Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (95): Raden Sukra punya maksud kepada Raden Ayu Lembah, belum tercapai keduanya tewas

 Sakit hati akibat perlakuan Pangeran Adipati membuat Raden Sukra dendam. Raden Sukra teringat kalau istri Pangeran Adipati telah berpindah ke rumah Kapugeran.

“Aku coba mendekatinya,” demikian angan Raden Sukra, “Benar aku akan mencari jalan.”

Raden Sukra lalu memanggil dua orang pengasuhnya yang bernama Singananda dan Patrawisa. Sesampai di hadapannya dua pengasuh dibawa ke belakang, ke gandok timur.

Raden Sukra bicara berbisik, “Hai bapak, engkau sudah tahu berita Raden Ayu Adipati berpindah ke Kapugeran?”

Singananda-Partawisa menjawab pelan, “Ya benar hamba mendengar berita itu. Menurut cerita orang-orang di luar sana, karena kalah oleh selir dari Onje yang sudah diangkat sebagai istri. Karena itu Raden Ayu pergi. Adapun sekarang di Kapugeran masih ditolak sang ayah. Kemarin hamba mengunjungi saudara saya yang membawa berita si Jamarta. Kata orang Kapugeran setiap hari Raden Ayu duduk di panggungan, terlihat dari jalan. Sepertinya sedang menghibur diri karena galau kepada suaminya. Oleh ayahandanya Raden Ayu tak diajak bicara, karena sang ayah marah dan berharap segera kembali ke kadipaten.”

“Hai bapak, ambilah kudaku si Nirwati, kuda putih warnanya,” kata Raden Sukra.

Kuda segera diambil, dipakaikan kain beludru ungu bergaris cindhe puspita. Kuda dihias indah agar kelihatan menarik. Raden Sukra memakai busana batik hijau dan sabuk jingga berenda emas, dengan tutup kepala hitam beserta perlengkapan pakaian lainnya. Kalau dilihat sang tampan sungguh luwes gerak-geriknya seperti putra raja Dwarawati Raden Samba.

Raden Sukra segera keluar, pengiring dua puluh prajurit menyertainya. Tak ketinggalan dua pengasuh, Singananda dan Partawisa. Sesampai di luar segera naik kuda dan berjingkrak-jingkrak di sepanjang jalan. Yang dituju adalah belakang Kapugeran. Maksudnya akan mendekat ke tembok pagar taman yang arah utara di pinggir jalan dan terus ke pinggir sungai.

Ganti cerita yang sedang di tamansari, Raden Ayu Lembah bercengkerama di taman bunga setelah selesai mandi. Karena sudah dua bulan dia berada di Kapugeran sang dewi kurang makan dan tidur. Namun rusaknya raga malah semakin menambah manis mempesona. Memang dasar sudah cantik alami.

Di tengah sedang bercengkerama dengan para abdi sang ayu dikagetkan oleh seorang penunggang kuda yang berjingkrak menyusur jalanan dekat pagar bata. Si orang berkuda mondar-mandir beberapa kali dan selalu menengok ke dalam taman.

Sang putri pun penasaran, turun dari panggung dan mendekat, “Siapakah yang naik kuda berjingkrak-jingkrak itu?”

Para pengasuh mengatakan, “Barangkali suami paduka sudah datang.”

Sang putri berkata pelan, “Bukan kakanda karena pengiringnya sedikit. Dan kalau kakanda saya pasti bisa mengenali walau memakai pakaian komandan. Orang ini belum pernah kulihat.”

Sang putri sudah sampai di bawah, mengambil tangga. Pagar tembok sudah diberi tangga, naiklah sang putri. Tubuh condong di atas pagar untuk melihat yang sedang berkuda.

Ketika itu sudah pukul lima, cahaya lembayung terbit di ufuk barat. Melongok wajah sang putri di atas pagar, tersinari oleh cahaya lembayung senja. Wajah sang putri semakin bersinar terang. Raden Sukra yang melihat sang dewi hatinya laksana gerabah yang jatuh ke batu[1], hancur berkeping-keping. Seketika bangkit keberaniannya, tak menghitung mati berbilang luka. Tekadnya, akan saya ditempuh bahaya apapun untuk mendapat obat sakit asmara. Pengasuh sang dewi yang seorang ikut melongok di atas pagar bata. Oleh sang dewi disuruh bertanya kepada yang naik kuda.

Si pengasuh kemudan bertanya, “Hai sang tampan, saya disuruh sang dewi bertanya siapa namamu?”

Raden Sukra menjawab, “Saya anak Patih Sindureja, Sukra namaku, Natadirja nama dewasaku, tetapi belum begitu terkenal. Lebih sering dipanggil Sukra.”

Sang dewi berkata keras, “Hai Sukra, engkau sungguh tampan, tapi kurang ajar. Kok tidak sayang tampanmu, kalau sampai ketahuan oleh kakanda pasti lehermu tercabut. Orang gegabah tidak mapan.”

Sukra menjawab, “Mustahil kalah dengan Pangeran Adipati Anom. Saya berani bertakar darah. Walau dikeroyok pun saya hendak bertarung sampai darahku tumpah. Semua saya layani, busur, lembing dan senjata tombak orang kadipaten.”

Raden Sukra bicara sambil mencambuk kuda, seketika melesat. Yang ditinggal termangu-mangu menyesali perbuatan si Sukra. Sang putri turun dari pagar bata.

Sang putri berkata pelan, “Si Sukra gila meracau, apakah dia kerasukan. Dari perkataannya, sepertinya otaknya tidak beres.”

Si pengasuh berkata, “Tuan saya kira Sukra gila karena melihat wanita sangat cantik. Duh, siapa orangnya yang melihat tuan pasti terkapar. Kalau tidak mati ya jadi gila. Hanya tuan Pangeran Adipati suami paduka itu sungguh orang aneh, melihat orang manis kok tidak suka. Seandainya bukan orang besar termasuk orang tidak waras itu.”

