Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (92): Raja Amangkurat berbesanan dengan Pangeran Adipati Puger

 Alkisah, negeri Kartasura menderita kesusahan karena banyak penduduk sakit. Setelah sembuh negeri mengalami kurang pangan. Para prajurit Kartasura tidak mempunyai cukup persediaan pangan. Sang raja sangat susah hatinya karena negera bertubi-tubi mengalami bencana. Sang Raja kemudian memanggil Pangeran Adipati Puger.

Sang Raja berkata, “Dinda, duduklah yang nyaman. Engkau aku panggil untuk aku tanyai mengapa negeri Jawa banyak mengalami bencana. Apa kesalahan raja sehingga para kawula banyak menderita kesusahan. Tak ada persediaan pangan yang cukup membuat kawula hanya makan umbi-umbian. Kalau musibah ini tak segera berlalu sungguh nista aku berdiri menjadi raja di Kartasura. Kalau pertolongan Tuhan mensyaratkan aku harus meninggalkan negeri maka akan aku lakukan. Aku malu kepada para kawula semua.”

Sang adik berkata, “Duhai Kanda, jangan lakukan itu kalau saya masih hidup. Saya saja yang melakukan itu. Saya mohon pamit.”

Sang Raja berkata, “Baiklah Dinda, semoga engkau selamat dan mendapat petunjuk.”

Sang adik menyembah dan segera keluar dari istana. Sesampai di rumah Pangeran Puger berganti pakaian mirip para santri, lalu melakukan perjalanan menyamar sebagai kawula.

Sang Adipati Puger berangkat, yang dituju adalah tanah Mataram. Terlunta-lunta perjalanannya, menerabas jalan setapak, tanpa teman dan tanpa pengawalan. Para prajuritnya tak ada yang tahu kalau tuan mereka sedang menyamar. Ketika Pangeran Puger merasa lapar, berniat hendak mengemis, tetapi diurungkan karena sadar beras mahal harganya. Pangeran kemudian pergi ke pasar. Terlihat sangat lelah karena tak berhenti berjalan. Sampai di pasar Kapundung berhenti di bawah pohon beringin. Ketika itu banyak terlihat orang-orang berjualan ketela, gadung dan ubi untuk dimakan sebagai pengganti beras.

Pangeran Puger berkata dalam hati, “Benar kata Kanda Raja. Kawula banyak menderita, sungguh kasihan melihat para petani berjumpalitan mempertahankan hidup. Kalau tak ada belas kasih Tuhan sungguh akan rusak tanah Jawa. Siapa yang akan kehilangan kalau bukan Sang Raja.”

Pangeran segera pergi ke selatan. Tak diceritakan bagaimana perjalanan Pangeran Puger, singkat cerita sudah sampai di Pleret. Di Pleret Pangeran semalaman melakukan munajat meminta petunjuk kepada Tuhan. Paginya Pangeran berniat ke Pasar Gedhe untuk bermunajat di sana. Waktu malam setelah Isya Pangeran sudah sampai di Pasar Gedhe. Pangeran menuju ke bawah pohon beringin kembar untuk melakukan munajat kepada Tuhan. Ketika waktu Subuh tiba Pangeran bersuci lalu menuju masjid hendak bergabung shalat Subuh bersama para santri. Para santri tak ada yang tahu kalau tuan mereka sedang bersama-sama shalat dengan mereka. Setelah selesai jamaah Subuh para santri keluar masjid. Pangeran Puger tetap tinggal melanjutkan munajat kepada Tuhan. Tak lama kemudian datang petunjuk dari Tuhan, terlihat ada bakul di masjid itu. Pangeran Puger segera mengambil bakul lalu keluar dari masjid.

Dengan membawa bakul Pangeran Puger pergi ke pasar. Di pasar bertemu dengan seseorang yang baru saja membeli beras.

Pangeran Puger bertanya, “Berapa harga beras Anda ini Nyai?”

Yang ditanya menjawab, “Tiga suwang per bakul.”

Pangeran Puger menyerahkan bakul yang dibawanya sambil meminta beras seharta tiga suwang kepada si pedagang beras.

Si pedagang beras membentak, “Hai Ki Santri, engkau ini membeli beras dengan bakul yang besar. Itu sama dengan meminta Ki.”

Adipati Puger berkata, “Sudah harga yang pantas, satu bakul tiga suwang Nyi.”

