Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (83): Ki Ageng Wanakusuma, keturunan Ki Ageng Giring, akan menggulingkan tahta Kartasura

 Alkisah di sebuah hutan yang sepi ada seorang pertapa keturunan Ki Ageng Giring, terhitung masih canggah atau keturunan kelima. Ki Ageng Giring sendiri adalah seorang pertapa keturunan Majapahit yang punya padepokan di Gunung Kidul.

Anak keturunan Ki Ageng Giring ini sudah turun dari Gunung Kidul dan membuka hutan di wilayah Darana atau Sima. Dia mendirikan pedukuhan di sana, pada sebuah hutan bernama Wanakusuma. Maka dia juga dipanggil dengan sebutan Kyai Ageng Wanakusuma.

Kyai Ageng Wanakusuma bertapa di hutan karena menuruti riwayat yang menjadi pesan turun-temurun sejak zaman Ki Ageng Giring masih hidup.

Pesan itu berbunyi: “Hai anak cucuku. Kelak di kemudian hari kalau engkau meminta warisan dari perjanjian antara keturunan Kyai Ageng Mataram, engkau berjalanlah ke utara dan bertapa di timur gunung Merapi. Pada sebuah hutan di tanah Pajang. Kalau ada perselisihan berebut tahta di Mataram, saat itulah aku menagih perjanjian. Keturunanku yang gantian menjadi raja menguasai tanah Jawa.”

Seperti itulah pesan yang diriwayatkan secara turun-temurun oleh para anak cucu Ki Ageng Giring. Pesan itu selalu diingat oleh Ki Ageng Wanakusuma sehingga tiada putus dia bertapa dengan keras. Sangat-sangat menyiksa raga agar ramalan pesan itu dapat terlaksana. Ki Ageng Wanakusuma ini mempunyai dua orang putra, yang tua Raden Jayalalana dan yang muda Raden Jayaparusa. Raden Jayalalana dibujuk-bujuk oleh pengasuhnya, si Kartigarun.

Kartigarun berkata, “Duh Raden, kalau mampu sudah masanya sekarang ini merebut istana. Mumpung negeri Kartasura belum berdiri kokoh. Mumpung masih dalam keadaan huru-hara, belum tenteran hati para kawula. Dan wilayah pesisir serta mancanegara belum tunduk sepenuhnya kepada Sang Raja. Masih menoleh-noleh kiri-kanan. Kalau sekarang Anda meminta kepada ayahanda walau tak setuju nantinya, tetapi sudah sesuai dengan mimpi saya tadi malam. Dalam mimpi saya Anda sudah menjadi raja menguasai tanah Jawa.”

Berkata Raden Jayalalana, “Katakan apa mimpimu semalam.”

Berkata si Kartigarun sang pengasuh, “Anda terlihat naik gajah diiringi para pasukan. Terlihat Anda dirias sehingga terlihat wajah Anda seperti bulan purnama. Saya mengiringi di belakang pasukan Anda masuk ke Kartasura. Tidak ada pasukan di jalan yang terlihat menghadang Anda. Hanya itik yang sedang berjalan beriringan dan bubar ketika pasukan Anda lewat. Ketika hampir saja Anda masuk istana, saya keburu bangun. Lalu samar-samar saya mendengar suara: Sekarang saatnya memulai perang, jangan khawatir enakau.”

Raden Jayalalana condong hatinya kepada perkataan sang pengasuh. Segera sang raden menghadap ayahanda bersama dengan sang adik Raden Jayaparusa. Dihadapan sang ayah keduanya meminta restu hendak menyerang Kartasura.

Berkata Raden Jayalalana, “Ayah, saya hendak memulai perang terhadap Kartasura. Mumpung sekarang negeri belum tenteran dan kekuasaan raja belum kokoh.”

Sang ayah berkata pelan, “Duh anakku, belum saatnya sekarang engkau lakukan. Kelak kalau sudah waktunya menagih janji walau sekokoh apapun aku tidak takut merebut kekuasaan. Andai kekuatan mereka dua kali dari sekarang pun aku tidak gentar. Sekarang diamlah dulu anakku.”

Kedua putra terus memaksa.

Sang ayah berseru, “Aku ini orang tua. Yang saya rintis adalah untuk itu. Tetapi ketahuilah, saatnya masih satu keturunan lagi. Engkau ini baru keturunan yang keenam. Dan juga anakku, aku belum mendapat firasat dari Tuhan untuk merebut kekuasaan. Sebaiknya sekarang kita terus bertapa dengan keras, melanjutkan permintaan kita kepada Tuhan.”