Raden Sukra diceritakan, belum sampai jauh, seketika berbalik arah kembali menyisir pagar bata. Dilihatnya yang tadi condong di atas pagar sudah tidak ada. Sang raden segera kembali dengan tubuh lelah. Tampak ragu-ragu jalannya, yang condong di atas pagar bata selalu menggantung di angan.

Sudah sampai Raden Sukra di rumah, turun dari kuda langsung menjatuhkan diri ke tempat tidur. Tak karuan rasa hati tertimpa sakit asmara. Yang diangankan tak lain hanya sang ayu yang telah memberi sakit rindu.

Ketika waktu semua orang tidur, turun Raden Sukra ke petamanan hendak menghibur diri. Bulan baru tanggal sembilan, terlihat samar sinar rembulan. Mendesah Raden Sukra. Dua pengasuh mencari, si Patrawisa Singananda. Ketemu tuannya di kebun sedang bersandar di pohon jambu dersana.

Dua pengasuh berkata kepada tuannya, “Nak, jangan besar harapan, ingatlah paduka abdi negara Kartasura. Kangjeng Pangeran yang mempunyai negara. Walau dibunuh pun jangan mengelak, karena sudah sepantasnya tuan yang memberi ganjaran dan siksa.”

Raden Sukra mendegus, “Hai bapak, diamlah. Sudah aku tekadkan walau dipakai sebagai sasaran takkan mengeluh, lebih baik mati kalau tak ketemu sang ayu. Bapak, saya hendak mencuri di Kapugeran. Akan saya masuki taman tempat sang ayu, hendak menyerahkan hidup matiku kepada sang ayu yang telah memarahi orang berkuda.”

Dua pengasuh mencegah, “Raden jangan sekarang, sayangi badanmu.”

Raden Sukra memaksa, sesudah memegang keris segera keluar. Dua pengasuh mengikuti. Perjalanan Raden Sukra sudah sampai di Kapugeran. Dua pengasuh terus mengikuti. Raden Sukra mengeluarkan ilmunya, pagar bata diusap seketika menjadi rata dengan tanah. Raden Sukra segera masuk. Patrawisa-Singananda selalu mendampingi sambil terus membujuk agar Sukra mengurungkan niatnya.

“Raden bagaimana kehendakmu ini? Saya sangat samar dalam hati dan selalu khawatir saja. Belum berjanji kok sudah mendatangi, kalau nanti kepergok dan menemui mati sungguh mati yang nista. Sebaiknya meniru langkah satria, jangan sampai menyeret nama ayahanda Raden Patih Sindureja. Ayah raden seorang yang masyhur menjadi kebanggan serta mumpuni, maka menjadi patih raja. Beliau berani di medan perang, dalam isyarat sudah lihai, pintar dalam pikiran, sungguh tak ada cacatnya. Sekarang anaknya, mirip orang mengambil ikan di dalam air yang dalam tanpa jaring. Percuma air menjadi keruh, ikan mustahi didapat. Seperti kumbang hendak menghisap bunga, sudah rusak bunganya sarinya tak dapat. Kalau yang lazim bagi satria yang hendak mencuri cinta, sebaiknya memakai mak comblang. Dengan memberi uang atau pakaian, itu akan menjadi jalan yang patut bagi satria. Terlihat bagus dan gentle.”

Raden Sukra bicara berbisik, “Hai bapak diamlah. Tidak ada maksud saya untuk berbuat tidak susila dengan putri yang telah membuat jatuh cinta. Akan lega hatiku kalau saya bisa melihat sekejap mata sang ayu yang telah memarahi orang berjingkrak tadi. Hancur diriku bapak, gila karena cinta kalau tidak melihat sang ratna. Kalau saja sang ayu menimbangi akan saya pertaruhkan sampai bertakar darah.”

Ketika itu sedang berlindung di bawah pohon kemuning. Raden Sukra merayu-rayu memeluk pohon kemuning seolah-olah merayu-rayu sang dewi. Terlihat perilakunya seperti orang sakit jiwa. Kedua pengasuh menyembah, berusaha mengingatkan. Patrawisa dan Singananda, keduanya merasa kasihan kepada Raden Sukra. Tetapi si tampan sudah lupa mana timur mana selatan.

Malam semakin larut, Raden Sukra disambar burung malam yang berseliweran. Hati Raden Sukra tidak takut sehelai rambutpun, ibarat orang bertayub diberi tepuk tangan, semakin menjadi-jadi.

Sementara itu, putra Kapugeran Raden Antawirya sedang meronda dengan para adiknya. Hatinya merasa tidak enak karena di taman berseliweran burung malam. Raden Antawirya sudah menyandang pedang, segera mendatangi taman. Raden Sasangka dan Raden Sudama menyusul kakaknya. Ketiganya ke tamansari, berkeliling memeriksa kediaman kakaknya.

Raden Sukra yang melihat kalau putra-putra Kapugeran menyambangi mereka segera bergeser, tetapi malah menimbulkan suara gemerisik. Terdengar suaranya oleh Raden Antawirya, segera didekati. Si maling berlari. Raden Antawirya mengejar, dikepung bersama adik-adiknya. Menyelinap Raden Sukra. Para putra Puger menerjang di kegelapan. Terdengar bekuh-bekuh suara tanpa rupa.

Raden Martataruna berkata kepada Sudama, “Hai Dik, ambilah obor.”

Raden Sudama segera pergi ke tempat penjagaan depan mengambil obor, lalu hendak segera kembali ke taman. Yang sedang berjaga ingin ikut tetapi dicegah oleh Raden Sudama. Mereka menjadi takut dan waspada, semua bersiap di pendapa untuk berjaga-jaga.

