Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (96): Adipati Wiranagara dari Pasuruan menaklukkan Ponorogo

 Alkisah. Di Pasuruan, Adipati Wiranagara alias Raden Untung Surapati hidup nyaman berkecukupan. Negeri Pasuruan makmur sejahtera, kerbau dan sapi tak memerlukan kandang karena tak ada pencuri. Wilayah kanan-kiri telah tunduk kepada Sang Adipati dan pasukannya terkenal kuat dan besar.

Pada hari pisowanan Sang Adipati duduk dihadapan para punggawa. Yang berada di depan Rangga Embun Jalandriya, Ngabei Lor dan Ngabeli Kidul. Pasukan Nusakambangan menghadap lengkap. Terlihat perilakunya gagah-gagah dan agresif. Ada yang berbulu dada, ada yang kumisnya satu kepal. Semua memakai ikat pinggang kain dan menyandang keris carabalen.

Sang Adipati berkata kepada kedua patih, Ngabei Kidul dan Ngabei Lor, “Hai bapak, aku minta pendapatmu. Ketahuilah dulu aku mendapat tamu utusan dari Sampang si Rangga Malangjiwa. Dia datang di tengah malam lewat belakang dengan membawa surat dari Kanda Adipati Cakraningrat. Ini suratnya, bacalah.”

Ngabei Lor menyembah dan segera membaca surat dengan seksama hingga selesai.

Ngabei Lor berkata, “Kalau demikian bunyi suratnya Nak, paduka segera berangkat menyerang Ponorogo.”

Raden Surapati berkata, “Saya tidak berangkat sendiri. Engkau bapak yang saya tunjuk untuk menyerang Ponorogo. Separuh pasukan Pasuruan, bawalah. Juga para mantri bawalah separuh. Dan si Arya Jayaningrat ikut denganmu. Paman Embun Jalandriya jangan ketinggalan. Juga Embun Jalapinati, Embun Jalapinaron, Embun Singandaka, Lembu Giyeng, Lembu Gadrug, Lembu Wanasrenggi, Lembu Pothapathi, Demang Gempung, Rangga Panatasron dan Rangga Jaladri.”

Ngabei Lor dan Ngabei Kidul lengser dari hadapan Raden Surapati. Sesampai di luar segera memukul tanda perang. Para pasukan geger dan segera bersiap menata barisan. Yang menjadi pemimpin pasukan garis depan Bajopati dan Jalapati dengan membawa pasukan Numbakbiru, Secanrangbaya dan Drembayuda dengan senjata tombak hitam. Di belakang menyambung pasukan di bawah pimpinan Lembu Giyeng, terdiri dari prajurit Surenglaga yang semua masih muda dan cakap-cakap. Baju mereka beludru merah dengan senjata tombak pendek. Pasukan Jayengrepit yang berada di belakangnya bersenjata tombak putih, bajunya beludru kuning. Pemimpin mereka Arya Jayaningrat. Mereka adalah pasukan andalan dengan jumlah dua ratus prajurit. Di belakangnya lagi pasukan pimpinan Kyai Patih. Para kerabat sang Adipati tidak jauh dari kedua patih.

Di sepanjang jalan melalui wilayah mancanegara pasukan Pasuruan menjarah dan menaklukkan wilayah yang mereka lewati. Banyak orang di mancanegera kemudian mengungsi. Perjalanan pasukan Pasuruan sudah sampai di Daha dan menyeberang sungai. Para punggawa mancanegara sudah lari, tak ada yang berani menghadapi pasukan Pasuruan. Tidak lama negeri Ponorogo sudah takluk dan diduduki pasukan Untung Surapati.

Sementara itu di Kartasura, Sang Raja Amangkurat II pada pagi hari bertahta di hadapan para punggawa. Lengkap para punggawa yang hadir, disertai perabotan upacara yang terlihat berwarna-warni. Adipati Sampang dan Adipati Surabaya, Adipati Urawan, Tumenggung Wiradigda, Ki Mangkuyuda, Ki Natayuda, para bupati dalam Ki Tumenggung Sumabrata, Tumenggung Surantani, Tumenggung Wirareja, Tumenggung Mangunnagara dan tak ketinggalah Kyai Patih Arya Sindureja.

Patih Arya Sindureja berkata, “Paduka, hamba beritahukan bahwa musuh dari timur sudah datang, si Surapati dengan prajurit tiga ribu dan tukang pikul dua ribu orang sudah menduduki Ponorogo. Mereka sekarang menggelar barisan di Ponorogo.”

Sang Raja berkata, “Kalau demikian Dinda Adipati Puger lebih baik segera menyerang Ponorogo. Pasukan Kartasura bagilah dua, yang separuh ikut Dinda menyerang Ponorogo, yang separuh berjaga di kota. Adapun para bupati bagilah tiga, dua bagian ke Ponorogo satu bagian di kota. Pesanku selama perjalanan jagalah Dinda Puger seperti kalau menjagaku. Ingatlah pesanku ini, wahai para bupati.”

