Translate

Jumat, 20 September 2024

Babad Tanah Jawi (118): Pasukan Kartasura menyerang negeri Kartasari

 Sementara itu di Kartasura, Admiral Britman sudah bersiaga perang bersama para punggawa Kartasura. Mereka akan segera memukul Kartasari. Admiral berangkat bersama Adipati Mangkupraja dengan membawa prajurit seberang. Peristiwa tersebut ditandai dengan sengkalan tahun: wana papat rasa tunggal[1].

Pasukan Mataram pimpinan Adipati Lumarap di Dresana sudah mendengar kalau pasukan Kartasura akan menyerang. Mereka segera bersiap menghadang. Perjalanan pasukan Kartasura telah sampai di Delanggu. Kedua pasukan sudah saling mendekat.

Adipati Lumarap sudah mengirim utusan ke Kartasari untuk melaporkan kedatangan pasukan Kartasura. Pasukan musuh dipimpin seorang admiral bernama Britman dan punggawa Kartasura  bernama Adipati Mangkupraja. Mereka membawa pasukan Kumpeni Islam sejumlah seribu dengan pimpinan Letnan Jembaran. Panembahan Purubaya lalu mengirim pasukan bantuan kepada Adipati Lumarap. Juga diperintahkan agar pasukan Kartasari agak mundur supaya mendapat tempat yang lapang. Pasukan Kartasari berencana mundur ke Kalpu. Mereka mempersiapkan benteng di tepi sungai. Tumenggung Wiranagara yang membawa pasukan bantuan sudah berangkat dari Kartasari. Pasukan bantuan sudah sampai di Dalimas dan membuat benteng. Panembahan juga memerintahkan kepada Tumenggung Gajahpramada, Tumenggung Suradiningrat dan Tumenggung Sasradiningrat untuk membuat benteng di Sanasewu. Ketiga punggawa segera berangkat melaksanakan perintah. Barikade sudah dipasang di desa Taji dan pondokan sudah dibuat di Sanasewu.

Sultan Ibnu Mustapa dan Panembahan Purubaya akan menghadapi pasukan sang kakak Raja Amangkurat. Sudah lima bulan Sultan berkeraton di Kartasari. Pasukannya sudah semakin banyak. Mereka semua terlatih dan terjamin kesejahteraannya. Tidak kurang sandang dan pangan. Sultan ingin agar para prajurit tidak mengecewakan dalam perang. Maka segala kebutuhannya dicukupi dengan baik.

Sementara itu Adipati Lumarap sudah bertempur sengit dengan pasukan Kartasura di Dresanan. Sambil bertempur Adipati Lumarap mundur perlahan ke Kalpu. Dari Dresanan pasukan Kartasura terus mendesak. Mereka mengerahkan tujuh kapten Makasar-Bugis. Sesampai di Kalpu pertempuran kembali pecah. Adipati Lumarap sudah siap menyambut kedatangan pasukan Kartasura. Tumenggung Wiranagara membantu dari kanan bersama pasukannya. Pasukan Kumpeni maju menerjang sambil memberondong tembakan. Asap mesiu memenuhi medan perang, membuat suasana menjadi gelap. Pasukan Mataram tak mampu menahan serangan pasukan Kumpeni. Mereka berlarian mencari perlindungan. Ki Tumenggung Wiranagara telah berlindung ke benteng. Tiga benteng telah terisi prajurit yang terdiri dari para bekel desa. Mereka merasa berhutang budi karena selama ini segala kebutuhannya dicukupi oleh Adipati Lumarap. Ki Adipati memerintahkan semua kalantaka disiapkan menyambut musuh.

Pasukan Kartasura dipimpin Adipati Mangkupraja bersama pasukan Kumpeni kembali menerjang. Adipati Lumarap menghadang dengan gigih. Pasukannya banyak yang tewas, tetapi sang adipati tak gentar. Para prajurit menyarankan agar Adipati Lumarap mundur, tapi sang adipati bergeming.

“Aku takkan mundur dari perang. Apa aku keturunan orang hina? Sekarang sudah diangkat sebagai punggawa oleh Panembahan, apa balasanku kalau bukan tumpahnya darahku?” kata sang adipati.