Raden Sudama kembali ke tempat sang kakak. Takut ketahuan si maling segera berlari menerjang pagar bata. Patrawisa-Singananda berjumpalitan mengaduh memanggil tuannya. Sudah sampai ketiganya di luar pagar. Raden Antawirya melihat kalau si maling sudah keluar segera melompati pagar dan mengejar.

Raden Antawirya meneriaki, “Hai maling berhentilah! Kalau engkau sungguh prajurit dan hendak mencoba orang Kapugeran, tungguhlah jangan minggat! Ayo bertameng dada bertukar keris, menakar darah denganku. Ayo bertanding secara ksatria!”

Semua adik mengkhawatirkan keselematan sang kakak yang mengejar maling, tetapi tidak mampu melompati pagar bata. Mereka hanya berteriak-teriak dari dalam. Para prajurit Kapugeran segera datang menolong. Prajurit Kasindurejan yang membuntuti Raden Sukra menghadang dengan obor yang terang layaknya siang hari. Kagetlah mereka ketika melihat Raden Sukra berlari kencang bertiga dengan pengasuhnya dengan nafas tersengal-sengal. Mereka bisa menebak apa yang terjadi.

Tak berapa lama datang Raden Antawirya yang mengejar, para prajurit Kasindurejan merasa takut.

Salah seorang prajurit bertanya, “Bagaimana Raden, kemana perginya si maling?”

Semua prajurit ikut-ikutan bertanya seolah tak terjadi apa-apa.

Raden Antawirya menjawab, “Ke arah sini larinya. Tiga orang maling!”

Para prajurit berkata pelan, “Tidak ada orang ke sini Raden. Dari tadi kami mencegat di sini tak terlihat. Barangkali larinya ke sungai.”

Raden Antawirya dipersilakan pulang oleh Ki Jadrema. Raden Sukra sesampainya di rumah menjatuhkan diri di tempat tidur. Tidak lain yang dalam angan hanya si dinda sang kusuma. Yang selalu membayang dalam hati, menempel di pelupuk mata.

Raden Sukra berkata lirih mengaduh, “Duhai sang ratna permataku, apakah engkau tidak mendengar kalau hambamu ini hampir mati diburu saudaramu yang bernama Antawirya. Kalau aku hadapi, tak urung aku mati. Kalaupun mati dindaku pasti sangat marah kepadaku. Sungguh aku mending mati saja daripada mendapat marah.”

Tak karuan rasa di hati, Raden Sukra memanggil pengasuh wanita yang dikasihinya, Nyai Gori namanya.

Berkata sang tampan, “Bibi, majulah ke sini.”

Pengasuh menghaturkan sembah dan mendekat di hadapan Raden Sukra.

Raden Sukra berkata, “Bibi, aku minta karyamu. Bibi pergilah segera ke Kapugeran. Ini suratku sampaikan ke putri yang yang membuat jatuh cinta. Ibu pesanku bisalah melihat celah untuk masuk. Ini ada pemberianku sepuluh riyal.”

Pengasuh Gori menyembah, segera pergi dari hadapan Raden Sukra. Sampai di pasar Nyai Gori bertemu dengan temannya yang bernama Mbok Tambakbaya. Orang Kapugeran sebernarnya si Nyai Tambakbaya, tetapi sekarang sedang purik karena berselisih dengan lakinya. Sakit hatinya karena dimadu. Sekarang Nyai Tambakbaya diberi tugas mengasuh Raden Ayu Lembah selama di Kapugeran. Nyai Gori sangat suka hatinya, merasa kalau akan berhasil melakukan tugas.

Pengasuh Gori berbisik kepada Nyai Tambakbaya, “Nyai saya minta tolong serahkan suratku kepada sang kusuma. Setelah bisa menyerahkan engkau saya beri upah sembilan riyal, pakailah membeli jambe kinang.”

Nyai Tambakbaya bertanya, “Ini surat siapa?”

Nyai Gori menjawab, “Yang memberi surat Pangeran Adipati, yang hendak memberi surat kepada sang istri.”

Nyai Tambakbaya segera pulang, perjalanannya sudah sampai di tempat yang dituju. Raden Ayu Lembah sedang merias diri, dikelilinggi para emban sambil berbincang. Mendadak Nyai Tambakbaya datang menghaturkan surat.

Sang putri kaget dan bertanya, “Ini surat dari siapa Nyai?”

Nyai Tambakbaya berkata, “Surat dari suami paduka Pangeran Adipati.”

Tersenyum sang putri, surat sudah dibuka dan dibaca apa yang tertulis.

Sang ratna kaget, bertanya pelan, “Siapa yang membawa surat ini?”

Nyai Tambakbaya berkata, “Seorang perempuan, sudah tua. Mengaku dari kadipaten.”

Sang putri berkata pelan, “Engkau sudah terkena yang namanya upaya sandi. Bukan kakanda Adipati yang berkirim surat. Kalau melihat dari isinya ini surat dari Sukra. Memakai tembang mijil segala. Si Sukra terus menjadi-jadi, ini orang memang ingin putus lehernya.”

Sesudah itu gubahan tembang tujuh bait, ditaruh di bawah kasur. Sang putri kemudian tidur. Nyai Tambakbaya segera keluar sudah sampai di jalan bertemu dengan utusan tadi. Nyai Tambakbaya berkata, “Si bibi ini kok aniaya benar, berani mencuri cinta sang ayu memakai upaya sandi.”

Tak diceritakan yang terjadi, singkatnya Nyai Tambakbaya dibawa ke Kasindurejan. Raden Sukra sangat menunggu-nunggu datangnya utusan. Tak lama segera datang pengasuh Gori ke hadapannya. Segera dipanggil mendekat.

Raden Sukra berkata, “Bagaimana pekerjaanmu?”

Nyai Gori berkata, “Saya tidak mengetahui, saya tidak masuk sendiri. Inilah yang saya suruh masuk ke tempat sang putri, istri dari Ki Tambakbaya, tetapi sedang purik. Sekarang dia yang melayani sang ayu. Makanya surat bisa masuk.”

