Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah JAwi (81): Pasukan Kalagan bertempur dengan pasukan Kartasura

 Alkisah, di Mataram Sinuhun Ing Ngalaga sedang mengadakan pertemuan dengan para punggawa.

Arya Mandalika menyembah dan berkata, “Paduka, musuh sudah keluar dari kotaraja. Anak Admiral sudah datang membawa pasukan dari seberang. Sekarang pasukan garis depannya sudah mencapai Gondang. Pemimpinya bernama Mangkuyuda dan Natayuda, anak dari Wangsacitra dari Kedu. Keduanya telah diangkat sebagai bupati. Juga ada Arya Sindureja alias si Gendhowor yang sekarang mengabdi kepada Kumpeni.”

Sinuhun Ing Ngalaga berkata, “Kalau sudah siap, engkau Mandalika dan Gajah Pramada berjagalah di Taji. Bagilah pasukan Mataram dan hadanglah musuh.”

Dua punggawa menyembah, “Baik paduka. Walau akan hancur menjadi debu di medan perang, para abdi paduka tak hendak lari dalam menjalankan pekerjaan. Syukur kalau bisa gugur di medan perang. Hamba sudah kenyang dengan banyaknya hadiah dari ayah paduka. Sekarang sudah seharusnya menjaga paduka walau sampai mati pun.”

Sinuhun Ing Ngalaga berkata, “Aku terima pernyataan kesetiaan kalian berdua.”

Kedua punggawa menyembah dan mundur dari hadapan Sang Raja. Sesampai di luar dua punggawa segera memberangkatkan pasukan. Separuh pasukan Mataram dibawa ke medan perang, separuhnya lagi tinggal di kotaraja menjaga Sinuhun Ing Ngalaga. Gajah Pramada dan Arya Mandalika memimpin pasukan yang berangkat ke Taji. Singkat cerita perjalanan pasukan kedua punggawa sudah sampai di Taji dan menata barisan di sana.

Sementara itu pasukan Sang Prabu Amangkurat sudah mulai bergerak dari Gondang. Pasukan garis depan sudah mencapai Kemalon. Tiga punggawa Kartasura, Tumenggung Mangkuyuda, Tumenggung Natayuda dan Arya Sindureja sudah mendekat ke pasukan dari Kalagan di bawah pimpinan Gajah Pramada dan Arya Mandalika.

Gajah Pramada menabuh tanda perang, bende berbunyi menggema. Pasukan Kalagan maju mendekat ke barisan depan musuh, pasukan Kamangkuratan menyambut. Pecah pertempuran. Pasukan Kalagan mengamuk. Arya Mandalika membawa pasukan menyerang sayap kanan, pasukan Kartasura menahan. Tumenggung Gajah Pramada membawa pasukan mengamuk tak takut segala senjata. Pasukan Kartasura bubar. Banyak yang tewas, yang hidup berlarian mengungsi. Tiga punggawa Kartasura mundur ke Gondang untuk melapor kepada Sang Raja Amangkurat.

Sang Raja menyuruh Adipati Surabaya dan pasukan pesisir untuk maju ke medan perang. Dari Gondang Adipati Surabaya dan pasukan pesisir berangkat menuju Kemalon yang sudah diduduki musuh. Pertempuran kembali pecah. Pasukan Mataram mengamuk seperti banteng terluka. Tumenggung Gajah Pramada menerjang sayap kiri, seketika barisan Kartasura bubar. Arya Mandalika Mandalika menerjang tanpa takut. Tetapi pasukan Kartasura kembali datang dengan jumlah banyak. Pasukan Mataram tak hendak mundur walau sudah kalah jumlah. Mereka terus mengamuk tanpa peduli musuh menghujani dengan tembakan senapan. Pasukan pesisir banyak yang tewas. Para panglima turun memberi semangat kepada para prajurit. Tumenggung Surabaya, Jepara dan Demak maju bersama-sama. Pasukan Mataram terdesak. Gajah Pramada dikeroyok dan dihujani tombak dan panah. Gajah Pramada jatuh dari kuda tetapi masih memegang tombak. Walau kulitnya tak lecet sedikitpun tetapi tulang-tulangnya remuk akibat dipukuli dengan gagang tombak. Tumenggung Gajah Pramada tewas, pasukannya bubar. Pasukan Mataram makin terdesak. Arya Mandalika berusaha terus bertahan. Beruntung diselamatkan datangnya malam. Perang berhenti, pasukan kembali ke markas masing-masing.