Pasukan Kumpeni dan pasukan Kartasura kembali menerjang. Letnan Jembaran mengerahkan prajurit seberang menyerang benteng. Dari sisi timur mereka memanjat benteng dan menembaki pasukan Kartasari. Tumenggung Wiranagara telah melarikan diri. Hanya Adipati Lumarap yang tetap bertahan. Para prajurit kembali mengajak sang adipati untuk mundur.

Adipati Lumarap berseru, “Hai kalian yang takut mati, silakan lari. Aku tak ingin meninggalkan musuh. Kalau aku timbang jumlah musuh itu, sungguh setimbang dengan belas kasih tuanku. Aku dulu bernama Bangsapatra, sekarang mempunyai kedudukan sebagai Adipati Lumarap, panglima perang Kartasari. Sungguh disayangkan kalau tuanku mengangkat punggawa yang hanya bisa lari meninggalkan benteng.”

Adipati Lumarap sudah dikepung. Tembakan terus dilancarkan oleh pasukan Kartasura. Banyak prajurit Kartasari tewas. Adipati Mangkupraja menyerang dari arah barat benteng. Letnan Jembaran terus mendesak dari arah timur benteng. Dari arah selatan para bupati Kartasura menyerang. Dari utara serdadu Kumpeni terus menembak. Adipati Lumarap meraih tombak dan menerjang pasukan dari barat. Adipati Mangkupraja menahan. Sejumlah dua puluh lima prajurit pengiring Adipati Lumarap tewas. Serdadu Kumpeni terus menembak dari arah belakang. Adipati Lumarap tak menoleh, terus maju menerjang. Seperti singa yang mengamuk sepak terjang pasukan Adipati Lumarap. Banyak prajurit Adipati Mangkupraja tewas. Serdadu Kumpeni terus mengejar dari belakang. Prajurit Adipati Lumarap habis tak bersisa. Sang Adipati telah terluka di perut dan dada. Sisa pasukan Mangkupraja segera mengeroyoknya. Adipati Lumarap tewas. Kepala Adipati Lumarap dipenggal dan kemaluannya dipotong. Kepalanya kemudian dibawa ke Kartasura. Admiral Britman memanggil anjingnya. Kemaluan Adipati Lumarap diberikan kepada si anjing dan dimakan. Si anjing semula bernama Jakup. Kemudian diganti menjadi Lumarap. Si Jakup ini anjing perang yang pernah ikut berperang di Surabaya. Adipati Mangkupraja dan Tuan Admiral sepakat untuk terus maju ke Mataram. Malam itu mereka beristirahat, paginya segera berangkat.

Sementara itu, Tumenggung Wiranagara yang melarikan diri dari medan perang sudah sampai di Kartasari. Tumenggung melaporkan kepada Panembahan Purubaya kalau pasukan Kartasari kalah. Adipati Lumarap telah tewas. Sekarang musuh semakin mendekat ke Mataram dengan pasukan besar. Sultan Ibnu Mustapa segera mengundang semua prajurit untuk bersiap perang. Semua sudah menyandang senjata dan berbaris di alun-alun. Panembahan Purubaya sudah memakai pakaian keprajuritan rangkap tiga. Juga telah menyandang keris Kyai Kalang. Kuda Panembahan yang bernama Ki Sukantha sudah diberi pelana. Panembahan Purubaya hendak maju duluan ke medan perang. Panembahan Purubaya keluar ke Panangkilan. Semua bupati tampak kumal di hadapan Sang Panembahan. Tampilan Panembahan sungguh gagah seperti raja Pringgadani Prabu Anom Gatotkaca.

Tanda perang sudah dibunyikan, pasukan Kapurubayan segera berangkat. Panglima garis depan ditempati Tumenggung Sindureja dan seorang abdi Kapurubayan bernama Ki Kartadirana yang sudah diangkat sebagai tumenggung dengan nama Kartanagara. Panembahan sudah naik kuda, pasukan berangsur meninggalkan Kartasari.

