Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (97): Sinuhun Amangkurat wafat digantikan sang putra Pangeran Adipati Anom

 Alkisah. Di Kartasura, Sang Raja Amangkurat II jatuh sakit. Raden Arya Sindureja mengirim empat mantri anom untuk memberi tahu para pembesar yang sedang berperang di Ponorogo. Pangeran Adipati Puger sangat kaget, segera mengundang pasukan untuk pulang ke Kartasura. Perjalanan pasukan dipercepat, siang malam terus berjalan agar segera sampai. Sesampai di Kartasura Pangeran Puger segera masuk ke istana menemui Sang Raja. Pangeran sudah bertemu dengan Sang Raja yang terbaring lemah. Pangeran segera sungkem dan menyentuh kaki Sang Raja.

Sang Raja berkata, “Bagaimana perjalananmu Dinda?”

Pangeran Puger menyembah, “Selamat paduka, tidak menemui halangan.”

Sang Raja berkata, “Dinda, aku terkena sakit yang sangat tanpa bisa diobati. Sudah lumpuh tak dapat bergerak. Bagaimana kehendakmu Dinda, apa yang akan dipakai sebagai obat? Sangat-sangat aku meminta belas kasih Tuhan.”

Pangeran Puger berkata, “Paduka terimalah belas kasih Tuhan ini dengan pasrah.”

Sang Raja berkata, “Dinda, engkau boleh pulang ke rumah.”

Pangeran Puger menyembah dan segera pulang ke rumah. Sakitnya Sang Raja ditandai dengan sengkalan tahun: wong ningali obahing bumi[1].

Sakit Sang Raja terus berlanjut, sampai satu tahun kemudian Sang Raja menderita lumpuh. Sekarang Sang Raja sudah sembuh. Ketika sakit dulu Sang Raja punya nadzar hendak berenang kalau sudah sembuh dan mengadakan acara rampogan macan. Sang Raja berenang di danau buatan bersama para istri dan putra-keponakan. Raden Sudira dari Kapugeran disuruh mengambil buaya yang berada di dalam danau buatan itu. Seekor buaya besar berhasil ditangkap dan dipersembahkan kepada sang uwak. Sang Raja sangat suka, juga para bupati yang hadir melihat keperkasaan Raden Sudira. Sang Raja puas berenang di danau buatan. Raja kembali sehat wal afiat, para punggawa suka hatinya.

Sementara itu istri Pangeran Adipati dari Onje sudah berputra seorang bayi yang tampan. Tiga bulan kemudian istri selirnya juga melahirkan seorang putra. Putra Pangeran Adipati yang tua diberi nama Raden Mas Bumi. Adapun adiknya yang dari ibu selir diberi nama Raden Mas Panenggak. Yang tua juga sering disebut Raden Mas Sepuh, dan jarang dipanggil Raden Mas Bumi. Istri dari Onje kemudian melahirkan lagi seorang putra dan diberi nama Raden Mas Alit. Tiga orang putra diambil ke istana dan dianggap sebagai putra sendiri oleh Sang Raja. Bahkan kepada Sang Raja memanggil ayah, dan kepada Pangeran Adipati memanggil kakak. Tidak lama kemudian selir dari Kambang atau ibu dari Raden Mas Panenggak juga melahirkan lagi seorang putri, diberi nama Raden Ajeng Sasi. Kini keempat putra-putri Pangeran Adipati telah menginjak usia remaja. Sang Raja menyelenggarakan upacara sunatan dan potong kuncung. Peristiwa ini ditandai dengan sengkalan tahun: mantri roro rasa tunggal[2].

Kembali ke peristiwa dulu, setelah Raden Ayu Lembah meninggal Sang Raja mengambil dua putri Kapugeran ke istana. Satu orang putri Pangeran Puger, dan seorang lagi keponakan Raden Ayu Puger. Kedua putri tersebut kini sudah dewasa. Putri Pangeran Puger yang bernama Raden Ayu Impun atas kehendak Sang Raja dipaksakan untuk menikah dengan Pangeran Adipati Anom. Sedangkan seorang putri keponakan Raden Ayu Puger yang kemudian diberi nama Raden Ayu Kedaton dijodohkan dengan keponakan Ratu Kencana yang bernama Raden Kusumaningrat, anak dari Mangunrana. Tiga putra Pangeran Adipati yang juga telah menginjak usia dewasa kemudian diberi rumah sendiri. Raden Mas Sepuh diberi rumah di sebelah barat Sitinggil dan atas kehendak Raja diberi nama Pangeran Buminata. Dua pangeran yang lain masih bujang dan diberi rumah di sebelah barat rumah sang ayah.