Di markas Taji para punggawa Mataram berembug. Demang Kaleng berkata, “Ayo Ki Arya Mandalika kita mundur dulu untuk melapor Sang Raja bahwa Gajah Pramada tewas dan pasukan banyak yang gugur.”

Berkata Arya Mandalika, “Aku takkan mundur dari perang. Engkau saja kembalilah ke Mataram. Laporkan kepada Sinuhun Ing Ngalaga bahwa Dinda Gajah Pramada gugur.”

Demang Kaleng segera melesat menuju Mataram. Pagi itu Sinuhun Ing Ngalaga mengadakan pertemuan dengan para punggawa. Hadir Pangeran Pemenang, Raden Rangga, Raden Wiramantri, Natabrata, Ngabei Jayabaya, Arya Tambakbaya dan Surajaya. Demang Kaleng sudah sampai dan menghadap. Sinuhun Ing Ngalaga kaget mendengar Demang Kaleng melaporkan gugurnya Gajah Pramada. Arya Mandalika masih bertahan dan tak mau mundur.

Sinuhun Ing Ngalaga menyuruh Demang Kaleng memanggil Arya Mandalika untuk mundur ke Mataram. Arya Mandalika membawa pasukan Mundur ke Pajarakan dan terus mundur perlahan ke Mataram. Pasukan Kartasura terus maju. Mereka menduduki Prambanan. Semalam mereka di Prambanan paginya berangkat menuju Mataram.

Sementara itu Sinuhun Ing Ngalaga di Mataram menyiapkan pasukan. Pangeran Arya Panular, Pangeran Pemenang, Raden Wiramantri, Natabrata, Demang Jayabaya, Arya Tambakbaya dan Arya Natabrata berada di garis depan. Arya Mandalika sudah datang dan melapor kepada Sinuhun Ing Ngalaga bahwa musuh mengikuti di belakang.

Berkata Sinuhun Ing Ngalaga, “Bagaimana usulmu menghadapi pasukan Kartasura?”

Arya Mandalika berkata, “Paduka pilihlah tempat yang sempit. Paduka jangan menghadapi musuh di tempat terbuka karena pasukan paduka sedikit, pasti akan kalah.”

Berkata Sinuhun Ing Ngalaga, “Aku tak mau seperti itu. Apa yang disukai musuh aku hadapi. Kalau itu bukan Kanda maka aku tak takut walau hancur sekalipun. Kalau benar si anak Admiral walau berkalang tanah aku takkan mundur membela tanah Jawa.”

Sementara itu Prabu Amangkurat sudah sampai di Mataram. Sang Raja segera menata barisan. Sayap kanan diisi pasukan pesisir, sayap kiri diisi pasukan mancanegara. Pasukan Sang Raja dan Kumpeni berada di bagian dada. Semua pembesar dipanggil menghadap.

Sang Raja berkata, “Bagaimana kabarnya Dinda Puger, wahai Nrangkusuma?”

Nrangkusuma menyembah dan berkata, “Adik paduka hendak maju sendiri ke medan perang. Pasukan sudah digelar di alun-alun. Adik paduka sungguh mengira paduka anak Admiral, lupa dengan saudara sendiri.”

Sang Raja tersenyum, “Nanti kalau berperang hati-hatilah. Bila bertemu Dinda menyingkirlah. Tetapi pasukannya tumpaslah sampai habis. Mereka itu yang mengompori Dinda untuk melawan. Ada berapa banyak orang Mataram yang menjadi punggawa Dinda Puger?”

Adipati Urawan menjawab, “Banyak orang Mataram yang diangkat punggawa. Si Mandalika yang menangani banyak urusan.”

Di tengah pembicaraan datang prajurit dari garis depan yang melaporkan bahwa pasukan Mataram sudah menyerang. Sudah terjadi pertempuran di garis depan, mereka mengamuk seperti singa lapar.

Berkata Sang Raja Amangkurat, “Ayo kita segera ke medan perang. Jangan lupa tetap waspada kepada Dinda Puger.”