Si pedagang kembali membentak dan mengusir Pangeran Puger. Seperti itu terjadi di beberapa pasar. Pangeran Puger selalu diusir karena hendak membeli beras satu bakul dengan harga tiga suwang. Setelah empat puluh hari Sang Pangeran melakukan laku seperti itu. Tuhan mengabulkan, perlahan harga beras turun kembali. Dan lama-lama harga menjadi stabil dan terjangkau. Negeri Kartasura terbebas dari paceklik.

Pangeran Puger kembali pulang ke keraton Kartasura dan langsung menghadap Raja. Sang Raja menyambut sang adik dengan sukacita.

Sang Raja berkata, “Dinda permohonanmu sudah didengar Tuhan. Sepeninggalmu dari keraton beras kemudian murah kembali.”

Pangeran Puger berkata, “Saya sekedar menjalankan perintah Sang Raja.”

Pangeran Puger segera mohon pamit kembali ke rumahnya.

Sementara itu di barisan Gentong, Pangeran Madura dan Adipati Surabaya berunding dengan para pembesar pasukan Kartasura. Pangeran Madura ingin membuat perang bohong-bohongan dengan Surapati sambil menunggu kedatangan Kumpeni yang lama tak kunjung datang. Adipati Surabaya tidak sepakat dengan keinginan Pangeran Madura. Dia mengusulkan sebaiknya berkirim surat saja dulu kepada Sang Raja untuk meminta perintah berikutnya. Pangeran Madura segera mengirim utusan yang membawa surat ke Kartasura.

Lain cerita, Sang Raja Amangkurat II mempunyai banyak istri. Sang Raja mempunyai permaisuri dari Sumedang yang sangat dikasihinya, namanya Ratu Mas. Juga mempunyai istri dari Surabaya bernama Raden Ayu Lor. Lalu punya istri lain lagi bernama Raden Ayu Kidul. Sedangkan istri yang bernama Raden Ayu Kilen dikatakan berasal dari rakyat kecil, anak seorang lurah jagal. Walau punya banyak istri Sang Raja tidak punya banyak anak. Sesudah menjadi raja pun tak kunjung berputra. Tetapi kemudian Raden Ayu Kilen mempunyai seorang putra yang tampan. Sang Raja sangat mengasihinya dan sudah mengangkatnya sebagai Pangeran Adipati Anom atau putra mahkota. Sang Pangeran sudah mendiami kadipaten dan membawahi lima ribu karya tanah garapan. Sang putra sudah hidup berkecukupan.

Di kotaraja Kartasura saat itu belum mempunyai pagar bata. Ketika berdiri dulu hanya memakai pagar dari bambu. Setelah setahun berdiri dulu Sang Raja mengganti pagar dengan gebyog. Tetapi tak lama kemudian memutuskan mengganti gebyok dengan pagar bata. Pembuatan pagar pun segera dilaksanakan.

Lain cerita, berbeda dengan Sang Raja yang hanya berputra seorang, Pangeran Puger mempunyai banyak putra, dua perempuan dan tujuh laki-laki. Putra yang sulung seorang perempuan yang bernama Raden Ayu Lembah, sangat cantik mengalahkan para bidadari. Sudah sejak kecil digadang-gadang menjadi istri dari putra raja. Panenggak atau putra kedua bernama Raden Teja, adiknya lagi bernama Raden Mesir yang tampan, adiknya lagi Raden Papak dan yang bungsu Raden Kawa. Kelima putra ini lahir dari istri selir.

Adapun istri padmi[1] berasal dari trah Juminahan, juga sudah mempunyai tiga putra yang semua laki-laki. Yang pertama Raden Surya, kedua Raden Sasangka dan ketiga Raden Sudama. Ketiganya sungguh tampan rupawan. Pangeran Puger sangat mengasihi para putra-putranya. Selain yang telah disebutkan Pangeran Puger masih mempunyai seorang puteri bernama Raden Ayu Impun.

Sementara itu di keraton, Sang Raja Amangkurat II sedang bercengkerama dengan permaisuri.

Sang Raja berkata, “Panggilah putramu Pangeran Adipati Mangkunagara[2].”

Yang diperintah segera bergegas memanggil sang putra. Yang dipanggil pun segera menghadap dan menghaturkan sembah.

