Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (88): Patih Nrangkusuma digantikan Arya Sindureja

 Pada hari pisowanan Sang Raja keluar di bangsal pertemuan, para punggawa menghadap berjajar-jajar. Di depan hadir Pangeran Puger dan Pangeran Arya Panular. Juga hadir Raden Tapa.

Sang Raja berkata, “Dinda Adipati, sepeninggal si patih yang menggantikan kedudukannya si Arya Sindureja.”

Sang adik menyembah, “Baik paduka, saya mendukung perintah paduka.

Sang Raja berkata lagi, “Dan lagi, adikmu si Tapa sudah dewasa. Sekarang aku beri nama Pangeran Arya Mataram dengan tanah garapan seribu karya. Dan si Dinda Panular itu juga aku berikan enam ratus tanahnya. Dan lagi Paman Natakusuma aku angkat sebagai wedana.”

Sang adik kembali menyatakan dukungannya. Semua yang hadir sepakat dengan perintah Sang Raja.

Sementara itu Raden Surapati yang baru saja dikejar pasukan Madura dan Surabaya sudah sampai di Pasuruan. Pasukan yang mengejar telah kembali semuanya. Surapati nyaman menjadi bupati di Pasuruan. Wilayah kanan dan kiri seperti Bangil, Probolinggo, Pajarakan, Japan, Wirasaba, Daha, Sarengat, Malang dan Renon sudah tunduk dan patuh kepada Tumenggung Wiranagara. Semua wilayah di timur gunung Wilis sudah tunduk. Kalau ada yang melawan segera digempur. Sang Raja yang mendengar berita ini sangat bersukacita.

Sementara itu Kumendur Selutdriyansah di Japara telah mendengar bahwa Kapten Tack tewas dan pasukannya tumpas habis oleh Surapati. Kumendur sangat masygul hatinya, lalu mengirim laporan ke Betawi. Tidak lama datang utusan resmi dari Kartasura yang dikirim Patih Arya Sindureja dengan membawa surat. Isi suratnya pemberitahuan bahwa Kapten Tack sudah tewas dalam perang. Pasukan Kapten Tack habis dan pasukan Sang Raja banyak menderita luka-luka. Setelah membaca surat Kumendur merasa bingung tetapi hanya menggeleng-gelengkan kepala. Surat tidak dibalas, utusan disuruh kembali ke Kartasura. Sekembalinya ke Kartasura utusan melaporkan bahwa Kumendur masygul hatinya. Sang Raja segera mengumpulkan punggawa.

Sang Raja berkata, “Wahai Dinda, bagaimana saranmu. Sekarang Kumendur Jepara masygul hatinya. Aku berpikir apakah sebaiknya Kumpeni kita musnahkan sekalian dari bumi Jawa. Bagaimana menurut Dinda?”

Pangeran Adipati Puger berkata, “Kalau boleh saya sarankan, janganlah paduka bertindak sekarang. Kalau Raja ingkar janji pasti derajatnya turun. Kumpeni itu walau kafir tetapi pernah menolong paduka. Walau kafir bertindak sebagai teman. Kalau kelak ada jalan yang baik untuk menyingkirkan seperti yang baru saja terjadi, saya serahkan kepada paduka.”

Sang Raja berkata, “Kalau demikian, Dinda, tanyakan siapa punggawa yang sanggup memperbaiki hubungan dengan Kumpeni. Yang bisa meluluhkan kemasygulan hati Kumendur. Siapa kira-kira yang bisa, akan saya beri hadiah besar. Dinda pikirkanlah.”

Pangeran Adipati Puger mohon pamit, sesampai di luar para bupati dari pesisir dan mancanegara yang ditanyai semua mengatakan tidak sanggup. Ada seorang mantri keparak bernama Ki Jiwaraga yang menyatakan sanggup membujuk Kumpeni. Pangeran Adipati Puger segera membawanya ke hadapan Sang Raja. Sang Raja sudah memberi izin dan menyertakan surat dan juga berbagai macam hadiah.

Perjalanan Ki Jiwaraga di jalan tidak diceritakan, singkat cerita Ki Jiwaraga sudah sampai di Jepara. Ki Jiwaraga langsung menuju Loji Jepara. Kumendur bersedia menerima Ki Jiwaraga di Loji.

Berkata Ki Jiwaraga, “Saya disuruh menyampaikan surat Kangjeng Sinuhun Amangkurat di Kartasura dan beberapa hadiah berupa: sepasang kuda, sarang burung tujuh dhacin[1], lima puluh sapi dan merica.”

Kumendur tergopoh-gopoh menerima dan membuka surat. Setelah dibaca dengan seksama Kumendur memohon-mohon kepada Kyai Jiwaraga.

Berkata Kumendur Selotdriyansah, “Hai Kyai Jiwaraga, mohonkan maaf dari paduka Raja karena saya mempercayai berita yang tersebar dari orang banyak. Ternyata Sang Raja dalam keadaan yang baik-baik saja.”