Raden Sukra mendengar perkataan pengasuhnya sangat suka hatinya.

Sukra berkata manis, “Duhai bibi, saya bertanya bagaimana surat itu, apakah sudah dihaturkan kepada sang putri?”

Nyai Tambakbaya berkata pelan, “Raden surat paduka setelah saya haturkan sang putri dibaca berkali-kali. Sang ayu lalu tidur dengan surat ditaruh di bawah kasur. Raden ketika membaca surat paduka sang dewi tidak berkata apapun, tetapi agaknya suka hati karena selalu tertawa-tawa.”

Raden Sukra mendengar perkataan Nyai Tambakbaya hatinya sangat suka. Angannya seperti sudah mendapat tanggapan baik, maka lalu mendendangkan tembang. Seakan sang putri di hadapannya, hendak minta dikawin.

Banyak perilaku yang sedang kasmaran, jatuh bangun Raden Sukra. Sudah buram pandangannya. Segera menuju tempat tidur.

Tidak lama memanggil sang pengasuh, “Hai bibi, panggilah Nyai Tambakbaya. Hendak aku tanyai.”

Pengasuh Gori keluar memanggil Nyai Tambakbaya, yang diundang segera datang. Raden Sukra hatinya sudah terlena, disambut Nyai Tambakbaya.

“Bibi jangan sedih. Ini bibi saya umpamakan sang putri saja, yang telah membuat saya sakit asmara,” kata Raden Sukra.

Nyai Tambakbaya digandeng, dibawa ke tempat tidur. Raden Sukra merayu-rayu dengan kata manis seolah sedang bersama sang dewi. Nyai Tambakbaya mendengar rayuan maut seketika barangnya mengeras. Layaknya api panasnya, merona seperti bara.

Raden Sukra tak berhenti merintih, rayuannya meminta kasih, “Duhai permata jiwaku, siapa yang memiliki tuan. Apakah hanya Sukra, berkatalah wahai cantik, permata di Kapugeran. Aku ini dindaku, seperti sakit mendapat obat. Sudah lama hamba kasmaran, siang malam yang diangan. Hanya dindaku selalu lekat di mata.”

Watak laki-laki dan perempuan, keduanya tak ingat apapun dan bertindak melanggar susila. Maka sering disebut comblang adalah talang asmara. Kalau tak ada aslinya, comblang yang menalangi.

Setelah selesai bersetubuh, Raden Sukra bersuci lalu duduk dikelilingi para dayang. Lalu kembali membuat surat dengan tembang, akan dihaturkan kepada sang ayu. Surat dibungkus sutra kuning. Adapun isi suratnya hendak menghadap bila sang dewi berkenan hatinya. Surat sudah diterima oleh Mbok Tambakbaya, segera pergi tak menunggu lama.  

Sementara itu, Kagjeng Pangeran Adipati dikisahkan sedang dihadapan para punggawa. Patih Sada dan Udawa berada di depannya. Diceritakan sang pangeran mempunyai seorang paman, seseorang yang mengabdi kepada sang ibunda, Ratu Kilen. Sudah diangkat kedudukannya oleh Sang Raja, diberi nama Raden Arya Tiron. Sang paman sudah menghadap sang keponakan. Sesampainya di hadapan Arya Tiron menyembah dan melapor bahwa baru saja dari Kasindurejan secara rahasia.

Berkata Arya Tiron, “Nak, saya beri tahu, sekarang adinda paduka yang sedang berada di Kapugeran berselingkuh. Si Sukra pasangannya. Sudah kirim-kiriman surat. Yang menjadi comblang istri dari Tambakbaya. Ketika hari Kamis Si Sukra datang ke taman diiringi dua pengasuhnya. Kepergok oleh adik paduka Raden Antawirya. Si Sukra sudah dikepung oleh semua putra Kapugeran, tetapi tidak tertangkap. Si Sukra lari, tetapi tak berhenti keinginannya. Sekarang masih menantang paduka, berani bertakar darah dengan paduka tuanku. Sangat ingin bertameng dada bertukar keris, bertarung dengan paduka. Tidak di hutan, di kota, di gunung kalau bertemu hendak menantang paduka.”

Pangeran Adipati begitu mendengar penuturan sang paman langsung bangkit kemarahannya. Dadanya memerah. Bulu mata berdiri tegak menahan amarah di dada. Pangeran Adipati bersiap memberangkatkan pasukan. Prajurit kadipaten telah bersiaga. Kehendak sang pangeran hendak menyerang Kasindurejan membunuh Sukra sekarang juga. Lupa kalau dirinya seorang putra raja.

Patih Sada dan Udawa memberi saran, “Nak Pangeran, jangan segera menyerang Sukra. Sungguh nista paduka putra raja dan si Sukra hanya seorang hamba. Sungguh nista seorang tuan berperang dengan hambanya. Mari memakai cara rahasia yang mustahil gagal. Paduka mengirimlah surat kepada ayahanda paduka Pangeran Puger.”

Pangeran lega hatinya, segera menulis surat untuk ayahanda Pangeran Puger. Sesudah surat jadi sang adik Raden Suryakusuma dipanggil. Raden Suryakusuma sudah menghadap dan menghaturkan sembah.

Pangeran berkata, “Dinda aku utus untuk menghaturkan surat untuk Paman.”

Raden Suryakusuma menerima surat dan segera pergi ke Kapugeran.

Sementara itu, Nyai Tambakbaya perjalanannya sudah sampai di Kapugeran dan bertemu dengan sang ayu. Mbok Tambakbaya mengaturkan surat seraya memohon agar sang ayu berkenan menerimanya.

Sang ayu bertanya, “Siapa yang mengirim surat kepadaku Nyai?”

