Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (82): Sinuhun Ngalaga diboyong sang kakak Sinuhun Amangkurat ke Kartasura

 Sementara itu Sang Prabu Amangkurat bermalam di Piji. Kyai Adipati Urawan dipanggil menghadap.

Sang Raja berkata, “Hai Urawan, segeralah ke tempat Dinda untuk membujuknya, jangan membawa teman.”

Adipati Urawan menyembah dan mundur. Segera berganti pakaian ala santri lalu berangkat ke Kuwel. Masih terdingir suara berisik para prajurit. Ki Adipati berhenti di tepi jurang. Akan masuk di malam hari khawatir dikira telik sandi. Mau menunggu di luar pasti dibunuh. Jadilah Ki Urawan semalaman bersembunyi di tepi jurang. Ketika pagi Ki Urawan mendekati markas Kuwel bergabung bersama tukang kuda.

Oleh tukang kuda Sinuhun dia ditanyai, “Kamu siapa?”

Ki Urawan menjawab, “Saya tukang kuda Ki Tambakbaya, baru saja dipukuli. Saya mau lari ikut kamu. Kalau aku berada di luar pasti tertangkap dan dipukuli lagi.”

Tukang kuda Sinuhun merasa kasihan lalu diajak membawa sekam. Ketika sampai di markas Sinuhun Ing Alaga sedang memeriksa kuda. Urawan tergetar hatinya melihat Sinuhun, lalu mendekat dan menyembah serta merangkul sambil menangis.

“Duh Tuan, hamba seperti mimpi melihat paduka,” kata Urawan.

Sinuhun Ing Ngalaga kaget ketika memperhatikan si tukang kuda, ternyata Ki Sendhi.

Sinuhun Ing Ngalaga berkata, “Selamat engkau Sendhi. Mengapa engkau menangis?”

Ki Urawan menyembah serta menangis, “Duh Tuan, hamba paduka bunuh saja kalau paduka masih berselisih dengan kakak paduka. Bagaimana nasib tanah Jawa kalau Tuan dan kakak Tuan tak kasihan kepada para prajurit kecil. Mereka saling berperang dan telah ribuan yang tewas. Apa guna mengadu prajurit kecil. Siapa yang akan kehilangan kalau bukan Tuan dan kakak Tuan. Kalaupun tanah Jawa sejahtera yang memiliki juga paduka dan kakak paduka sendiri. Kalau Tuan ingin jadi raja mintalah secara baik-baik kepada kakak paduka.”

Ki Urawan menangis sejadi-jadinya.

“Aduh Tuan, turutilah kata hamba. Kalau sampai terdengar lain negeri sungguh sangat nista sesama saudara berebut tahta.”

Sinuhun Ing Ngalaga tergetar hatinya mendengar tangis Urawan.

Sang Raja berkata, “Hai Sendhi, diamlah. Aku turuti katamu. Katakakan kepada Kanda sembah dariku kepadanya dan segala kesalahanku.”

Ki Urawan berkata, “Duh Tuan. Paduka kirim utusan ke Kartasura. Saya akan tetap di sini. Kalaupun pulang nanti bersama paduka.”

Sinuhun Ing Ngalaga memanggil tiga mantri, Demang Kaleng ditunjuk sebagai pemimpin.

Sang Raja berkata, “Hai Kaleng, siapkan utusan ke negeri Kartasura membawa surat untuk Kanda Raja.”

Demang Kaleng sudah menerima surat, segera berangkat dengan membawa sepuluh prajurit berkuda. Sang Raja Amangkurat sudah pulang dari Piji. Di Kartasura Sang Raja bertahta di bangsal Pancaniti di hadapan segenap para bupati. Demang Kaleng sudah datang dan duduk di belakang Patih Nrangkusuma. Patih menghaturkan surat yang dibawa Demang Kaleng.

Sang Raja Amangkurat berkata, “Apakah engkau yang disuruh Dinda mengantarkan surat?”

Demang Kaleng berkata, “Benar paduka, hamba mantri dari Bagelen.”