Alkisah, dua putra Pangeran Singasari sepeninggal ayahnya diambil putra oleh Pangeran Puger. Putra tertua bernama Raden Santri dan yang muda bernama Raden Punta. Keduanya diangkat sebagai mantri oleh Sang Raja. Suatu ketika Raden Punta pergi ke Tegalwangi untuk ziarah ke makan kakeknya. Sang Raja dan Pangeran Puger mendengar bahwa Raden Punta telah pergi. Raden Punta tidak mau pulang dan bersikeras menunggui makam sang kakek. Sang Raja marah dan memerintahkan kepada Tumenggung Reksanagara di Tegal agar menyelesaikan perkara ini.

Tumenggung Reksanagara segera melaksanakan tugas. Raden Punta dibohongi Tumenggung Reksanagara. Tumenggung pura-pura mendapat marah Sang Raja dan bermaksud memberontak. Raden Punta diminta untuk menjadi raja di Tegal. Raden Punta yang memang tidak mau pulang ke Kartasura menyambut ajakan Tumenggung Reksanagara ini. Maka dia pun turun ke kota Tegal menemui Reksanagara. Sesampai di kota Tegal Raden Punta diringkus dan segera dicekik dengan selendang oleh Tumenggung Reksanagara. Raden Punta tewas atas kehendak Sang Raja. Kejadian ini masih berada di tahun yang sama pernikahan Raden Kusumaningrat dengan Raden Ayu Kedaton.

Belum genap satu tahun dari peristiwa tersebut di atas, Patih Raden Arya Sindureja jatuh sakit. Sakit yang diderita Raden Patih sangat parah sehingga menemui ajal. Sang Raja sangat heran karena sakitnya amat mendadak. Peristiwa ini ditandai dengan sengkalan: buta kalih ngrasa tunggil[3]. Sang Raja memutuskan yang menggantikan sebagai patih adalah Kyai Sumabrata. Sedangkan pengganti Sumabrata sebagai wedana dalam adalah Ki Anggasuranata, yang kemudian diberi nama Tumenggung Wiraguna. Sang Raja juga mengangkat patih dalam, yakni Ki Tumenggung Wirareja. Pangeran Adipati Anom mulai diserahi mengatur para punggawa dan para bupati dengan didampingi Patih Wirareja dan Sumabrata.

Selang setahun dari kejadian tersebut Ki Adipati Urawan juga meninggal dunia. Karena tak mempunyai putra peninggalannya dibagi tiga. Satu bagian diberikan kepada Wirareja, satu bagian kepada Wiraguna dan satu bagian diberikan kepada Sarawani. Sarawani kemudian diangkat sebagai tumenggung dengan nama Tumenggung Wirasastra.

Pada suatu hari Sang Raja memanggil Pangeran Adipati Anom ke istana. Sesampai di istana Sang putra menghadap dan mencium kaki.

Sang Raja berkata, “Duhai anakku. Baik-baiklah dalam berumah-tangga dengan adikmu dari Kapugeran. Aku ini sepertinya hampir dipanggil Tuhan Yang Agung. Sepeninggalkau kelak jangan sampai bingung dalam engkau menjadi raja. Jangan sampai berpikir menyimpang dengan saudara dan kerabatmu semua. Ingatlah anakku, pamanmu di Kapugeran, Adipati Sampang dan Adipati Surabaya selalu hargailah. Tiga punggawa itu sebagai tiang negara. Ibarat seperti senjata yang membuat kokoh negaramu. Aku ini sebenarnya belum percaya sepenuhnya kepadamu, karena itu aku masih ragu-ragu untuk meninggalkan dunia ini. Ingatlah jangan sampai mengubah segala kebiasaanku dalam mengatur negara. Ingatlah bahwa raja merupaka khalifat Tuhan Yang Maha Suci.”

