Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (93): Raden Ayu Lembah dipulangkan ke Kapugeran

 Pangeran Adipati Anom, sudah kehendak Tuhan dalam berjodoh selalu berselisih dengan Raden Ayu Lembah. Selalu saja kehendaknya tak satu kata dengan sang istri. Tersudut sang putri oleh pangeran karena mempunyai dua selir yang sangat cantik dan selalu dipuji-puji. Malah menjadi lupa dengan sang istri dan lebih sering bersama dua selir dari Onje, anak seorang abdinya yang bernama Pakujaya. Raden Ayu Lembah karena merasa tersisihkan kemudian pulang ke Kapugeran, istilahnya purik. Sementara sang adik Raden Suryakusuma masih tinggal di kadipaten.

Sedikit melihat cerita lama, ketika Sang Raja menaklukkan Giripura[1], beliau mengambil putra Pangeran Giri yang perempuan untuk diambil istri. Diceritakan sekarang Raden Ayu Giri sudah tiga bulan tidak mau melayani Sang Raja.

Setiap dipanggil Sang Raja selalu berkilah, “Katakan kepada Sang Raja kalau saya tidak mau. Sudah bosan menjadi istri raja.”

Apa yang dikatakan tadi sudah dilaporkan kepada Raja. Sang Raja kemudian turun sendiri ke tempat Raden Ayu Giri.

Raden Ayu Giri menyembah kepada Raja, Sang Raja berkata, “Wahai Dinda, apakah benar engkau sudah bosan menjadi istriku.”

Raden Ayu Giri menjawab, “Benar sungguh sudah bosan mempunyai suami paduka.”

Sang Raja bertanya, “Apakah engkau ingin menikah dengan yang lain?”

Sang istri menjawab, “Bila paduka rela memang ingin menikah dengan yang lain.”

Sang Raja berkata pelan, “Kalau demikian dindaku, pilihlah para adipati semua di Kartasura, punggawa atau para pembesar negeri.”

Putri Giri berkata, “Tidak mau dengan orang sini, orang pesisir saja.”

Sang Raja berkata, “Kalau begitu engkau berhiaslah, nanti saya carikan suami.”

Sang putri menyembah, Sang Raja pun kemudian kembali. Sesampainya di istana segera memanggil Adipati Sampang Pangeran Cakraningrat. Tak lama kemudian yang dipanggil datang di hadapan sang Raja.

Berkata pelan Sang Raja, “Wahai Dinda, apakah engkau bersedia menikah. Kalau bersedia aku akan menikahkanmu.”

Cakrangingrat, “Ampun paduka. Kalau ada kasih Sang Raja bagaimana hamba akan menolak?”

Sang Raja kemudian memanggil Raden Ayu Giri yang sudah berhias, dan segera datang di hadapan Raja.

Sang Raja berkata kepada Cakraningrat, “Ayolah Dinda, engkau pilihlah wanita yang ada di belakangku ini.”

Pangeran Adipati Sampang ketika melihat ada wanita cantik yang dirias sudah menduga maksud Sang Raja, Cakraningrat menyembah dan berkata, “Baiklah paduka, yang berpakaian sutra, berkain motif bunga.”

Sang Raja tersenyum, berkata pelan, “Ayolah Dinda, segera gotonglah pulang sana.”

Pangeran Cakraningrat segera menyingsingkan kainnya yang terjurai. Ketika tadi dipanggil tak sempat mengenakan tutup kepala, hanya membawa selendang saja. Sudah digendong Raden Ayu Giri oleh Adipati Sampang. Peralatan upacara juga diberikan berupa bokor emas dan tempat kinangnya.

Sementara itu Ki Patih Arya Sindureja adalah seorang bijaksana dan sangat tajam perasaannya. Ketika melihat Adipati Sampang dipanggil Raja sudah menduga yang akan terjadi. Segera mempersiapkan tandu dan menyusul menghadap di istana. Ketika sampai di Panangkilan tandu diletakkan dan menyusul masuk sampai ke Sri Manganti. Ketika sampai di pintu berpapasan dengan Adipati Sampang yang baru saja keluar sambil menggotong wanita.

Tersenyum Raden Sindureja, “Duhai Pangeran, mendapat rejeki nomplok.”

Keduanya lalu bertolak keluar istana. Sesampai di luar Raden Sindureja berkata, “Kembalilan dulu ke pondokan. Adindamu ini saya bawa, nanti ketemu di Sindurejan.”

Pangeran Sampang tak menolak. Raden Ayu Giri dinaikkan ke tandu dibawa ke Kasindurejan. Pangeran Sampang sampai di pondokan, segenap para adipati pesisir diundang berkumpul lalu dibawa ke Sindurejan. Sesampainya di Kasindurejan sang adipati lalu berembug untuk melakukan pernikahan. Singkat cerita keduanya lalu menikah di Kasindurejan.

Ganti cerita, ketika Sang Raja mendengar sang putra menantu, yakni Raden Ayu Lembah meninggalkan rumah kembali ke Kapugeran, sangat galau hatinya. Sang Raja lalu bermaksud mengutus seseorang. Ada tiga abdi dalem yang dekat dari Suranatan, Ki Angga, Ki Eseh dan Sarawadi yang ketiganya sangat dipercaya di istana. Mereka diberi sawah masing-masing dua jung. Ki Angga sudah dipanggil bersama Ki Eseh dan Ki Sarawadi.

Sang Raja berkata, “Engkau Angga laksanakan segera, aku utus ke Kapugeran, berangkatlah bersama Eseh. Tugasmua ada dua, yang pertama tanyakan kabar tentang putraku apa yang menjadi sebab bertengkar dan purik ke sana. Kedua, engkau katakan kepada Dinda Puger kalau aku meminta pola pusaka Kyai Maesanular dan Kyai Plered. Ingat, polanya engkau tunggu sampai jadi. Aku hendak membuat pusaka tiruannya.”

Angga dan Eseh menyembah dan keluar, jalannya tergesa-gesa. Sesampai di Kapugeran, Pangeran sedang duduk di luar masjid kecil dekat kolam. Terlihat kaget ketika melihat Ki Angga datang dengan Ki Eseh.

Pangeran berkata, “Apakah engkau diutus menyampaikan perintah?”

Angga dan Eseh menyembah, “Pangeran, hamba diutus kakak paduka Raja bertanya mengapa raden ayu ada di sini.”

Pangeran berkata, “Angga, aku belum mendengar kabar, karena aku belum bertanya. Nak Pangeran Adipati juga belum memberi tahu masalah istrinya. Aku juga belum bertemu dengan anakku, belum tahu berapa lama sudah berada di luar rumah. Sekarang aku ingin engkau Angga, temuilah dan periksalah sendiri.”

Ki Angga berkata, “Takut saya paduka mendahului kehendak kakak paduka. Apa yang paduka katakan akan saya laporkan kepada Raja. Dan lagi, saya diutus meminta pola dua pusaka paduka. Karena kakanda paduka akan meniru pusaka Maesanular dan Kyai Plered.”

Pangeran berkata manis, “Pusaka itu bawalah saja, tidak harus membuat pola segala, untuk apa itu. Kyai Mesanular dan Kyai Plered saja kau haturkan.”

Angga dan Eseh memohon, “Saya sangat takut kalau tidak diijinkan. Perintah Kakanda Raja hanya meminta pola saja.”

Pangeran Puger berkara, “Sudah bawalah itu, jangan khawatir hai Angga, tidak apa-apa. Bawalah segera!”

Pangeran masuk ke dalam rumah, keris dan tombak sudah dibawa keluar. Keris Kyai Maesanular dan Kyai Plered sudah diterima. Yang membawa Kyai Pleret Ki Angga, Ki Eseh membawa keris Kyai Maesanular. Segera menyembah dua utusan dan beranjak dari Kapugeran.  

Sementara itu, Sang Raja setelah keberangkatan Ki Angga dan Ki Eseh ke kadipaten disuruhlah Ki Sarawadi agar bertanya kepada Patih Sada[2], dengan pesan agar jangan mengaku kalau disuruh.

Ki Angga dan Ki Eseh sudah sampai di istana, sudah menghadap Sang Raja. Ketika Sang Raja melihat Ki Angga dan Ki Eseh membawa Kyai Plered dan Maesanular sangatlah marah Sang Raja. Terlihat wajahnya memerah, bibir bergetar, seakan-akan hendak menusuk kedua utusan tanpa dosa itu.

Berkata keras Sang Raja, “Kelewat lancang kalian ini namanya. Berani-beraninya membawa pusaka itu. Aku tidak meminta kedua pusaka, hanya polanya saja. Bawalah kembali segera!”

Angga Eseh gemetar ketakutan, berkata terputus-putus, “Hidup mati hamba serahkan. Bukan kehendak hamba, hanya karena setianya adik paduka sehingga kedua pusaka disuruh membawa saja.”

Sang Raja kasihan melihat kedua orang yang ketakutan, Angga dan Eseh disuruh kembali dan meminta polanya saja. Angga dan Eseh sudah kembali, tak mengira kalau masih diberi hidup. Sesampai di luar disertai abdi keparak berangkat ke Kapugeran.

Sesampai di Kapugeran Ki Angga berkata meminta belas kasih, “Duh Pangeran saya dimurkai oleh kakak paduka, karena saya lancang membawa dua pusaka. Kehendak kakak paduka polanya saja yang diminta. Hampir-hampir saja saya dibunuh.”

Pangeran Puger tersenyum dalam hati, lalu segera membuat pola. Tak lama pola sudah jadi, lalu diserahkan kepada Ki Angga dan keduanya segera kembali ke istana. Sesampai di istana pola dihaturkan kepada Raja. Pola diambil dan Ki Angga melaporkan tugas lainnya.

“Perkara putra paduka sang putri yang sedang berada di Kapugeran, adik paduka belum mengetahui beritanya. Sudah lama putra paduka Pangeran Adipati tidak berkunjung ke Kapugeran, juga belum memberitahu kepada adik paduka apa yang terjadi.”

Sang Raja ketika mendengar sangatlah galau hatinya. Sementara itu Ki Sawadi datang dan menghaturkan sembah lalu melapor.

“Mohon izin melapor, sebab putra paduka berselisih dengan suaminya bisa disebut karena tinggi hati, tak boleh terkena perkataan kasar. Raden Ayu hatinya sensitif dan putra paduka Kangjeng Pangeran sedikit gampang marah.”

Sang Raja sangat bersedih oleh karena sang putra tidak rukun dalam berumah tangga dengan putri Kapugeran.

Sang Raja ketika itu mengumumkan akan membuat danau buatan, letaknya di sebelah barat kotaraja. Yang mengerjakan orang pesisir serta orang Kartasura. Lamanya pekerjaan tidak diceritakan, danau buatan sudah jadi. Dalam dan luas dan juga diberi piaraan buaya. Tak lama kemudian juga membuat gorong-gorong. Kemudian menggiring rusa dari Mataram diberi kandang di pinggir danau buatan sebagai tempat untuk bercengkerama.

Sang Raja kemudian membuat masjid dengan pola seperti masjid Demak. Masjid itu sebagai pengganti masjid lama yang terbakar dan juga hanya kecil dan karenanya membuat lagi yang besar.


[1] Istana Sunan Giri atau sering disebut Giri Kedaton.

[2] Patih kadipaten Mangkunagaran, istana putra mahkota.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/08/30/93-raden-ayu-lembah-dipulangkan-ke-kapugeran/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...