Translate

Jumat, 20 September 2024

Babad Tanah Jawi (120): Pangeran Arya Mataram ditipu Kumpeni dan dibunuh di Jepara

 Di Tembayat. Orang-orang Tembayat masih setia menjadi pengikut Panembahan Purubaya. Patih Danureja lalu mengirim Raden Natawijaya dan Ngabei Tohjaya untuk menyerang Tembayat. Sesampai di Tembayat pasukan dari para pangeran Tembayat sudah  bersiap menghadapi kedatangan pasukan Kartasura. Mereka tangguh dan kuat. Ngabei Tohjaya turun dari kuda dan mengamuk bersama pasukannya. Orang Tembayat bubar berlarian tak mampu menghadapi amukan Ngabei Tohjaya. Mereka lari ke belakang dan menyiapkan kalantaka. Punggawa Sultan yang berada di Tembayat bernama Raden Arya Danupaya hendak mengamuk bersama dua pangeran Tembayat, Pangeran Sumendhi dan Pangeran Wangsadriya. Ngabei Tohjaya terus mengejar dan menerjang. Meski ditembak dengan senapan dan kalantaka, Tohjaya tak gentar. Kalantaka berhasil direbut. Operatornya dipukul sekali langsung tewas. Pasukan Tembayat bubar dan mengungsi ke masjid. Ki Tohjaya terus mengejar.

Para punggawa Kartasura mengkhawatirkan kalau Tohjaya sampai tewas di medan perang. Mereka pasti akan mendapat amarah Sang Raja.  Mereka kemudian mengikuti Tohjaya mengejar musuh.

Raden Natawijaya lalu mengingatkan kepada Ngabei Tohjaya, “Dik, jangan terlalu bersemangat. Musuh Anda ini kalau di negeri timur seumpama pasukan Giri. Sama-sama keturunan wali.”

Ngabei Tohjaya langsung berbalik dan turun dari masjid sambil menyembah. Berkali-kali menyembah sampai seratus kali. Raden Natawijaya tertawa.

Berkata Raden Natawijaya, “Apa maksudnya itu Dik, kok menyembah masjid?”

Ngabei Tohjaya berkata, “Saya menyembah musuh di dalam masjid itu. Tadi maksud saya akan saya selesaikan sampai tumpas. Tapi kalau saya tumpas pangeran mereka ikut tewas. Maka saya berkali-kali menyembah mereka untuk minta maaf.”

Para punggawa Kartasura tertawa melihat polah Ngabei Tohjaya. Musuh sudah kalah. Semua telah menyerah. Pasukan Kartasura kembali ke markas di Marebung. Tuan Admiral, Patih Danureja dan Adipati Mangkupraja sangat gembira mendengar pasukan Kartasura berhasil menaklukkan Tembayat. Di Marebung benteng musuh hanya sejauh sepelemparan batu. Kedua kubu masih jual beli tembakan.

Sementara itu Adipati Jayapuspita sangat bersedih. Segera memanggil sang adik yang sedang berperang, Adipati Natapura. Sang adik segera berangkat dari Picis. Pasukan yang berada di Waluyu juga ikut dikerahkan. Sesampai di tempat sang kakak, tak lama kemudian Adipati Jayapuspita meninggal dunia. Sepeninggal Sang Adipati pasukan dari Bali bubar. Sedangkan orang Surabaya tinggal menggantungkan nasib kepada Adipati Natapura.

Di Pameresan, Mataram. Sultan Ibnu Mustapa bermaksud menggantikan Pangeran Purubaya di benteng Marebung. Setelah Sultan berangkat Panembahan Purubaya mengirim surat kepada sang putra Pangeran Arya agar membubarkan barisan. Malam hari Pangeran Arya segera membubarkan barisan dengan diam-diam. Musuh tak ada yang tahu kalau benteng telah kosong. Dalam perjalanan mereka bertemu pasukan Sultan Ibnu Mustapa di Kebonagung. Pasukan Sultan yang hendak menggantikan malah kemudian bergabung. Mereka kemudian naik ke Gunung Kidul, tepatnya di desa Seneng. Lalu berbelok ke timur di Pangongangan dan terus bergerak menuju Wulu. Sesampai di Wulu kemudian berbelok ke utara menyeberang bengawan di Patimbunan. Terus saja mereka ke utara sampai di Manyaran. Di desa Kaluhuran mereka bertemu dengan pasukan Panembahan Purubaya.

Sementara itu, pagi harinya pasukan Kartasura mengintip benteng musuh. Tampak benteng dalam keadaan sepi. Para prajurit melapor kepada Patih Danureja bahwa benteng telah ditinggalkan musuh. Patih Danureja dan Tuan Admiral sangat gembira. Mereka kemudian memerintahkan agar melacak perginya musuh. Terlihat tanda-tanda bahwa musuh bergerak ke timur. Segera pasukan Kartasura mengejar.

Perjalanan Panembahan dan Sultan sudah sampai di Manyaran. Mereka kemudian berbelok di Wiraka ke arah utara menuju Kaduwang. Terus saja mereka berjalan dan sampai di Pamagetan. Pasukan Panembahan dan Sultan kemudian berhenti.