Sudah kehendak Allah, kedua putra tak bisa dicegah keinginannya. Keduanya tetap memaksakan diri.

Berkata kedua putra Ki Wanakusuma, “Bagi kami sudah waktunya. Izin paduka yang kami minta. Dan lagi paduka semoga berkenan memberikan bendera wasiat dari para leluhur agar kami gunakan dalam perang.”

Sang ayah pasrah, sudah menjadi takdir Allah kedua putra bersikeras maju. Wasiat berupa bendera diambil dari dalam kotak. Ketika kotak dibuka terdengar suara menggelegar dan bendera di dalamnya melesat ke angkasa dan lenyap. Melihat keanehan tersebut mereka tertegun.

Berkata Kyai Wanakusuma, “Hai anakku, bagaimana kehendakmu sekarang. Bendera wasiat sudah musnah.”

Kedua putra berkata, “Sudah kehendak Allah, bendera melesat ke angkasa pastilah hendak memayungi perjalanan kami besok ketika memulai perang. Kalau masih dibawa para prajurit pasti akan menemui kekalahan. Karena bendera itu naik kel angit maka pastilah kami menang. Sekarang sudah datang saatnya.”

Kedua putra memaksa berangkat perang. Sang ayah pun tak mampu mencegahnya lagi.

Raden Jayalalana dan Jayaparusa berkata kepada pengasuhnya, “Ayo bapak. Engkau mulailah menaklukkan orang di kiri-kanan desa kita.”

Kartigarun segera melesat dari hadapan tuannya, lalu berangkat ke pedukuhan sekitar dan memamerkan kesaktian. Orang-orang desa terpesona, Ki Kartigarun memberitahukan kepada mereka kalau tuannya sekarang sudah mendapat lailatul qadar dan nubuah raja yang akan menguasai tanah Jawa. Orang-orang desa yang ingin menjadi priyayi kelak, ikutlah dengan tuanku. Kalau sekarang bekel kelak pasti akan menjadi mantri. Kalau sekarang paneket besok bisa jadi wedana. Kartigarun membujuk orang-orang desa agar ikut dengan janji-janji hidup mulia kelak.

Orang-orang desa tergiur kemuliaan yang ditawarkan, mereka tak lagi dapat berpikir jernih, seolah sudah terkena guna-guna. Para bekel dengan semangat mengumpulkan orang-orang desa. Dalam sekejap sudah terkumpul banyak orang di Wanakusuma. Bangunan mirip keraton segera dibangun. Orang-orang pun berdatangan. Sudah ada seribu orang yang datang menghadap dari desa-desa sekitar hutan Wanakusuma dan sepanjang timur gunung Merapi-Merbabu.

Raden Jayalalana setiap hari mempertontonkan kesaktian kepada orang yang datang. Naik kuda sambil membawa tujuh tombak, lalu tombak digertak dan melesat ke angkasa. Mengambil batang padi lalu dilempar, seketika menjadi tongkat. Ketika tongkat digertak menjadi terlihat seperti manusia. Pertunjukan kesaktian yang dipertontonkan Raden Jayalalana membuat orang-orang yakin akan kesaktian sang raden. Tidak mustahil bila janji-janji itu kelak benar-benar terpenuhi. Orang-orang sudah kehilangan pertimbangan, dengan keyakinannya mereka bersedia menjadi prajurit.

Setelah dirasa cukup banyak prajurit, kedua putra menghadap sang ayah meminta restu hendak menyerang kotaraja.

Sang ayah berkata, “Hai anakku, terserah apa kehendakmu. Tetapi aku tidak akan tega padamu. Buatkan aku tandu, akan saya pakai menyertaimu.”

Kedua putra sangat suka hati. Sudah kehendak Allah karena rasa sayang kepada anak Ki Ageng terpaksa menuruti. Pasukan Raden Jayalalana berangkat, sang ayah menyertai mereka dengan tandu.

Kartigarun berkata, “Duh Raden, pasukan garis depan berilah kemoceng, agar sesuai dengan mimpi saya, untuk menggiring itik. Pasti musuh nanti akan minggir semua.”