Nyai Tambakbaya berkata, “Sama dengan yang kemarin, dari si Sukra. Kasihan saya melihat perilaku si Sukra. Bingung sepanjang jalan seperti orang sakit jiwa. Bertemu dengan saya si Sukra berkata meminta kesembuhan. Dan berkata Si Sukra, kalau aku bertemu dengan sang dewi akan aku bawa pergi jauh dari Kartasura. Hendak mandiri di Kedu, dan berkota di Tarayem. Adik paduka Raden Suryaputra hendak diangkat jadi raja. Prajurit di Kedu dan Mataram sudah diberi surat, Si Sukra mau perang habis-habisan menyerang Kartasura. Sekarang sudah punya pasukan Bugis tujuh puluh yang akan diandalkan dalam perang.”

Tertawa sang putri serta berkata, ”Si Sukra sungguh kerasukan, terkena tulah laknat. Apakah tak merasa hanya tukang kuda, si Sukra hendak memusuhi uwak raja? Nah, gila kau bibi Tambakbaya. Apa tidak punya  hati, menuruti orang kena tulah?”

Nyai Tambakbaya bekata pelan, “Saya kira mustahil menyalahi janji, watak orang muda tampan itu. Sukra sudah menyatakan kalau sang raja mangkat dan suami paduka menjadi raja, Si Sukra tak sudi mengabdi. Tak hendak mengatupkan tangan, yang diinginkan bertanding perang dengan Pangeran Adipati. Hendak bertakar darah, sang tampan mustahil kalah.”

Sang putri tak bicara mendengar perkataan Nyai Tambakbaya.

Ganti yang diceritakan, yang sedang menjadi utusan, Raden Suryakusuma sudah sampai di hadapan sang ayah. Segera dipanggil menghadap, Raden menyembah serta menghaturkan surat. Sudah diterima oleh sang Pangeran Puger.

Surat dibaca, Pangeran Adipati menghaturkan bakti kepada sang paman yang terpuji, yang bewatak sabar, sesepuh warga Kartasura. Setelah semua pujian dihaturkan, disebutkan hendak memberi tahu bahwa sekarang Dinda Dewi telah berselingkuh dengan Sukra, sudah bersebadan dan saling berkirim pakaian. Yang menjadi comblang adalah istri Tambakbaya.

Ketika sudah selesai membaca surat Pangeran Puger sangat marah, seperti bunga wora-wari dadanya, memerah matanya, bibir bergetar, seakan hendak menikam orang tanpa dosa. Para putra segera dipanggil. Bergegas mereka datang ke hadapan sang ayah.

Keras perintah sang ayahanda, “Hai Sudira, segera panggil kakakmu Si Lembah.”

Raden Sudira menyembah, segera pergi ke taman memanggil sang kakak. Raden Ayu Lembah segera pergi menghadap, bergegas langkahnya, sebentar sudah sampai di hadapan sang ayah. Sang putri menyembah dan menyentuh kaki.

Sang ayah berkata, “Nak, duduklah.”

Sang putri segera duduk di hadapan ayahandanya dengan menunduk.

Sang Pangeran melanjutkan bicara, “Sebab engkau saya panggil, aku bertanya bagaimana awalnya engkau anakku, sampai meninggalkan rumah. Karena engkau bersuami tuan, mengapa berani pergi tanpa izin. Walaupun engkau berbuat buruk, jangan engkau membawa-bawa orang tua serta adik-adikmu. Baik buruk jalanilah.”

Sang ayu tak bisa bicara, hanya menunduk sambil berurai air mata. Sangat terlihat citranya seperti Dewi Wilutama di jagad tanpa banding. Para pembantunya ikut terhanyut merasa kasihan kepada sang ratna.

Raden Antawirya sudah dipesan oleh sang ayah agar mendatangi taman. Tempat tidur sang kakak sudah diperiksa dan di bawah bantal dibongkar semua. Tak lama Raden Antawirya menemukan gubahan Raden Sukra ada di bawah kasur. Raden Antawirya sangat menyesali temuannya ini. Nyai Tambakbaya sudah disandera tak boleh keluar. Raden Antawirya sudah kembali menghadap sang ayah. Sesampainya segera menghaturkan sembah.

Pangeran Puger berkata kepada sang ayu, “Nak engkau kembalilah.”

Sang putri menyembah dan kembali ke taman. Sepanjang jalan air mata mengalir. Sang ratna pupus jiwanya, lesu pucat badannya. Sesampainya di tempat para emban menangisi tuannya serta memberi tahu kalau gubahan Sukra sudah ditemukan oleh Raden Antawirya. Sang ratna susah hatinya, jatuh ke tempat tidur.

Raden Antawirya segera melapor, gubahan dihaturkan kepada sang ayah. Surat sudah dibaca, Pangeran sudah menduga apa yang terjadi. Seketika bangkit amarahnya.

Pangeran berkata: “Sudah takdir bagiku dipermalukan anak. Ayo Sudira kakakmu antarkan segera pada kematiannya, juga istri dari Tambakbaya. Adik-adikmu ajaklah semuanya.”

Raden Suryakusuma sangat berat hatinya, setelah menyembah segera berangkat ke taman. Di belakang menangis tersedu Raden Ayu Anem dan Raden Ayu Sepuh, keduanya menyentuh kaki Pangeran menghalangi hukuman mati. Sang Pangeran tak tergerak hatinya, lalu beranjak ke tempat pemujaan. Sementara kedua ibu yang bersedih masih menangis tersedu, para putra sudah sampai di tamansari. Sang kakak kaget kedatangan para adik semua.

Sang kakak bertanya, “Ada apa adik-adikku. Sini duduklah.”

Raden Sudira segera melapor kepada sang kakak, “Kanda saya disuruh oleh ayahanda mengambil hidup-mati kakak.” 