Surat segera dibaca Sang Raja. Isinya: “Sembah dari dinda Prabu Ing Ngalaga. Hamba serahkan hidup-mati karena telah berbuat yang tidak seharusnya. Karena sangat lupa kalau punya tempat mengabdi sebagai ganti ayahanda. Sungguh dinda memohon maaf segala kesalahan.”

Sejuk hati Sang Raja laksana disiram embun pagi, segera memberi perintah kepada Patih Nrangkusuma, “Hai Nrangkusuma, segeralah siapkan rumah untuk Dinda Puger, aku hendak membawanya ke kotaraja.”

Kyai Patih bertanya, “Di mana letaknya paduka?”

Sang Raja berkata, “Jangan jauh dari istana.”

Berkata sang Patih, “Kalau begitu sebaiknya di barat pasar. Ada tempat luas dan tidak jauh dari istana.”

Sang Raja berkata, “Di situ juga baik. Aku beri waktu tujuh hari. Nrangkusuma, segera siapkan segala sesuatunya. Kalau sudah siap aku segera menjemput Dinda Puger.”

Demang Kaleng sudah diberi surat balasan dan segera kembali ke markas Kuwel. Raden Nrangkusuma segera bekerja membuat rumah untuk Pangeran Puger. Para prajurit mancanegara dan prajurit Kartasura dikerahkan untuk bekerja. Para bupati semua mengawasi pembuatan rumah tersebut.

Sementara itu Demang Kaleng sudah sampai di markas Kuwel dan menghadap Sinuhun Ing Ngalaga.

Sinuhun bertanya, “Hai Demang Kaleng, mendekatlah ke sini.”

Demang Kaleng maju lalu menyerahkan surat dari Prabu Amangkurat. Surat dibaca Sinuhun Ing Ngalaga, isinya pemberitahuan pada hari Senin depan Sang Raja Amangkurat akan menjemput sang adik. Ki Urawan dipanggil dan diberi tahu. Ki Urawan sangat suka mendengar kedua pembesar telah berdamai. Sudah diumumkan kepada para prajurit semua bahwa perang telah selesai. Para prajurit bersukacita.

Di Surakarta pembuatan rumah untuk adik raja yang akan menyerah terus dikebut. Sang Raja telah memeriksa tiga kali untuk mengarahkan penempatan berbagai perabotan rumah. Semua isi rumah disediakan oleh istana. Perumahan untuk para punggawa Kalagan juga dipersiapkan, berjajar di belakang, depan dan kanan-kiri. Persiapan untuk menjemput Sinuhun Ing Ngalaga pun telah dipersiapkan tiga hari sebelumnya. Pada hari Senin Sang Raja Amangkurat berangkat bersama pasukan menuju Kuwel. Sesampai di Sanggung pasukan Sang Raja berhenti. Utusan dikirim untuk memberi tahu ke Kuwel bahwa Sang Raja sudah datang.

Sinuhun Ing Ngalaga segera mengumumkan kepada para pasukan untuk menyambut Sang Raja Amangkurat. Tombak-tombak senjata para prajurit diperintahkan dikumpulkan dan diikat. Pasukan Sinuhun berangkat menuju Sanggung. Pasukan Kalagan sudah sampai di selatan Sanggung. Ikatan tombak ditempatkan di depan.

Dari pihak Prabu Amangkurat juga sudah bersiap menyambut Sinuhun Ing Ngalaga  dengan iringan kodokngorek yang terus menggema. Sang Raja Amangkurat turun dari tenda diringi para bupati dan serdadu Kumpeni. Iring-iringan pasukan Kalagan garis depan sudah sampai, tetapi mereka kaget ketika melihat Sang Raja Amangkurat berpakaian cara Kumpeni. Terlebih-lebih di belakangnya berbaris serdadu Kumpeni. Dalam hati mereka ragu-ragu dan curiga. Ikatan tombak yang mereka bawa segera diputus, para prajurit Kalagan mengambil tombak dan senjata mereka kembali. Pasukan Kartasura yang melihat pihak lawan kembali menyandang senjata seketika geger.