Pasukan garis depan sudah diberi kemoceng, ada sejumlah lima puluh orang. Raden Jayalalana berada di belakang barisan dengan naik kuda dan berpayung kuning. Pasukan Wanakusuman sudah melewati Kedung Winong, Karecek, Kapandanan dan terus merangsek ke Wanasrengga. Perjalanan mereka terhenti karena malam datang, lalu berhenti di Sidawayah.

Berita kedatangan pasukan Wanakusuman sudah sampai di Kartasura. Terlihat ada pasukan yang berhenti dan membangun markas di tepi hutan. Obor mereka terlihat menyala di malam hari. Pagi harinya Prabu Amangkurat keluar di bangsal Pancaniti. Di hadapan para punggawa Sang Raja memerintahkan Adipati Urawan untuk membawa pasukan pesisir dan mancanegara menghadang musuh. Pasukan pimpinan Adipati Urawan berangkat keluar kotaraja. Sedangkan pasukan yang berjaga di kota dipimpin Arya Sindureja bersama pasukan dari gedong keparak.

Ketika itu Sang Raja mempunyai pasukan khusus sejumlah empat puluh prajurit Bali yang dipimpin Ki Tumenggung Singabarong. Mereja berjaga di depan Sang Raja. Ciri khasnya memakai ikat kepala motif polkadot, baju sangkelat kuning, ikat pinggang rajut dan menyandang tombak panjang.

Sementara itu Adipati Urawan yang menghadang musuh sudah sampai di Kemaduh. Sebagian pasukan ditempatkan di Banyudana Boyolali. Pasukan Wanakusuman berangkat dari Sidawayah. Ki Ageng Wanakusuma naik tandu karena sudah sangat sepuh. Kedua anaknya yang ngebet menjadi raja berada di garis depan. Wajah mereka berdua dirias agar bersinar seperti dalam mimpi Kartigarun. Dengan diiringi para pengawal keduanya naik kuda dengan payung kuning. Raden Jayalalana sudah mendapat laporan kalau Kartasura memberangkatkan pasukan di bawah pimpinan Adipati Urawan, terdiri dari pasukan mancanegara, pesisir dan serdadu Kumpeni. Ki Ageng Wanakusuma mengelilingi pasukan Wanakusuman sambil berdoa dan melafalkan beberapa kalimat sakti. Seluruh prajurit diperintahkan membaca zikir.

Raden Jayalalana memerintahkan kepada pasukan, “Ayo, segera terjanglah pasukan Kartasura.”

Pasukan Wanakusuman maju. Pasukan garis depan yang membawa kemoceng terlihat bergerombol sehingga musuh gentar. Semangat mereka menjadi kendur. Para prajurit Wanakusuman terus maju sambil membaca zikir. Pasukan Kartasura ciut dan meriang melihat pasukan Wanakusuman yang terlihat sangat banyak. Senapan mereka macet tak dapat meletus. Pasukan Wanakusuman datang menggulung laksana ombak samudera.

Adipati Urawan menerjang mendesak musuh, tetapi pasukannya loyo. Banyak prajurit lari karena gentar. Apalagi setelah senapan macet mereka menjadi semakin takut. Banyak mereka berjumpalitan lari sampai jatuh ke parit. Ki Adipati Urawan mondar-mandir menata barisan, tetapi semakin banyak yang lari. Ki Adipati tak urung juga ikut lari. Pasukan pesisir di bawah pimpinan Adipati Jangrana dan Pangeran Madura pun ciut dan tak dapat diadu perang. Adipati Surabaya dan Adipati Madura ikut lari bersama pasukan.

Barisan pasukan Kartasura yang berada di Banyudana dipimpin Ki Suramanggala. Ketika mereka melihat pasukan Kartasura lari dari utara mereka ikut lari ke arah tenggara menuju Segaran. Hanya tinggal pasukan Kumpeni yang masih kokoh di tempatnya, di Ngasem. Mereka sedang bersiap menghadang datangnya musuh.

Adipati Urawan yang lari dari medan perang telah sampai di kota. Ki Adipati hendak menuju Pancaniti. Di tengah jalan bertemu dengan seorang mantri anom yang diutus Sang Raja. Mantri anom mengatakan agar Ki Adipati terus saja ke selatan. Sang Raja hendak menghadapi musuh dengan pasukannya, jadi segeralah bergabung. Ki Adipati berbelok ke selatan menuju ke tempat Sang Raja. Mantri anom terus berjalan hendak memeriksa lokasi musuh.