Sang Raja berkata kepada sang putra, “Anakku Pangeran Adipati, engkau sudah dewasa. Sudah menjelang masa birahimu dan waktunya untuk membangun rumah tangga. Engkau menikahlah dengan saudaramu yang sudah aku jodohkan sejak kecil, yakni anak dari adikku Pangeran Puger. Seorang gadis jelita yang bernama nini Lembah, yang sudah aku jodohkan denganmu sejak kecil. Sekarang lestarikan perjodohan itu.”

Pangeran Adipati berkata sambil menyembah, “Hamba belum pernah melihat putri Paman Puger.”

Berkata Sang Prabu, “Kalau begitu segeralah ke Kapugeran.”

Sang putra segera menyembah dan melaksanakan perintah. Tidak berapa lama sudah sampai di Kapugeran. Ketika itu putra Pangeran Puger yang bernama Raden Teja sedang berada di pintu, kaget melihat datangnya sang kakak. Segera masuk dan melapor kepada ayahandanya.

Pangeran Puger berkata kepada para putranya, “Hai Surya, segera siapkanlah penyambutan. Dan engkau Teja, segera keluar dan anakku Pangeran Adipati persilakan masuk.”

Raden Teja segera keluar menemui Pangeran Adipati, sementara Pangeran Puger pun turun menyambut sang keponakan. Tangan sang pangeran digandeng Pangeran Puger masuk ke puri. Pangeran dipersilakan duduk di tempat yang disediakan dan para putra turut menemui pangeran.

Pangeran Puger berkata, “Nak, kebetulan sekali berjalan-jalan sampai di sini. Apakah ada perintah dari ayahandamu kepadaku?”

Yang ditanya hanya menjawab, “Saya diperintah oleh ayahanda untuk datang ke sini.”

Seketika Pangeran Puger mengerti maksud dari sang kakak menyuruh Pangeran Adipati datang ke kediamannya. Raden Sudira dilirik oleh sang ayah dan segera paham maksudnya. Dia segera memanggil kakak perempuannya, Raden Ayu Lembah.

Di Kaputren Raden Ayu Lembah kaget melihat kedatangan sang adik, “Ada apa engkau datang ke sini Dik?”

Raden Sudira berkata, “Saya diperintah ayah agar kakak menghadap ayah dengan membawa tempat kinang.”

Raden Ayu Lembah bertanya, “Ada apa ayah menyuruh menghadap dengan membawa tempat kinang? Siapa tamu yang datang?”

Raden Sudira berkata, “Tamunya adalah kakak Pangeran Adipati.”

Raden Ayu Lembah berkata, “Kok tumben kakak Pangeran Adipati bertamu ke sini. Duh, saya enggan. Walau masih saudara sendiri tetapi sudah sama-sama dewasa. Dan rikuh karena antara laki-laki dan perempuan. Sebenarnya saya tidak mau.”

Raden Sudira membujuk-bujuk sang kakak, “Kakak jangan sampai engkau membangkang. Tidak urung pasti terkena marah ayahanda.”

Segera menghadap Raden Ayu Lembah dengan membawa tempat kinang dan menghaturkannya kepada ayahanda.

Pangeran Puger berkata pelan, “Engkau haturkan kepada tuanmu.”

Yang disuruh menyembah dan sangat malu hatinya, tetapi sangat takut kepada ayahandanya. Segera dihaturkan tempat kinang kepada Pangeran Adipati. Yang diberi tempat kinang memperhatikan wajah sang putri sampai tertegun dan terbayang-bayang. Raden Ayu Lembah menghaturkan sembah dan segera mundur dengan perasaan sangat malu.

Sang Pangeran Adipati berkata kepada sang paman, “Adik Ayu Lembah ini berapa usianya?”

Pangeran Puger menjawab, “Dengan Ananda hanya selisih satu tahun. Ketika dulu masih di Mataram, ananda pangeran sudah disapih dan adinda ini masih menyusui.”

Pangeran Adipati segera mohon pamit dan kembali ke keraton menghadap Sang Raja. Sudah melapor apa yang terjadi mulai awal sampai akhir.