Sang putra hampir-hampir menangis karena menduga Sang Raja sudah mendekati ajalnya. Sangat bersedih sang pangeran, airmatanya deras mengalir. Sang putra segera keluar dari istana menuju kediamannya.

Berganti tahun Sang Raja kembali jatuh sakit, kali ini sudah tak bisa disembuhkan lagi. Selama sakit sang putra selalu menunggui di kaki Sang Raja. Sang Raja masih sempat kembali memberi pesan-pesan sebelum mangkat.

Seperti ini pesannya, “Engkau sepeninggalku bisa-bisalah mengambil hati pamanmu di Kapugeran. Jangan engkau cepat-cepat mengangkat diri sebagai raja kalau pamanmu belum mengizinkan. Dan engkau mintalah saran dan pendapat pamanmu. Inilah pesanku. Laksanakanlah. Kalau engkau tak melaksanakan engkau takkan selamat.”

Setelah memberi pesan terakhir Sang Raja tampak terkulai kehilangan kesadaran. Pangeran Adipati Anom segera mengambil keris yang berada di atas kepala Sang Raja, yakni keris Kyai Balabar. Tanpa diduga Sang Raja terbangun dan melihat sang putra telah mengambil keris Kyai Balabar.

Sang Raja marah dan berkata, “Hai anakku, seperti itu perilakumu. Sungguh bukan perbuatan baik. Engkau takkan selamat beserta anak cucumu.”

Tak lama kemudian Sang Raja wafat. Sudah menjadi kehendak Tuhan sakit Sang Raja tak tersembuhkan. Wafat Sang Raja bertepatan dengan hari Sabtu Kliwon, bulan Jumadil Akhir, tanggal dua puluh tiga, tahun Alip, pada waktu tengah malam. Tahun wafat Sang Raja ditandai dengan sengkalan: ardi kalih rasa tunggil[4]. Para istri dan para putri istana menangis tersedu-sedu. Para kerabat dan punggawa berdatangan di istana.

Jenazah Sang Raja sudah disucikan. Permaisuri Ratu Kencana menagis di bawah kaki Sang Raja. Para cucu hadir di hadapan jenazah sang kakek. Jenazah Sang Raja sudah dikafani. Tangis para kerabat kembali pecah. Malam itu para prajurit Kartasura berjaga di segenap penjuru kotaraja.

Pagi hari Pangeran Adipati Anom duduk di pintu pertama istana. Para prajurit kadipaten berjaga-jaga di Sri Manganti dengan senjata lengkap. Patih Sada berdiri di depan memimpin barisan. Segenap punggawa hadir di istana dan melaksanakan tugas masing-masing.

Tiga pangeran adik Sang Raja bermaksud menengok jenazah Sang Raja. Ki Sumabrata melapor kepada Pangeran Adipati tentang kedatangan ketiga pangeran.

Pangeran Adipati Anom menjawab ketus, “Segera suruh masuk.”

Kyai Sumabrata keluar mempersilakan ketiga pangeran masuk ke puri tempat jenazah Sang Raja disemayamkan. Sesampai di dalam ketiga pangeran sungkem kepada jenazah sang kakak. Pangeran Arya Mataram dan Pangeran Panular sungkem pada bagian kaki. Pangeran Puger sungkem di bagian tengah tubuh sang Raja, tepat pada kemaluannya. Pangeran Puger melihat dari balik kafan terlihat kemaluan Sang Raja berdiri tegak, seperti saat sedang mencapai klimaks. Dan Pangeran awas melihat bahwa di pucuk kemaluan terlihat ada cahaya sebesar biji merica. Pangeran Puger segera mencucup cahaya tersebut. Kemudian kemaluan Sang Raja kembali lemas. Sudah kehendak Tuhan bahwa wahyu keraton berpindah ke dalam diri Pangeran Puger. Seorang pangeran yang sabar dan bewatak elok. Sudah pasti kelak akan berdiri sebagai raja yang menguasai tanah Jawa. Sedang Pangeran Adipati Anom kalaupun nanti diangkat sebagai raja, tampaknya hanya akan menjadi selingan saja.