Sinuhun Ing Ngalaga yang berada di belakang rombongan bertanya, “Hai anak-anak, ada apa di depan itu?”

Para prajurit menjawab, “Yang seperti raja itu bukan bangsa kita. Sepertinya Kumpeni yang sedang menerapkan tipudaya.”

Sinuhun Ing Ngalaga tersenyum, lalu berkata kepada Ki Adipati Urawan, “Urawan engkau majulah duluan. Katakan kepada Kanda Raja, pakaiannya membuat kaget para prajuritku.”

Ki Urawan menyembah, tergopoh-gopoh segera maju. Pasukan pesisir dan mancanegara sudah lari menjauh. Mereka saling bercakap dengan temannya.

“Katanya menyerah, tetapi tiba-tiba mencabut senjata. Ayo kita lari saja. Kita orang kecil, rugi kalau ikut-ikutan perang saudara. Kalau mereka mendapat kuasa kita pun takkan tahu. Kita lihat saja nanti yang menang kita ikuti.”

Ki Urawan sudah sampai di hadapan Sang Raja Amangkurat dan mengatakan pesan sang adik Sinuhun Ing Ngalaga. Sang Raja sangat suka dan segera menyuruh sang adik untuk maju.

“Dinda persilakan segera ke sini.”

Ki Urawan menyembah dan kembali ke tempat Sinuhun Ing Ngalaga Sang Raja memerintahkan kepada para prajurit untuk meringkas kembali tombak dan senjatanya.

“Segera ikat kembali senjata kalian,” titah Sinuhun Kalagan.

Sinuhun Ing Ngalaga turun dari kuda dan mendekati Sang Prabu Amangkurat. Segera setelahnya menyembah lalu sang kakak merangkulnya. Keduanya berlinang airmata. Para bupati bersukacita karena perang saudara sudah berakhir. Keduanya kini menjadi dwi tunggal. Perdamaian antara keduanya dirayakan dengan berondongan senapan ke udara, suaranya seperti gunung runtuh.

Berkata Sang Raja Amangkurat, “Kalian semua berbaktilah kepada Dinda.”

Para bupati maju mengerubungi Sinuhun Ing Ngalaga untuk berbakti. Pangeran Panular yang ikut Sinuhun Ing Ngalaga juga sudah berbakti kepada Sang Raja. Kedua pembesar dan pasukan masing-masing kemudian menuju kotaraja Kartasura. Sepanjang jalan Sinuhun Ing Ngalaga berada di samping sang kakak, kuda mereka berjalan bersebelahan. Setelah sampai di kota, Sang Raja menempatkan sang adik di rumahnya. Setiap hari para tumenggung mengirim jamuan untuk pangeran yang baru datang. Perdamaian kedua kakak beradik ini ditandai dengan sengkalah tahun: toya muluk obahing sasôngka[1].

Selama beberapa hari sejak kedatangannya Sinunun Ing Ngalaga selalu ke istana menemui Sang Raja. Gelar Sinuhun Ing Ngalaga sudah diserahkan kepada Sang Raja. Sinuhun lalu memakai nama Pangeran Adipati Puger, nama yang diberikan oleh sang ayahanda dahulu. Para abdi keparak dari Mataram juga sudah diserahkan kepada Sang Aja. Pangeran Adipati Puger diberikan tanah garapan seluas dua ribu.

Di lain kesempatan Sang Raja juga mengangkat para abdi. Ki Kartinala diangkat sebagai lurah keparak kanan dengan nama Tumenggung Sumabrata. Ki Suramanggala diangkat sebagai lurah gedong kanan dengan nama Tumenggung Mangunnagara. Sedang yang diangkat sebagai lurah gedong kiri adalah Ki Tumenggung Surantani. Ki Wirapatra diangkat sebagai lurah keparak kiri dengan nama Tumenggung Wirareja.

Setelah selesai menampatkan para abdi Sang Raja Amangkurat memanggil dua panglima perang, Ki Adipati Urawan dan Arya Sindureja untuk berangkat menyerang Salinga. Singkat cerita, kedua panglima sudah sampai di Salinga dan bersiap menyerang Raja Namrud.