Tersenyum Sang Raja, berkata pelan, “Anakku segeralah pulang ke rumahmu. Pesanku kalau engkau sudah menjadi suami dari nini Lembah bisa-bisalah engkau ngemong kepada istrimu. Ketahuilah kalau aku meninggal kelak, engkau yang menggantikan sebagai raja. Pamanmu Adipati Puger itu yang mengasuhmu dan juga Dinda di Madura, bersama-sama mengasuhmu dengan Adipati Surabaya. Ketiganya punggawa yang aku pesankan kepadamu tadi, jangan sampai engkau buat kecewa. Kelak apa yang mereka katakan turutilah, wahai anakku. Tidak akan lestari engkau menjadi raja di Kartasura kalau tidak bisa membuat nyaman ketiga punggawa itu. Tidak akan langgeng engkau menjadi raja dan akan rusak negara.”

Pangeran menyembah dan pulang ke kediamannya karena hari sudah larut malam. Paginya, ketika hari Senin Sang Raja menggelar pisowanan di hadapan segenap punggawa. Para pembesar berada di depan, diapit para magersari di kiri dan kanan. Begitu berwibawa Sang Raja laksana matahari yang bersinar terang. Dikelilingi para abdi dalem keparak, prajurit Jagabaya, prajurit Sangkragnyana, prajurit Yudamanggala, Nirbaya, Kartiyasa, Wisamarta, Brajanala dan Wirabraja. Prajurit Patrayuda, Kanoman, Martalulut dan Singanagara, mantri anom dan gandek, dan semua prajurit yang ada di keraton lengkap hadir. Juga hadir para niyaga, kabayan, carik, gamel, Judhipati, Jagasura, Margasa, Tuwaburu, Gowong dan Pamajegan.

Sang Adipati Puger sudah menghadap, duduk berjajar dengan Pangeran Arya Mataram dan Pangeran Panular. Juga berjajar dengan Arya Sindureja, Wiradigda, Tumenggung Urawan, Tumenggung Mangkuyuda, Tumenggung Natayuda dan Ki Tumenggung Wiraguna. Juga telah hadir para kandhuruan, Kyai Mangunnagara, Kyai Sumabrata, para rongga, demung, pecatanda, ondamoi, ngabei dan Arya Jasupanteng.

Sang Raja memberi isyarat agar Pangeran Puger mendekat. Yang dipanggil segera mendekat sambil menyembah serta menyentuh kaki Sang Raja. Sangat takut Pangeran Puger kepada sang kakak.

Sang Raja berkata pelan, “Adik, anakmu nini Lembah aku minta untuk kujodohkan dengan anakmu Adipati Anom.”

Sang adik menyembah tak menolak kehendak raja, walau hidup mati pun dihaturkan sang Raja.

Sang Prabu bertitah kepada Patih Sindureja, “Si Penghulu panggilah segera!”

Penghulu sudah menghadap dan ketika sedang berbincang mendadak datang utusan dari Sampang membawa surat, yang segera diambil oleh Ki Patih. Surat sudah dihaturkan kepada Raja dan dibaca dengan seksama.

Sinuhun berkata, “Wahai Sindureja, balaslah surat dari Dinda Adipati di Sampang ini.  Katakan kelak kalau sudah genap tujuh bulan aku panggil kembali ke kotaraja.”

Sindureja menyembah mematuhi perintah. Sang Prabu segera masuk puri diiringi para wanita. Sesampainya di puri Pangeran Puger dipanggil beserta segenap para punggawa. Ki Pengulu dan Ki Ketib sudah datang, sang Pangeran Adipati sudah dipanggil. Pangeran datang dengan menghaturkan sembah.

Sang Prabu berkata kepada Penghulu, “Hai Penghulu, anakku nanti nikahkanlah dengan anak adikku di Kapugeran.”

Penghulu menghaturkan sembah kepada Sang Raja lalu memanjaatkan doa. Tak diceritakan secara rinci jalannya ijab-kabul. Ketib segera membaca shalawat dan keluar dari tempat akad nikah. Semua warga bersorak dari dalam puri dengan suara gemuruh tanda sukacita.

Sang Raja berkata kepada Pangeran Puger, “Dinda segera pulanglah dan riaslah anakmu.”

Pangeran Puger meninggalkan tempat dengan menyembah. Sesampai di Kapugeran berkata kepada istrinya, “Dinda, segera riaslah anakmu. Nanti sore anakmu diambil masuk ke istana.”

Istrinya menjawab dengan menyembah. Raden Ayu Lembah segera dirias oleh ibunya. Para bibi menghadap kepada sang putri yang mirip Dewi Ratih. Semua membujuk-bujuk sang putri yang sangat galau hatinya. Karena sudah mendengar kalau Raden Mantri (Pangeran Adipati) berwatak rusuh dan rakus, maka hati menjadi ragu-ragu menerima perjodohan ini. Hanya semata-mata karena takut kepada sang ayah sang putri tak bisa menolak. Para bibi terus membujuk sehingga hati sang putri kembali gembira.

