Sementara itu, Sang Raja Kartasura berkehendak memanggil Ngabei Tohjaya ke Kartasura. Sang Raja ingin melihat Ki Tohjaya yang sudah kondang sepak terjangnya selama di Surabaya. Negeri Gresik yang mempunyai tiga benteng akan diserahkan kepada Tumenggung Gresik. Utusan yang memanggil Ngabei Tohjaya segera berangkat ke Surabaya.
Di Surabaya selama ini Ngabei Tohjaya menjadi tulang punggung pertahanan pasukan Kartasura di Sapanjang. Ki Ngabei menjadi panglima andalan pasukan Kartasura. Kedatangan utusan yang memanggil Ki Tohjaya membuat hati pasukan di Gresik ciut. Maka mereka memutuskan mundur ke Surabaya. Kapten Bengsing kemudian menata pasukan Kumpeni yang ada. Meriam sudah disiapkan di dalam benteng Surabaya. Kapten Bengsing berjaga di Surabaya bersama pasukan dari Madura. Jumlah pasukannya sejumlah seribu prajurit.
Ki Tohjaya sudah sampai di Kartasura dan menghadap Sang Raja. Raja Amangkurat sangat menyukai penampilan Tohjaya yang gagah dan pemberani.
Berkata Sang Raja, “Hai Tohjaya, ada berapa prajuritmu?”
Yang ditanya menjawab, “Paduka, ada delapan puluh abdi paduka. Yang empat puluh berasal dari Bali, sisanya dari Jawa.”
Sang Raja sangat bersukacita. Ki Ngabei telah diberi hadiah kain dan pakaian, lima puluh senapan dan empat tong bubuk mesiu.
Berkata lagi Sang Raja, “Hai Tohjaya, jagalah saya. Engkau menjadi prajuritku.”
Ngabei Tohjaya menyembah, sangat bertermimakasih atas segala kebaikan Sang Raja. Ki Ngabei lalu ditempatkan di pondokannya beserta seluruh prajuritnya.
Sementara itu di Japan, Adipati Jayapuspita sepeninggal sang adik Panji Kartayuda sangat bersedih. Ki Adipati lalu memanggil adiknya yang bernama Adipati Natapura alias Panji Surengrana, yang sedang berbaris di Sapanjang. Adipati Natapura segera datang menghadap. Sang Adipati kemudian menyuruhnya untuk menyerang Kartasura dengan membawa prajurit pilihan sejumlah tujuh ratus orang. Adipati Natapura juga sangat marah atas tewasnya sang adik Panji Kartayuda. Adipati Natapura bergegas mengerahkan pasukan dari Japan. Perjalanan mereka segera sampai di Sukawati. Mereka kemudian berbelok ke selatan menuju Picis, lalu mendirikan barisan di desa Ngares. Mereka kemudian mengirim utusan ke Mataram untuk memberi tahu kepada Panembahan Purubaya.
Panembahan Purubaya sangat gembira dengan kedatangan pasukan Adipati Natapura alias Panji Surengrana. Panembahan lalu memberikan Mas Ayu Tiksnasekar sebagai hadiah. Adipati Natapura sangat berbesar hati. Sang Adipati kemudian memerintahkan prajuritnya untuk menjarah daerah sekitar desa Ngares.
Di Semarang, Tuan Admiral sudah bertemu dengan Patih Cakrajaya. Ki Patih sudah dibebaskan oleh Tuan Admiral. Ki Patih sangat gembira. Segera Ki Patih bersiap-siap. Ki Patih lalu membeli pasukan bayaran. Para bupati juga banyak meminjamkan prajurit kepada Ki Patih. Akhirnya prajurit Ki Patih dapat terkumpul sejumlah seribu orang. Mereka kemudian diberi pakaian yang indah sehingga tampak berwibawa. Ki Patih kemudian mengumpulkan para bupati pesisir di Semarang. Namun para bupati dari timur belum datang.
Di tempat lain, Pangeran Arya Mataram yang menduduki Pati hendak mengangkat diri sebagai raja dengan gelar Sunan Kuning. Para putra-putra sudah aktif memperluas wilayah dengan menaklukkan wilayah sekitar. Japara, Kudus dan Demak saat itu masih dikuasai Kartasura. Ki Patih lalu memberi perintah kepada Mangunoneng untuk membujuk Pangeran Arya Mataram agar menghentikan langkahnya. Karena Ki Mangunoneng sangat dekat dengan Pangeran Arya Mataram.