Pangeran Puger dan kedua adiknya segera keluar dari puri dan duduk di Panangkilan. Jenazah Sang Raja kemudian dikeluarkan dari puri dan bersiap segera diberangkatkan ke Imogiri. Tangis para wanita kembali pecah di dalam istana. Jenazah Sang Raja berangkat ke Imogiri diiringi para mantri gedong. Ratu Kencana ikut serta mengantar dengan membawa seribu riyal harta pribadi Sang Raja. Raden Suryakusuma ditugaskan ikut mengawal jenazah sang uwak sampai ke pemakaman Imogiri.

Setelah jenazah berangkat Pangeran Adipati Anom memanggil Tumenggung Sumabrata. Yang dipanggil segera menghadap.

Pangeran Adipati berkata, “Hai bapak, kehendakku aku segera berdiri sebagai raja.”

Ki Sumabrata berkata, “Apakah tidak mengirim utusan ke Betawi dulu untuk memberi tahu bahwa Sang Raja wafat dan mengusulkan paduka tuan kalau hendak menjadi raja.”

Pangeran Adipati menjawab, “Lebih baik mengirim utusan pemberitahuan kalau aku sudah menjadi raja. Sekarang aku tidak ingin memberi tahu dulu. Sekarang keluarlah dan persiapkan segalanya. Para punggawa jangan ada yang pulang.”

Ki Sumabrata menghaturkan sembah dan segera keluar melaksanakan tugas. Ki Wiraguna kemudian dipanggil ke istana. Sesampai di dalam istana Ki Wiraguna meminta Pangeran memakai pusaka Kyai Gondil sebagai lambang akan berdiri menjadi raja.

Pangeran Adipati berkata, “Benar katamu. Mana, segera saya pakai Kyai Gondil.”

Pangeran hendak mengambil Kyai Gondil tetapi tidak kuat mengangkat. Pangeran sampai berwudhu tujuh kali, tak kuat juga. Tubuh Pangeran Adipati bergetar dan keringat dingin keluar deras seperti orang mandi.

Pangeran Adipati berkata, “Bagaimana ini Ki Wiraguna.”

Wiraguna menjawab, “Mohon maaf paduka. Hamba tidak bisa berkata apapun. Terserah kehendak paduka.”

Pangeran Adipati berkata, “Baiklah, mustahil batal hanya karena ini. Nah Wak, segera keluarlah dan persiapkan orang-orang untuk segera mengambil tempat masing-masing. Saya akan segera keluar.”

Ki Wiraguna menyembah lalu keluar. Sang putra raja sudah bersiap. Orang di dalam pura sudah siap di tempat masing-masing, juga para kerabat dan para tumenggung, para bupati pesisir dan para bupati mancanegara. Semua sudah hadir di Panangkilan. Pangeran Syarif juga sudah hadir bersama para penghulu dan ulama. Ratu Kulon memanggil para selir dari Sang Raja terdahulu agar segera berkumpul.

Pangeran Adipati Anom keluar dari dalam puri. Pangeran Adipati Puger menyambut di Sitinggil. Kedua paman-keponakan itu kemudian duduk di bangsal Witana.

Pangeran Adipati berkata, “Paman saya hendak menjadi raja, izin Paman saya minta.”

Sang paman menjawab pelan, “Silakan Nak, saya mendukung.”

Segera keduanya turun dari Sitinggil dan berjalan menuju ke Pancaniti. Pangeran Adipati Anom lalu duduk, sedang Pangeran Adipati Puger berdiri di belakangnya.

Pangeran Adipati Puger berseru kepada yang hadir, “Hai semua warga Kartasura dan para warga mancanegara serta warga pesisir. Semua saksikanlah, sekarang anakku aku angkat sebagai raja menggantikan Kanda Raja yang sudah mangkat.”