Sang kakak ketika mendengar susah hatinya, deras keluar air matanya. Para emban memeluk kaki para putra, berharap mendapat ampun untuk tuannya. Sedangkan Nyai Tambakbaya sudah diikat. Para ibu datang ikut menangis tersedu. Warga Kapugeran geger, kaget oleh suara tangis. Di luar sudah penuh orang tapi tak boleh masuk. Pintu sudah dikunci.

Sang ayu berkata pelan, “Bagaimana diriku akan menghindar kalau ayah sudah berkehendak. Tak memakai periksa hanya menurut perkataan kakanda Adipati. Adik haturkan dahulu sembahku untuk ayah dengan permintaaku.”

Raden Antawirya segera menghadap sang ayah, sesampainya di hadapan sang ayah, menghaturkan sembah. Sudah dihaturkan permintaan sang kakak.

Sang ayah berkata dengan keras, “Segeralah hai anakku. Jangan berbelas kasih karena masih darah sendiri. Kalau Si Sudira dan kakakmu semua ragu-ragu, kalau tak tega mengantar kakakmu, aku kutuk semuanya.”

Segera Raden Antawirya mundur dari hadapan sang ayah, di hadapan sang kakak di tamansari berkata kalau semua ragu-ragu akan dikutuk. Para ibu yang mendengar semua menangis tersedu.

Sang ratna berkata pelan, “ Baik adik, tunggulah dulu. Aku hendak mandi keramas. Bibi buatlah sampo.”

Sang ratna turun mandi keramas dengan para emban. Setelah keramas sang ayu memakai wewangian. Kuku dirapikan, sudah terlihat layu raut mukanya, mukanya terlihat hijau samar-samar. Para ibu dipersilakan keluar dari gedung tamansari. Para pengasuh dan emban semua di luar pintu.

Sementara itu para putra di dalam. Raden Sudira mengambil selendang yang akan dipakai mengikat. Segera dipegang tangan sang kakak satu-satu, sambil menangis mereka melakukannya. Raden Sasangka dan Sudama memegang Nyai Tambakbaya. Raden Dipataruna dan Wangsataruna memegang sang kakak dengan tangan kanannya, sementara tangan kiri sibuk mengusap air mata.

Sang ratna berkata pelan, “Adikku mengumpulah, Si Sasangka, Sudama segera semua mendekatlah. Lihatlah aku, karena ini terakhir aku bertemu dengan kalian semua.”

Sang ratna deras mengalir air matanya melihat kepada adik-adik semua.

Tersendat-sendat perkataannya, ”Sudah Dik, tinggalah. Aku pamit kepada engkau semua. Semoga ragaku mendapat mati yang sempurna.”

Sang ratna mencondongkan leher, selendang sudah diikatkan. Sebelah kiri Raden Antawirya yang menarik, sebelah kanan Raden Suryakusuma.

Ketika hendak dikencangkan, sang ratna berkata pelan, “Nanti dulu, sebentar. Aku hendak berpesan lagi. Haturkan sembahku kepada para ibu semua, kepada ayah aku mohon pamit mati, serta kepada Pangeran Adipati haturkan sembahku, serta kepada Uwak Raja. Aku minta pengampunan dari kakanda Adipati. Dahulu aku diberi permata dua pasang, itu kembalikanlah. Dan permata cepaka, mirah selan enam pasang, hijau dan widuri, itu semua kembalikanlah. Juga permainan dakon perak, dengan anak kecik dari suwasa, dua ratus biji berbobot dua kati, semua kembalikanlah kelak. Juga tempat permainan cuki seperangkatnya, juga saya bawa ke sini, cukinya yang separuh emas yang separuh perak, berbobot dua kati. Kain cindhe puspita selembar. Sudah hanya itu, lainnya punyaku sendiri. Sudah sekarang lakukan Dik.”

Selendang sudah ditarik, sang ratna mengheningkan cipta, tidak ragu menempuh jalan. Sudah mengetahui asal dan tujuan kematian. Terdengar suara tercekik, sang ratna sudah terkulai jatuh. Kaget semua para adik, semua mengelus dada penuh penyesalan, semua bersedih. Jenazah sudah dirawat ditempatkan membujur. Nyai Tambakbaya juga sudah diselesaikan.

Pintu dibuka segera, para ibu berebut masuk beserta para pengasuh dan para emban. Melihat jenazah gilang gemilang, segera disungkemi. Suara tangis tersedu sedan kembali terdengar. Para putra menghadap sang ayah, melapor sambil menangis kalau sang kakak sudah meninggalkan dunia. Pangeran Puger tak berkata sepatah pun.

Sementara itu prajurit Kapugeran di luar sudah mendengar kalau tuannya sedang marah. Semua prajurit bersiap siaga. Berita sudah menyebar luas. Pangeran Arya Mataram sudah mendengar berita, juga Pangeran Panular. Keduanya berangkat ke Kapugeran membawa pasukan, dibariskan di jalanan. Dua pangeran sudah masuk, bertemu dengan sang kakak Pangeran Puger.

Para istri Pangeran Puger melihat gelagat kurang baik. Mereka mengira akan terjadi perang dengan prajurit Kasindurejan. Segera berdandan seperlunya lalu bergegas melapor kepada Sang Raja. Bersegera jalannya, singkat cerita sudah sampai di istana. Sang Raja sedang duduk di bangsal Prabayasa, kaget oleh kedatangan para adik ipar.

Sang Raja berkata pelan, “Tumben adik ipar siang-siang masuk istana, apakah diutus oleh suamimu Dinda Adipati Puger?”

Raden Ayu melapor sambil menyembah, menceritakan mulai awal sampai akhir segala yang dilakukan Pangeran Puger.

Sang Raja terguncang hatinya, menepuk dada tanda menyesalkan yang terjadi, “Duh, orang kok seperti Dinda Puger. Ibarat macam galak takkan mau memakan anak sendiri. Dinda Puger ini tega memakan anak sendiri.”