Tiga hari setelah keberangkatan Panembahan Purubaya, Sultan Ibnu Mustapa berangkat beserta pasukan dari Kartasari. Panglima garis depan ditempati Ki Tumenggung Jayabrata. Di belakang memimpin Ki Tumenggung Singabarong dan segenap para mantri. Lalu di belakangnya lagi berbaris para haji yang akan melakukan perang sabil, para ketib dan modin. Mereka dipimpin penghulu dari Kartasura yang ikut menyeberang, bernama Kyai Tangkilan. Sultan Ibnu Mustapa memakai busana yang indah, baju beludru hijau dengan kancing baju dari permata. Tanpak berkerlip-kerlip. Ikat kepala ala Arab dan menyandang tiga keris. Ikat pinggang kain cinde. Sultan tidak naik kuda, tetapi memakai tandu.

Perjalanan pasukan Sultan sudah sampai di Sanasewu dan bertemu dengan pasukan Panembahan Purubaya. Sementara itu pasukan Kumpeni sudah sampai di Tangkisan. Tuan Admiral dan Patih Mangkupraja menata barisan.

Berkata Tuan Admiral, “Ki Patih, di depan itu ada barisan pasukan Mataram. Siapa mereka?”

Adipati Mangkupraja menjawab, “Mereka itu dua pangeran yang hendak maju sendiri ke medan perang.”

Admiral Britman segera menata pasukan. Seribu serdadu Kumpeni ditempatkan di depan. Pasukan Kumpeni Islam ditempatkan di sayap kanan dan kiri. Adipati Mangkupraja berada di belakang.

Panembahan Purubaya sudah diberi tahu kalau pasukan Kumpeni sudah sampai di Tangkisan. Panembahan segera menata barisan. Pangeran Arya ditunjuk menempati dada bersama para bupati. Panembahan Purubaya menempati sayap kanan. Sultan Ibnu Mustapa menempati sayap kiri.

Pasukan Kumpeni bergerak maju sambil membakar pedesaan. Tampak asap menggulung di belakang. Pasukan Kumpeni bergerak melalu tengah desa. Yang melewati Babanar hanya pasukan para bupati Kartasura. Mereka mengecoh lawan. Orang Mataram tak melihat pergerakan pasukan Kumpeni. Mereka tak terlalu waspada karena melawan sesama Jawa. Pasukan Mataram sudah menghadang dan terjadilah pertempuran sengit. Kedua pasukan saling desak.

Sementara itu dari belakang pasukan Kumpeni bergerak dengan senyap. Mereka memutar ke utara Taji sebelum akhirnya berbelok ke barat menuju barisan pasukan Sultan Ibnu Mustapa. Setelah dekat mereka langsung menerjang. Para mantri dari Kasultanan membalas dengan tembakan kalantaka. Namun pasukan Kumpeni tak gentar dan terus maju. Sultan lalu memajukan pasukan para haji dan ulama. Kumpeni terus menembak. Pasukan para haji dan ulama mengamuk. Sudah takdir mereka, pasukan Kumpeni terlalu tangguh. Banyak prajurit ulama tewas. Hanya sedikit yang tersisa.

Para mantri dan punggawa Kartasari segera datang membantu. Namun mereka gugup karena serangan Kumpeni begitu rapi. Pasukan Kasultanan salah langkah dan terdesak. Nyali mereka menjadi ciut. Banyak dari mereka tewas. Sultan Ibnu Mustapa banyak kehilangan prajurit. Kumpeni semakin seru mengamuk. Pasukan Sultan berusaha membalas. Tetapi mereka tak mampu menahan terjangan para serdadu Kumpeni. Sultan dikawal para punggawa dan bersiap lari dari medan perang.

Pangeran Arya yang berada di barisan Kapurubayan berusaha menolong pasukan Sultan. Dari arah selatan mereka menerjang. Kumpeni menyambut serangan pasukan Kapurubayan. Terjadi pertempuran dahsyat. Pangeran Arya berusaha mengejar prajurit Kasultanan yang lari.

Pangeran Arya berseru memanggil, “Hai, pasukan Kasultanan, kalian kembalilah. Aku datang membantu kalian. Mari kita amuk Kumpeni.”

Pasukan Kasultanan tak menjawab sama sekali. Mereka terus saja melarikan diri. Pangeran Arya jengkel lalu memaki sang paman Sultan.