Diberi ganti pakaian bawah sang putri yang mirip Dewi Ratih oleh sang ibu, dan diberi wewangian. Sudah dipakaikan kampuh dan dirias tuntas. Tampak penampilan kalau dilihat seperti bulan di pagi hari, bersinar samar-samar membuat terpesona yang melihat. Terlihat wajahnya berseri, rambutnya bagaikan ombak lautan bertabur bunga, semakin menambah harum. Bulu mata lentik, mata sayu karena kurang tidur. Alis seperti bulan tanggal satu. Gigi seperti deretan mutiara. Dada bidang luas. Payudara seperti kelapa gading, kalau berjalan bergoyang-goyang menggetarkan hati yang melihat. Sungguh, bahkan di dalam mimpi pun belum ada yang pernah melihat wanita yang seperti ini, benar-benar ratunya para gadis.

Kita tinggalkan yang seperti Dewi Ratih. Sementara itu Raden Ayu Sindureja diutus Sang Raja datang di Kapugeran beserta istri para bupati. Mereka sudah sampai di hadapan Pangeran Adipati Puger.

Pangeran Adipati Puger berkata kepada istrinya, “Nah Dinda, putramu segera berangkatkanlah.”

Sang istri menyembah lalu berangkat, tangan sang putri digandeng Raden Ayu Sindureja, dinaikkan ke tandu dan diiringi para bibi dari Kapugeran.

Tidak diceritakan di jalan, sampailah sudah di Sitinggil keraton. Tandu sudah berlalu masuk ke dalam keraton, lalu terus berhenti di Sri Manganti. Raden Ayu Lembah dipersilakan turun dari tandu, disambut para istri punggawa keraton. Permaisuri pun turun menyambut sang menantu. Tangan kanan digandeng Kangjeng Ratu Kencana, tangan kiri digandeng Kangjeng Ratu Kilen. Segera dibawa masuk ke dalam puri dan dipertemukan dengan Raden Mantri. Keduanya lalu menyembah dan sungkem kepada Raja.

Sang Raja berkata, “Anakku Pangeran Adipati, yang bisa ngemong pada istrimu karena dia masih saudaramu sendiri.”

Kedua putra menyembah patuh.

Sang Prabu berkata pelan, “Dinda permaisuri, putramu bawalah ke gandhok barat.”

Kedua istri Sang Raja menyembah, lalu segera membawa kedua mempelai ke gandhok barat. Sudah dipertemukan sang putri dan sang tampan, terlihat keduanya seperti Kamajaya dan Ratih. Kedua ibu permaisuri sangat suka hati. Mereka berdua mengapit kedua mempelai. Di hadapan mereka duduk berjajar para istri punggawa. Terlihat air mata sang putri jatuh di pipi karena rasa hati yang bercampur. Setelah hari menjelang sore kedua pengantin dipersilakan masuk ke peraduan.

Pangeran tak sabar dalam hati, lalu disambut sang putri dengan menepis tangan pangeran. Pangeran kembali hendak merangkul sambil merayu dengan kata-kata semanis madu. Katanya, duhai tuanku, sudah sepantasnya orang cantik banyak pujian, tetapi sungguh membuat jatuh cinta. Tak diceritakan yang terjadi selanjutnya, pangeran semalaman tidak tidur, hanya selalu membujuk-bujuk istrinya yang selalu menolak. Tetapi pangeran sudah berpengalaman dalam menaklukkan wanita. Tampaknya kehendaknya pun kesampaian. Matahari sudah terbit.

Sudah selesai yang memadu kasih, pangeran duduk berdua bersama sang istri. Ibu suri datang disambut oleh keduanya. Sang putri lalu dirias, dan keduanya dihadapkan sang Raja.

Sangat suka hati Sang Raja, berkata kepada Raden Ayu Sindureja, “Hai Dinda, ayo segera iringilah kedua putramu ini.”

Kedua putra menghaturkan sembah, segera beranjak keluar. Ibu suri mengantar sampai ke luar. Keduanya menuju kediaman Pangeran Puger.