Sang Raja lalu menyeru, “Hai Wilaja, panggilah gandek. Suruh memanggil para adipati!”

Yang disuruh segera beranjak melaksanakan tugas. Tak lama segera datang dengan membawa pasukan. Geger seluruh prajurit Kartasura. Para punggawa mancanegara dan pesisir semua datang, karena semua dahulu tinggal di Kartasura.

Sementara itu di Kasindurejan, Raden Patih Sindureja menyiapkan pasukannya. Para punggawa Kasindurejan sudah bersiaga menata barisan. Raden Patih sudah lupa akan rajanya, terbebani oleh cinta kasih kepada sang anak. Tak bisa dinasihati lagi. Raden Sukra menangis, kehendaknya mengamuk kepada Pangeran Adipati. Dicegah oleh sang ayah. Dan patihnya membujuk dengan perkataan semanis gula, “Duhai tuan, paduka urungkan.”

Di istana Sang Raja sangat marah, segera turun ke Sri Manganti. Pasukan pengawal raja segera mendekat dengan senjata lengkap. Mantri gedong keparak bekerja keras mempersiapkan pasukan, bersiaga terhadap bahaya.

Para bupati di luar sudah bersiap di bangsal Pancaniti. Adipati Sampang sudah datang bersama pasukan, juga Adipati Surabaya sudah datang membawa pasukan. Di alun-alun mereka berbaris.

Ketika yang menjabat raja Sinuhun Amangkurat, para punggawa pesisir dan mancanegara atas perintah raja tidak diberi izin pulang ke tempatnya masing-masing. Disuruh tinggal di Kartasura membantu berjaga negara.

Ki Tumenggung Sumabrata sudah menghadap di Sri Manganti bersama Tumenggung Wirameja dan Tumenggung Mangunnagara. Ki Tumenggung Surantani tidak ketinggalan menghadap.

Berkata Sang Raja, “Hai Sumabrata, Sindureja bagaimana rencanamu sekarang?”

Ki Sumabrata melapor, “Si Arya Sindureja lupa kepada Sang Raja, terbebani cinta kepada anak, maka lupa mengabdi. Sudah menyiapkan balatentara berbaris di halaman.”

Sang Raja mendengar sangat marah, dada memerah, bibir bergetar, “Hai Tumenggung Sumabrata, kerahkan semua para adipati!”

Sumabrata menyembah, “Bila berkenan adik paduka Raden Ayu Pucang lebih baik dipanggil ke hadapan paduka.”

Sang Raja pelan berkata, “Hai Wilaja dan Suwanda, segera panggil adikku.”

Yang disuruh segera berangkat, jalannya tergesa-gesa diiringi para punggawa dari pesisir mancanegara. Ikut serta balatentara Madura dan Surabaya. Kasindurejan sudah dikepung. Nyai wilaja dan Nyai Suwanda sudah datang tanpa pemberitahuan dan sudah bertemu dengan Raden Patih.

Nyai Wilaja berkata, “Hai Raden Patih, perintah raja putramu diambil, yang bernama Sukra. Putramu dijatuhi hukuman. Karena ulahnya Raden Ayu Lembah sudah tewas. Si Sukra sudah pasti mati.”

Raden Sindureja mendengar perintah Raja termenung tak bisa bicara, karena sangat cintanya kepada sang anak.

Sindureja berkata, “Hamba serahkan mati-hidup kepada Sang Raja. Kalau boleh si Sindureja ini Nyai, yang akan menggantikan mati.”

Kedua utusan sangat kasihan melihat besarnya rasa cinta kepada sang anak. Segera Raden Ayu Pucang diberitahu dan dibawa oleh kedua utusan sampai di hadapan Raja. Raden Ayu Pucang menyembah kaki sang Raja sambil menangis karena sangat takutnya, mengira akan mendapat amarah karena terlihat Raja sudah bersiap melakukan perang habis-habisan.

Sang Raja berkata, “Dinda pulanglah segera, katakan kepada suamimu Si Sindureja, kalau hendak menenui kebaikan dan hidup dari anaknya suruhlah menghadap ke hadapanku dik. Segeralah, kalau suamimu tak menghadap sungguh aku akan turun sendiri.”

Sang adik menyembah dan segera kembali. Sesampai di rumah bertemu dengan suaminya. Raden Ayu bersedih seraya mengabarkan perintah Sang Raja, dari awal sampai akhir. Sang suami tak berkata sepatah pun.

Raden Ayu Pucang berkata, “Engkau disuruh menghadap bersamaku.”

Sang suami bingung dalam hati, jadi menurut kepada istri. Raden Sukra dicium-cium keningnya, “Engkau tinggalah, saya akan menghadap Raja meminta ampunan.”

Raden Patih keluar bersama istrinya, tak diceritakan di jalan. Sesampai di Penangkilan lalu dipanggil ke dalam puri. Segera Ki Sumabrata menghadang Raden Patih, diiringi para mantri keparak. Raden Sindureja dikepung pasukan. Kerisnya sudah diambil dan diserahkan kepada Raja. Raden Sindureja dijaga oleh para mantri di pintu Kamandungan.

Sementara itu Sang Raja berkata keras, “Heh bocah gandek, katakan kepada Adikku di Sampang agar cepat dan juga Adipati Urawan beserta prajuritnya. Laksanakan segera menghukum mati Si Sukra.”

Yang disuruh segera bergegas melaksanakan. Sudah bertemu Adipati Cakraningrat dan Adipati Urawan, semua bersiap mematuhi perintah.

Sementara itu Raden Sukra setelah kepergian sang ayah menutup pintu Kasindurejan. Pasukan Sindurejan sudah dipisahkan dengan orang Bugis yang lalu disuruh berbaris di pelataran. Sudah bersiap mengamuk mereka, tetapi Raden Sukra tak ingin. Jadi mereka hanya berputar-putar tak jauh dari tuannya. Adipati Urawan bingung dalam hatinya. Kalau akan diterabas Raden Sukra banyak tentara Bugisnya. Kalau benar mereka mengamuk akan jatuh korban dari para prajurit. Adipati Urawan tak mampu segera bertindak. Gandek utusan Raja mengingatkan agar segera diselesaikan.