Sementara itu di Semarang, para bupati pesisir sudah berkumpul semua. Ki Patih dan Tuan Admiral segera berangkat ke Kartasura bersama para bupati pesisir kiri. Dari pesisir kanan yang ikut hanya bupati Kudus, Demak dan Japara. Singkat cerita Ki Patih dan Tuan Admiral sudah sampai di Kartasura. Sepanjang perjalanan mereka menjadi tontonan orang. Kedatangan Ki Patih disertai tiga puluh orang punggawa. Sesampai di Kartasura Ki Patih dan Admiral segera menghadap Sang Raja. Patih Cakrajaya sungkem kepada Sang Raja sambil menangis tersedu-sedu, seperti tangis seorang perempuan. Sambil menangis Ki Patih selalu menyebut mendiang Sang Raja Pakubuwana. Sang Raja Amangkurat menjadi ikut bersedih dan merasa sangat kasihan kepada Patih Cakrajaya.
Admiral Britman berkata, “Paduka, Patih Cakrajaya berserah hidup-mati kepada paduka. Jika akan dihukum mati pun tak menolak. Namun saya minta paduka tidak mendengarkan laporan yang tidak jelas. Si Tumenggung Cakrajaya kalaupun punya kesalahan sudah pasti saya laporkan kepada paduka.”
Sang Raja berkata, “Benar katamu Admiral. Nah, Wak Cakrajaya engkau sementara tinggallah dulu di Kadipaten. Rumahmu sudah lama tak ditinggali, pasti rusak.”
Patih Cakrajaya berkata, “Mohon maaf paduka. Bila diizinkan hamba ingin pulan ke rumah hamba sendiri. Para prajurit hamba juga ingin pulang ke rumah masing-masing.”
Tuan Admiral menyambung, “Benar perkataan Ki Patih.”
Sudah diizinkan Ki Patih pulang ke rumahnya. Ki Patih segera keluar dari istana bersama Tuan Admiral. Para prajurit Ki Patih yang dari Kartasura juga ingin pulang ke rumah masing-masing. Para prajurit lama Ki Patih kemudian bergabung kembali. Ki Patih kini sudah mempunyai banyak prajurit lagi.
Pada pisowanan hari Senin Ki Patih menghadap Sang Raja. Ki Patih Tumenggung Cakrajaya oleh Sang Raja namanya kemudian diganti menjadi Adipati Danureja. Tetap pada jabatannya sebagai patih.
Di antara para punggawa Kartasura yang masih mempunyai banyak pasukan adalah Pangeran Arya Panular. Prajuritnya sejumlah empat ratus orang. Mereka semua prajurit pilihan. Oleh Admiral putra Pangeran Panular yang bernama Raden Suradiningrat diminta untuk menjadi panglima pasukan Kartasura. Sang Raja sangat mengandalkan Pangeran Arya Panular. Hati Pangeran pun merasa nyaman. Sang Raja berkehendak menggantikan prajurit yang berada di garis depan. Prajurit yang baru akan ditempatkan di Marebung.
Sementara itu Kyai Tumenggung Mangkuyuda di Kedu menderita kekalahan. Tiga tumenggung pesisir kemudian dikirim untuk membantu, Tumenggung Pemalang, Tumenggung Barebes dan Tumenggung Tegal. Sebagai pimpinan pasukan bantuan, ditunjuk Kyai Arya Mandurareja. Mereka segera berangkat menuju Kedu. Di tempat lain, Tumenggung Jayasudarga diperintahkan untuk membantu pasukan di Bagelen bersama Ki Kanduruan Wilatikta.
Kyai Patih Adipati Danureja dan Tuan Admiral juga sudah berangkat dari Kartasura. Adipati Mangkupraja juga ikut berangkat bersama Adipati Citrasoma dan Adipati Jayaningrat. Juga Raden Suradiningrat sebagai panglima Kartasura. Mereka berangkat melalui timur gunung Merapi dan menuju Soca. Di Waluyu dan Jatisekar mereka terlibat pertempuran dengan pasukan Surabaya.
Sementara itu pasukan Kartasura yang menuju Kedu juga sudah terlibat pertempuran. Demikian pula yang dikirim ke Bagelen. Mereka berhasil mendesak pasukan Pangeran Purubaya yang berada di Banyumas. Pemimpin mereka Ki Tumenggung Martasura berhasil dikalahkan dan lari ke Kedu bergabung dengan pasukan Mataram pimpinan Tumenggung Sindureja. Tumenggung Jayasudarga sudah berhasil menduduki Bagelen. Demikian pula Tumenggung Mandurareja, sudah berhasil menduduki Kedu.
Di tempat lain, pasukan Admiral sudah sampai di Marebung. Sudah berhadap-hadapan dengan pasukan Panembahan Purubaya. Pasukan Mataram sudah bersiap dengan membuat panggung untuk menempatkan meriam. Kedua kubu hanya saling menembak dengan meriam.
