian mereka menyiapkan pasukan masing-masing. Paginya para punggawa sudah bersiap dengan pasukannya di alun-alun. Barisan para prajurit berseragam warna-warni terlihat seperti gunung api. Bendera berkibar dari masing-masing kesatuan. Ada yang berwarna hitam bergaris putih, ada bendera putih bergaris dadu bergambar naga, ada yang berbendera putih bergambar pedang Dzulfiqar, ada bendera merah bergaris kuning bergambar raksasa seribu, bendera hijau bergambar singa merah, bendera dadu bergaris putih dan lain-lain. Seragam pasukan pun bermacam-macam warna seperti hamparan bunga.

Prajurit dalam pengawal raja dari kesatuan Jagasura dan Jodhipati sudah keluar dengan membawa bendera gula kelapa. Sang Prabu Amangkurat keluar berbusana cara Kumpeni. Memakai kaos dan sepatu, baju berlapis tiga, belahan dada beludru berenda menyala, topi berhias pita emas, sabuk berkait emas. Kalau dilihat dari jauh Sang Raja Amangkurat tampak seperti Gubernur Jenderal turun ke Jawa. Di pinggal menyandang pedang panjang dengan gagang emas. Ketika Sang Raja duduk di singgasana pakaian para punggawa terlihat kusam karena kalah bersinar.

Sang Raja berseru kepada Patih Nrangkusuma, “Ayo pukullah segera tanda berangkat.”

Segera Patih Nrangkusuma memukul tanda berangkat, heboh para pasukan berbaris berbondong-bondong. Suara tambur bergema menjadi pembuka jalan. Tumenggung Mangkuyuda dan Tumengung Natayuda ditunjuk menjadi pemimpin garis depan. Di belakangnya menyambung Arya Sindureja, lalu di belakangnya lagi Adipati Urawan, dan di barisan paling belakang para bupati pesisir. Sang Raja Amangkurat naik kuda bercorak warna gula gempung, nama kudanya Kalamarcu dengan diapit para magersari. Pasukan Kumpeni berada di belakang Sang Raja untuk mengawal. Singkat cerita, Sang Raja Amangkurat sudah sampai di Dresanan, pasukan garis depan sudah mencapai Gondang.


 [2] Sengkalan: lir ilang rasaning janmi (1603 A.J., 1680 A.D.)

[3] Sengkalan: mantri sirna obahing rat (1603 A.J., 1680 A.D.) 


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/08/17/babad-tanah-jawi-80-negeri-kartasura-berdiri/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...