 Pasukan Wanakusuma telah sampai di Ngasem, Kumpeni bersiap menghadang. Ketika melihat pasukan Kumpeni prajurit Wanasalam menerjang dengan berani. Pasukan Kumpeni tak gentar, tetapi lagi-lagi karena kesaktian Ki Ageng Wanakusuma senapan Kumpeni macet. Berkali-kali letnan memberi aba-aba tembak, tak satupun senapan berbunyi. Pasukan Kumpeni dari Bali dan Makasar ketika sadar senapan macet menjadi gugup, seketika lari ngacir. Pasukan Wanasalam menerjang tanpa ampun. Banyak dari mereka tertangkap di ditombak. Pasukan Kumpeni tumpas habis. Pasukan Wanakusuman terus merangsek ke selatan menuju Segaran. Separuh pasukan terus menyusuri jalan menuju ke timur mengikuti sang raden yang akan menjadi raja. Perjalanan mereka tak ada yang menghadang. Tak lama kemudian mereka sudah sampai di Kanrangkusuman, kediaman Patih Nrangkusuma. Pasukan Wanakusuman berhenti menata barisan. Ki Ageng Wanakusuma lagi-lagi mengitari pasukan sambil melafalkan doa-doa dan menabuh kendang.

Raden Jayalalana memerintahkan agar prajuritnya membakar rumah sebagai tanda kemenangan.

“Bakarlah rumah-rumah yang kecil saja. Jangan membakar rumah para punggawa, mantri atau bupati. Jangan membuat susah kepadaku nanti kalau aku masuk kota. Rumah-rumah para bupati nanti akan dipakai para bupatiku kalau aku sudah jadi raja. Aku kira pasukan Kartasura sudah hancur. Sepanjang jalan tak ada lagi yang menghadang kita. Pasukan andalan mereka hanya serdadu Kumpeni dan sudah kita kalahkan. Raja mereka sudah ditinggalkan para prajurit. Mustahil dia berani berperang. Tanah Jawa akan segera saya warisi.”

Mantri anom yang diutus Sang Raja Amangkurat memata-matai musuh sudah memastikan lokasi musuh. Dia segera berbalik arah untuk melapor bahwa musuh kini berada di Kanrangkusuman. Mereka sedang berhenti menata barisan. Patih Nrangkusuma yang mendengar kediamannya diduduki musuh bersiap hendak merebut kembali sampai mati.

Sang Raja berkata kepada tukang kuda, “Hai tukang kuda, siapkan kudaku si Kalandaru.”

Kuda Kalandaru segera disiapkan. Sang Raja memakai kutang Kyai Gondhil dan tutup kepala Kyai Makutha, seketika bersinar wajah Sang Raja membuat silau. Keris Kyai Balabar sudah disandang di pinggang. Tombak Kyai Baru tak boleh jauh, dibawa seorang prajurit di belakang Sang Raja. Sang Raja memerintahkan mengambil bende Kyai Bicak wasiat dari Ki Ageng Sela.

Sang Raja sudah berada di atas kuda Kyai Kalandaru, segera menuju alun-alun diiringi prajurit keparak. Pasukan diperintahkan berbaris di selatan pohon beringin kembar. Para prajurit suka hati karena akan bertempur dengan Sang Raja. Tekad mereka akan membela raja sampai mati. Pasukan Bali pimpinan Tumenggung Singabarong juga sudah bersiap di alun-alun.

Sang Raja berkata kepada Nrangkusuma, “Hai Nrangkusuma. Tempatkan pasukanmu di selatan masjid menghadap ke barat. Kalau musuh datang jangan melawan, tetapi larilah agar mereka mengejar ke sini.”

Nrangkusuma tak membantah perintah Sang Raja, segera melaksanakan bersama pasukannya.

Sang Raja berkata lagi, “Hai gandek, pergilah ke rumah Dinda Puger. Susullah, mengapa tidak segera datang.”

Gandek segera melesat ke kediaman Pangeran Adipati Puger. Tak berapa lama pasukan Wanakusuman terlihat. Saat itu di kotaraja Kartasura belum ada pepohonan yang tinggi, jadi gerakan pasukan dapat dilihat dari alun-alun. Pasukan Wanakusuman sampai di sebelah barat Kamalayan, mereka berkuda dengan payung putih. Hanya dua raden putra Wanakusuman tampak memakai payung kuning.

Sang Raja bertanya, “Itu pasukan siapa yang memakai payung putih?”