“Paman mengapa tidak kembali. Pantas kalau dikebiri. Sudah berani menyerang keraton, mengapa takut berperang. Berani berulah tapi tak menyelesaikan masalah. Ayah Panembahan sampai meninggalkan kota hanya demi membela paman. Sekarang si paman lari meninggalkan gelanggang,” teriak Pangeran Arya.

Pangeran Arya kembali lagi ke medan perang mengerahkan pasukan. Diberondong tembakan senapan Pangeran Arya tak hendak mundur. Panembahan Purubaya melihat sang putra dikeroyok, lalu segera datang menolong. Pasukan Kapurubayan sangat berani dan tangguh. Pasukan Kumpeni juga kuat. Mereka terlibat pertarungan sengit. Pasukan Kapurubayan karena dipimping oleh tuan mereka, semangatnya berkobar. Mereka tak berpikir mencari hidup lagi. Mereka mengamuk tak takut mati. Kedua kubu menderita banyak korban karena sama-sama tangguh. Pasukan Kumpeni lalu mundur menata barisan. Tak lama mereka maju kembali sambil memberondong dengan granat dan senapan berat. Pasukan Kapurubayan banyak yang tewas terkena peluru. Panembahan Purubaya kehabisan pasukan, lalu perlahan mundur. Pasukan Kumpeni terus mengejar. Pasukan Panembahan dan Sultan lalu berhenti di Kaliajir. Mereka bermalam satu malam, pagi-pagi segera pergi ke arah Kedu.

Pasukan Kartasura berhasil menduduki kota Kartasari. Mereka menangkap Ki Penghulu. Ki Penghulu dipedang dan digantung, tetapi tak juga mati. Ditembak pun tak lecet sedikitpun kulitnya. Tuan Admiral kemudian menyuruh memasukkan Ki Penghulu ke dalam gedung prabayasa, lalu dibakar. Ki Penghulu sudah tewas. Adipati Mangkupraja dan Tuan Admiral lalu berembug langkah selanjutnya.

Adipati Mangkupraja berkata, “Mari kita kejar dua pangeran ke manapun perginya.”

Tuan Admiral berkata, “Saya tidak berani mengejar karena belum ada perintah Sang Raja. Perintahnya kepada saya hanya menaklukkan Mataram. Sekarang sudah terlaksana. Saya akan pulang untuk melapor. Musuh Anda ini bukan orang Surabaya. Panembahan Purubaya adalah saudara seibu dari Sang Raja. Saya takut. Kelak kalau sudah melapor, terserah kehendak Sang Raja. Kalau saya disuruh kembali ke Mataram untuk mengejar Pangeran Purubaya, sungguh saya pasti kembali.”

Adipati Mangkupraja tak menolak saran Tuan Admiral. Keduanya segera bersiap pulang ke Kartasura.

Sementara itu Panembahan Purubaya dan Sultan Ibnu Mustapa berada di Kedu, kemudian menyerang pasukan kubu Kartasura yang berada di sana. Tumenggung Mangkuyuda yang berbaris di Cathak bersama sang adik Tumenggung Natayuda telah diserang oleh pasukan Panembahan Purubaya. Pasukan Tumenggung Mangkuyuda menderita kekalahan. Tumenggung Mangkuyuda menderita luka di paha kanan. Mereka kemudian mundur ke gunung Gajah Binangun. Panembahan Purubaya terus mengejar dan terjadi perang lagi. Tumenggung Mangkuyuda kembali menderita kekalahan, lalu pasukannya mundur ke Taji. Panembahan Purubaya menggerakkan pasukan ke gunung Gajah. Ki Tumenggung Mangkuyuda lalu mengirim utusan untuk menyerah. Dua mantri yang diutus adalah Saradita dan Sumawijaya.

Panembahan Purubaya mendengar kalau pasukan Admiral Britman sudah pulang ke Kartasura. Panembahan kemudian mengerahkan pasukan kembali ke Mataram dan menduduki Bacingah, tepatnya di desa Pameresan. Sisa pasukan Kartasura banyak yang mereka bunuh di desa Pameresan, di seberang sungai Progo.