Semua menyambut dengan pernyataan patuh. Akan tetapi mendadak Sumabrata berseru, “Anda mengulang pekerjaan yang tidak perlu. Tidak usah diangkat, karena sudah menjadi Pangeran Adipati. Jadi pasti menjadi raja dengan sendirinya.”

Pangeran Puger merasa sangat malu mendapat kata-kata tak sopan itu. Adipati Surabaya sangat marah melihat kelakuan Sumabrata. Seketika berkata kasar kepadanya.

“Hai Patih Sumabrata, perkataanmu seolah kau bukan seorang patih. Kamu berkata mirip penggembala kerbau.”

Adipati Sampang menyambung, “Sudah adat di Mataram, aku mengetahui riwayatnya. Kalau Sang Raja mangkat anaknya yang menjadi pengganti. Seorang kerabat yang dituakan yang menobatkannya.”

Ki Sumabrata sakit hati kepada dua adipati itu, tetapi diam saja tidak memperpanjang perdebatan. Semua yang menyaksikan penobatan sudah puas. Sumabrata maju untuk melakukan sungkem, diikuti para tumenggung dan para bupati mancanegera. Sesudah itu Adipati Sampang dan Surabaya yang sungkem kepada raja muda. Setelah itu giliran tiga pangeran yang maju, tetapi hanya bersalaman saja. Sang Raja berkenan memakai nama seperti ayahanda, yakni Sinuhun Prabu Amangkurat atau lebih dikenal sebagai Prabu Amangkurat III.

Sang Raja kemudian masuk ke dalam istana dengan diiringi para pelayan dan perlengkapan upacara. Para penghuni istana menyambut Sang Raja, lalu Sang Raja duduk di bangsal Prabayasa. Ratu Kulon dipersilakan sungkem kepada Sang Raja.

Sang Raja menyampaikan perintah kepada pelayan, “Engkau sampaikan perintahku segera kepada Sumabrata agar para bupati berjaga di istana selama tujuh hari dalam acara sedekah bagi ayahanda. Kalau sudah tujuh hari boleh pulang ke rumahnya masing-masing.”

Pelayan menyembah dan segera menyampaikan perintah Sang Raja kepada Patih Sumabrata. Sang Raja kemudian mengangkat punggawa pilihannya. Patih dari kadipaten, Patih Sada, diangkat sebagai wedana Panumping dengan nama Ki Arya Mandurareja. Ki Pusparaga diangkat sebagai tandem Ki Arya Mandurareja dengan nama Tumenggung Jayaningrat. Sang Raja sangat mengasihi Ki Jayaningrat dan selalu menurut perkataannya. Oleh Sang Raja Ki Jayaningrat juga diberikan istri, anak perempuan Raden Mangunrana yang sulung.

Setelah mengangkat beberapa pejabat Sang Raja mengumpulkan selir dari almarhun ayahandanya. Oleh Sang Raja  beberapa selir yang masih muda-muda dipilih hendak dijadikan selir untuk Sang Raja.

Ki Wiraguna berkata, “Mohon maaf paduka. Hidup mati hamba serahkan kepada paduka, asalkan paduka anak Prabu menuruti perkataan hamba. Paduka jangan mengambil bekas selir ayah paduka untuk paduka jadikan selir. Itu tidak baik di kemudian hari.”

Sang Raja membentak dengan keras, “Hai, engkau jangan mengganggu. Jangan banyak omong, membikin repot saja.”

Ki Wiraguna terdiam, sangat kecewa dalam hatinya. Sudah terasa bahwa tuannya takkan lestari berkuasa karena adatnya suka berbuat sekehendaknya, tak mempan oleh nasihat.


[1] Sengkalan: wong ningali obahing bumi (1621 A.J., 1697/1698 . A.D)

[2] Sengkalan: mantri roro rasa tunggal (1621 A.J., 1697/1698 A.D.)

[3] Sengkalan: buta kalih ngrasa tunggil (1625 A.J., 1701/1702 A.D.). 

[4] Sengkalan: ardi kalih rasa tunggil (1627 A.J. 4 Nopember 1703 A.D.). 


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/09/03/babad-tanah-jawi-97-sinuhun-amangkurat-wafat-digantikan-sang-putra-pangeran-adipati-anom/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...