Ki Adipati Urawan berkata, “Tunggu sebentar.”

Semua pungga ditanya pendapatnya. Semua menjawab agar diminta dengan lembut supaya tidak membuat rusak para prajurit. Ada kerabat Raden Sindureja yang menjabat mantri Panumping, namanya Ki Mandaraka. Masih terhitung sepupu jauh dengan Raden Sindureja.

Berkata Ki Mandarakan kepada Adipati Urawan, “Saya akan masuk membujuk Sukra.”

Sesudah izinkan oleh Adipati Urawan, Mandaraka masuk tanpa keris dengan memanjat pagar bata. Di dalam tentara Bugis ketika melihat orang memanjat pagar kaget dan hendak langsung membunuh, tetapi urung karena yang masuk tidak membawa keris.

Raden Sukra ketika itu selalu membawa tombak pendek di tangan, tak pernah lepas. Raden Sukra kaget melihat sang paman Kyai Mandaraka, segera berlari mendekat. Dirangkul Raden Sukra serta ditangisi.

“Duh anakku, bagaimana polahmu ini. Kok tidak kasihan dengan ayahmu. Engkau menurutlah pada uwakmu Ki Urawan yang sudah datang di depan. Ki Adipati Urawan diutus oleh Sang Raja menyampaikan perintah, kalau engkau sungguh bertobat akan diampuni oleh Sang Raja. Nak, engkau keluarlah.”

Raden Sukra menjadi luluh kemarahannya. Sudah menjadi kehendak Tuhan Sukra harus mati. Barisan prajurit Bugis segera bubar. Gerbang dibuka segera.

Adipati Urawan berkata, “Jangan diganggu prajurit Bugis itu. Biarkan keluar dulu.”

Setelah barisan Bugis keluar Adipati Urawan masuk bersama Tumenggung Wiradigda. Raden Sukra sungkem, kerisnya ditarik dari belakang oleh Wiradigda. Bersamaan Ki Mandaraka menubruk dari belakang. Raden Sukra sudah diikat tangannya dengan kain hijau.

Ki Adipati Urawan berkara, “Sukra bagaimana kehendakmu sekarang, apakah kamu ingin mati atau ingin hidup? Kalau kamu memilih mati ayahmu yang hidup, kalau kamu memilih hidup ayahmu yang mati. Kalaupun kamu hidup, tanpa guna ayahmu mempunyai anak seperti kamu.”

Raden Sukra berkata meminta belas kasih, “Duh uwak, mending saya yang berkorban mati. Tapi setelah saya mati ayah tetap terus pada kedudukannya.”

Adipati Urawan berkata, “Jangan engkau ulang dua kali, saya yang akan memohonkan kepada Raja.”

Raden Sukra berkata, “Wak Adipati, kalau saya dibunuh, Wak. Jangan dibunuh sekalian, biarkan mati dengan sendirinya.”

Adipati Urawan mengambil bisa dan racun. Semua wujud racun diminumkan, tetapi tidak mempan kepada Raden Sukra. Mendadak gandek utusan Raja datang mengingatkan agar kematian Sukra disegerakan. Ki Tumenggung Wiradigda takut pada perintah Raja demikian pula Ngabei Mandaraka. Kaku hati keduanya, segera meraih Sukra dan dipuntir lehernya. Raden Sukra mati seketika. Terbujur jenazahnya. Memilukan.

Adipati Urawan keluar bersama Tumenggung Wiradigda dan Ngabei Mandaraka. Sesampai di luar bertemu Pangeran Cakraningrat dan Adipati Surabaya. Barisan pasukan disuruh bubar. Para adipati lalu menghadap ke Panangkilan untuk melapor kepada Sang Raja.

Sang Raja bertanya, “Bagaimana si Sukra sudah mati?”

Adipati Urawan berkata, “Benar paduka, sudah mati.”

Sang Raja berkata dengan manis, “Lepaskan Sindureja.”

Yang disuruh menyembah dan segera melaksanakan. Tak diceritakan pelaksanaannya, singkatnya Sindureja telah dilepaskan. Kerisnya pun sudah diberikan dan dosanya diampuni. Sudah disuruh pulang menempati kedudukannya kembali. Semua punggawa mengiringi kepulangan Sindureja. Kejadian besar ini masih terhitung di tahun yang sama dengan tahun saat pernikahan Pangeran Adipati Anom dan Raden Ayu Lembah. Raden Patih sudah sampai di rumah. Melihat jenazah putranya terbujur, Patih Sindureja tertegun tak mampu bicara.

Berkata Adipati Sampang, “Kanda, janganlah terus dipikirkan. Sudah kehendak Tuhan kematian putra Anda.”

Jenazah disuruh membawa keluar untuk dimandikan dan dikuburkan segera. Tak tergambarkan kesedihan Ki Patih sekeluarga yang mengalami musibah ini. Raja berkenan mengirim utusan untuk berbelasungkawa dan memberi kain mori dua lembar, Nyai Wijaya yang diutus.

Raja lalu meminta putri Pengeran Puger yang namanya Raden Ayu Impun dan salah seorang keponakan Raden Ayu Puger agar masuk ke istana. Sang adik tidak menolak dan sang putri segera dihaturkan ke istana. Sang Raja sangat mengasihi keponakan perempuannya itu laksana putra sendiri.


[1] Anglir panjang putra tiba ing sela, seperti gerabah jatuh ke batu, pepatah Jawa lama.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/09/01/babad-tanah-jawi-95-raden-sukra-punya-maksud-kepada-raden-ayu-lembah-belum-tercapai-keduanya-tewas/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...