Tak berapa lama sampailah mereka di Kapugeran. Pangeran Puger menyambut kedua putra, diiringi semua istri dan putra-putra Kapugeran. Kedatangan sang raja putra diiringi beberapa prajurit berkuda, yang segera turun dari kuda masing-masing. Dan sang putri turun dari tandu. Sang ibu telah menyambut.

Sang putra raja sungkem kepada sang paman, lalu dipersilakan masuk ke dalam rumah. Para istri tumenggung yang mengiringi pangeran pun ikut masuk. Tak ketinggalan para bupati yang dipimpin Pangeran Arya Mataram dan Pangeran Panular. Peristiwa besar ini ditandai dengan sengkalan tahun: wong kekalih ngobahaken jagad[3]. Setelah itu para punggawa bersuka-suka dengan pentas tayub di Kapugeran. Suasana di Kapugeran riuh oleh sorak-sorai kegembiraan dari para punggawa dan tamu yang hadir.

Setelah semalam di Kapugeran, sang putra raja kembali ke kediamannya di kadipaten diiringi semua punggawa. Sudah sampai mereka di kadipaten, pesta berlanjut semalaman dengan main dadu. Paginya para adipati pulang. Sementara itu, kedua pengantin selalu memadu kasih.

Pangeran Adipati berkenan memanggil sendirian sang adik Raden Sudira ke kadipaten. Tampak sangat kasih sang pangeran kepada sang adik ipar itu. Sang putra raja duduk di bangku emas, berjajar tak pernah pisah dengan istrinya. Raden Sudira sudah menghadap.

Sang pangeran berkata manis, “Majulah mendekat ke sini Dinda. Apakah engkau sudah punya nama?”

Sang adik menjawab, “Sudah, yakni Suryakusuma.”

Pangeran Adipati bertanya lagi, “Siapa lagi adik lain yang sudah punya nama?”

Raden Sudira menyembah, “Adik Papak sudah bernama Raden Antawirya, Dik Mesir bernama Raden Martataruna, Dik Kawa diberi nama Raden Dipataruna.”

Pangeran berkata lagi, “Adikmu si Surya sekarang namanya siapa?”

Raden Sudira menyembah, “Adik Surya sekarang bernama Suryaputra, masih membawa nama kecilnya.”

Pangeran tampak tidak suka, menarik nafas lalu berkata, “Tidak lazim bernama Suryaputra, seperti gubernur saja. Beritahu dia aku beri nama Wangsataruna, itu lebih baik, jangan Suryaputra.”

Pangeran selama ini memang tidak suka melihat Raden Suryaputra. Di antara saudaranya putra-putra Kapugeran memang hanya satu Raden Sudira inilah yang dikasihi. Bahkan dengan pangeran boleh tidak memakai bahasa halus, hanya bahasa ngoko saja.

Raden Suryakusuma sudah diijinkan pulang, sang putri melirik, pelan berkata, “Kakanda permintaanku jangan seperti itu kepada saudaraku. Kok kesannya menyia-nyiakan. Siapa yang sebaiknya direpotkan kelak kalau bukan saudara, lainnya takkan sanggup. Mana ada nama kok dilarang, baru ada yang seperti paduka ini. Lazimnya saudara ipar diangkat kedudukannya, bukan malah mengganti nama Suryaputra menjadi Wangsataruna. Sayang sekali saudaraku orang gagah-tampan diberi nama Wangsataruna.”

Sang Pangeran tersenyum berkata pelan, “Tidak Dinda, memang sudah pantas memakai nama Wangsataruna saja. Tanda bahwa saudaraku.”

Sang putri menjawab, “Duh pintar sekali bersilat lidah, walau maksudnya baik tetap lahirnya buruk. Nama Wangsataruna patutnya untuk orang desa.”

Sang putri sakit hati tetapi dipaksakan gembira di dalam luka hatinya. Sementara itu Raden Suryakusuma sudah sampai di Kapugeran, sudah bertemu dengan para saudaranya. Kepada mereka dikatakan kalau nama Suryaputra diganti oleh Pangeran Adipati menjadi Wangsataruna. Raden Suryaputra tak berkata sepatah pun, hanya terlihat berlinang air mata.