Yang ditanya menyembah dan menjawab, “Paduka, itu pasukan musuh.”

Sang Raja sangat suka hati menyambut datangnya musuh. Tombak Kyai Baru tidak boleh jauh-jauh. Musuh semakin dekat, dua putra Wanakusuman berada di depan memimpin pasukan. Ki Ageng Wanakusuma berada di belakang naik tandu. Tetapi para prajurit yang memikul tandu merasa heran karena tandu mereka terasa ringan, seperti tidak ada yang naik di dalamnya. Para pemikul takut melaporkan kepada kedua putra sang Kyai. Mereka hanya diam saja sambil terus memikul tandu.

Sementara itu Pangeran Adipati Puger sudah menata barisan. Sejak pagi pasukannya sudah bersiap di Kapugeran. Para punggawanya adalah orang-orang pemberani mantan prajurit Kalagan dulu. Arya Tambakbaya, Arya Surajaya, Jadremba dan Jawirya. Gandek utusan Sang Raja telah sampai di Kapugeran.

Setelah menyembah gandek utusan berkata, “Paduka diminta segera datang bergabung dengan Sang Raja, musuh sekarang sudah datang.”

Pangeran Puger segera berangkat bersama para prajurit pilihan sejumlah dua ratus prajurit. Pasukan musuh yang melihat pasukan Adipati Puger telah keluar segera bersorak dan memutar kemoceng. Seketika pasukannya terlihat semakin banyak. Adipati Puger kaget, lalu memerintahkan sebagaian pasukannya untuk kembali.

“Kalian kembalilah untuk mengamankan para istri dan anak-anakku. Jadrema, engkau yang memimpin. Bawalah ke utara sungai. Aku minta dua puluh lima saja yang tinggal bersamaku di sini.”

Pasukan Wanakusuman melihat pasukan Adipati Puger kembali, mereka berhati-hati dan terus berjalan. Sisa pasukan Adipati Puger yang dua puluh lima  hendak diadu dengan pasukan Wanakusuman di luar alun-alun.

Adipati Puger berkata, “Wahai gandek, katakan kepada Sang Raja pasukan musuh akan saya serang di luar.”

Gandek menyembah dan berkata, “Tuan, saya takut. Karena perintah Sang Raja tadi akan dihadapi di alun-alun.”

Adipati Puger berkata, “Gandek, segeralah berangkat. Jangan membantah.”

Dua gandek segera berangkat. Pangeran Adipati Puger berjalan bersama pasukan ke utara menuju tepi sungai hendak bersembunyi. Semua prajurit merunduk agar tak terlihat dari jalan. Tak berapa lama musuh sampai di depan mereka.

Surajaya berkata kepada Pangeran Puger, “Musuh datang Pangeran.”

Pangeran berkata, “Biarkan lewat dulu. Punggawanya belum sampai.”

Musuh terus berjalan sampai di Pangurakan. Mereka melihat di alun-alun banyak pasukan menunggu. Tampak ragu-ragu mereka berhenti. Seperti pasukan garis depan merasa takut dan hanya menengok-nengok saja. Mereka ngeri melihat banyak senjata di alun-alun.

Raden Jayalalana dan Jayaparusa sudah sampai di pasar besar. Melihat pasukan garis depan tertahan segera berseru.

“Hai, anak-anak. Jangan berhenti. Aku hendak langsung masuk istana sekalian dan langsung bertahta di Kartasura.”

Pangeran Puger dan dua puluh lima prajuritnya masih bersembunyi di pinggir sungai.

Tambakbaya berkata, “Kalau boleh, mari mengamuk sampai remuk. Jangan mengecewakan.”

Pangeran Puger berkata, “Ayo, semua pasukan kita amuk sekalian. Kalau ada yang sampai lari meninggalkanku akan saya kebiri.”

Para prajurit menyahut menyatakan sanggup dan takkan lari dari medan perang. Pangeran Puger maju, sepak terjangnya mengagumkan. Sambil menyandang keris Kyai Maesanular dan menenteng Kyai Palered. Dua puluh lima prajuritnya mengikuti di belakang. Mereka mengamuk serentak. Kyai Tambakbaya, Kyai Surajaya dan Ki Jawirnya tidak ketinggalan. Tiga punggawa memimpin prajurit Kapugeran. Senjata sudah kembali berbunyi. Tujuh senapan kuningan yang dibawa banyak menelan korban prajurit Wanakusuman.