Para punggawa Kartasura segera mengerahkan pasukan masing-masing untuk membantu pasukan garis depan yang telah bertempur.

Telah terjadi pertempuran dahsyat di garis depan. Sinuhun Ing Ngalaga sudah bersiap turun ke medan perang. Gending kodokngorek menggema mengiringi Sang Raja Mataram.

Di garis depan Arya Mandalika mengamuk menerjang pasukan mancanegara. Pasukan pesisir menghujani pasukan Mandalika dengan tembakan senapan. Banyak prajurit Arya Mandalika yang tewas. Tiga punggawa Kartasura, Mangkuyuda, Natayuda dan Arya Sindureja mengepung Arya Mandalika. Sudah terpisah Arya Mandalika dari pasukan induk Mataram. Pangeran Panular masih berada di belakang, Arya Mandalika sudah di depan dikepung musuh. Terus dihujani senjata panah dan lembing, Arya Mandalika kelelahan. Pasukan musuh semakin banyak dan pasukan Arya Mandalika terus menipis. Arya Mandalika sudah banyak menderita luka.

Arya Mandalika berkata kepada para prajuritnya, “Kalian mundurlah jangan mengikutiku. Aku tak hendak hidup lagi. Sampaikan sembahku untuk Tuan. Aku doakan tuanku Sinuhun Ing Ngalaga lestari menguasai tanah Jawa.”

Ki Mandalika mengamuk sambil manangis. Sudah tahu akan akhir hidupnya yang sebentar lagi tak selamat.

Sementara itu Sinuhun Ing Ngalaga sudah diberi tahu kalau Arya Mandalika sudah remuk beserta pasukannya. Pasukan Pangeran Panular juga sudah bubar. Musuh perlahan kian mendekat ke istana.

Sinuhun Ing Ngalaga berseru kepada segenap prajurit dan beberapa punggawa yang masih tersisa seperti Arya Tambakbaya, Arya Surajaya, Ngabei Jagabaya, Arya Natabrata dan Raden Wiramantri.

“Hai para perwiraku, ambilah benderaku gula kelapa. Pemegangnya jangan prajurit kecil, peganglah oleh para punggawa.”

Sang Raja Mataram sudah turun ke medan perang dengan naik kuda merah bernaa Kamasari. Si kuda diberi pakaian perang warna mencolok, pelana beludru hijau dengan pita kain cinde merah. Sang Raja sendiri memakai baju beludru berwarna-warni dihias kain sutra dan kancing baju dari permata. Terlihat gagah dengan busana indah. Dengan menyandang keris Maesanular dan tombak Kyai Pleret. Di hadapan Sang Raja, mengawal para prajurit pilihan. Ketika itu Sinuhun Ing Ngalaga baru berusia tiga puluhan tahun, sedang gagah-gagahnya.

Pangeran Pamenang yang melihat Sang Raja turun tergopoh-gopoh mendekat sambil berkata, “Anak Prabu jangan keluar ke medan perang. Tinggalah di bangsal Pancaniti saja. Semua senjata meriam saja yang dikeluarkan, Kyai Guntur Geni, Kyai Subrastha, Kyai Segarawana, Kyai Kumbarawi, Kyai Kumba dan Kyai Pamecut. Semua meriam diisi dulu kalau paduka hendak maju perang.”

Sang Raja berakata, “Baik Paman, semua meriam siapkanlah dan jagalah dulu. Kalau nanti kita kalah masih bisa memberi perlindungan.”

Pangeran Pamenang segera membawa prajurit Sarageni menyiapkan meriam dan menjaganya dalam keadaan siap ditembakkan. Sinuhun Ing Ngalaga sudah sampai di medan perang dan menata barisan. Pasukan Kartasura melihat musuh datang bersama raja mereka, seketika mundur memberi jalan sesuai perintah Sang Raja Amangkurat.

Arya Mandalika sudah tewas dan dipenggal kepalanya. Prabu Amangkurat sangat suka melihat kepala Arya Mandalika yang dibawa pasukan Kartasura. Inilah orang yang mengompori sang adik untuk melawan. Sang Raja menyuruh memajang kepala Arya Mandalika di tengah barisan.