Di Bagelen, Kanduruan Wilatikta mengumpulkan para ajar, wasi dan putut. Mereka diminta untuk meramal perjalanan dua pangeran yang berada di Mataram. Juga nasib Pangeran Arya yang ikut serta sang paman. Apakah mereka akan mampu menjadi raja di tanah Jawa. Namun tak satupun ajar yang meramal bahwa kedua pangeran akan berhasil. Mereka hanya meramalkan bahwa cucu pangeran yang akan menjadi raja di Adipala. Pada mulanya akan mengalami banyak kesulitan tapi akhirnya bisa menjadi raja masyhur melebihi sesama raja.
Kanduruan Wilatikta lalu mengirim utusan secara rahasia ke Marebung. Utusan sudah sampai dan menyampaikan surat Ki Kanduruan kepada Panembahan Purubaya.
Isi suratnya menyatakan: “Abdi paduka Kanduruan lancang memberi tahu kepada paduka bahwa dalam paduka bersama adik paduka melakukan perlawanan, dari perkataan tukang ramal saya, paduka tidak akan berhasil. Walau punya jutaan prajurit tapi takkan mampu menjadi raja. Karena belum ada kehendak Tuhan. Adik paduka Pangeran Balitar tak mendapat izin menjadi raja. Adapun kelak cucu paduka pasti menjadi raja. Keratonnya besok berada di Adipala. Cucu paduka mulanya akan banyak menderita, tapi kemudian muncul menjadi raja besar.”
Panembahan Purubaya sangat kaget, segera memanggil Ki Tumenggung Wiranagara untuk dimintai pendapat.
Berkata Panembahan Purubaya, “Wiranagara, bagaimana pendapatmu atas surat Kanduruan ini?”
Wiranagara menjawab, “Saya serahkan paduka. Hanya perkiraan saya karena si Kanduruan berada di pihak musuh, bisa saja surat itu hanya untuk mengendurkan semangat paduka. Tapi dulu si Kanduruan sangat patuh dan mengasihi paduka. Maka saya pun kesulitan menyimpulkan. Terserah paduka bagaimana menilainya.”
Panembahan Purubaya berkata, “Ya sudah, apa salahnya surat ini aku terima. Namun engkau carilah ahli ramal sebagai bahan perbandingan perkataan si Kanduruan.”
Ki Wiranagara ketika itu mempunyai seorang saudara yang mengerti soal ramalan. Dia seorang petinggi di desa Palar. Oleh Ki Tumenggung saudara itu dipanggil menghadap Panembahan Purubaya.
Panembahan berkata, “Hai petinggi Palar, aku minta kesediaanmu untuk meramal. Jangan engkau takut mengatakan yang sebenarnya.”
Ki Wiranagara menyambung, “Hai Uwak, jangan engkau takut-takut, katakan apa adanya. Kalau tak berkata yang sebenarnya engkau akan celaka.”
Petinggi Palar berkata, “Dari penglihatan hamba, adik paduka Pangeran Balitar takkan menjadi raja. Tuhan belum mengizinkan beliau menguasai tanah Jawa. Dari penglihatan hamba, Kartasura walau tinggal selebar payung, takkan bisa paduka taklukkan. Semoga kelak di belakang paduka, ada cucu paduka yang akan menjadi raja di Adipala. Di sebelah barat bengawan Semanggi. Pada mulanya dia akan sangat menderita, tapi kemudian akan menjadi raja besar.”
Panembahan Purubaya menjadi surut semangatnya. Sementara itu pasukan Kumpeni terus berusaha meraih kemajuan. Tuan Admiral sudah membangun markas di pasar Mlinjon bersama Patih Danureja dan Adipati Mangkupraja. Di sebelah utara juga berbaris pasukan Adipati Citrasoma dan Adipati Jayaningrat. Mereka belum berhasil menaklukkan benteng Panembahan Purubaya. Setiap mencoba mendekat mereka selalu dihalau dengan meriam. Ki Tumenggung Jayabrata di dalam benteng suka mentertawakan upaya penyerangan benteng oleh pasukan Kartasura. Akhirnya sampai delapan bulan dikepung benteng Panembahan Purubaya belum juga takluk.
Panembahan Purubaya sudah lama berada di medan perang. Panembahan bermaksud pulang ke Mataram. Sang putra Pangeran Arya ditunjuk untuk berjaga di benteng. Setelah sampai di Kartasari Panembahan meminta pasukannya digilir. Sultan Ibnu Mustapa sendiri yang akan menggantikan posisi Panembahan Purubaya.