Segenap bupati menyatakan sanggup.

Sang Raja berkata, “Hai Sindureja, berapa lama ketika utusan si Belanda memberi surat kepadaku?”

Sang Patih menyembah, sudah bisa menduga maksud Sang Raja. Setelah Sang Raja masuk istana Nyai Suwanda diutus memanggil Pangeran Adipati Puger ke istana. Adipati Sampang, Adipati Surabaya dan Arya Sindureja juga dipanggil. Keempatnya sudah   menghadap Sang Raja. Pangeran Adipati Puger menyembah, diikuti ketiga punggawa yang lain.

Sang Raja berkata, “Dinda, aku tanyakan kepadamu bagaimana sikapmu atas utusan Kumpeni? Berkali-kali datang utusan menagih utang kepadaku. Apa sebaiknya aku bayar utangku atau tidak?”

Sang adik berkata, “Terserah kehendak paduka.”

Sang Raja berkata, “Dinda engkau pikirkanlah. Aku sekedar menjalankan peran sebagai raja. Kerepotan negara aku timpakan kepadamu.”

Sang adik berkata, “Kalau berkenan, Kumpeni tidak usah dibayar. Apa faidahnya dulu sudah dibayar dengan tanah Cirebon dan Pasundan.”

Arya Sindureja berkata, “Bagaimana cara membantahnya kelak. Karena kakak paduka yang menyanggupi memberi ganti rugi kepada Belanda yang tewas dalam perang dan biaya yang dikeluarkan selama perang. Kakak paduka sudah menyanggupi.”

Pangeran Puger berkata, “Apakah sulit menjawabnya. Engkau yang harus menjawab bahwa negeri Jawa ini milik raja. Belanda membantu berperang itu juga sudah menerima Cirebon dan Pasundan. Sekarang Kanda Raja sudah bertahta, si Belanda juga diberi wewenang menata perdagangan dan membuat Loji di pesisir utara, Jepara, Tegal dan Semarang. Mengapa tidak diminta saja sekalian pulau Jawa yang banyak jinnya ini? Mereka bisa hidup di sini karena wibawa dari Sang Raja. Kalau memaksa menagih utang sebaiknya disuruh pergi saja. Jangan sekali-kali datang lagi ke pulau Jawa. Di Jawa daun pun milik raja. Kalau tak menurut kehendak raja lebih baik melayang di atas samudera.”

Adipati Sampang menyambung, “Benar kehendak paduka. Serdadu Belanda di Jawa hanya sebagai orang yang bekerja kepada raja. Kalau sudah mendapat pekerjaan segeralah pulang, jangan lagi datang ke tanah Jawa. Walau ikut perang pun hanya sebagai pelengkap saja. Yang sungguh berperang adalah orang Jawa.”

Adipati Surabaya menyambung, “Ketika perang di Surabaya saya dulu yang menjadi panglima. Serdadu Belanda jarang ikut perang. Membuat panas hati saja.”

Sang Raja tersenyum, “Baiklah kalau begitu. Jika kelak Belanda memaksa berbuat tidak baik kepadaku, sungguh akan saya gempur. Kalau tetap bersikap baik, aku pun takut memulai hal buruk. Dulu saya sudah diramal oleh Kangjeng Eyang Sultan Mataram, kalau lestarinya diriku karena pasukan campuran dari seberang. Kala itu aku masih berada dalam kandungan ibu. Sekarang sudah terjadi ramalan itu. Hai Sindureja, pesanku kalau engkau aku utus kelak untuk membicarakan hal ini, engkau hendaknya bersikukuh kepada si Petor Semarang dan Kumendur Jepara. Yang kuat alasanmu, jangan sampai melunak.”

Raden Patih Sindureja menyembah.

Sang Raja berkata lagi, “Dinda Puger, pesanku kalau engkau sampai di Ponorogo, musuhmu kirimilah surat. Katakan kepada mereka agar melakukan perang dengan sungguh-sungguh sampai ada yang tewas.”

Setelah selesai pesan-pesan Sang Raja Pangeran Puger diberi hadiah pakaian dan uang riyal untuk bekal. Pangeran menyembah dan keluar dari istana bersama tiga punggawa. Setelah kembali ke Kapugeran Pangeran segera menyiapkan pasukan. Sehari kemudian pasukan pimpinan Pangeran Puger bersiap berangkat. Para prajurit Kapugeran membawa bendera berwarna-warni dengan senjata tombak panjang. Para manggala perang adalah Jayadrema dan Jayawirya, Pranayuda didampingi Anggantaka, Jiwasuta dan Banyakputra, Trajaya, Surajaya, Tambakbaya. Juga para andalan pasukan Surakarti, Kartimangsa dan Setrawangsa. Para putra Kapugeran juga ikut serta dengan dipimpin Raden Suryakusuma. Pasukan Kapugeran segera bergabung dengan pasukan dari punggawa Kartasura yang lain, Ki Adipati Urawan, Ki Mangkuyuda, Ki Natayuda dan Ki Wiradigda. Semua pasukan sudah berkumpul di alun-alun. Pangeran Puger sudah hadir di Pangurakan, kemudian bersama para putra segera menuju bangsal Pancaniti. Setelah Pangeran dan para panglima berpamitan kepada Sang Raja, pasukan segera berangkat.