Sang Raja kaget mendengar suara tembakan di belakang.

“Siapa yang menghadang musuh di Pamurakan?” tanya Sang Raja.

Gandek menjawab, “Adik paduka Pangeran Puger. Dari belakang menyerang, tetapi hanya membawa sedikit prajurit. Dua puluh lima orang saja.”

Sang Raja dalam hati sangat berterima kasih kepada sang adik. Segera Sang Raja menabuh bende Kyai Bicak, suaranya menggema ke angkasa. Para prajurit gembira mendengar suara Kyai Bicak, tanda sudah saatnya menyerang.

Sang Raja berkata, “Hai Singabarong segeralah engkau maju, tolonglah Dinda Puger yang pasukannya hanya sedikit.”

Tumenggung Singabarong menyembah, bersama pasukannya segera melesat dengan senjata tombak ke arah musuh. Sepak terjangnya menakutkan. Sebatang tombak dilempar ke angkasa, lalu jatuhnya ditahan dengan dada. Tombak patah seketika. Sang Raja suka melihat gaya tempur prajurit Bali. Ada yang memuntir kumis lalu membuang tombaknya dan bertempur dengan tangan kosong. Delapan puluh orang pasukan Singabarong tak mempan oleh senjata logam. Semua sudah pamit mati, takkan kembali kalau tak menang.

Sang Raja berkata, “Segeralah maju, aku pasrahkan kalian kepada Tuhan.”

Mereka bersama menerjang. Sudah watak orang Bali kalau ketemu musuh langsung mengamuk. Yang diterjang habis berlarian. Pontang-panting pasukan Wanakusuman. Dari depan diamuk orang Bali, dari belakang diamuk pasukan Kapugeran. Tinggal para mantri yang masih bertahan, para prajurit kecil sudah bubar berlarian. Tandu Ki Ageng sudah ditinggalkan tanpa peduli penumpangnya. Raden Jayalalana dan Raden Jayaparusa berkali-kali mengeluarkan kesaktian tetapi tidak mempan. Prajuritnya tinggal seratus orang.

Raden Jayalalana melihat sepak terjang prajurit Bali yang mengamuk laksana raksasa lapar, seketika marah. Raden Jayalalana mendekat ke arah Tumenggung Singabarong dan Raden Jayaparusa mendekat ke arah Pangeran Puger.

Berkata Pangeran Puger, “Hai para prajurit, minggirlah. Dia bukan musuhmu. Si Jayaparusa prajurit tangguh. Akan aku hadapi sendiri.”

Prajurit Kapugeran memberi jalan agar Jayaparusa segera bertemu Pangeran Puger. Tak lama kemudian keduanya terlibat pertempuran satu lawan satu. Jayaparusa menombak, Pangeran menangkis. Pangeran membalas serangan dengan tombak Kyai Palered. Tombak Kyai Palered menembus dada Jayaparusa sampai ke punggung. Jayaparusa tewas seketika.

Sementara itu Raden Jayalalana masih terlibat pertempuran sengit dengan Tumenggung Singabarong. Kedua perwira sama-sama tangguh. Tumenggung Singabarong tak sabar. Memanggil salah seorang kerabatnya, Nyoman Luyangan, untuk mengeroyok. Nyoman Luyangan berhasil menusuk lambung kiri Jayalalana, seketika jatuh dan tewas di tempat.

Ada seorang abdi juru taman Sang Raja bernama Nayatruna. Ketika perang mulai minta pamit hendak ikut perang. Sesudah sampai di medan perang tidak ikut perang. Ki Nayatruna bersembunyi di balik pilar ketika Nyoman Luyangan meninggalkan mayat Jayalalana dan kembali mengamuk ke depan. Mayat Jayalalana tergeletak begitu saja. Ki Nayatruna segera memenggal kepada Jayalalana dan  membawanya mundur. Pangeran Adipati Puger setelah berhasil menewaskan Jayaparusa segera memanggil para prajurit Kartasura. Yang dipanggil pun tanggap dan segera menerjang sisa pasukan Wanakusuman.