Sementara itu pasukan Kartasura sudah berhasil melacak jejak musuh. Pasukan Kartasura berhasil mengejar di Pamagetan. Ketika itu pasukan Panembahan Herucakra sudah bergabung dengan pasukan kedua pangeran sejak berada di Nglaroh. Tak lama kemudian terjadi kontak senjata antara pasukan Panembahan dan pasukan Kartasura. Pasukan Kartasura berhasil mendesak pasukan Panembahan. Pasukan Panembahan dan Sultan lalu mundur ke Madiun. Di Madiun ketiga pangeran membuat markas.

Tuan Admiral sepakat dengan para punggawa Kartasura untuk mundur ke Kartasura. Pimpinan pasukan yang ditinggal diserahkan kepada Raden Arya Pringgalaya dan Raden Tumenggung Natawijaya. Pasukan bupati pesisir juga ditinggal. Hanya Adipati Citrasoma dan Ngabei Tohjaya yang diajak kembali ke Kartasura. Sesampai di Kartasura Sang Raja memberi tanah Lamongan kepada Ngabei Tohjaya. Ngabei Tohjaya segera disuruh berangkat ke Lamongan.

Setelah beberapa musuh berhasil diusir Tuan Admiral dan Patih Danureja sepakat untuk menyelesaikan perlawanan Pangeran Arya Mataram di Pati. Dulu Ki Mangunoneng sudah diberi tugas untuk mendekati Pangeran Arya Mataram. Mangunoneng lalu disuruh untuk mengundang Pangeran Arya Mataram ke Jepara. Tuan Admiral akan membuat perjanjian dengan Pangeran Arya Mataram di Jepara. Bila kelak Pangeran Arya Mataram berhasil menjadi raja Tuan Admiral meminta balas jasa berupa tanah Jepara, Demak dan Surabaya. Pangeran Arya Mataram tergoda hatinya, tak tahu kalau terkena tipudaya. Pangeran Arya Mataram segera berangkat ke Jepara.

Dari Kartasura Tuan Admiral juga berangkat menuju Jepara. Punggawa yang diajak adalah Adipati Citrasoma. Singkat cerita Tuan Admiral sudah bertemu dengan Pangeran Arya di Jepara. Kumpeni sangat menyambut pertemuan itu. Pangeran Arya Mataram merasa sangat dihargai dan segera saja percaya kepada Kumpeni. Setelah acara jamuan makan Pangeran Arya Mataram diminta datang ke Loji. Kumpeni mengatakan Pangeran Arya Mataram akan diangkat sebagai raja di Loji. Tanpa curiga Pangeran Arya Mataram mendatangi Loji Jepara. Sesampai di Loji setelah duduk Pangeran Arya Mataram segera ditangkap. Para anak dan menantunya yang berjumlah delapan orang pun ikut ditangkap. Kesembilan orang tersebut kemudian dieksekusi. Peristiwa ini ditandai dengan sengkalan tahun: winasayeng sagara  obah kang wongipun[1]. Para istri dan para putra Pangeran Arya Mataram yang masih kecil kemudian dibawa ke Kartasura. Juga para selir dan para pembantu semua. Sang Raja sangat bersukacita mendengar satu masalah telah diselesaikan.

Tuan Admiral segera berembug dengan para punggawa Kartasura untuk segera mengejar Panembahan Purubaya dan Sultan Ibnu Mustapa. Ke manapun mereka pergi akan dikejar. Sang Raja kemudian memanggil Adipati Sampang dan Ngabei Tohjaya serta para bupati pesisir semuanya. Mereka semua diperintahkan untuk menyerang Madiun. Pasukan Tuan Admiral akan berangkat melalui Jagaraga bersama pasukan Ki Patih Danureja dan Adipati Mangkupraja. Pasukan Kartasura kemudian akan bergabung dengan pasukan yang dulu ditinggal di Kamagetan. Mereka berencana menuju Madiun melalui Gegelang. Adapun para bupati pesisir yang dulu ikut berperang di Surabaya, barisan mereka sudah dibubarkan. Sekarang mereka diperintahkan untuk kembali mengerahkan pasukan. Pangeran Madura menjadi pemimpin para bupati wilayah timur. Mereka menuju Madiun melewati Jipang. Setelah sampai di Jipang mereka memberi tahu kepada Patih Danureja. Ki Patih dan Tuan Admiral kemudian memberangkatkan pasukan menuju Madiun. Namun Sang Raja kemudian meminta agar Patih Danureja berjaga di kota Kartasura. Yang berangkat memimpin pasukan Kartasura adalah Raden Suradiningrat, putra Pangeran Panular. Adapun Raden Natawijaya dan Raden Pringgalaya masih berada di barisan Kamagetan. Mereka kemudian sepakat dengan bupati pesisir yang berada di Jipang untuk menyerang Madiun bersamaan.


[1] Candra sengkala tahun.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/09/26/babad-tanah-jawi-120-pangeran-arya-mataram-ditipu-kumpeni-dan-dibunuh-di-jepara/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...