Sinuhun Ing Ngalaga sudah memberi aba-aba menyerang. Pasukan Mataram serentak menerjang. Pertempuran kembali pecah. Pasukan Mataram mengamuk, kembali bangkit keberaniannya karena bersama raja mereka. Pasukan Kartasura bubar, prajurit pesisir bertumbangan. Banyak prajurit tewas dan luka dari kedua pihak. Mayat berserakan bercampur aduk dari kedua kubu. Senjata-senjata sudah habis dikeluarkan. Yang tadinya pegang senapan kehabisan peluru, berganti perang tombak. Yang perang tombak sudah sama-sama patah tombaknya, berganti perang keris.

Para prajurit sudah banyak yang gugur atau lari. Para pembesar sudah turun sendiri ke medan perang. Bupati Demak, Kudus, Pati, Jepara, Tuban, Sedayu, Gresik, Lamongan, Madura dan Surabaya sudah terlihat masuk ke medan perang. Sementara suara kendang dan bende terus menggema, tanda perang masih berlangsung. Lama-lama pasukan Kalagan terdesak karena kalah jumlah. Para mantri sudah lari mendekat ke Sinuhun Ing Ngalaga, membuat Sang Raja marah. Sinuhun Ing Ngalaga segera menenteng Kyai Pleret dan memacu kuda Kamasari. Prajurit Kalagan melihat raja mereka menempuh perang ikut maju kembali. Semua bersiap hendak bela mati. Arya Tambakbaya, Arya Surajaya, Arya Wiramantri, Arya Natabrata, Ngabèi Jagabaya, Dêmang Kalêng, Ngabèi Bocor dan Dêmang  Mataun bersamaan menerjang seperti singa lapar. Pangeran Panular berada di belakang sang kakak Raja Mataram bersama pasukan pengawal.

Pasukan Kalagan menerjang seperti banteng terluka. Prajurit Bagelen bersamaan maju dengan tombak, menyodok menerjang musuh. Pasukan Kartasura gentar dan berlarian. Banyak prajurit mancanegara dan pesisir yang tewas. Para bupatinya pun berlarian. Ki Adipati Urawan yang melihat para bupati ikut lari seketika marah. Bergegas ke Urawan maju menghadang musuh yang mendekat ke arah Sang Raja.

Prabu Amangkurat berseru kepada Patih Nrangkusuma, “Hai Nrangkusuma, bawalah pasukanku para anak-anak muda ini, dari Jagasura dan Jodhipati. Pimpinlah ke depan menghadang musuh.”

Ki Patih segera melaksanakan perintah Sang Raja, membawa pasukan pengawal raja ke depan. Pasukan Kalagan masih terus mengamuk. Mereka semakin bersemangat karena raja mereka menyertai di belakang sambil memegang tombak. Sang Raja bersikeras takkan mundur walau sejengkal. Pasukan Kalagan terus mengamuk tak peduli bersimbah darah. Pasukan Jagasura dan Judhipati pimpinan Patih Nrangkusuma diterjang dengan berani. Banyak dari mereka tewas. Pasukan pilihan itu pun merasa gentar dan berlarian. Adipati Urawan melihat Sinuhun Ing Ngalaga memimpin pasukan musuh dengan membawa tombak Kyai Pleret.

Ki Urawan segera melapor kepada Sang Prabu Amangkurat, “Adik paduka terlihat di medan perang memimpin prajurit musuh. Itulah sebabnya mereka mengamuk tanpa rasa takut. Sekarang masih memimpin di belakang dengan membawa tombak Kyai Pleret. Segeralah paduka melepas pakaian Kumpeni yang paduka kenakan dan gantilah pakaian Jawa agar adik paduka melihat.”

Sang Raja menuruti permintaan Adipati Urawan. Sang Raja segera melepas sepatu, mencopot topi, pedang dan baju pun dibuang, lalu berganti pakaian Jawa.

Sang Raja berkata, “Hai para punggawa semua. Jangan ada yang berada di depanku agar Dinda Puger melihatku.”

Para bupati menyisih ke kiri dan kanan. Pasukan Kumpeni pun disuruh menjauh. Tak lama kemudian para mantri dari Kalagan sampai di hadapan Sang Raja Amangkurat. Para mantri yang sedang mengamuk ketika melihat Sang Raja berpayung kuning seketika berhenti.