Ki Tumenggung Wiradigda, Tumenggung Mangkuyuda dan Tumenggung Natayuda menjadi pimpinan garis depan, disambung pasukan Adipati Urawan. Di belakangnya para putra Kapugeran dipimpin Raden Suryakusuma yang naik kuda Samirana. Di belakang Suryakusuma, Raden Antawirya naik kuda bernama Samangga, di sepanjang jalan selalu berjingkrak-jingkrak. Di belakangnya sang adik Raden Dipataruna naik kuda putih bernama Tambang. Raden Wangsataruna yang tampan naik kuda hitam bernama Gunawan. Raden Sasangka dan Sudama keduanya berkuda di belakang, baru kemudian sang ayah mengawal putra-putra mereka dengan diiringi para magersari dan berpayung kuning.

Pasukan Kartasura sudah menyeberang bengawan Semanggi. Setelah semua prajurit menyeberang mereka bermalam di timur bengawan. Paginya pasukan berangkat melanjutkan perjalanan. Singkat cerita pasukan Kartasura sudah sampai di Jagaraga dan hendak bersiap masuk ke Madiun.

Sementara itu barisan pasukan Surapati di Ponorogo telah mendengar bahwa mereka kedatangan pasukan Kartasura. Pasukan Kartasura sudah sampai di Madiun di bawah pimpinan Pangeran Adipati Puger. Pasukan Pasuruan bersiap menyambut dengan dua ribu prajurit. Pimpinan mereka kedua patih, Ngabei Lor dan Ngabei Kidul. Pasukan  Pasuruan menggelar barisan di dekat sungai Tambang.

Pimpinan garis depan pasukan Kartasura, Tumenggung Mangkuyuda, memberi tahu Pangeran Puger kalau musuh sudah bersiap menyambut. Pasukan mereka sudah digelar di sungai Tambang. Pangeran segera maengirim surat ditujukan kepada Ngabei Lor dan Ngabei Kidul. Pangeran meminta agar keduanya berperang sungguh-sungguh, jangan kendur dalam perang. Tak lama kemudian pertempuran pun pecah. Banyak prajurit dari kedua pasukan yang tewas. Ngabei Lor sudah lari dari Ponorogo, pasukan Kartasura mengejar.

Pangeran Adipati Puger dan pasukan kemudian menduduki Ponorogo. Tidak lama datang pasukan dari Pasuruan dipimpin Lembu Lembora, anak bupati Surapati. Pangeran sudah tahu kalau yang datang pasukan anak Surapati. Pangeran menyuruh Adipati Urawan dan para bupati pesisir serta Raden Suryakusuma memimpin pasukan Kartasura. Setelah berlangsung pertempuran yang  ramai Lembu Lembora lari. Tetapi malamnya datang  secara sembunyi-sembunyi ke markas menemui Pangeran Puger untuk menyerahkan upeti. Upeti sudah diterima dan Lembu Lembora mohon pamit.

Paginya Pangeran Puger mengirim surat kepada Sang Raja, melaporkan bahwa perang telah terjadi dengan sengit. Bahkan ada dua ratus prajurit yang tewas dari kedua pihak. Mendengar laporan Pangeran Puger Sang Raja sangat suka hati.

Sang Raja menyuruh Raden Arya Sindureja untuk mengirim utusan ke Kumendur Jepara memberitahukan bahwa musuh dari timur telah menyerang negeri Kartasura. Sang Raja meminta bantuan pasukan Belanda karena telah terjadi perang yang dahsyat dan memakan banyak korban. Dua ratus prajurit Jawa telah tewas. Tuan Kumendur kaget, segera memanggil para opsir. Para opsir dan Petor Bilman telah hadir di Loji. Kumendur lalu mengirim surat ke Loji Semarang untuk meminta bantuan pasukan. Ketika itu pimpinan Kumpeni di Semarang hanya Petor dan belum mempunyai Kumendur. Sedangkan Jepara baru saja ditempatkan seorang Kumendur ketika Sang Raja Amangkurat naik tahta. Oleh para kapten Kumpeni surat dari Kumendur kemudian diteruskan ke Betawi.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/09/02/babad-tanah-jawi-96-adipati-wiranagara-dari-pasuruan-menaklukkan-ponorogo/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...