Sang kakak menghiburnya, “Jangan seperti anak kecil, jangan susah hatimu. Orang mengabdi sudah lazim menurut kehendak tuannya. Laksanakan saja bahkan kalau diberi nama Nitikerti. Siapa tahu kelak Allah yang Maha Agung membuat engkau dan aku lebih unggul, yang demikian gampang saja. Sekarang laksanakan saja. Kakak tadi terlihat sakit hati. Aku kira setelah kepulanganku terjadi pertengkaran oleh sebab pergantian namamu. Ayo sekarang menghadap ayah untuk melaporkan kalau namamu diganti Wangsataruna.”

Mereka segera berangkat menghadap ayahandanya.

Sesampai di hadapan sang ayah mereka menyembah seraya melaporkan bahwa nama Suryaputra sudah diganti menjadi Wangsataruna oleh sang kakak Pangeran Adipati.

Sang ayah berkata pelan, “Tidak mengapa, sudah lazim orang mengabdi harus menurut kehendak tuannya. Bagaimanapun engkau diperlakukan jangan sampai masygul hatimu. Meski engkau kecil tidak akan terhalang kehendak Yang Maha Tinggi karena Dia yang menciptakan makhluk. Buruk atau baik itu kehendak dari Tuhan, janganlah sakit hatimu. Karena memang dia yang berkuasa di tanah Jawa dan merasa engkau mengabdi, tak boleh engkau memilih. Durhaka anakku kalau engkau punya sakit hati. Serta engkau Sudira, yang bisa engkau mengabdi tuan, jangan karena saudara ipar tuanmu lalu engkau berbuat yang bukan-bukan kepada sesama. Jangan karena engkau dikasihi, hai Sudira, engkau yang waspada. Ingat jangan menyimpang karena orang menyimpang durhaka besar. Pertama durhaka kepada Tuhan, kedua durhaka kepada saudara tua dan ketiga durhaka kepada tuan.”

Kedua putra menyembah sambil berlinang air mata. Sang ayah melanjutkan, “Hai Sudira melaporlah segera karena engkau seorang utusan. Jangan sampai engkau berlama-lama.”

Kedua putra meninggalkan sang ayah, Raden Sudira segera kembali menghadap Pangeran Adipati untuk melaporkan bahwa semua perintah telah dilaksanakan. Pangeran terlihat tersenyum puas.

Ganti yang diceritakan. Pasukan Kartasura yang sedang berada di Gentong dibawah pimpinan Adipati Madura kedatangan utusan yang membawa surat dari Sang Raja. Utusan sudah ditemui di malam hari dan surat sudah diterima. Adipati Madura segera memberi perintah kepada seorang mantri bernama Rangga Malangjiwa yang ditunjuk melaksakan tugas ke Pasuruan.

Sementara itu para balatentara sudah dikumpulkan. Adipati Surabaya yang duluan datang. Semua diberi tahu bahwa barisan dibubarkan untuk kembali ke Kartasura. Karena sudah hampir sewindu mereka berada di Gentong.

Di lain tempat utusan Adipati Madura Ki Malangjiwa sudah sampai di Pasuruan melalui jalur belakang dan bertemu dengan Raden Untung Surapati.

Barisan balatentara Adipati Sampang dan Adipati Surabaya serta prajurit dari pesisir utara sudah mulai berangkat ke Kartasura. Ki Malangjiwa sudah kembali bergabung dengan barisan Madura. Terus berjalan sampai di Semanggi dan setelah istirahat sebentar terus melaju ke Kartasura. Yang pertama dituju adalah kediaman Patih Sindureja. Di sana mereka berhenti sebentar untuk mempersiapkan diri ke istana.

Gandek datang dari istana untuk menyambut kedua adipati dan Patih Sindureja. Ketiga punggawa segera dibawa ke istana untuk menghadap baginda Raja. Sang Raja sangat suka hati.

Sang Raja berkata, “Sudah sangat rindu hatiku kepada kalian, karena sudah sewindu tidak bertemu.”

Adipati Madura dan Adipati Surabaya sudah diberi hadiah busana yang indah-indah dan karena sudah malam diizinkan untuk kembali ke tempatnya masing-masing.


[1] Istri utama. Kalau bagi raja namanya istri prameswari (permaisuri).

[2] Adipati Mangkunagara adalah gelar dari putra mahkota.

[3] Sengkalan: wong kêkalih ngobahakên jagat artinya dua orang menggoyang jagad. Sengkalan ini berangka tahun 1621 A.J atau bertepatan dengan tahun 1697/1698 M.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/08/29/babad-tanah-jawi-92-raja-amangkurat-berbesanan-dengan-pangeran-adipati-puger/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...