Sinuhun Ing Ngalaga yang berada di belakang mereka bertanya, “Hai anak-anak, mengapa kalian berhenti? Musuh sudah hampir kalah.”

Tambakbaya berkata, “Paduka, ada yang berpayung kuning dikerubuti para magersari dengan membawa perabotan upacara. Maka para mantri takut menyerang.”

Sinunun Ing Ngalaga marah, “Hai para punggawa, menyisihlah ke kanan-kiri. Itu anak Admiral yang memaksa menguasai Jawa. Menyingkirlah aku akan memakainya sebagai wadah kyai Pleret.”

Kyai Pleret sudah ditarik, siap dilemparkan ke arah Prabu Amangkurat.

Sinuhun Ing Ngalaga berbisik, “Kyai Pleret aku minta karyamu, bunuhlah anak si Admiral itu.”

Sang Raja memacu kuda, Kyai Pleret di tangan kanan, siap dilepaskan. Ketika dekat orang berpayung kuning menghentikan larinya kuda Kamasari. Sinuhun Ing Ngalaga mengekang kudanya dan memperhatikan orang yang menghentikannya. Tak salah lagi itulah sang kakak Pangeran Adipati. Segera menyembah dari atas kuda dan berbalik ke arah pasukannya.

Sinuhun Ing Ngalaga berseru, “Ayo kita mundur. Itu sungguh kakak Pangeran.”

Sinuhun Ing Ngalaga memacu kuda diiringi para pasukan mundur meninggalkan medan perang. Sang Raja Amangkurat tersenyum sambil meneteskan airmata. Lalu memanggil para pasukan untuk mengejar. Tapi dari jauh saja, jangan ada yang mendekat.

Sementara itu Sinuhun Ing Ngalaga yang mundur dari medan perang memerintahkan kepada Demang Kaleng agar memberitahukan kepada Pangeran Pamenang kalau musuh yang datang sungguh-sungguh sang kakak Pangeran Adipati. Pangeran diperintahkan untuk tidak menembak dengan meriam kepada pasukan Kartasura yang mengikuti. Pangeran Pamenang diperintahkan untuk segera meninggalkan alun-alun dan menyusul Sinuhun Ing Ngalaga.

Demang Kaleng segera memacu kuda menuju alun-alun. Saat itu Pangeran Pamenang telah menyulut meriam dan mengarahkan kepada pasukan Kartasura yang mengikuti Sinuhun Ing Ngalaga. Ketika Demang Kaleng datang dan menyuruh Pangeran Pamenang meninggalkan meriam, sang Pangeran kaget.

Pangeran Pamenang berkata, “Saya segera menyusul Sinuhun tetapi meriam sudah menyala.”

Pasukan Sinuhun Ing Ngalaga yang datang berbelok ke barat, sementara pasukan Kartasura terus mengikuti. Bersamaan datangnya pasukan Kartasura di utara alun-alaun, meriam meletus. Kyai Guntur geni, Kyai Subrastha, Kyai Pamecut dan Kyai Segarawana berbunyi bersamaan. Pasukan Kartasura yang terdiri dari prajurit pesisir dan mancanegara diterjang peluru meriam. Seketika bubar berlarian. Banyak prajurit tewas. Pangeran Pamenang segera menyusul Sinuhun Ing Ngalaga menuju ke barat. Yang akan dituju adalah tanah Bagelen. Perjalanan mereka sampai di desa Kawisinggil.

Tak lama kemudian Sang Prabu Amangkurat sampai di kedaton Palered, kotaraja Mataram. Sang Raja kaget ketika melihat banyak prajuritnya tewas terkena meriam. Para prajurit melaporkan kalau banyaknya pasukan yang tewas karena tembakan meriam yang disulut Pangeran Pamenang. Seketika Sang Raja murka dan menyuruh pasukannya untuk mengejar larinya Sinuhun Ing Ngalaga. Tumenggung Mangkuyuda dan Natayuda ditugaskan untuk memimpin pasukan pengejar.

Sementara itu Sinuhun Ing Ngalaga sudah sampai di Bagelen. Sinuhun mengadakan pertemuan dengan para punggawa untuk memutuskan langkah yang akan diambil. Sang Paman Pangeran Pamenang dan sang adik Pangeran Panular yang selalu diminta pendapatnya.