Raja Namrud sudah mendengar datangnya pasukan Kartasura, dan sudah menyiapkan benteng untuk berlindung. Pasukan Kartasura tertahan oleh kuatnya benteng pertahanan Raja Namrud. Karena tak dapat masuk mereka kemudian mengepung benteng dari segala penjuru. Di arah selatan dan barat dikepung pasukan pesisir, arah timur oleh Raden Sindureja dan arah utara oleh Adipati Urawan. Setiap hari diserang tetap saja Namrud tak mau keluar. Setelah dua bulan serangan ditingkatkan. Barikade sudah berhasil dirusak. Mau tak mau Raja Namrud keluar bersama pasukannya sejumlah lima ratus prajurit. Para prajurit Raja Namrud menyebar guna-guna berupa sekam. Tiga kali mereka menyebar guna-guna. Ki Adipati Urawan ketika melihat raja Namrud segera menerjang, pasukan pemberontak dari Salinga itu bubar kocar-kacir. Tidak ada prajurit yang kebal peluru, guna-guna mereka tanpa hasil. Banyak prajurit Namrud yang tewas. Benteng sudah direbut, pasukan Kartasura masuk. Raja Namrud sudah tewas. Semua lelaki dibunuh, yang wanita diboyong. Markas Raja Namrud dibakar. Pangeran Pamenang diikat dan dibawa ke Kartasura bersama harta rampasan dan putri boyongan.

Ki Adipati Urawan dan Arya Sindureja menghaturkan hasil rampasan perang dan para boyongan. Semua putri boyongan dibawa ke istana. Pangeran Pamenang dijatuhi hukuman mati dengan cara dicekik dengan tambang di bangsal Kamandungan. Negeri Kartasura kini sudah sejahtera. Perang sudah berhenti. Para tumenggung dan bupati dari pesisir tinggal di Kartasura. Sehari-hari mereka bekerja dengan tenang.

Namun masih ada satu persoalan yang menjadi gunjingan. Para mantri Bagelen bekas bawahan Sinuhun Ing Ngalaga dulu sampai sekarang masih mengabdi kepada Pangeran Adipati Puger. Hal ini menimbulkan sedikit perasaan kurang nyaman bagi para abdi di Kartasura. Mereka kemudian melaporkan kepada Sang Raja Amangkurat.

Sang Raja berkata, “Benar itu, karena itu Dinda Puger dulu lama tak menghadap kepadaku karena dibujuk oleh para abdinya.”

Pangeran Adipati Puger lalu dipanggil.

Sang Raja berkata, “Dinda, majulah ke sini. Aku ingin tahu para abdimu yang lama dan yang baru. Aku ingin melihat mereka.”

Adipati Puger menyembah lalu memanggil para abdinya untuk menghadap kepada Sang Raja. Ada empat puluh tiga mantri, semua masih muda dan cakap.

Sang Raja berkata, “Apakah ini semua abdimu yang lama? Aku lihat mereka cakap-cakap. Pantas kalau semua punya kemampuan yang baik.”

Pangeran Adipati Puger menjawab, “Mereka abdi saya yang lama.”

Sang Raja berkata, “Kalau saja bukan orang lama pasti sudah aku hukum semua. Mereka yang mengadu-adu kamu dulu. Karena itu orang lama aku beri maaf.”

Adipati Puger menyembah, “Hamba serahkan paduka, saya takkan membantah.”

Sang kakak berkata lagi, “Di Bagelen aku beri tanah, lima puluh-lima puluh atau dua puluh lima. Mereka semua mundurlah jadi punggawa dan kembalilah ke Bagelen. Semua aku beri tanah.”

Adipati Puger berserah kepada kehendak Sang Raja.


[1] Sengkalan: toya muluk obah ing sasôngka (1604 A.J., 1681 A.D.)


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/08/19/babad-tanah-jawi-82-sinuhun-ngalaga-diboyong-sang-kakak-sinuhun-amangkurat-ke-kartasura/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...