Admiral Britman dan Adipati Mangkupraja sudah sampai di Kartasura dan menghadap Sang Raja. Mereka berdua melaporkan hasil penyerangan ke Mataram. Sang Raja sangat bersukacita mendengar laporan kemenangan Admiral dan Mangkupraja.

Berkata Admiral Britman, “Paduka, adik paduka lari ke Kedu, tetapi tidak saya kejar. Kami takut karena tidak mendapat perintah paduka. Kalau paduka masih meminta karya kami, walau harus mati kami takkan mundur. Tapi saya minta abdi paduka si Cakrajaya diampuni. Saya minta dia tetap menjadi pendamping saya dalam bertaruh nyawa. Kalau ada keburukan si Cakrajaya, biar saya yang menanggung.”

Sang Raja mendengar permintaan Admiral sangat repot, sesaat tak mampu menjawab. Ki Demang Urawan yang juga sedang menghadap lalu maju ke depan dan ikut berbicara.

Berkata Demang Urawan, “Sebab Tuan Admiral berani menanggung pada Ki Patih karena memang Ki Patih bersih. Ada yang berbohong kepada paduka dengan memberi laporan palsu. Maka Tuan Admiral berani mengusulkan kepada paduka karena selama ini Tuan Admiral tidak pernah berpisah dengan Patih Cakrajaya. Mereka sudah seiya sekata dan saling membantu.”

Sang Raja setelah mendengar perkataan Ki Urawan merasa lega. Sang Raja lalu berkata kepada Tuan Admiral, “Hai Admiral, apa yang menjadi permintaamu akut turuti. Aku maafkan si Cakrajaya.”

Admiral berkata, “Kalau demikian saya minta izin untuk pergi ke Semarang sebentar. Karena Cakrajaya sudah mendapat ampunan, akan saya lepaskan sendiri. Saya akan segera kembali bersama Cakrajaya.”

Sang Raja berkata, “Baiklah Admiral, jangan lama-lama engkau pergi. Segeralah kembali.”

Tuan Admiral segera keluar dari istana dan berangkat ke Semarang. Para abdi dari Kacakrajayan pun dipanggil untuk menyertai kepergian Tuan Admiral ke Semarang. Mereka semua dikembalikan ke jabatannya semula.

Sementara itu di negeri Mataram, Panembahan Purubaya dan sang adik Sultan Ibnu Mustapa sudah kembali pulih kekuatannya. Mereka kemudian membangun benteng di desa Marebung. Para punggawa kemudian memperluas wilayah dengan menaklukkan wilayah sekitar. Tumenggung Jayabrata ditugaskan menjaga keselamatan Panembahan dan Sultan. Ki Tumenggung Sindureja ditugaskan menaklukkan wilayah Kedu. Tumenggung Wiranagara dan Raden Arya Danupaya sudah berangkat ke timur ke perbatasan Kartasura. Mereka sudah menduduki wilayah perbatasan dan kembali menggelar barisan.

Sang Raja Kartasura sangat sedih melihat keadaan ini. Sang Raja lalu menugaskan pangeran Mangkubumi untuk menyerang pasukan Mataram. Pangeran Mangkubumi pun segera berangkat. Perjalanannya sudah sampai di Kemlaten. Kedua pasukan sudah bertemu dan segera terlibat dalam pertempuran sengit. Pangeran Mangkubumi sangat perkasa sehingga pasukan Mataram banyak yang tewas. Pangeran Mangkubumi lalu mengumpulkan para prajurit dari wilayah tersebut sehingga pasukannya semakin besar. Dahulu ketika pasukannya masih sedikit dan bertempat di Sanggung, Pangeran menemukan sebuah meriam kecil. Meriam itu mempunyai sisik seperti ular, maka diberi nama Tundung Mungsuh. Meriam kecil inilah yang dipakai dalam perang kali ini sehingga berhasil mengalahkan pasukan Mataram. Pasukan Kartasura sudah tenang dan dapat bekerja mencari makan.


[1] Sengkalan: wana papat rasa tunggal (1646 A.J., 1721/1722 A.D.).


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/09/24/babad-tanah-jawi-118-pasukan-kartasura-menyerang-negeri-kartasari/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...