Sinuhun Ing Ngalaga berkata, “Bagaimana ini Paman, kalau saya terus memusuhi Kanda Raja pasti akan kalah karena pasukannya banyak dan dibantu Kumpeni.”

Pangeran Pamenang berkata, “Anak Prabu, kalau masih ingin melawan sang kakak, di Salinga ada seseorang yang menggelar barisan. Kalau paduka berkenan dia bisa diminta bantuannya dan dijanjikan dengan imbalan yang pantas bila bisa menyelesaikan tugas. Lalu kita melawan kakak paduka sekali lagi.”

Segenap punggawa setuju dengan usulan Pangeran Pamenang. Sinuhun Ing Ngalaga tidak bisa menolak kehendak para punggawa, segera berangkat menuju Salinga.

Alkisah di Salinga, ada seorang pemberontak yang berdiri sebagai raja dengan gelar Raja Namrud. Orang-orang sekitar sudah mengakuinya sebagai raja. Namrud sudah mendengar kalau Sinuhun Ing Ngalaga akan datang meminta bantuan. Segera Sang Raja Namrud menyiapkan pasukan dan mengibarkan bendera. Raja Namrud mengerahkan pasukan sejumlah dua ribu prajurit untuk menyambut Sinuhun Ing Ngalaga. Ketika Sinuhun Ing Ngalaga sampai di Salinga Raja Namrud sudah bersiap menyambut.

Setelah saling memberi salam Raja Namrud berkata, “Duh anakku. Orang tampan dan gagah, sayangnya kalah perang. Duh, si bapak ini sangat menyayangkan. Mengungsilah kepada bapak ini dulu. Besok kalau sudah menang tinggal enak-enak. Kalau si bapak ini ikut perang melawan kakakmu yang dibantu Kumpeni itu,  aku gertak saja minggat.”

Sinuhun Ing Ngalaga segera dibawa ke keraton Raja Namrud.

Di Kartasura Sang Raja Amangkurat sudah tiba di keraton. Ada utusan datang dari Ki Mangkuyuda dan Natayuda yang sedang berbaris di Bagelen, memberitahukan bahwa Sinuhun Ing Alaga berada di Salinga bergabung dengan Namrud. Pasukan Tumenggung Mangkuyuda dan Natayuda sekarang bermarkas di Parapag. Sang Raja Amangkurat mengetahui hal tersebut sangat kecewa.

“Duh, adikku Adipati Puger engkau telah lupa oleh hasutan para abdimu. Kalau terus menerus seperti ini sungguh akan rusak tanah Jawa. Aku pun tak nyaman menjadi raja.”

Sang Raja Amangkurat sangat bersedih, yang menjadi kegelisahan hatinya hanyalah sang adik yang tidak mau menghadap. Sang Raja tak mau makan dan tidur karena kesedihannya.

Di Bagelen, Namrud yang menyanggupi menghancurkan musuh dan menyerang keraton Kartasura tak kunjung memenuhi janjinya. Namrud dijanjikan akan diberikan istri dari kerabat yang ditinggalkan Pangeran Silarong dulu sebagai hadiah. Namrud bangkit keberaniannya, dan berjanji akan maju perang. Kehendak Sinuhun Ing Ngalaga agar Namrud bersegera. Tetapi Namrud selalu mengulur waktu. Sinuhun menjadi dongkol dan secara mandiri mengumpulkan pasukan. Para mantri dari Kalagan dikumpulkan dan disuruh segera bersiap. Pangeran Pamenang berusaha mencegah dan menyarankan agar Sinuhun bersabar sebentar lagi. Sinuhun Ing Ngalaga yang sudah bosan mendengar bermacam alasan segera berangkat dengan pasukannya. Yang dituju adalah Samalangu. Di sana Sinuhun Ing Ngalaga menggelar barisan. Ki Arya Tambakbaya yang diangkat sebagai panglima perang dengan didampingi Arya Surajaya, Arya Wiramantri dan Arya Natabrata. Orang dari Bagelen banyak yang datang bergabung dengan membawa senjata. Barisan Sinuhun Ing Ngalaga semakin besar. Sinuhun Ing Ngalaga segera menyerang barisan dari Kartasura yang berada di Parapag. Pasukan Kartasura begitu mengetahui Sinuhun Ing Ngalaga menyerang sendiri dengan pasukan dari Bagelen ketakutan dan lari ke Mataram. Pasukan Sinuhun Ing Ngalaga terus mengejar  sampai ke Mataram. Tumenggung Mangkuyuda dan Natayuda terus lari ke timur, lalu berhenti di Pokak.