Di kubu pasukan Kartasura, Admiral sudah diberi tahu kalau Panembahan sudah pulang ke Mataram. Pasukan Kartasura memanfaatkan momen ini untuk segera menyerang benteng. Pangeran Arya melihat gelagat ini, segera memerintahkan pasukan untuk bersiap. Pertempuran kembali pecah. Dari atas panggung Pangeran Arya dan Tumenggung Jayabrata memimpin. Pasukan Kumpeni terus mendesak dan hampir bisa naik ke benteng. Pangeran Arya yang melihat musuh hampir naik ke benteng segera turun dari panggung. Pangeran Arya memimpin pasukan untuk mengusir pasukan Kumpeni yang mencoba naik benteng. Tumenggung Jayabrata kemudian ikut turun menghalau. Musuh bisa diusir. Banyak prajurit Kumpeni yang mencoba naik benteng tewas. Mereka kemudian mundur. Para serdadu Kumpeni yang tewas kemudian dipenggal kepalanya dan dihaturkan kepada kedua Pangeran di Kartasari. Kedua pangeran merasa sangat gembira.
Di pihak Kartasura Adipati Danureja dan Adipati Mangkupraja sedang berbincang tentang musuh yang berada di timur, yakni Adipati Natapura yang berada di Picis.
Adipati Danureja berkata, “Musuh yang berada di Picis mempunyai pasukan yang banyak dan selalu mengganggu di sepanjang jalan menuju Kartasura. Pasukan pesisir tak leluasa mondar-mandir ke Kartasura. Setiap ada yang lewat ditumpas oleh orang Surabaya. Perbatasan timur Kartasura sekarang tidak anam, sering dijarah oleh orang-orang Natapura.”
Para adipati mengusulkan agar Ngabei Tohjaya dimajukan untuk melawan pasukan Surabaya. Semua punggawa telah sepakat. Ki Patih Danureja kemudian mengirim Arya Kudus untuk menyerahkan surat kepada Sang Raja. Isinya berupa permintaan agar Ngabei Tohjaya dikirim ke timur untuk melawan pasukan Adipati Natapura.
Sang Raja berkata, “Arya Kudus, ketahuilah sekarang Tohjaya aku suruh menjagaku di istana. Dan lagipula aku belum membalas kebaikan Tohjaya, lalu engkau usulkan agar kembali maju perang. Bagaimana perasaanku nantinya. Walau demikian aku akan menanyainya. Barangkali dia sedang lega hatinya.”
Ngabei Tohjaya segera dipanggil. Setelah menghadap Sang Raja berkata, “Hai Tohjaya, engkau diminta Patih Danureja, Admiral dan Mangkupraja agar menghadapi si Natapura.”
Ki Tohjaya menyembah, “Kalau paduka berkenan, hamba berani melawan si Natapura Surengrana. Di mana tempatnya hamba akan beradu keris dengan si Natapura. Dulu kerabat hamba sejumlah empat puluh dan delapan puluh telah tewas ketika melawannya. Sekarang hamba akan membalas. Watak si Surengrana sangat licik dalam perang. Dia tidak sebanding dengan saudaranya Ki Jayapuspita dan Kartayuda dalam perang.”
Sang Raja berkata sambil tertawa, “Baiklah. Namun aku sangat mengkhawatirkanmu kalau sampai berpisah dengan para bupati. Hai Arya Kudus, katakan kepada Danureja, Mangkupraja dan si Admiral, kalau besok mereka meminta karya Tohjaya jangan sampai ditelantarkan karena dia abdi kesayanganku. Baik-baiklah menjaga dia di barisan. Jangan sampai kurang pangan. Karena dia belum aku beri tanah garapan.”
Ngabei Tohjaya kemudian diberi bekal uang dua ratus, tombak dan berbagai perhiasan. Ngabei Tohjaya menyembah dan segera berangkat bersama Arya Kudus. Sang Raja juga menyertakan surat balasan untuk Patih Danureja. Sesampai di barisan Marebung, Ki Patih sedang berbincang dengan para pembesar Kartasura. Ngabei Tohjaya dan Arya Kudus datang dengan membawa surat Sang Raja. Surat segera diserahkan kepada Tuan Admiral dan dibaca dengan seksama.
Tuan Admiral berkata, “Ngabei Tohjaya, engkau mendapat untung besar sekarang. Sang Raja sangat mengasihimu.”
Adipati Danureja sangat gembira mendengar Sang Raja sangat menyukai Ngabei Tohjaya. Sang Raja juga memberi keris dan tombak.
https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/09/25/babad-tanah-jawi-119-ngabei-tohjaya-dipanggil-ke-kartasura/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar