Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (94): Raden Sukra dianiaya oleh Pangeran Adipati Anom

 Ganti cerita, Raden Arya Sindureja mempunyai seorang putra yang sangat tampan, bernama Raden Sukra. Sudah menginjak dewasa dan semakin rupawan sehingga menjadi idaman para gadis. Wataknya semangat dan ringan tangan, bijaksana serta menguasai sastra. Tidak heran selalu membuat kepincut para gadis. Walau sesama pria pun akan terpesona melihat ketampanannya yang macho dan cool.

Suatu ketika Raden Sukra disuruh mengiring prajurit saat latihan di alun-alun. Dengan naik kuda di barisan Raden Sukra terlihat mencolok dengan busana yang gemerlap. Terlihat sangat gagah dan menonjol di tengah barisan prajurit. Pangeran Adipati Anom yang melihat hal itu menjadi panas hatinya.

Dia bertanya kepada Patih Sada, “Siapa yang menunggang kuda di tengah barisan itu?”

Patih Soda menjawab, “Pangeran, itu anak dari Patih Sindureja.”

Pangeran Adipati berkata dengan amarah, “Segera panggilah menghadap!”

Pangeran Adipati segera kembali dan duduk menanti di pinggir pagar bata di kadipaten. Sudah berkumpul para abdi, Ki sutipon, Gagarungsit, Sutama, Kontholbelang, Sutakithung, Wirakabluk, Jagadngampar, Bajobarat, Kartipancal dan Secaluthik berada di hadapan sang pangeran.

Raden Sukra tidak lama kemudian datang di hadapan Pangeran Adipati, duduk dengan menunduk. Pangeran melihat sangat panas hati. Tak ada dosa si Sukra, hanya ketampanannya itu membuat Pangeran tidak suka. Para abdi diberi isyarat dengan kedipan mata, langsung menubruk Raden Sukra. Kerisnya dicabut, Raden Sukra diikat. Sukra merintih tanpa dosa.

Pangeran berkata keras, “Diam jangan berisik. Engkau berlagak angkuh Sukra. Berani menunggang kuda di tengah orang banyak. “

Raden Sukra dipukuli, dan dicocok bara, mata dijejali semut hitam. Sukra menggelepar tobat-tobat meminta ampun, “Aduh hamba tidak salah jangan dianiaya tuan.”

Dijejali semut lagi matanya, Raden Sukra berkalang tanah. Setelah sempat memukul kepalanya Pangeran Adipati berlalu. Raden Sukra terkapar, abdinya datang menolong. Sudah digendong Raden Sukra. Kedua matanya terpejam. Darah menetes dari matanya. Sesampai di pasar orang banyak datang menolong dengan membawa tandu, lalu dibawa ke Kasindurejan.

Raden Arya Sindureja melihat dan sudah diberi tahu yang terjadi. Raden Patih seketika melihat sang putra lupa akan tuannya, mata melotot, wajahnya memerah seperti bunga wora-wari. Patih sangat marah, mengapa tanpa dosa Pangeran tega menganiaya anaknya. Setelah dibujuk dan dipegangi para abdi, Raden Sindureja luluh kemarahannya. Walau sangat kasihan melihat sang putra tetapi pasrah.

Raden Patih hanya bisa mendesah, “Duh anakku, ya Tuhan.”

Raden Sukra setelah diobati tujuh hari sehat kembali seperti sedia kala.

Raden Sukra berkata kepada sang ayah, “Hamba pamit mati, akau mengamuk di Kadipaten nanti malam memakai tombak dan pedang.”

Memang Raden Sukra mempunyai pasukan Bugis tujuh puluh orang. Demikian juga ayahandanya, mempunyai banyak prajurit Bugis.

Raden Sindureja berkata kepada sang anak, “Duh anakku, terapkan kesungguhanmu pada tuan, merasalah kalau sebagai hamba. Sekehendak tuan laksanakan kalau mampu. Jangan sok meringankan mati, walau mati pun tetap terkena dosa. Sudah menjadi tugas seorang hamba tak boleh memilih mati.”

Raden Sukra takut kepada ayahandanya, tetapi hatinya menyimpan dendam. Kapan bisa bertemu satu lawan satu dengan pangeran akan beradu tombak, kapan lagi akan beradu keris.


Ganti cerita, Raden Arya Sindureja mempunyai seorang putra yang sangat tampan, bernama Raden Sukra. Sudah menginjak dewasa dan semakin rupawan sehingga menjadi idaman para gadis. Wataknya semangat dan ringan tangan, bijaksana serta menguasai sastra. Tidak heran selalu membuat kepincut para gadis. Walau sesama pria pun akan terpesona melihat ketampanannya yang macho dan cool.

Suatu ketika Raden Sukra disuruh mengiring prajurit saat latihan di alun-alun. Dengan naik kuda di barisan Raden Sukra terlihat mencolok dengan busana yang gemerlap. Terlihat sangat gagah dan menonjol di tengah barisan prajurit. Pangeran Adipati Anom yang melihat hal itu menjadi panas hatinya.

Dia bertanya kepada Patih Sada, “Siapa yang menunggang kuda di tengah barisan itu?”

Patih Soda menjawab, “Pangeran, itu anak dari Patih Sindureja.”

Pangeran Adipati berkata dengan amarah, “Segera panggilah menghadap!”

Pangeran Adipati segera kembali dan duduk menanti di pinggir pagar bata di kadipaten. Sudah berkumpul para abdi, Ki sutipon, Gagarungsit, Sutama, Kontholbelang, Sutakithung, Wirakabluk, Jagadngampar, Bajobarat, Kartipancal dan Secaluthik berada di hadapan sang pangeran.

Raden Sukra tidak lama kemudian datang di hadapan Pangeran Adipati, duduk dengan menunduk. Pangeran melihat sangat panas hati. Tak ada dosa si Sukra, hanya ketampanannya itu membuat Pangeran tidak suka. Para abdi diberi isyarat dengan kedipan mata, langsung menubruk Raden Sukra. Kerisnya dicabut, Raden Sukra diikat. Sukra merintih tanpa dosa.

Pangeran berkata keras, “Diam jangan berisik. Engkau berlagak angkuh Sukra. Berani menunggang kuda di tengah orang banyak. “

Raden Sukra dipukuli, dan dicocok bara, mata dijejali semut hitam. Sukra menggelepar tobat-tobat meminta ampun, “Aduh hamba tidak salah jangan dianiaya tuan.”

Dijejali semut lagi matanya, Raden Sukra berkalang tanah. Setelah sempat memukul kepalanya Pangeran Adipati berlalu. Raden Sukra terkapar, abdinya datang menolong. Sudah digendong Raden Sukra. Kedua matanya terpejam. Darah menetes dari matanya. Sesampai di pasar orang banyak datang menolong dengan membawa tandu, lalu dibawa ke Kasindurejan.

Raden Arya Sindureja melihat dan sudah diberi tahu yang terjadi. Raden Patih seketika melihat sang putra lupa akan tuannya, mata melotot, wajahnya memerah seperti bunga wora-wari. Patih sangat marah, mengapa tanpa dosa Pangeran tega menganiaya anaknya. Setelah dibujuk dan dipegangi para abdi, Raden Sindureja luluh kemarahannya. Walau sangat kasihan melihat sang putra tetapi pasrah.

Raden Patih hanya bisa mendesah, “Duh anakku, ya Tuhan.”

Raden Sukra setelah diobati tujuh hari sehat kembali seperti sedia kala.

Raden Sukra berkata kepada sang ayah, “Hamba pamit mati, akau mengamuk di Kadipaten nanti malam memakai tombak dan pedang.”

Memang Raden Sukra mempunyai pasukan Bugis tujuh puluh orang. Demikian juga ayahandanya, mempunyai banyak prajurit Bugis.

Raden Sindureja berkata kepada sang anak, “Duh anakku, terapkan kesungguhanmu pada tuan, merasalah kalau sebagai hamba. Sekehendak tuan laksanakan kalau mampu. Jangan sok meringankan mati, walau mati pun tetap terkena dosa. Sudah menjadi tugas seorang hamba tak boleh memilih mati.”

Raden Sukra takut kepada ayahandanya, tetapi hatinya menyimpan dendam. Kapan bisa bertemu satu lawan satu dengan pangeran akan beradu tombak, kapan lagi akan beradu keris.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/08/31/babad-tanah-jawi-94-raden-sukra-dianiaya-oleh-pangeran-adipati-anom/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...