Sinuhun Ing Ngalaga menduduki Mataram kembali. Setengah bulan kemudian para prajurit lama yang dulu tersebar sudah berkumpul kembali. Pangeran Panular diangkat menjadi panglima perang, sedangkan Pangeran Pamenang masih ikut Namrud di Salinga. Kabarnya Pangeran Pamenang akan diangkat sebagai raja oleh Namrud, itulah sebabnya ia begitu menurut.

Sinuhun Ing Ngalaga bermaksud terus menyerang ke Kartasura. Pasukan besar sudah berangkat di bawah pimpinan Ki Arya Tambakbaya. Barisan Kartasura yang berada di Pokak sudah ditaklukkan. Pasukan Kartasura mundur ke Sanggung, pasukan Kalagan mendesak sampai Dresanan. Ketika Sanggung diduduki pasukan Kartasura lari ke kotaraja Kartasura.

Sang Raja Amangkurat sudah diberi tahu kalau sang adik berbaris di Sanggung dan bersiap mengepung Kartasura. Orang-orang desa sekitar Kartasura sudah takluk. Ada yang datang memberi jamuan atau ikut bergabung bersama pasukan Kalagan. Sang Prabu Amangkurat saat itu sedang di hadapan para punggawa.

Sang Raja Amangkurat berkata, “Bersiaplah segenap bupati, aku hendak ke medan perang menemui Dinda Puger di barisan Sanggung.”

Para bupati segera bersiap menata barisan. Dari Kartasura mereka akan berangkat. Suara pasukan bersorak-sorai membuat heboh negeri Kartasura. Alun-alun dipenuhi lautan manusia dengan busana beraneka warna. Sang Raja memukul tanda berangkat, bende ditabuh berbunyi menggema. Gong-beri dipukul bersahutan saling tumpang tindih dengan suara tambur. Pasukan garis depan diisi Tumenggung Demak dan Surabaya. Di belakangnya menyambung pasukan Madura. Sang Raja memakai pakaian bagus dan naik kuda. Berangkat segenap pasukan seperti aliran air samudera. Bersinar pakaian para prajurit kalau dilihat seperti gunung api. Pasukan garis depan sudah sampai di Jabung dan berhadap-hadapan dengan pasukan Kalagan pimpinan Ki Arya Tambakbaya dan Arya Surajaya. Ketika Sinuhun Ing Ngalaga mengetahui musuh sudah datang, segera keluar menata barisan. Bagian dada dan sayap ditempatkan. Pasukan pilihan yang terlatih ditaruh di depan. Para punggawa memegang bendera gula kelapa milik pasukan pengawal raja.

Di pihak lain, Sang Prabu Amangkurat telah sampai di Jabung. Sang Raja segera menata barisan. Bagian dada ditempati para bupati Kartasura. Bagian sayap kiri ditempati pasukan mancanegara dan sayap kanan ditempati pasukan pesisir. Di belakang ditempatkan pasukan Kumpeni yang siap mendukung setiap saat.

Pasukan kedua kubu sudah saling berhadapan. Secara bersamaan mereka menabuh tanda perang. Pasukan Kalagan menerjang seperti raksasa lapar, pasukan Kartasura menghadang. Pasukan Kalagan bersamaan memukul, menombak, menginjak dan saling tempur jarak dekat. Sorak-sorai para prajurit bersahutan memenuhi medan perang. Denting senjata, ringkik kuda dan teriak prajurit yang terluka terdengar bersahutan. Pasukan Kalagan menerjang tanpa takut. Berondongan senjata tak dipedulikan. Yang diterjang remuk dan lari. Para bupati meminta perlindungan Sang Raja. Yang masih bertahan hanya serdadu Kumpeni, berada di depan Sang Raja sebagai benteng. Malam datang, perang berhenti. Sinuhun Ing Ngalaga mundur dan bermarkas di Kuwel.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/08/18/babad-tanah-jawi-81-pasukan-kalagan-bertempur-dengan-pasukan-kartasura/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...