Tiga hari Kyai Jiwaraga berada di Jepara. Kumendur sangat menghormat dan menjamu Ki Jiwaraga. Surat dari Sang Raja sudah diberi balasan disertai beberapa hadiah, kain beludru berenda, gula dan teh. Semua sudah diterima Ki Jiwaraga dan segera mohon pamit. Sesampai di Kartasura Ki Jiwaraga melaporkan bahwa perjalanannya mendapat hasil yang memuaskan. Surat dan hadiah dari Kumendur dihaturkan kepada Sang Raja. Sang Raja sangat suka hati. Kyai Jiwaraga sesuati janji Sang Raja, kemudian diangkat sebagai tumenggung dengan nama Tumenggung Martapura. Tugas Tumenggung Martapura di Jepara sebagai pendamping Kumendur. Ki Tumenggung segera diperintahkan untuk berangkat ke Jepara beserta anak-istrinya. Sesampai di Jepara Tumenggung Martapura disambut dengan baik oleh Kumendur. Hubungan antara Kartasura dan Kumpeni kembali harmonis.

Tidak berapa lama Patih Arya Sindureja diberi istri oleh Sang Raja, yakni adik Sang Raja sendiri yang bernama Raden Ayu Pucang. Arya Sindureja sudah terlaksana menikahi Raden Ayu Pucang dan pernikahannya segera diumumkan kepada para punggawa semuanya.

Sang Raja berkata, “Wahai semua prajurit Kartasura, dengarkan perintahku. Saudara iparku Arya Sindureja sekarang aku beri nama Raden Arya Sindureja.”

Semua prajurit menyatakan kesanggupan melaksanakan perintah Sang Raja.

Tidak berapa lama dari kejadian tersebut ada serombongan orang dari Gunung Kidul yang masih bersaudara dengan orang dari Wanakusuma datang ke Kartasura. Namanya Raden Martadita. Sang raden datang dengan membawa empat puluh orang. Yang dituju adalah kediaman Tumenggung Sumabrata.

Setelah mempersilakan tamunya, Ki Sumabrata bertanya, “Raden ada keperluan apa datang ke rumah saya.”

Raden Martadita berkata, “Ketahuilah Tuan Tumenggung, kedatangan saya ke sini untuk menagih perjanjian kerajaan kepada Sang Raja. Sekarang kami semua sudah merupakan keturunan kelima dari Kyai Ageng Giring dan Kyai Ageng Mataram. Maka waktunya sudah keturunan Ki Ageng Mataram meletakkan mahkota raja.”

Sumabrata menjawab, “Baik kalau begitu. Tetapi saya tidak sanggup mengantarkan ke hadapan Sang Raja. Bagaimana mau mengantarkan kalau Anda semua masih penuh dendam. Apakah Sang Raja akan menerima. Sepatutnya menghadap Sang Raja itu dengan meletakkan keris dan tanda patuh seperlunya.”

Raden Martadita berkata, “Baiklah terserah Anda. Yang penting saya dipertemukan dengan yang menjadi raja.”

Raden Martadita dan kawan-kawan segera menyerahkan keris kepada Tumenggung Sumabrata, lalu mereka semua diikat. Oleh Tumenggung Sumbrata dibawa ke alun-alun. Sang Raja kemudian memanggil semua punggawa dan bertahta di singgasana.

Sang Raja berkata, “Hai, mana wujudnya orang yang menagih perjanjian kepadaku. Aku ingin melihat wajahnya. Bawalah maju ke sini.”

Segera Raden Martadita dan kawan-kawan dibawa maju ke hadapan Sang Raja.

Bertanya Sang Raja, “Hai Wak, engkau apakah ada keperluan datang ke hadapanku?”

Martadita menjawab, “Benar, ada keperluan Sang Raja.”

Sang Raja bertanya lagi, “Apakah engkau menagih?”

Yang ditanya menjawab, “Susunan, saya datang karena Anda sudah waktunya meletakkan mahkota.”

Sang Raja berkata, “Boleh, tetapi kalau engkau mampu menahan Ki Balabar, aku akan rela meletakkan mahkota.”

Martadita menjawab, “Silakan Sang Raja.”

Martadita membusungkan dadanya, segera Sang Raja Amangkurat menikam dengan keris Kyai Balabar. Darah mengucur dari lukanya. Para prajurit segera merajam dengan tombak. Raden Martadita tewas beserta sanak kerabatnya. Para kerabat Sang Raja ikut menikam, juga para punggawa semua. Sang Raja kemudian masuk kembali ke istana. Kepala Raden Martadita sudah dipenggal dan dipajang di alun-alun.


[1] Satuan berat setara 61,76 kg.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/08/25/babad-tanah-jawi-88-patih-nrangkusuma-digantikan-arya-sindureja/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...