Sementara itu Ki Suramanggala yang lari dari barisan Banyudana telah sampai di Segaran. Setelah selamat lalu tersadar bahwa kalau dirinya lari tanpa hasil pasti akan menjadi aib bagi keturunannya kelak. Takkan ada lagi yang sudi mengambil anak keturunannya sebagai abdi. Ki Suramanggala bangkit keberaniannya, segera mengajak dua belas orang kerabat yang bersamanya untuk kembali ke medan perang. Mereka kemudian mengejar musuh yang bergerak ke Kartasura dan menyerang dari belakang. Tiga belas orang tak lagi berhitung mati, mereka segera mengamuk. Suramanggala lalu bertemu dengan pasukan Patih Nrangkusuma yang menyerang dari depan. Pasukan musuh diserang dari depan oleh Nrangkusuma dan di belakang diterjang Suramanggala, seketika pasukan musuh bubar. Setelah menang Suramanggala dapat menghadap Sang Raja dengan gagah.

Sang Raja Amangkurat memanggil para punggawa yang baru saja menang perang. Sang Raja sangat suka melihat sepak terjang sang adik Pangeran Adipati Puger yang pemberani. Nayatruna yang saat itu ikut menghadap dengan masih membawa kepala Jayalalana bermaksud melakukan tipudaya. Pikirnya, walau bohong kalau tujuannya baik tidaklah mengapa. Tiba-tiba Ki Nayatruna bergerak mundur seolah hendak meninggalkan tempat pertemuan dengan menenteng kepala musuh. Gerakannya dilihat oleh Sang Raja dan barang bawaannya mengundang tanda tanya.

Sang Raja berkata, “Nayatruna, kepala siapa yang kau bawa itu?”

Nayatruna menjawab, “Ini kepala Jayalalana. Hamba yang membunuhnya.”

Kepala dihaturkan kepada Sang Raja.

“Si Jayaparusa, adik paduka yang membunuh. Sebelumnya juga bertempur dengan hamba. Hamba hampir mati karenanya,” sambung Nayatruna.

Sang Raja berkata, “Aku sangat berterima kasih padamu Nayatruna. Engkau berani mati tetapi berhasil selamat. Hai Nayatruna engkau aku naikkan pangkatmu untuk mengepalai pasukanku. Namamu sekarang Ngabei Rajamanggala.”

Ki Nayatruna bersujud karena sangat gembira hatinya. Selain itu, Ki Suramanggala sudah dilaporkan Sang Raja kalau berhasil mengalahkan musuh bersama dua belas kerabatnya. Oleh Sang Raja karyanya diterima. Suramanggala diangkat menjadi tumenggung dengan nama Tumenggung Surantani dan diberi jabatan lurah gedong kiri, sebagai tandem Tumenggung Mangunnagara yang menjabat lurah gedong kanan. Dua belas kerabatnya juga sudah diberi kedudukan yang sesuai. Mereka sangat berterima kasih kepada Sang Raja.

Sementara itu Pangeran Adipati Puger yang baru saja menang perang sedang melakukan pembersihan sisa-sia musuh. Para punggawa sudah bergabung kembali dengan Pangeran Puger. Mereka lalu bersiap menghadap Sang Raja. Pangeran Adipati Puger sudah masuk ke Panangkilan dengan diiringi para punggawa, juga Tumenggung Singabarong dan Patih Nrangkusuma. Sang Raja menyambut kedatangan sang adik dan mempersilakannya duduk mendekat.

Sang Raja berkata, “Dinda, bagaimana musuhmu?”

Pangeran Adipati Puger berkata, “Si Jayaparusa tewas. Ditemukan tandu tanpa isi. Pasukannya hancur.”

Sang Raja berkata pelan, “Gandek, ambilah mayat Jayaparusa.”

Gandek segera berangkat mengambil mayat Jayaparusa. Tak lama kemudian mayat Jayaparusa sudah dibawa ke hadapan Sang Raja.

Sang Raja berkata, “Ini to yang akan menjadi raja menguasai tanah Jawa hendak melawan orang Mataram. Uwak Jayaparusa mengapa tidur saja, belum bertemu denganku.”

Sang Raja kemudian menyuruh prajurit Singanagara, “Hai, bocah Singanagara. Penggalah kepalanya dan pajanglah di dekat beringin kembar. Tubuhnya buanglah ke gunung.”

Yang disuruh menyembah dan segera melaksanakan tugas. Kepada Jayaparusa sudah dipenggal dan dipajang di beringin kembar. Sang Raja kemudian masuk ke istana. Pangeran Adipati Puger pun kembali ke kediamannya bersama para punggawa.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/08/21/babad-tanah-jawi-83-ki-ageng-wanakusuma-keturunan-ki-ageng-giring-akan-menggulingkan-tahta-kartasura/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...